Kamis, 27 Maret 2014

Sharing Panggilan Imamat Pastor Matheus Bakolu


Kenakalan Membuka Jalan Menuju Panggilan
Tahun 1953, sesudah tiga bulan sekolah di Lolibu, saudara-saudara sepupu libur ke kampung Lolibu, mereka bersekolah di Waleale, kampung tetangga, di mana sekolahnya sudah jauh lebih dahulu dibuka (saat itu sudah sampai kelas III Sekolah Rakyat/SR), sedangkan di Lolibu baru dibuka tahun itu juga, dan baru mulai kelas I SR dengan gedung sekolah darurat.
  Ketika saudara-saudara sepupu itu akan kembali ke Waleale (sesudah libur) saya bergabung dengan mereka tanpa izin/sepengetahuan orang tua. Minggat dari rumah. Suatu tindakan yang tak pernah dibayangkan oleh orangtua, karena saya pengekor mama, ke mana mama pergi saya ikut. Namun itu rupanya jalan yang di“TUNJUKKANNYA“, untuk merintis panggilan, karena selanjutnya saya memutuskan sendiri dengan mengabaikan nasehat orang tua.

Tes Masuk Seminari
  Waktu di kelas VI SR, Pastor Asrama/Pastor Paroki Raha bertanya pada saya: “Bakolu, kamu mau ke Makassar?” Rupanya pertanyaan itu berdasar pada nilai rapor yang cukup baik, “mau”, jawabku. Pada saat kunjungan Pastoral Bapa Uskup, hal itu disampaikan oleh beliau kepada Bapa Uskup. Dan kami bertiga: Smarachdus, Vinsensius Kahya dan saya dipanggil oleh Bapa Uskup. “Saya dengar kamu mau ke Makassar“, Bapa Uskup membuka percakapan. “Kami mau, jawab kami serentak”. “Kamu ke Makassar, mau jadi apa? tanya beliau. Kami bingung, tapi beliau mendesak, jadi apa? antara takut-berani, akhirnya dari mulutku terlontar jawaban: “Jadi Pastor!“ Bagus! tandas beliau. “Nanti kalau sudah lulus, kamu boleh ke Makassar“, “nanti saya suruh om Aloysius (sopir Bp. Uskup) untuk menjemput kamu di Pelabuhan”, lanjut beliau. Itulah tes kami bertiga untuk masuk seminari.

Selamat Berkat Bantuan Kakak Kelas, Kono Banggai
  Suatu hari waktu pelajaran ilmu alam, saya terkejut, melihat bapak guru (Bp. Simplisius) memelototi teman sebangku saya, Elias Bemba dari Palopo. Rupanya dalam buku ilmu alam itu terselip lembaran uang Rp 5. Saat itu, menyimpan uang termasuk pelanggaran berat. Sanksinya, tak main-main, langsung dikeluarkan. Begitu selesai pelajaran itu, Elias Bamba dipanggil oleh Pater Rektor, dan saat itu juga langsung dikirim pulang ke Palopo. Saat itu saya masih menyimpan uang Rp 87,50 (delapan puluh tujuh rupiah lima puluh sen), saya jadi gelisah dan ketakutan. Siang itu hilang nafsu makan dan istirahat siang tak bisa tidur sama sekali. Selesai istirahat, saya sembunyi-sembunyi menemui kakak-kakak kelas (sama-sama dari Muna) dan saya ungkapkan masalah saya. Dia tertegun sebentar, lalu berkata: Serahkan uang itu pada saya, nanti saya berikan pada kakak saya, Sr. Adeodata di Rajawali. “Bagaimana caranya?” Tanyaku ketakutan. “Selipkan uang itu dalam buku, dan saya akan pura-pura pinjam bukumu”, jawabnya. Begitu terjadi.  Uang kertas Rp 85 (delapan puluh lima rupiah) saya selip dalam buku sedang uang recehan 2,50 (dua rupiah lima puluh sen) saya buang di lubang WC. Maka selamatlah saya sampai selesai Seminari Menengah tahun 1966.

Ke Yogyakarta
  Tanggal 26 Desember 1966 jam 11.00 kami berempat: Urbanus Tongli, Piet Timang, Flanianus Sapano dan saya, meninggalkan SPC, ke pelabuhan dan selanjutnya dengan kapal ke Surabaya untuk terus ke Yogya.
  Sebelumnya tersiar berita bahwa dari antara kami berempat ada satu orang yang tak jadi ke Yogya. Dalam hati saya menerka: pasti saya yang tidak akan diberangkatkan. Tapi anehnya, ketika menjahit jubah, saya juga diukur oleh Bapak Kawuwung (spesialis jahit jubah), kupikir ini mungkin “gerak tipu” untuk merahasiakan. Tapi ketika tiba saat untuk berangkat ternyata kami semua berempat, lengkap dengan masing-masing membawa 2 jubah kami berempat jadi frater - calon pastor.

