Selasa, 21 Desember 2010

Sampul Koinonia Vol. 6 no. 1


Kisah Yesus di Toraja: Aluk To Dolo Menantikan Kristus

PENGANTAR

Naskah di bawah ini adalah homili yang disampaikan dalam Misa hari kedua SAGKI, Selasa, 2 Nov. 2010, bertepatan dengan Peringatan Arwah Semua Orang Beriman. SAGKI 2010 mengambil tema ‘Dia Datang supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan’ (bdk. Yoh. 10:10). Melalui tema ini, umat Katolik diajak untuk menyadari panggilannya sebagai ‘Gereja yang diutus untuk mewartakan kabar gembira Yesus Kristus, sekaligus merayakan iman akan Yesus Kristus yang mereka alami setiap hari dalam hidup bermasyarakat di Indonesia’. Ajakan ini tentu dilatar-belakangi oleh pengertian ‘misi’ menurut FABC V di Bandung, 1990: “Misi berarti berada bersama orang-orang, menjawab kebutuhan mereka, dengan kepekaan terhadap kehadiran Allah dalam kebudayaan dan tradisi agama yang lain, dan kesaksian tentang nilai-nilai Kerajaan Allah melalui kehadiran, solidaritas, berbagi pengalaman iman dan kata-kata. Misi berarti dialog dengan masyarakat miskin Asia, kebudayaan lokalnya, dan dengan tradisi agama lain”. Inilah yang dikenal dengan nama ‘tri-dialog ala khas FABC’ (Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia). Tetapi SAGKI 2010 maju selangkah lagi, dengan mengambil alih metode tradisional di Asia pada umumnya, dan di Nusantara pada khususnya, dalam mewariskan nilai-nilai kultural dan religius dari generasi ke generasi, yaitu dengan cara ber-KISAH.

Rupanya Panitia SAGKI 2010 tertartik, malahan rada penasaran, melihat tampilan upacara kematian yang sering begitu semarak di Toraja. Banyak orang terkesan sepertinya falsafah manusia Toraja ialah ‘hidup untuk mati’. Kisah apa gerangan yang ada di balik ungkapan kultural yang mencolok seperti ini? Demikianlah saya mendapat kehormatan untuk berkisah melalui homili dalam Misa Peringatan Arwah Semua Orang Beriman, 2 Nov. 2010, di hadapan para peserta SAGKI 2010. Agar kisah saya tidak dicurigai sebagai isapan jempol saya, pada akhir saya sertakan sumber-sumber utama dari mana unsur-unsur inti dalam kisah ini ditelusur.

Para peserta SAGKI 2010, Saudari/a seiman dalam Kristus Yesus!

Di abad ke-17, tepatnya pada tahun 1685, Pater Nicolas Gervaise, SJ, menerbitkan sebuah booklet, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1701 dengan judul An Historical Description of the Kingdom of Macasar in the East-Indies. Beliau memperoleh sumber informasi dari dua putera bangsawan Kesultanan Makassar yang sedang belajar dan tinggal di Kolese Jesuit di Paris. Dalam buku itu Pater Gervaise meramalkan bahwa, orang Toraja akan dengan mudah menerima Injil. Awal pewartaan Injil di kalangan orang Toraja ditandai dengan datangnya Pdt. A.A. van de Loosdrecht dari Gereformeerde Zendingsbond (GZB) pada 10 Nov. 1913. Ramalan Pater Gervaise selanjutnya menjadi kenyataan. Kini, setelah hampir seabad pewartaan Injil, sekitar 90% orang Toraja yang mendiami 3 Kabupaten (Tana Toraja, Mamasa dan Torut) memeluk Kekristenan (Protestan, Katolik, dan denominasi-denominasi baru). Berbeda dengan penyebaran Agama Islam yang sesungguhnya telah diupayakan sejak abad ke-17 dan memuncak dengan pemaksaan pada dekade 1950-an oleh gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakhar.

Kita bertanya, apa gerangan sebabnya sehingga bisa terjadi demikian?


Rm. Thomas Cooper, salah seorang pelopor ‘teologi cerita’ telah mendaftarkan sejumlah pedoman praktis dalam menjalankan ragam teologi ini. Salah satunya berbunyi, “Dengarkanlah kisah-kisah (mite) bangsa/suku bangsa anda”. Secara populer, mite dipahami sebagai dongeng, hasil khayalan manusia. Namun para ahli berpendapat bahwa, mite tidak bersumber pada imaginasi melainkan pada realitas, sejauh sebagai sebuah realitas khusus dihayati secara intensif oleh sekelompok orang. Mite, sebagaimana didefinisikan oleh Bruno Borchert, adalah “cerita yang di dalamnya dimampatkan pengalaman-pengalaman bersama (sekelompok) manusia, dan merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kehidupan manusia”.

Nah, dengan pedoman itu kita perlu ‘mendengarkan’ mite-mite Toraja. Aluk To Dolo (=Agama Leluhur), agama asli Toraja, sangat kaya dengan kisah-kisah mitologis. Studi atas kisah-kisah mitologis itu, khususnya yang terangkum dalam Passomba Tedong, doa ritual penyucian kerbau, membawa kita menemukan adanya paham ‘sejarah keselamatan’ versi Aluk To Dolo. Sejarah keselamatan ini dimulai dengan kisah penciptaan manusia dan segala makhluk lainnya oleh Puang Matua (Tuhan). Makhluk-makhluk diciptakan dalam keadaan bersaudara. Penciptaan ini terjadi di dunia atas (lan tangngana langi’ = di tengah langit). Jadi manusia dan makhluk-makhluk lainnya berasal dari dunia atas. Kemudian oleh Puang Matua diturunkan ke bumi melalui sebuah tangga (Eran diLangi’= Tangga dari Langit) di Bamba Puang (=Pintu Tuhan), sebuah lokasi yang kini masuk wilayah Kab. Enrekang. Keadaan pada masa permulaan itu digambarkan sebagai periode ala firdaus. Hubungan erat akrab antara manusia dan Penciptanya dilambangkan dengan tetap tegaknya Eran diLangi’, yang menghubungkan surga dan bumi; melalui tangga tersebut manusia dengan mudah berkomunikasi dengan Puang Matua. Hubungan antara manusia dan Pencipta dengan sangat jelas berciri dialogis dan dijiwai semangat kekeluargaan.


Tetapi kemudian hubungan akrab ini dirusak oleh dosa manusia. Londong diRura bertegar tengkuk mengawinkan sepasang anak kandungnya, suatu pelanggaran yang tidak dapat ditolerir Puang Matua. Sebagai akibatnya Eran diLangi’ ditumbangkan dan sebagian peserta pesta perkawinan itu mati, ada yang menjadi batu, ada yang tenggelam ke dalam celah memanjang yang dalam. Untuk mereka yang mati diadakan upacara. Itulah upacara kematian yang pertama. Sejak itu Sang Pencipta menjadi seorang Puang Matua yang jauh, walaupun Dia tidak pernah meninggalkan manusia sama sekali. Dia setiap kali masih tetap dapat dihubungi lewat ritus ma’biangi (menggunakan tanda). Dan manusia setelah mati pergi ke padang bombo (=tanah jiwa-jiwa), yang disebut Puya. Puya itu dilokalisir di bumi, di mana dulu berdiri Eran diLangi’. Namun, tujuan akhir manusia bukanlah Puya melainkan surga!


Kerinduan yang tidak pernah padam akan dipulihkannya kembali hubungan erat seperti semula antara surga dan bumi akhirnya terjawab dengan inisiatif dari atas. Puang Matua mengirim seorang utusan, seorang pembaharu religius, to manurun Tamboro Langi’ (to manurun = orang yang turun dari langit). Restorasi keagamaan Tamboro Langi’ (Aluk Sanda Saratu’) secara khusus dikongkritkan dalam upacara dirapai’, bentuk tertinggi ritual kematian. Pelaksanaan upacara dirapai’ menjamin arwah orang yang meninggal itu akan beralih dari Puya dan naik ke langit (la lao langngan langi’). Tetapi upacara tersebut aslinya secara ketat hanya diperuntukkan bagi mereka dari kasta tertinggi dalam masyarakat (tana’ bulaan). Pembagian kasta dalam masyarakat di Toraja mulai dikenal sejak datangnya para tomanurun. Para tomanurun itulah, termasuk di dalamnya Tamboro Langi’, serta keturunan mereka yang menjadi anggota tana’ bulaan. Hanya kelompok inilah yang memiliki hak mengadakan upacara dirapai’, dan itu berarti hanya merekalah yang memiliki kemungkinan naik ke langit. Dan sesungguhnya dalam alam pikiran keagamaan Aluk To Dolo, hal ini dapat dipahami. Bukankah nenek moyang mereka turun dari langit sesudah Eran diLangi’ tak ada lagi? Jadi mereka dapat kembali ke langit, walaupun Eran diLangi’ belum ditegakkan kembali. Hanya saja upacara dirapai’ itu begitu mahal, sehingga tidak semua anggota tana’ bulaan mampu melaksanakannya. Karena itu Aluk Sanda Saratu’ dari Tamboro Langi’ gagal dalam mewartakan dibukanya kembali pintu surga bagi semua orang. Puya masih tetap ada di lokasi bekas kaki Eran diLangi’ sebagai tempat penampungan tetap bagi bagian terbesar manusia yang rindu kembali ke asalnya yang asli: dunia atas, surga.


Kendati Puya itu bukanlah surga, namun dalam paham Aluk To Dolo kehidupan di akhirat Puya itu lebih sejati dibandingkan dengan kehidupan di dunia sini. Itu nyata dari londe (sejenis pantun) ini:

Pa’bongian ri te lino / Semata tempat bermalamlah dunia ini

Pa’gussali-salian / Tempat tinggal sementara

Lo’ ri Puya / Nun di Puya sana

Pa’tondokan marendeng / Negeri kediaman nan sejati


Pemeluk Aluk To Dolo sangat was-was, jangan sampai sesudah meninggal tidak diperkenankan masuk Puya oleh penjaga Puya, Pong Lalondong.

Apa yang menentukan, apakah seseorang boleh atau tidak masuk ke Puya? Bukan soal, apakah hidupnya di dunia ini baik (sesuai dengan kehendak Allah) atau tidak? Dalam Aluk To Dolo tidak dikenal paham pembalasan di akhirat; yang ada ialah pembalasan di bumi. Yang menentukan ialah, apakah ritual kematiannya dipenuhi menurut aturan aluk (agama). Maka tidak terbayangkan seseorang dikuburkan tanpa upacara kematian sesuai tingkatannya. Ini menandaskan Aluk To Dolo sebagai agama kultis.

Saudari/a seiman dalam Kristus!

Hari ini tanggal 2 Nov., kita, Gereja, memperingati arwah semua orang beriman.

Dalam konteks kepercayaan asli Toraja (Aluk To Dolo) peringatan ini sungguh bermakna:

Pada awal mula Puang Matua menciptakan manusia dan mahluk-mahluk lainnya dalam keadaan bersaudara di dunia atas (lan tangngana langi’). Kemudian Puang Matua menurunkan mereka ke bumi melalui sebuah tangga yang menghubungkan langit dan bumi (Eran diLangi’). Semula segalanya berjalan baik dalam suasana paradiso. Hubungan erat akrab antara Sang Pencipta dan ciptaanNya berlangsung terus, dilambangkan dengan tetap tegaknya Eran diLangi’ di tempatnya. Tetapi kemudian manusia jatuh ke dalam dosa (Londong diRura mengawinkan sepasang anak kandungnya). Sebagai akibatnya, hubungan akrab antara manusia dan Puang Matua, terputus (dilambangkan dengan runtuhnya Eran diLangi’), dan maut masuk ke dalam dunia. Setelah manusia meninggal, ia tidak dapat lagi kembali ke asalnya di dunia atas, di mana Puang Matua, Sang Pencipta, berdiam. Ia hanya dapat masuk Puya (Negeri Arwah), yang dilokalisir di tempat di mana dahulu Eran diLangi’ berdiri (suatu ungkapan kerinduan manusia Toraja untuk kembali ke asalnya di dunia atas, bersatu dengan Penciptanya). Kemudian harapan akan terpenuhinya kerinduan itu muncul lagi dengan datangnya to manurun Tamboro Langi’ membawa Aluk Sanda Saratu’. Namun ternyata tomanurun Tamboro Langi’ gagal menegakkan kembali Eran diLangi’. Ia hanya menjadi ‘penyelamat’ bagi keturunannya yang diupacarakan dengan ritual tertinggi kematian (dirapai’). Jadi bagian terbesar manusia Toraja yang sudah meninggal tetap tinggal di Puya, semacam tempat penantian!

Lalu datanglah INJIL, Berita Gembira:

“Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Yesus, Sang Sabda itu “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh. 1:14). Dan “semua orang yang menerimaNya diberiNya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya” (Yoh. 1:12). Ya, Dialah Tomanurun Baru yang dinanti-nantikan. Sekaligus Dialah Eran DiLangi’ Baru: “Akulah JALAN dan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6). Melalui dan dalam Yesus Kristus, manusia Aluk To Dolo tidak perlu lagi tinggal terus di Puya sesudah meninggal. Ia dapat kembali ke asalnya di dunia atas, bersatu dengan Penciptanya (surga)! Ramalan Pater Gervaise di abad ke-17, bahwa orang Toraja akan mudah menerima Injil bukanlah ramalan hampa. Sebab sesungguhnya Aluk To Dolo menantikan Yesus Kristus! Aluk To Dolo merupakan persiapan Injil (praeparatio evangelica). Hanya saja, bagi Aluk To Dolo, bukan hanya manusia yang berasal dari dunia atas melainkan juga makhluk-makhluk lainnya; pada awal mula mereka diciptakan dalam keadaan bersaudara di dunia atas. Maka yang harus kembali ke asalnya bukan manusia yang terlepas dari dunianya, melainkan manusia-dalam-dunianya. Inilah dasar dari segala pengorbanan pada upacara kematian dalam Aluk To Dolo. Yang dirindu-rindukan dalam Aluk To Dolo ialah “langit yang baru dan bumi yang baru”, di mana “maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (bdk. Why. 21:1-5). Maka mengakhiri kisah ratap bagi almarhum/almarhumah dalam “Ossoran Badong To Dirapa’i”, para pelayat bermadah doa harapan:

La sipassakkemo’ bating,

Di madah ratap ini mari kita saling memohonkan berkat,

la sibenmo’ tuo-tuo.

Kita harapkan untuk satu sama lain umur panjang.

Masakkeko kumasakke,

Semoga kau sejahtera, semoga aku sejahtera,

tabassing makole-kole.

Semoga hidup kita sama-sama bahagia selalu.

Dan kedatangan Kristus ke Toraja memenuhi doa harapan ini: Ia datang, agar manusia Toraja “mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10).

A m i n !

Wisma Kinasih, Caringin-Bogor, 2 Nov. ‘10

+ John Liku-Ada’


SUMBER:

PASSOMBA TEDONG versi Kesu’, dlm H. van der Veen, The Merok Feast of the Sa’dan Toradja, (‘s-Gravenhage, 1965): 18-155; teks ini ditranskripsi J. Tammu langsung dari seorang to minaa (ahli adat) dari Angin-Angin, Kesu’, atas permintaan H. van der Veen, seorang ahli bahasa, yang diutus GZB dari Negeri Belanda ke Toraja, dimana beliau tiba pada 16 September 1916, guna mendalami bahasa Toraja, dalam rangka mempersiapkan terjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa tersebut.

PASSOMBA TEDONG versi Makale-Tallu Lembangna, manuskrip transkrip filolog Prof. C. Salombe’ dari seorang to minaa, 1979.

LONDONG DIRURA, ditranskripsi antropolog Perancis Jeannine Koubi dari seorang to minaa di Lempo, 1974, dlm. Id., Rambu Solo’ “la fumee descend”, le culte des morts chez les Toradja du Sud, (Paris, 1982): 489-491 (teks dalam bahasa asli), 331-335 (terjemahan ke dalam bah. Perancis dengan anotasi).

TANGDONA SULLE GAYANGNA BULLU MATUA, naskah sumpah pelantikan pengganti Bullu Matua (Puang Makale di Tallu Lembangna), naskah asli dan terjemahan ke dalam bah. Belanda dengan anotasi, dlm. H. van der Veen, Overleveringen en Zangen der Zuid-Toradja’s, (‘s-Gravenhage, 1979): 18-37; salah satu sumber informasi sekitar Aluk Sanda Saratu’ dari tomanurun Tamboro Langi’.

Sejumlah varian naskah BADONG (madah ratap di upacara kematian) dlm. H. van der Veen, The Sa’dan Toradja Chant for the Deceased, (‘s-Gravenhage, 1966).

Rekomendasi SAGKI 2010

1. Setelah pengayaan melalui proses narasi publik, sharing kelompok, pleno, dan refleksi teologis, kami sampai pada sejumlah rekomendasi berikut ini, yang merupakan misi perutusan Gereja agar seluruh keuskupan menanggapinya dalam program keuskupan.

2. Kami berkomitmen untuk melanjutkan dialog dengan kebudayaan setempat supaya kami semakin mampu mengenali dan menghadirkan wajah Yesus dalam kebudayaan.

3. Kami juga berkomitmen untuk menciptakan model-model baru dalam pewartaan dan katekese dengan metode naratif serta menggunakan pelbagai bentuk kesenian.

4. Tidak kurang juga komitmen kami untuk mengembangkan katekese naratif bagi anak-anak, yang sesuai dengan zaman, tempat dan budaya.

5. Kami akan meneruskan dan meningkatkan kerja sama dan dialog antar-umat beragama yang sudah dilaksanakan oleh Gereja di setiap tingkatan.

6. Kami merasa wajib mengembangkan sikap rela merendahkan diri dengan telinga seorang murid yang selalu siap mendengarkan.

7. Kami bertekad mengedepankan pewartaan lewat kesaksian hidup dan melakukan aksi-aksi kemanusiaan baik secara pribadi (orang per orangan), Gereja sendiri sebagai komunitas beriman maupun dalam kerja sama dengan pelbagai lembaga untuk memerdekakan orang miskin dari cengkeraman kemiskinan dan peminggiran.

8. Kami berkomitmen untuk menghidupi spiritualitas yang memerdekakan. Untuk itu diperlukan pertobatan hati yang mendalam dan diwujudkan secara nyata dalam aksi solidaritas. Para petani, nelayan, buruh, kelompok terabaikan, dan terpinggirkan perlu didampingi secara pastoral. Tidak kalah pentingnya, kami memelihara lingkungan hidup.

Caringin, 5 November 2010
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia

Narasi SAGKI 2010: Perjuanganku sebagai Pengikut Yesus dalam Budaya Dayak

Saya dilahirkan di kota Sintang, sebuah kabupaten dalam wilayah Propinsi Kalimantan Barat, yang penduduk aslinya Suku Dayak. Pertemuan pertamaku dengan Yesus terjadi kala aku berusia tiga bulan dan dipermandikan di Gereja Katedral Kristus Raja Sintang.

Ayahku berstatus Pegawai Negeri Sipil. Kami hidup dalam lingkungan keluarga sederhana. Sebagai anak, kami dibesarkan oleh kedua orang tuaku dalam tradisi agama Katolik dan adat istiadat Dayak (Kantuk dan Kayan). Selama dalam proses pendidikan dalam keluarga kami merajut keterpaduan antara ajaran Yesus Kristus dalam Gereja Katolik dan adat istiadat kami.

Kala masih kecil sebagai orang Dayak saya tinggal di hulu Sungai Kapuas. Berenang bersama ikan-ikan kecil bukan masalah baru. Saya sudah akrab hidup dan bergaul dengan alam bebas. Berladang, bercocok tanam, mencari tetumbuhan di hutan dan berburu termasuk bagian hidup tradisional masyarakat Dayak. Obat-obatan diramu dari akar, batang dan daun tetumbuhan. Kesatuan hidup dengan alam sangat terasa dan tak tersangkalkan.

Titik awal perjumpaanku sebagai orang Dayak dengan Yesus kualami melalui kehadiran kedua orang tuaku yang selalu menyadarkanku sebagai orang Katolik, murid Yesus Kristus. Cara hidup mereka di dalam keluarga dan tempat kerja menunjukkan keterpaduaan serasi antara kebudayaan Dayak dan iman kekristenan.

Selama mengenyam pendidikan di sekolah Katolik ini aku mengalami bahwa sosok Yesus benar-benar hadir dan membawa berkah dalam hidupku. Kehadiran seorang bruder yang penuh kepekaan akan kesulitan hidup mencerminkan kehadiran Yesus di tengah-tengah hidupku. Yesus telah memberikan semua kemudahan pada waktu kami harus mengatasi seluruh tantangan dan kesulitan hidup.

Titik awal perjumpaanku dengan Yesus melalui orang tua, dunia pendidikan formal dan lingkungan hidup. Perjumpaan ini mengubah isi hidupku sebagai pengikut-Nya.

Setelah merasakan kehadiran Yesus dalam diriku aku terus terpacu meningkatkan kualitas imanku sebagai orang Dayak Katolik melalui berbagai kegiatan di lingkungan Gereja. Bercermin pada Yesus yang berjuang hingga akhir hayat di kayu salib, saya berjuang mengembangkan diri melalui jalur pendidikan, baik formal maupun informal. Hingga akhirnya aku menjadi seorang pegawai negeri sipil dan bekerja di kantor Bupati Kabupaten Sintang pada bagian Pemerintahan Desa. Sejak dua tahun lalu, saya diangkat menjadi Camat Kecamatan Kelam Permai. Di sini saya temukan kekayaan rohani yang terpadu dengan tugas-tugas dalam bidang pemerintahan. Bagaimanakah sebagai sebagai seorang Katolik saya dapat menunaikan tugas pelayanan yang saya terima dari Pemerintah?

Ibarat seorang “gembala“ (Yoh 10:10), sekarang saya bertugas membina masyarakat di sebanyak 254 desa, yang mayoritas penduduknya berasal dari etnis Dayak. Sebagai seorang camat saya memberikan yang terbaik untuk meningkatkan mutu hidup, pendidikan dan masa depan masyarakat dalam kecamatanku. Dengan semangat Yesus saya membawa Kabar Baik bagi mereka yang memerlukan uluran tanganku. Tantangan yang menghadang tidak sedikit. Namun, saya tidak merasa takut dan gentar, karena Yesus selalu besertaku dalam hidup dan tugas pelayananku. Keadaan transportasi yang masih memprihatinkan, mutu pendidikan dan kesehatan masyarakat masih perlu segera diperbaiki.

Sebagi camat saya berperan sebagai “Christoforus“ yang membawa Kristus kepada mereka yang memerlukan-Nya. Sungai kuseberangi. Bukit kudaki dan lembah kutelusuri. Kristus menjadi perisai dalam penunaian tugasku mengantar Kristus ke tengah-tengah masyarakat. Di tengah pelayanan aku menempatkan diri sebagai seorang “gembala“ yang mencari domba-domba yang sakit, menderita dan hidup di tengah-tengah globalisasi.

Perjumpaanku dengan Yesus melalui budaya Dayak telah mengubah, membaharui dan mengisi hidupku sebagai seorang pribadi yang terus bertumbuh dalam melaksanakan tugas pengutusan dari Yesus. Di tengah-tengah perubahan zaman, krisis nilai dan pergumulan hidup, saya tetap berpegang pada filsafat hidup sebagai seorang Dayak yang berjiwa Katolik dan membawa Kristus ke mana pun saya melangkahkan kaki dan menunaikan tugas pelayanan.

Di dalam Yesus, saya menimba kekuatan-kekuatan yang tidak bisa disalurkan oleh dunia. Ini sungguh sebuah perjumpaan yang memperkaya seluruh hidup dan perjuangan pribadiku.*** Penulis: Hendrika, Keuskupan Sintang

Narasi SAGKI 2010: KARENA YESUS AKU BEBAS

BERKAH DALEM
Pertama-tama saya mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan, dan Keuskupan Agung Semarang (KAS) dan Panitia SAGKI 2010, atas kesempatan yang baik ini.

Wilayah Ngargomulyo, salah satu bagian dari Paroki Sumber, terkenal di sebelah barat (8 km) dari puncak Gunung Merapi. Mayoritas warga masyarakat berprofesi sebagai petani dan beternak, sebagian menjadi penggali pasir dan mencari kayu bakar di sekitar Merapi.

Saya tamatan SD Kanisius, karena tidak adanya biaya saya tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Berbagai pekerjaan sudah saya jalani dari buruh kasar, menjual kayu bakar, jual buah hingga MLM. Kami salah satu keluarga yang tidak punya agama dan lima kakakku masuk agama setelah menikah. Orang tuaku juga terlibat G30S/PKI, sehingga saya harus mengalami banyak tantangan dalam perjalanan hidup saya, dari cap-cap anak PKI, kafir hingga perlakuan tidak enak sampai tidak berani keluar dari lingkungan rumah kalau tidak keluar dengan orang tuaku. Karena selalu dikerjai sama kakak-kakak seumuranku. Sebagai anak yang orang tuanya telibat G30S/PKI, saya dipermainkan pada waktu mencari SKCK pada waktu mau melamar kerja di KOSIPA. Kemudian pada tahun 1991 saya memutuskan menjadi orang Katolik dan ikut ke Gereja. Karena dorongan dari kakak saya untuk memeluk salah satu agama, karena di kampungku mayoritas beragama Katolik, saya merasa tidak punya teman, ketika orang-orang pada ke gereja, apalagi di hari-hari besar. Juga setiap kali mendengar kata-kata “biadab” “tidak beragama” pada waktu nonton film G30S/PKI yang diputar setiap malam 1 Oktober ada kegelisahan dalam hati saya.

Suatu waktu terjadi kejadian yang menimpa keluargaku. Pada waktu orang-orang pada ke Gereja ada salah satu tetanggaku yang kehilangan kalung emas, lalu orang tuaku yang dituduh, karena yang tidak ke gereja. Kemudian Biyung-ku (ibu) di sidang sama Hansip, di situ biyungku disuruh mengakui, lalu dijambak, di-taboki dan dimaki-maki, “dasar Tapol”, “Gestapu” hingga mau diusir dari kampung. Keluargaku ramai jadi omongan orang. Sampai-sampai ketika saya main ke tempat anak-anak yang pada kumpul mesti sebagian pada pergi. Situasi seperti ini membuat saya tidak nyaman hingga membuat saya jarang di rumah, lebih suka main ke desa tetangga dan mulai jarang ke Gereja, dan mulai bergaul dengan teman-teman yang suka minum minuman keras, dan suka ke dukun, mendalami ilmu hitam, saya mulai berani maling hingga jambret, saya jadi mudah tersinggung dan gampang marah. Lalu suka melawan dengan orang tua. Sering mengeluarkan kata-kata kotor, memukul, menendang sama Biyung (Ibu) hingga mau membunuh Bapakku.

Tetapi Tuhan mengingatkan saya dan menolong saya. Pada waktu saya dan dua teman menjambret, kami dikepung warga dan saya loncat di bawah tebing dalam suasana takut. Tuhan menolong saya, tidak ada satupun yang mencari saya, walau saya tidak jauh dari tempat itu. Tetapi yang kedua kalinya kami tertangkap, namun berkat pertolongan teman kami tidak sampai masuk penjara, walau harus membayar sejumlah uang.

Semenjak kejadian itu kedua orang tuaku sering rebut dan saling menyalahkan dan sering marah-marah sama saya, hingga suatu ketika saya ribut dengan Bapak dan mau saya bunuh, tetapi begitu kepala Bapak mau saya sabet kapak, Bapak bilang begini pada saya “Ya kalau memang ini baik untuk kamu ya silahkan kalau mau dibunuh”. Lalu kepala Bapak ditempelkan di dada saya. Spontan dada saya terasa sesak dan tubuh gemetar lalu detak jantung kencang sekali, dan seperti ada suara yang keluar dari dalam hati saya begini, “Ini orang tuamu, Min!” Dengan perasaan bersalah dan jengkel, saya tinggalkan Bapak. Kemudian pesan Biyung (Ibu) sama kakakku, sebelum meninggal karena serangan jantung begini, “Yang sabar menjaga adikmu Gimin karena memang masih kecil”. Pesan yang menyayat hati dan memunculkan tanda tanya besar dalam hati saya. Maksud dari semua ini apa?

Dengan sikap pasrah kedua orang tuaku, saya merasa dipanggil Tuhan untuk kembali ke jalanNya. Akhirnya saya sadar dan mulai ke Gereja lagi. Panggilan untuk semakin aktif dalam kegiatan Gereja juga sangat kuat, hingga sering mengikuti rekoleksi, pendalaman iman, Mudika, hingga aktif di salah satu Parpol (Partai Politik). Saya bekerja menjadi tukang pecah sambil menggaduh sapi. Dua tahun kemudian Tuhan memberi saya jalan membeli kelapa sawit di Sumsel (Sumatera Selatan), dan dari hasil kelapa sawit itulah, perubahan secara materi saya dapatkan. Dari bangunan rumah, beli motor hingga membayar hutang, hampir 75 juta. Melihat kondisi ekonomi keluarga kami, semua itu mustahil saya dapatkan. Saya rasa semua itu sudah menjadi bagian dari rencana panggilan Tuhan untuk saya.

Kemudian setelah satu tahun lebih bersama Bapak, saya memutuskan untuk menikah, lalu pada tahun 1998 saya menerima Sakramen Baptis dan Komuni. Tubuh dan Darah Kristus memberi kekuatan baru dalam diri saya. Saya bersyukur, Tuhan masih memberi kesempatan untuk hidup, karena satu dari teman saya penjambret dibunuh massa. Kasih Tuhan mendorong saya untuk membagikan sebagian hidup saya untuk Gereja dan masyarakat, sebagai bentuk kesaksian saya.

Saya bertani dan menjadi pencoker di lokasi penambangan pasir dengan alat berat (eskavator). Hingga pada tahun 2000, Romo V. Kirjito, Pr bertugas di Paroki Sumber dan sepertinya Romo menangkap suatu keprihatinan dengan rusaknya lingkungan di sekitar Merapi yang kalau dibiarkan akan berdampak buruk pada dunia pertanian, karena daerah kami kedalaman satu meter sudah pasir. Kemudian Romo membentuk kelompok kecil 20 orang, saya salah satunya, yang kemudian setiap satu minggu sekali kumpul, namanya “Semut Merapi” yang kemudian membuat gerakan mencintai lingkungan hidup, menentang penambangan pasir dengan alat berat yang dijembatani oleh sebuah lembaga FORCIBA (Forum Cinta Bangsa). Tetapi karena situasi memanas, beberapa dari kami menjadi target tebasan pedang, kemudian Romo mengubah gerakannya, Menjadi Gerakan Masyarakat Cinta Air (GMCA) yang semakin meluas ke semua lapisan masyarakat.

Kemudian pada tahun 2001 Paroki Sumber mengadakan Gelar Budaya Merapi, berupa pentas seni yang ada di Lereng Merapi dan Dialog Budaya dan mengundang beberapa tokoh besar di antaranya Bapa Uskup Ign. Suharyo, Pr, Cak Nun, Pak Tanto Mendut (Seniman), dari Vulkanologi, dan DPRD. Kemudian Keuskupan Agung Semarang mengembangkan Pastoral Budaya di Paroki Sumber, yang memihak budaya petani, Misa Budaya, Natal Tani, Gerakan Caping Merapi, yang melibatkan berbagai keyakinan dan tokoh masyarakat, juga membentuk Tim Edukasi Iman berbasis Alam dan Budaya Edukasi Gubug Selo Merapim (EGSPI) dan Edukasi Tuk Mancur, yang mendampingi Live In yang belajar di Merapi. Enam tahun ini sudah sekitar 10 ribu lebih datang ke Merapi. Dari berbagai paguyuban, sekolah-sekolah Katolik, Negeri, Muhammadiyah, dari tingkat SMP hingga Perguruan Tinggi, dari berbagai kota di Indonesia hingga luar negeri. Dengan harapan generasi yang akan datang lebih menghargai Alam Kebudayaan Pertanian, khususnya Air, apapun profesinya. Dan membangun persaudaraan antara kota dengan desa, hingga dengan banyaknya saudara-saudara dari kota yang datang ke Merapi membuat kami bangga, dan martabat kami para petani Ndeso terangkat karena punya banyak saudara dari kota. Tidak sedikit yang masih berhubungan lewat telepon hingga datang bersama keluarga pada waktu liburan.

Sekarang Paroki Sumber dan masyarakat Merapi mulai menuai hasil dari 10 tahun Pastoral Budaya. Hubungan antara umat beragama menjadi semakin harmonis, hingga menumbuhkan sikap kecintaan masyarakat dengan Alam Merapi, yang diwujudkan dalam sebuah PERDES (Peraturan Desa) tentang lingkungan dan tidak lagi dikeluarkannya ijin penambangan pasir dengan alat berat. Mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat mengelola sampah plastik di tingkat keluarga dan sikap menghargai “yang kecil” dengan pengumpulan uang receh di tingkat keluarga yang sudah berjalan sekitar tiga tahun untuk pembangunan gedung Gereja.

Saya pribadi menjadi sadar bahwa hidup saya tidak bisa lepas dari alam, khususnya Air yang sudah lebih dulu ada sebelum yang lain diciptakan seperti yang tertulis dalam Kitab Kejadian (Kej. 1:1-2). Sebagai sumber kehidupan bagi semua makhluk yang hidup di muka Bumi ini, yang harus kita cintai dan kita jaga kelestariannya demi kelangsungan kehidupan semua makhluk, sebagai sikap Iman dalam mewartakan Kasih Allah. Juga membuat saya bangga, tidak lagi minder sebagai petani Ndeso. Karena profesi petani itu tidak lebih rendah dengan profesi yang lain, karena sebagai produsen yang mensuplai bahan makanan bagi semua orang. Dengan pendidikan saya yang rendah, Pastoral budaya juga menjadi sarana saya, belajar tentang arti hidup dan menambah wawasan, hingga beberapa kali saya dikasih kesempatan oleh Keuskupan Agung Semarang dalam TEPAS (Temu Pastoral), dan acara Kaum Muda, juga menjadi Komite Sekolah, Ketua LPMD dan menjadi Ketua Wilayah.

Sepuluh tahun terlibat dalam proses Pastoral Budaya membela Kebudayaan Petani, lingkungan hidup, banyak tantangan yang saya hadapi. Saya merasa ini sebagai cara Tuhan menyentuh umat. Keterlibatan saya membuat saya sebagai orang desa bangga dan tidak lagi terbebani dengan masa lalu saya. Saya hanya berharap kepada semua pihak agar lebih mencintai Alam ini dan Kebudayaan Petani, dan Gereja menjadi teman kami memihak Kebudayaan Petani, supaya ke depan generasi kami terbebas dari sebuah sistem yang tidak adil.*** Penulis: Benedictus Gimin Setyo Utomo, Paroki Sumber – Keuskupan Agung Semarang

Rangkuman Sidang Dewan Imam (Baruga Kare, 16–18 November 2010)

Sidang Dewan Imam tanggal 16-18 November 2010 membahas topik/materi utama tentang pendidikan calon imam. Selain topik/materi utama tersebut, sidang juga mengagendakan: laporan lanjutan Panitia Sinode Diosesan KAMS 2012, informasi tentang SAGKI 2010, hasil Sidang Pleno Tahunan KWI 2010, informasi dari Pengurus Unio Nasional dan informasi dari Kevikepan Sulawesi Tenggara tentang rencana masuknya tarekat baru ke Kevikepan ini.


Dalam pembahasan topik/materi utama, sidang diawali dengan informasi dari ketiga jenjang seminari (SPC-TOR-SAM-diwakili oleh pastor rektor masing-masing jenjang, bersama Bpk. Yan Kedang) dan masukan dari Yayasan Petrus Claver Makassar (YPCM). Sidang menegaskan kembali bahwa seminari adalah lembaga pendidikan calon imam.

Beberapa poin yang menjadi rekomendasi dari sidang ini adalah:

1. Komisi Seminari membentuk team kecil untuk mempelajari penting tidaknya mempertahankan KPB dan membuka kembali jurusan IPA-IPS serta kemungkinan mengirim calon ke seminari tinggi lain. Team ini diharapkan sudah terbentuk sebelum tanggal 25 Desember 2010.

2. Komisi Seminari bersama Pengurus Yayasan Petrus Claver Makassar (YPCM), dan staf SPC merekrut tenaga guru purna waktu bidang Bahasa Indonesia, IPS, IPA untuk SPC yang diharapkan sudah mulai terlaksana sebelum tahun ajaran baru 2011/2012.

3. Dalam rangka peningkatan mutu siswa, selain dengan mengangkat guru purna waktu, SPC hendaknya:

a. menyampaikan informasi waktu test masuk SPC lebih awal,

b. menghidupkan kembali tour seminaris ke paroki dan membangun aneka relasi (seminari – paroki, seminari – keluarga, seminari – donatur).

4. Komisi Seminari bersama Pengurus YPCM dan staf SPC mengembangkan mutu guru dengan mengupayakan peningkatan kompetensi guru yang sudah ada misalnya dengan diklat.

5. Staf SPC dan TOR bersama kevikepan terkait mengupayakan secepat mungkin pengadaan tenaga pmbimbing rohani. Tenaga yang tersedia untuk ketiga jenjang seminari, baru satu imam, yaitu P. Stef Chandra. Untuk itu para pastor yang telah ditunjuk dan bersedia menjadi pembimbing rohani diharapkan datang pada hari tertentu untuk memberi bimbingan rohani para seminaris di SPC, khususnya kelas 3 – KPA, dan Tahun Rohani.

6. Segenap keluarga kristiani, pastor paroki dan komisi di tingkat keuskupan (Sekami/KKI, Komisi Kerasulan Keluarga, Komisi Kepemudaan, Komisi Liturgi) menggalakkan Promosi Panggilan karena mereka adalah promotor panggilan. Promosi juga bisa dilakukan melalui brosur, pengumuman lisan oleh pastor paroki, atau melalui wadah-wadah pembinaan di paroki (misalnya PPA, Bina Remaja, Sekami).

7. Dalam rangka menjadikan SPC sebagai rumah singgah dan tempat menginap bagi para Frater dan Pastor, maka:

a. Untuk jangka panjang, BP3 KAMS segera mengusahakan rehabilitasi bangunan seperlunya;

b. Untuk jangka pendek, diharapkan para pastor dan frater sesering mungkin berkunjung ke seminari.

8. Uskup dan Dewan Konsultor membuat rencana jangka panjang tentang pengadaan dan periode penempatan tenaga formator imam.

9. Komisi Seminari KAMS bekerjasama dengan Ekonom ketiga jenjang (SPC-TOR-SAM) dan Ekonom KAMS menggodok rencana anggaran belanja rutin seminari.

Sidang Dewan Imam juga menghimbau:

1. Pengurus UNIO KAMS demisioner segera membentuk kepengurusan UNIO KAMS yang baru.

2. Sebagai tindak lanjut rencana pembangunan kapel SPC, Komisi Seminari akan menyerahkan nama-nama yang diusulkan masuk panitia baru paling lambat bulan Januari 2011.

3. Dalam rangka memperingati 50 tahun Hierarki di Indonesia tanggal 3 Januari 2011, untuk tingkat keuskupan akan dirayakan Uskup bersama umat dalam misa di Gereja “Hati Yesus Yang Mahakudus” Katedral pada hari Minggu tanggal 16 Januari 2011; begitu juga pada hari yang sama tsb., untuk tingkat kevikepan/paroki, akan dirayakan masing-masing vikep/pastor paroki bersama umat dalam misa di salah satu gereja.

Makassar, 18 November 2010

Mgr. John Liku-Ada

Uskup Agung Makassar

Pengalaman dan Tanggapan Dua Peserta SAGKI 2010 Utusan KAMS

Ernytha A. Galla’:
Sebagai salah seorang awam dari Kevikepan Toraja Keuskupan Agung Makassar (KAMS), mendapat kesempatan mengikuti Sidang Agung Gereja Katolik (SAGKI) 2010 tersebut sungguh sangat bersyukur kepada Tuhan dan berterimakasih kepada Keuskupan Agung Makassar, Bapa Uskup, Bapa Vikep Toraja yang telah mengutus saya menghadiri pertemuan akbar dan agung tersebut. Pertemuan yang memberikan kelimpahan sahabat, informasi, pengalaman dan kisah-kisah yang dapat saya ceriterakan kepada keluaga, sahabat dan umat di Keuskupan Agung Makassar khususnya di Kevikepan Toraja berkaitan dengan tugas perutusan Gereja Katolik Indonesia dalam pergumulan imanku sebagai umat Katolik baik dalam masalah sosio budaya, sosio religius dan sosio ekonomi untuk mengenali dan menemukan Wajah Yesus.

Kebersamaan dengan Romo Kardinal, bapa Uskup, para Pastor, para Suster, dan para awam utusan Keuskupan-keuskupan di seluruh Indonesia dalam suatu masa atau waktu, lokasi dan acara yang diatur sama mulai dari pagi hingga malam hari bagi semua peserta: memberikan warna suasana yang sangat menyejukkan hati mengobarkan semangat. Keakraban yang terjalin di antara peserta SAGKI 2010 sejak pertemuan di Klender, maupun di wisma Kinasih-Bogor, kemeriahan perayaan ekaristi dan acara pembukaan seperti tampak pada detik-detik pembukaan dan misa penutup, semangat dan keseriusan serta keaktifan mendengar dan bertanya tentang narasi para penceritera baik pada narasi publik maupun dalam narasi kelompok sesuai subtema yang diangkat setiap hari; refleksi-refleksi teologis yang meneguhkan, suasana tenang dan sakral perayaan iman setiap hari dan kegembiraan dalam pentas seni budaya setiap malam sebagai acara penutup, canda dan tawa di ruang istirahat, pendopo atau depan kamar tidur peserta, semuanya mengungkapkan kelimpahan, sukacita, kegembiraan sebagai bagian dari Kabar Gembira Keselamatan Gereja Katolik Indonesia.
Ia Datang Supaya Mereka Mempunyai Hidup dan Mempunyainya dalam Kelimpahan. Kelimpahan sungguh hadir dalam pertemuan ini, Kelimpahan dalam budaya yang ditampilkan perserta sesuai dengan daerah asal masing-masing baik melalui atribut-atribut daerah yang digunakan setiap hari, lagu dan tarian dalam perayaan ekaristi harian, pentas seni budaya yang ditampilkan kelompok-kelompok yang diberi tugas tampil. Kelimpahan dalam kisah yang dituturkan oleh narator-narator publik maupun narasi kelompok mengantar mengenal dan menemukan wajah Yesus yang sungguh kaya dan murah hati.

Metode Narasi yang digunakan dalam SAGKI 2010 sangat menarik. Saya teringat dengan narasi berupa dongeng yang biasa dipakai kakek nenek dulu selain pengantar tidur anak cucunya juga untuk ajang menanamkan nilai-nilai dan moral kehidupan dalam relasi dengan Tuhan, alam dan sesama mahluk agar tercipta keselarasan, keharmonisan, ketentraman, kemakmuran dan kesejahteraan bagi manusia dan supaya manusia terhindar dari segala bentuk malapetaka, maka terjadilah pewartaan tentang Tuhan yang Maha Baik.

Metode Narasi dalam SAGKI memberikan suatu bentuk pewartaan yang mudah dan dapat dilakukan oleh banyak orang. Dengan bernarasi, sesungguhnya kita telah menjadi narasumber suatu pertemuan, termasuk dalam pewartaan kabar Gembira Keselamatan. Setiap orang memiliki pengalaman, kisah dalam mengenal dan menemukan wajah Yesus dalam segala bidang kehidupannya, baik dalam ragam budayannya, hubungannya dengan agama lain, ataupun di tengah kehidupan dengan sesama yang lemah ekonominya, miskin, tertindas dan terpinggirkan. Kisah tersebut akan merupakan kesaksian imannya yang dapat di ungkapkan atau diceriterakan kepada orang lain. Dengan demikian, pengungkapan kisah seperti itu dapat membuka mata dan hati orang lain untuk melihat kehadiran Tuhan, mengenal dan menemukan wajah Yesus yang memberi hidup dalam kelimpahan. Metode narasi dapat menghasilkan kelimpahan pewarta-pewarta kabar gembira keselamatan dalam Yesus Kristus di Keuskupan, paroki, dan stasi serta rukun yang ada di dalam wilayah Indonesia, sehingga Gereja Katolik di Indonesia semakin kelimpahan pewarta kabar gembira keselamatan sebagaimana tugas panggilan perutusannya.

SAGKI 2010 selain menghadirkan artis ibukota seperti Mayong (MC pada acara pembukaan), seniman budayawan Adi Kurdi, juga menampilkan aktor dan artis di bidang seni budaya dari daerah yang tampil dalam acara pentas seni budaya setiap malam dari Keuskupan-Keuskupan termasuk dari utusan KAMS. Pentas seni budaya dari Keuskupan-Keuskupan disesuaikan dengan subtema harian SAGKI 2010. Pentas seni budaya dari KAMS disesuaikankan dengan sub tema tentang kemiskinan dan masalah ekonomi. Kisahnya adalah ceritera tentang “SAREDADI”.

Saredadi itu adalah seorang gadis yang terlahir tidak sempurna atau cacat dan miskin, namun demikian ia juga ingin melakukan apa yang orang banyak dikampungnya lakukan seperti memberi persembahan pada dewata (diperankan Pastor Marsel L.T.) tetapi ia tidak diperkenankan oleh orang kaya (diperankan Petrus Tandilodang) karena dianggap dewata tidak akan menerima persembahan Saredadi. Saredadi bersedih lalu datang dewata menghibur dan memberikan padi tiga bulir kepada Saredadi untuk ditanam. Lalu ia melakukan apa yang dipesankan dewata, yakni menanam padi tersebut dan hasilnya berlimpah. Saredadi menyuruh pekerja-pekerjanya (Sr. Maria JMJ dari Toraja, Yustina Bittikaka dan Evi Paternus dari Kendari, Fransiska dari Makassar dan Paulus Pabubung dari Luwu serta P. Victor Patinggi) membagi-bagi padi/berasnya kepada orang banyak (Paduan Suara PUKAT di Jakarta dibawah Pimpinan Ibu Luci Palentek dan Tari Pa’gellu’ dari anak-anak kecil PUKAT) dilengkapi dengan penegasan Narasi P. John Manta’. Ceritera yang dilakonkan ini sangat menegangkan bagi saya sebagai pemeran Saredadi, karena tidak punya pengetahuan tentang seni peran, tidak PeDe tampil dengan postur tubuh subur yang kontradiksi dengan kondisi Saredadi yang miskin namun akhirnya dapat menyampaikan pesan bahwa dalam kelemahan, kemiskinan dan kekurangan, Tuhan melimpahkan hartanya bagi orang yang selalu mencari dan berharap belaskasih Tuhan.

Mengenali dan menemukan wajah Yesus dapat terjadi dalam berbagai peristiwa. Ia datang membawa kabar gembira. Beragam budaya, agama dan kepercayaan serta kondidi ekonomi memperlihatkan bahwa Tuhan sungguh kaya dan murah hati; Ia menyerahkan semua itu kepada kita untuk dikelola dengan baik agar kita hidup dan mempunyainya dalam kelimpahan.

Petrus Tandilodang:
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia merupakan momentum dimana umat Katolik Indonesia merefleksikan tugas dan panggilannya dalam masyarakat. Pada tanggal 1 – 5 November tahun 2000, Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia digelar yang dikaitkan dengan perayaan Yubileum agung tahun 2000 menyongsong milenium III dengan tema “memberdayakan kelompok basis menuju Indonesia Baru”. Melalui pendekatan Gereja yang mendengarkan Gereja Indonesia berharap kehidupan umat dapat tumbuh semakin utuh yang dengan demikian impian Gereja yang kontekstual dapat diwujudkan. Arah SAGKI tahun 2000 tersebut masih diteruskan kembali dalam SAGKI tahun 2005 dengan tema “Bangkit dan Bergeraklah”. SAGKI tahun 2005 mengajak untuk bangkit dan bergerak dalam upaya membentuk keadaban publik baru bangsa.Komunitas-komunitas basis yang dikumandangkan dalam SAGKI tahun 2000 diharapkan menjadi gerakan yang berorientasi ke depan untuk mengembangkan kehidupan bangsa yang semakin beradab. Pembentukan keadaban publik tersebut mencakup seluruh bidang kehidupan entah politik, ekonomi, sosial, hukum, agama dan sebagainya. Karena itulah SAGKI 2005 memunculkan masalah tentang ketidakadaban yang dipandang mendesak untuk diatasi bersama. Dengan demikian SAGKI tahun 2000 dan tahun 2005 arahnya dalam arus arah perutusan gereja yakni mewartakan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam kehidupan umat Katolik di tengah masyarakat.

Untuk menegaskan kembali perutusan Gereja maka SAGKI tahun 2010 mengambil tema "Ia datang supaya semua memperoleh hidup dalam kelimpahan" (bdk. Yoh. 10:10). Dengan tema ini peserta yang merupakan utusan dari keuskupan-keuskupan berkumpul untuk merayakan dan menegaskan kembali panggilannya. Tema-tema yang digeluti selama sidang adalah : (1). Berkisah tentang pengalaman iman sebagai orang Katolik yang bergumul dalam konteks kebudayaannya. Atau dengan ungkapan lain “ mengenali wajah Yesus dalam keragaman budaya. (2). Berkisah tentang pengalaman iman dari agama lain dalam pergaulannya dengan orang Katolik. Atau dengan rumusan lain mengenali wajah Yesus dalam dialog dengan agama dan kepercayaan lain. (3). Berkisah tentang pergumulan iman orang-orang yang mengalami proses marginalisasi dan yang memperjuangkan hak orang-orang miskin dan dalam kondisi tidak berdaya. Atau dengan kata lain, mengenali wajah Yesus dalam pergumulan hidup kaum mariginal dan terabaikan.

Suasana SAGKI 2010
Meskipun hujan mengguyur kota Bogor sejak siang namun suasana SAGKI 2010 pada hari pertama sungguh menampakkan kesatuan dalam keberagaman. Menjelang perayaan ekaristi pembukaan, kesatuan dalam keberagaman nampak jelas dari pakaian adat yang dipakai masing-masing peserta. Dari keragaman tersebut mengingatkan kita disatu pihak bahwa Indonesia kaya dengan berbagai ragam etnis, budaya dan tradisi. Di lain pihak memperlihatkan bahwa betapa iman Katolik mampu menerobos sekat-sekat perbedaan etnis, bahasa, budaya dan karakter. Hal ini sangat membahagiakan dan menjadi kekuatan Gereja Katolik Indonesia. Dikatakan membahagiakan karena ternyata iman Katolik tidak menghapus adat dan budaya tetapi justru melestarikan apa yang baik dalam budaya dan adat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai iman Katolik.

Bukan hanya pada saat perayaan ekaristi nampak keragaman dalam Gereja Katolik tetapi juga pada hari-hari selanjutnya. Setiap malam sebagai kegiatan penutup hari selalu ditutup dengan pentas budaya dari keuskupan-keuskupan di seluruh Indonesia. Setiap keuskupan menampilkan kebudayaan masing-masing. Keuskupan Agung Makassar misalnya menampilkan drama Kisah Saredadi, tari pa’gellu’ dan koor Tomepare yang dibawakan umat Katolik dari keuskupan Agung Makassar yang berdomisili di Jakarta.

Mengenali Wajah Yesus
a. Mengenali wajah Yesus di dalam keragaman budaya
Pada hari kedua SAGKI peserta mendalami tema : Mengenali wajah Yesus di dalam ragam budaya. Sebagai narator publik ditampilkan seorang ibu rumah tangga, Maria Florida Bunga Makin. Ia seorang yang sangat bersahaja dan sederhana namun semangat perjuangannya dalam melukis wajah Yesus di tengah kaum tergusur yang tinggal di rumah liar (ruli) di Batam adalah semangat juang 45. Dalam narasinya ia menuturkan padang gurun kehidupannya yang kadang sulit dia mengerti. Dua kali keluarganya digusur karena mereka tinggal di ruli. Dia seorang ibu rumah tangga dengan penghasilan suami yang terbatas sebagai karyawan galangan kapal dan dia sendiri jualan rokok di tempat suaminya bekerja untuk menambah tambahan pengahsilan suaminya. Yang amat menarik adalah bahwa dalam keterbatasannya ia masih punya hati untuk jiwa-jiwa kaum tergusur yang hidup di ruli. Ia berjuang bukan hanya untuk hidup keluarganya tetapi juga berjuang memenagkan jiwa-jiwa bagi Yesus. Komunitas basis yang dibangunnya tidak membedakan atara warga ruli dan warga perumahan Batam.

Lain halnya dengan seorang seniman dan budayawan, Adi Kurdi. Adi Kurdi sering diundang untuk membuat pementasan berkaitan dengan Gereja. Menurut dia, dalam setiap pementasan ia selalu menampilkan sejarah dan inspirasi. Ia menekankan bahwa wajah iman Katolik tidak selalu hadir dalam kalangan orang Katolik saja tetapi juga hadir dari orang non Katolik. Ia menekankan pendidikan yang berketrampilan sehingga melahirkan manusia-manusia yang terampil dalam bidang ekonomi, sosial, dan juga budaya. Penceritera lainnya adalah ibu Hendrika (profil dan kisahnya juga dimuat dalam edisi ini).

Dalam narasi kelompok 33 dimana saya sebagai anggota, terungkap bahwa ada nilai-nilai budaya yang searah dengan nilai-nilai Kristen, ada yang bertentangan dan adapula yang abu-abu. Sulit diidentifikasi apakah menampilkan wajah Yesus atau tidak.

Semua narasi yang terungkap baik dalam narasi publik maupun kelompok dipertegas dengan refleksi teologis. Dalam refleksi tersebut dipaparkan bahwa Allah sudah hadir dalam setiap kebudayaan kita. Allah hadir dalam manusia ciptaannya dan mengkomunikasikan diriNya dalam bahasa lokal. Kehadiran Allah dalam setiap peristiwa keselamatan secara turun temurun untuk mendukung budaya setempat. Tuhan Yesus hadir dalam setiap kehidupan orang per orang, bahkan bagi orang non Katolik. Wajah Yesus tampak sebagai gembala, inspirator, pengasih tanpa syarat, yang mengampuni, pencari domba yang hilang.

b. Mengenali wajah Yesus dalam dialog dengan agama dan kepercayaan lain.
Sangat menarik dalam tema ini dibawakan dalam narasi. Baik oleh narator publik maupun narasi dalam kelompok. Dalam narasi kelompok muncul berbagai pengalaman berinteraksi dengan masyarakat non-Katolik. Ada yang ekstrim, moderat, saleh sampai yang asal-asalan atau artifisial belaka. Misalnya dari Weetebula, mengalami kesulitan dengan peraturan jam malam kepala desa pada bulan Mei dan Oktober sehingga menyulitkan orang Katolik untuk berdoa Rosario dari rumah ke rumah. Lain halnya di Palangkaraya. Tetangga muslim datang memberi selamat Natal tanpa ucapan selamat tapi hanya salaman. Hal ini karena ada anggapan teman-teman muslim bahwa mengucapkan “ selamat natal” berarti mengakui bahwa nabi Isa Almasih adalah Tuhan. Sehingga ketika tetangga berkunjung hanya bersalaman saja tanpa ucapan. Lain halnya di Sintang, wajah Yesus yang mungil ditemukan secara sederhana dalam jabat tangan.

Apapun situasinya dalam interaksi dengan masyarakat non Katolik, nilai yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa kita bisa belajar dari siapa saja dalam hal beriman. Dari orang pandai dan orang sederhana yang dari kegelapan, juga dari komunitas lain. Yesus memberi teladan bahwa kita bisa belajar dari orang kafir, “ iman sebesar ini belum pernah dijumpai dari orang Israel”. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah dikotomi dalam masyarakat. Kadang lebih menekankan kesalehan kultis jauh lebih baik dari saleh sosial. Orang yang merasa diri saleh secara kultis lalu menganggap orang lain kafir. Dengan demikian terjadi marginalisasi terhadap kumunitas lain. Oleh sebab itu maka kita harus menjaga keseimbangan antar urusan sosial dan urusan kultis. Seperti kata Yesus “ yang kukehendaki adalah belas kasihan bukan persembahan”. Warna-warni relasi antar komunitas beriman hendaknya dalam kerangka saling belajar, penuh persaudaraan dan saling mengasihi. Oleh karena itu sebagai hasil SAGKI 2010 adalah kita perlu lanjutkan aksi relasi dengan umat beragama lain dan membentuk paguyuban lintas iman. Spiritualitas dialog disemangati dengan kerendahan hati. Mohamad Sobary (lebih jauh tentang profil dan isi hatinya dapat dibaca dalam edisi ini) bangga dapat bergaul dengan orang Katolik yang umumnya menampilkan wajah Yesus yang sedeerhana dan rendah hati.

Wajah Yesuspun tampak dari orang Katolik yang mau belajar, tepat waktu, tekun, santun dan tidak takut imannya luntur ketika berinteraksi dengan agama lain kata Bhiksu Pannyavaro. Selama penderitaan masih ada di dunia maka ada panggilan untuk mengurangi penderitaan orang lain. Bila ada kelaparan kita jadi makanan. Bila ada kehausan kita jadi minuman. Bagi rato Marapu, Gereja katolik adalah terang. Ia mengakui diri masih ada dalam kegelapan. Namun ia kerap heran mengapa banyak kerabatnya yang sudah Katolik tidak ke Gereja saat hari minggu. Tersesat di dalam terang mengutip sambutan menteri agama, Suryadharma Ali pada acara pembukaan.

c. Mengenali wajah Yesus dalam pergumulan hidup kaum marijinal dan terabaikan
Pada hari keempat narator publik yang tampil mempresentasikan narasinya adalah Benediktus Gimin Setyo Utomo (profil dan narasinya dimuat juga dalam edisi ini). Narator publik lainnya, Maria Mediatrix Mali dari Maumere. Dalam paparan narasinya, Mediatrix menyampaikan bagaimana perjuangannya membela hak hidup anak-anak. Ia banyak berjuang dalam pemulihan gizi anak, pendidikan anak dan rehabilitasi anak-anak cacat. Ia mendirikan sekolah TK, SD dan SMP. Semuanya itu dia lakukan dengan satu keyakinan bahwa semua anak punya hak hidup. Bila anak tidak mampu menolong dirinya lepas dari penderitaan hidup, maka saya harus terlibat melepaskan penderitaan anak-anak.

Narator publik tanah Papua, Romo John Bunay, Pr., akrab disapah Bapa John para peserta SAGKI, juga memparkan narasinya sebagai pembela Kaum mama Papua yang tidak mendapatkan tempat yang layak berjualan di pasar. Dia terinspirasi dari perjuangan mamanya untuk menyekolakannya. Perjuangannya membela kaum mama Papua telah memperlihatkan hasil dengan dibangunnya pasar tradisional untuk kaum mama Papua.

Disamping narasi publik sebagaimana tersebut di atas juga ada narasi-narasi pribadi dalam kelompok. Semuanya dimaksudkan untuk semakin memperkaya pengalaman mengenali wajah Yesus dalam diri orang miskin.

Dalam refleksi teologis, baik narasi publik maupun kelompok mendapat penegasan.Refleksi teologis bahwa pribadi miskin adalah pewahyuan wajah Allah. Ketidakadilan structural melahirkan kemiskinan structural. Proses pemiskinan mencederai citra Allah. Metacardia dalam mengenai hati manusia agar bias berbelaskasih. Pribadi miskin adalah pewahyuan Allah. Tindakan yang harus dibuat adalah menimbulkan kepekaan dan kesadaran tentang struktur sosial yang memiskinkan dan pola pikir yang harus ditransformasikan untuk menelaah sistim sosial.

Yesus mengajarkan kepada para rasul, ketika melihat orang lapar sedang mengikuti mereka, “ beri mereka makan “.

Penutup/Refleksi Pribadi
Apa yang mau dicapai oleh SAGKI 2010 dengan mengenali wajah Yesus melalui metode Narasi sebagaimana dipaparkan di atas? Kiranya yang mau dicapai menurut hemat saya adalah pertama, Gereja yang anggotanya saling menguatkan dengan menarasikan apa yang menjadi pengalaman peserta dalam tiga wajah Yesus. Kedua, tumbuhnya kesadaran bahwa anggota Gereja bukan hanya hirarki. Kesadaran ini pada waktunya akan mengarah secara spesifik pada evangelisasi pribadi dari setiap peserta. Yesus akan dikenal bukan sekedar nama atau pribadi-Nya tetapi karya-karya-Nya. Dia akan dikenal sebagai individu yang aktif membantu manusia. Yesus akan dihadirkan oleh para peserta di keuskupan masing-masing bukan hanya nama atau pribadi semata tetapi menghadirkan Yesus dalam karya-karya lokal, dalam budaya setempat, agama lain serta kaum miskin dan marginal.***