Tantangan Keluarga/Orang Tua
  Diam-diam ayah memendam niat/cita-cita, agar saya menggantikannya sebagai pewaris ilmunya. Sejak saya bisa menulis sedikit teratur, saya dimintanya untuk pelajari/salin ilmunya. Tiap pulang libur dari Raha (kelas IV-VI SR) saya tekun belajar hampir tiap malam.
  Namun ketika tamat kelas VI SR dan sudah ada kepastian ke Seminari, saya kembalikan buku catatan itu kepada ayah sambil berkata: “sekolah macam apa ini tidak membutuhkan yang seperti ini”. “Kamu akan kecewa nanti” katanya. Tapi saya tidak mengubrisnya dan berbalik meninggalkannya.
  Ketika selesai di Seminari dan berlibur sebelum ke Yogya, ayah sekali lagi mencoba menghalangi saya. Beliau menasehati saya dan saya diam mendengarkan. Setelah diam agak lama untuk mendengarkan. Saya katakan padanya: “Ayah, sekolah macam ini tidak hanya tergantung pada orangtuanya tapi terutama dari Tuhan. Biar ayah menghalangi kalau Tuhan pilih pasti jadi. Sebaliknya biar ayah suruh/paksakan kalau Tuhan tidak pilih tidak akan jadi. Maka sikap yang paling tepat: ayah, diam saja”. Kalau Tuhan tidak pilih saya akan kembali.
  Puji Tuhan. Ayah setuju. Namun mengikhlaskan saya menempuh cita-cita, beliau sangat demokratis. Ayah merasa rugi, namun ketika menyaksikan saya jadi imam ada seberkas kebanggaan terpancar dari wajahnya. Terima kasih, ayah!
 
Tantangan Lain
  Ketika semakin dekat jenjang imamat, saya menyadari tantangan lain yang muncul, takut wanita. Harus diatasi, namun bagaimana caranya? Ada satu jalan! Masuk pramuka!
  Saya melihat, ini cara bagus untuk mengatasi kekurangan ini. Pada waktu saya kemukakan ini kepada Romo Rektor. Tanggapannya mengejutkan, “sudah tua, masih mau main-main dengan anak-anak”, kata beliau. “Romo, kataku jadi pastor bukan hanya untuk laki-laki tapi wanita juga”. “Itu bisa diatasi, kalau sudah menjadi imam”. tandasnya. Tapi, kan tidak lucu Romo, waktu sambutan saat tahbisan lalu jatuh pingsan, jawabku. “Kalau begitu, boleh tapi satu tahun saja”, tegasnya. “Terima kasih, Romo”, ungkapku. Setahun kemudian, beliau bertanya: “sudah berhenti dari pramuka”? “Masih dalam persiapan”, jawabku. Dan itu berlangsung selama tiga tahun, sampai saya kembali untuk tahbisan. Dalam keprihatinan, kutemukan tantangan baru. Ada seorang gadis, anak didik, Katolik: cantik, manis dan baik hati. Ketika bertemu dengan dia, ada getaran khas di hati, saya kagum. Dalam hati kuberucap: “mungkin inilah yang namanya jatuh cinta”. Saya sadar akan hal itu. Maka kuteguhkan hatiku dengan berkata: “dia baik, cantik dan manis, tapi bukan untuk saya. Saya mau jadi imam”. Selama tiga tahun di pramuka, tak seorang pun tahu bahwa saya menaruh hati padanya. Saya tidak pernah memberi perlakuan khusus, walau setiap kali bertemu, hati ini bergelora.
  Di akhir tahun ketiga, sesudah perpisahan, masing-masing pulang dengan album fotonya. Frater-frater lain, para pembina pramuka, dengan bangga, menunjukkan “favorit” ganti kata pacar. Tiba-tiba terlihat foto si dia dan saya pun berkata: “ini favorit saya”. “kau juga punyakah?” Seru teman-teman kaget. Dengan tenang kujawab: “Jadi, kamu kira saya ini tidak normalkah?”. Hanya saya tidak pernah menunjukkan dalam sikap, karena saya mau jadi imam. Bagi saya, cukup saya mengaguminya. Dan setiap kali orang lain mendekatinya saya tidak cemburu, malah saya bangga! Begitu banyak yang mendekatinya berarti favorit saya hebatkan?   

Santai Saja
  Pada zaman saya di Seminari Tinggi: tahun 1966-1973, kami dapat uang saku dari keuskupan yang dapat diperoleh lewat Romo Rektor. Ada frater yang tak tahan diomeli, hingga tidak pernah mau minta uang saku. Dan kalau ada yang meminta, biasanya pada akhir bulan. Tapi saya berpikir, itu kan untuk belanja bulan yang bersangkutan: mis. bulan Mei, kalau sudah akhir bulan Mei untuk apa lagi. Ini bukan gaji, tapi uang saku. Maka saya memintanya pada permulaan bulan. Tapi sebelumnya susun alasan dulu: untuk beli celanalah, beli bajulah, beli bukulah, tapi sebetulnya hanya bilang minta uang saku. Diomeli, tidak masalah. Hari ini tidak diberi, besok minta, besok tak diberi, lusa minta. Prinsipku: bukan uangnya Romo Rektor yang saya minta.
  Suatu kali diomeli: “kamu ini belum apa-apa sudah datang minta”. Santai kujawab: Ini kan hanya minta, kalau Romo tidak beri, saya pulang, sambil bergaya pegang handel pintu untuk ke luar dari kamarnya. Tiba-tiba bunyi laci dibuka, “ini uangnya”, terima kasih Romo! Dan mau tahu: kalau saya bilang untuk beli baju: uang diberikan, tapi dapat baju juga. Kalau bilang untuk beli celana, uang diberikan. Tapi celana juga diberikan. Biasanya dengan pesan jangan bilang pada orang lain. Dalam hati, bodo amat mau cerita pada orang lain. Santai saja.

Lain-Lain
  Masa ujian/ulangan, masa yang menegangkan, saat itu lampu teplok laku, sebab lampu mati jam 11.00 malam. Susu laku, untuk jaga kondisi, karena kadang orang belajar sampai jam 2, atau jam 3 subuh. Kalau saya, mati lampu, tidur!
  Saya cuma berusaha mengenal watak dosen, khususnya waktu ujian lisan. Ada dosen digelar “pembunuh berdarah dingin,” salah atau benar jawaban tak ada reaksi apapun. Ada dosen yang menjerumuskan. Kalau jawaban salah, dia katakan baik, terus, apalagi, frater tinggalkan ruang ujian dengan gembira, dikiranya lulus, padahal tidak. Ada dosen yang suka marah dan membentak kalau jawaban benar, dia mau uji, apakah frater berani pertahankan jawabannya. Ada dosen polos, tampil apa adanya, kalau jawaban benar, mukanya ceria, kalau jawaban salah, muka keriting. Strateginya: tatap muka dosen perhatikan raut mukanya. Muka keriting, berarti salah, maka banting stir dan tanya bagaimana persis soalnya Romo. Dosen tidak hanya mengulangi soalnya, tapi tak jarang mulai menerangkan dan dengan mudah kita ambil alih.
  Kalau dosen suka membentak, itu tanda bahwa jawabanmu benar maka pertahankanlah. Kalau dosen katakan baik, terus… hati-hati, itu perangkap maka banting stir dan tanyakan kembali, pakai strategi ini biasanya lulus, tapi hanya dapat 6/C. Berarti cukup.
  Satu kali ujian akhir sejarah gereja, dosen suruh bawa buku bahasa Latin “DENZINGER“ terjemahkan! Dosen tunjukkan sesukanya halaman tertentu, dan disuruh terjemahkan. Frater-Frater yang mendahului saya masuk ruang ujian semua pulang sambil garuk kepala, tidak lulus. Tiba giliran saya, saya masuk tapi buku “Denzinger” saya taruh di luar, depan pintu masuk. Begitu masuk, tanpa memandang yang masuk, langsung katakan buka halaman ..., terjemahkan!  Pura-pura kaget dengan gaya hendak berlari untuk mengambil buku, saya berkata “wah lupa, romo“. “Duduk saja, dan ceritakan sejarah misi di daerahmu”. Tanpa menunda saya bercerita, sembarangan saja karena saya berpikir belum ada dalam sejarah gereja. Cerita, cerita, sampai akhirnya dosen berkata: sudah, sudah, lulus dapat 7! Terima kasih Romo, sambil tersenyum saya meninggalkan ruang ujian. Teman-teman pada heran saya pulang sambil ketawa-ketawa. “Kau lulus?” tanya mereka. Lulus, dapat 7, jawabku, kau ditanya apa, seru mereka lagi, saya disuruh ceritakan sejarah misi di daerahku. “Kurang ajar kamu”, jawab mereka ramai-ramai. Dengan enteng kukatakan, itu namanya pakai otak! Masa ujian sejarah gereja disuruh terjemahkan bahasa Latin.

Penutup
  Itulah sekelumit pengalaman dalam menapaki panggilan, tahun demi tahun sampai akhirnya jadi imam. Saya kadang berpikir: untung saya lahir duluan, kalau sekarang baru mau menempuh pendidikan di Seminari kemungkinan besar saya tidak lulus, alias tak jadi imam. Test masuk Seminari saja hanya ditanya mau ke Makassar? jadi apa? Mau! Jadi Pastor! Lulus. Dengan demikian saya makin yakin akan kata-kata Yesus “Bukan kamu yang memilih aku, melainkan Akulah yang memilih kamu” dan kata-kata itu pulalah yang jadi motto panggilan saya. Rasanya saya cuma mengikuti jalur yang sudah digariskan. Bukan karena saya pintar, bukan karena baik dan saleh. Tapi karena Tuhan mau pakai, aku dipilih. Terima kasih Tuhan saya boleh melayani-Mu sebagai imam-Mu. ***

Tidak ada komentar: