Sinode diosesan KAMS telah berlangsung pada 27-31 Mei 2012. Tanggal 8 Oktober 2012, hasil final Sinode yang sudah disahkan Uskup dikirim ke semua komisi/organisasi/paroki/yayasan/ komunitas/kategorial, dengan arahan “agar segera memberikan tindaklanjut dengan gencar melakukan sosialisasi dan merumuskan penjabaran konkritnya ke dalam program aksi nyata melalui sebuah lokakarya”. Selanjutnya diberi target waktu sbb: “Dihimbau kepada masing-masing kevikepan dan segenap unit terkait agar perumusan program aksi nyata diupayakan sudah selesai sebelum akhir tahun 2012 sehingga memasuki awal tahun 2013, hasil Sinode KAMS 2012 (visi, misi, strategi dan program, aksi nyata) berstatus siap dijalankan”.
Tiga bulan seusai sinode, Uskup KAMS membentuk “Tim Pendamping Hasil Sinode”, terdiri dari 9 orang yang merepresentasikan kelima kevikepan serentak ketiga komponen konstitutif Gereja: Pastor/Hirarki, Biarawan/ti, Awam. Tulisan ini mengelaborasi beberapa pokok penting dan krusial dari rapat-rapat Tim-9, baik rapat internal maupun bersama dengan Uskup, para Vikep, Komisi-komisi dan Tim-25 KAMS serta Tim Gerbu (Gerakan Seribu).
Ada Terang, Meski Tak Benderang
Di tahun 2012, tiga kevikepan (Luwu, Sultra, Sulbar) sudah melangsungkan lokakarya program sesuai arahan Pimpinan KAMS. Kevikepan Makassar mencoba menyusun program melalui pertemuan/rapat rutin. Di tahun yang sama, paling kurang ada 3 komisi/”kevikepan” yang masuk catatan Tim-9 sebagai yang paling awal mengimplementasikan hasil-hasil Sinode. Komisi PSE/CU, yang bahkan sudah siap sebelum Sinode, sudah menjabarkan hasil sinode di bidang ekonomi ke dalam program-program yang mulai dirasakan umat, karena bisa cari dana sendiri dan sudah menerapkan pola kerja manajerial. “Kevikepan Anging Mammiri” (istilah Rektor AM RD.Petrus Bine’ dalam rapat Dewan Imam) Yogyakarta, langsung menjadikan rumusan visi-misi sinode sebagai sumber tema-tema rekoleksi dan pembinaan para calon imam. Komisi Kerawam bekerjasama dengan Tim-25 KAMS melaksanakan TOT untuk wakil-wakil paroki di Baruga Kare, 2-4 November 2012, menggunakan buku “12 Modul Pendidikan Politik Umat Basis”. Kemudian, sepanjang tahun 2013, Komisi Liturgi dan Komisi Keluarga mengadakan pelatihan-pelatihan di kevikepan. Kerawam bersama Tim-25 dan ISKA DPD Sulsel mendiskusikan langkah-langkah strategis-taktis menyiapkan umat untuk pilleg dan Pemilu 2014. Tim-kerja gabungan dari tiga unit-kerja ini juga meng-organize pertemuan lintas Depas bahkan rukun-rukun sekevikepan Makassar menjelang pilleg 2014, sebagai upaya konsolidasi umat.
Jadi, di tingkat keuskupan dan kevikepan ada beberapa titik terang, meski belum benderang. Dari tingkat paroki dilaporkan, Paroki Makale mengundang Ketua Tim-9 untuk sosialisasi Sinode, dan Paroki Katedral menyelenggarakan lokakarya program untuk menjabarkan rumusan-rumusan hasil Sinode. Bagaimana gema Sinode dari paroki-paroki lain?
“Pastor Sentris” dan “Messi Dependent”
Istilah “pastor sentris” pertama-kali muncul dari floor dalam Rapat Dewan Imam, 22 Mei 2013. Menanggapi laporan tertulis Tim-9 yang mengevaluasi lambannya implementasi sinode, dikatakan “…umat kita umumnya amat bergantung pada Pastor. Semua mesti menunggu kata akhir dari Pastor paroki baru bergerak”. Sejak itu istilah “pastor-sentris” seolah menjadi refrein dalam rapat-rapat Tim-9. Notulen rapat 8 Juni 2103 mencatat: “Mentalitas Pastor-sentris kembali muncul sebagai kendala yang begitu dominan. Meskipun umat sudah berinisiatif tetapi Pastor paroki tidak mendukung, semua percuma. Meski umat siap-sedia bekerja tetapi Pastor paroki tidak menyetujui atau mendelegasikan tugas, tidak akan terjadi apa-apa. Pastor paroki begitu menentukan, hingga Vikep pun tidak berdaya, bahkan mulai ‘menyangsikan’ kompetensi dan otoritasnya sebagai Ordinaris”.
Penulis kemudian menggunakan istilah ‘Pastor-dependent’ untuk mengelaborasi ‘Pastor-sentris’. Suatu analogi dari dunia sepakbola ‘Messi-dependent’ (ketergantungan pada Messi) di FCBarcelona. Kalau Messi tidak bermain di lapangan, ada dua kemungkinan: Barcelona bermain nyaris tanpa semangat, atau justru bermain penuh semangat sebagai teamwork karena lepas dari bayang-bayang sang bintang. Kalau Messi masuk the starting eleven dan bermain baik (high performance) – sebagaimana layaknya superstar, pemain terbaik dunia pemenang Balon d’Or 4 kali berturut-turut – tidak ada kesebelasan yang bisa mengatasi. FCB pasti jadi the winner. Messi bahkan digelari Messiah alias Mesias oleh mass-media dan fans Barcelona. Tetapi ketika mainnya di bawah form (low performance), Barcelona justru jadi the loser bahkan bulan-bulanan seperti ketika dibantai 4-0 oleh Bayern Munchen di semifinal liga Champions awal Mei 2013.
Dengan analogi itu, mau dikatakan bahwa mentalitas Pastor-sentris itu positif adanya, bahkan bisa menjadi kekuatan utama Gereja dan karya pastoral paroki sejauh para Pastor memiliki kompetensi dan ‘bermain baik’ (high competence, high performance). Ada 2 jenis kompetensi: kompetensi karena jabatan, dan kompetensi karena keahlian/kemampuan dan’penguasaan’ tugas sebagai panggilan, termasuk semangat pelayanan. Pastor-sentris menjadi masalah ketika Pastor low competence atau low performance, karena berbagai penyebab dan alasan. Atau cenderung menjadi single-fighter dan solo-runner. Kalau itu yang terjadi, maka predikat ‘kekuatan utama Gereja’ bisa saja berbalik menjadi ‘kelemahan utama Gereja’! Kekhawatiran ini makin menguat setelah penulis membaca artikel berjudul Bad Managers Are Killing America’s Growth. Judul bombastis itu merupakan konklusi dari data hasil wawancara Gallup dengan 25 ribu karyawan dan sudah di-released dalam laporan berjudul State of the American Workplace. Penulis artikel itu adalah Jim Clifton, CEO Gallup – lembaga survei paling disegani di Amerika – dan penulis buku The Coming Jobs War.
Rapat bersama 28 Januari 2014 mencatat, mentalitas ‘Pastor-sentris’ berkaitan dengan struktur Depas dan mentalitas - baik mentalitas umat maupun Pastor (paroki). Tidak begitu mudah mengubah mentalitas “kepemimpinan tunggal” yang melekat dalam tradisi Gereja selama hampir 2000 tahun.
Memang harus dipahami, banyak di antara para Pastor yang merangkap banyak tugas lain (beberapa di antara tugas itu mestinya bisa dipercayakan kepada awam yang kompeten), dan setiap hari tenggelam dalam tugas-tugas rutin. Tetapi kalau kita sudah tahu bahwa mentalitas umat masih Pastor-sentris, mestinya ada pendelegasian dan pembagian tugas pada umat-awam. Tentu saja umat (awam) harus disiapkan, dilatih dan diberi kepercayaan untuk itu. Kembali pada analogi Messi-dependent. Messi menjadi penentu kemenangan tidak selalu dengan mencetak gol sendiri, tetapi dengan mengoper bola (assist) kepada pemain lain yang lebih berpeluang untuk mencetak gol (bdk: delegating). Messi sama sekali bukan pemain egois - egosentris! Kekuatannya terletak pada attitude (sikap rendah hati) dan skill mumpuni sebagai playmaker, yang berakar pada cinta dan totalitas-nya bagi sepakbola. Seorang profesional sejati yang melihat pekerjaannya sebagai vocation (panggilan hidup) serta memberi kepercayaan pada rekan-rekan se-timnya. Bagi Messi, bermain bola adalah seni yang mengalir dalam darahnya, dicintai dan dihidupi dengan pengabdian total, sehingga melahirkan imajinasi dan kreativitas di lapangan.
Resistensi dan Soal Ketaatan
Dari semua rapat Tim-9 sepanjang 2012-2014, mungkin yang paling seru adalah rapat 8 Juni 2013 bersama Uskup, para Vikep, Komisi-komisi dan Tim-25 KAMS serta Tim Gerbu (Gerakan Seribu). Ketika itu fenomena Pastor-sentris dikaitkan dengan berbagai permasalahan krusial yang muncul dari floor, khususnya soal komitmen para Pastor paroki pada Sinode dan ketaatan pada Uskup. Itu bermula dari rapat 20 April, ketika salah satu kevikepan menyampaikan “Hampir tidak ada program implementasi Sinode yang terlaksana. Di bidang politik, baru sampai pada penyebaran buku 12 modul. Para Pastor belum satu sikap dan pemahaman, ada yang mendukung, ada yang tidak mendukung. Padahal ini hasil Sinode, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus dijalankan. Ini menyangkut soal ketaatan!” Dalam rapat berikutnya, 8 Juni 2013 masalah resistensi beberapa Pastor paroki, khususnya dari mereka yang tidak ikut Sinode, muncul lagi. Resistensi itu muncul dalam berbagai wujud: memprotes rumusan visi dalam rapat/lokakarya, menuduh hasil sinode sebagai rumusan “dari-atas”, dan menolak mengirim dan membiayai peserta ke pelatihan para pengantar karena “itu kan program dari-atas, harusnya dibiayai oleh keuskupan”. Notulen rapat merekam dua pokok penjelasan dan jalan keluar.
(1) Seluruh rumusan hasil sinode diproses dari bawah, melalui pengumpulan pendapat/harapan umat basis yang kemudian diolah di tingkat paroki, dirangkum di tingkat kevikepan dan akhirnya diramu di tingkat keuskupan oleh Tim Pengarah (SC). Hasil ramuan SC itupun masih dikembalikan lagi ke kevikepan (=paroki-paroki) untuk digumuli/dikritisi dan dilengkapi dalam Pra-sinode yang dipandu SC sebelum diolah menjadi Instrumentum Laboris Sinode. Pertanyaannya: Ke mana sajakah para pengkritik itu berada selama proses panjang tersebut? Pertanyaan ini berlaku bagi para Pastor yang diundang tapi menolak ikut Sinode, maupun mereka (Pastor dan awam) yang memang tidak diundang karena bukan fungsionaris kunci. Mestinya mereka berpartisipasi dan sumbangsaran pada proses tingkat rukun, paroki atau pra-sinode kevikepan.
(2) Sinode diosesan adalah instansi tertinggi pengambilan keputusan dalam Gereja Lokal, yang dapat disejajarkan dengan Konsili di tingkat Gereja Universal. Rumusan final Sinode yang sudah disahkan oleh Uskup, mengikat seluruh dan setiap anggota Gereja Lokal tsb. Sebagai “pembantu Uskup” yang sudah bersumpah setia dan taat pada Uskupnya, setiap Pastor mestinya tahu menempatkan diri dengan benar. Memersoalkan apalagi menolak hasil Sinode sebagai produk bersama Gereja Lokal KAMS dpp Uskupnya, dapat diartikan sebagai pembangkangan atau ketidaktaatan. Maka pilihannya cuma dua: berhenti jadi Imam atau keluar dari wilayah KAMS, agar tidak menjadi batu-sandungan bagi Imam lain dan umat! Untuk itu, diharapkan Uskup lebih tegas – a.l meninggalkan bahasa yang terlalu halus “menghimbau” dalam surat pengantar Rumusan Akhir Sinode. Bila perlu memakai kata “instruksi” (meskipun itu bahasa pemerintah), karena ini menyangkut hasil Sinode yang tidak bisa ditawar-tawar, mau tidak mau harus dijalankan kalau masih mau menghayati pengakuan iman sebagai Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.
Yang Bingung pun Masih Banyak
Di samping faktor-faktor di atas, lambannya implementasi Sinode ternyata juga disebabkan oleh faktor lain. Ketika membaca rumusan akhir Sinode (Visi-Misi-Strategi dalam 8 Bidang), banyak yang masih bingung bagaimana menjabarkan strategi ke dalam program. Komisi-komisi Keuskupan, yang tidak terkait langung dengan salah satu dari 8 bidang tsb, juga ikut bingung. Padahal, kalau saja mereka membaca kembali Instrumentum Laboris (IL) Sinode, kebingungan seperti itu tidak perlu terjadi karena rumusan masalah menyangkut ke-8 bidang itu sudah disertai cikal-bakal solusi yang tinggal dirumuskan ke dalam program kegiatan. Komisi-komisi juga dapat menemukan tugas penjabaran strategi ke dalam program dengan melihat kolom terakhir dari Strategi setiap bidang: Komisi/Lembaga/Organ Pelaksana. Format panduan untuk menyusun program kerja implementasi pun terlampir dalam IL, lengkap dengan contoh yang amat jelas. SC Sinode memang sengaja merumuskan setiap masalah secara jelas dan tajam, bahkan sampai pada akar masalah lengkap dengan usul-usul solusi strategis. Ibarat main bola, bola sudah digiring sampai ke depan gawang, tinggal dijebloskan menjadi gol!
Patut disayangkan kalau ada peserta Sinode yang bahkan terkesan belum membaca IL tsb sebelum masuk arena Sinode, apalagi sesudah Sinode. Jadi, kalau tidak mau bingung dalam penjabaran strategi kedalam program, bacalah kembali IL, lalu lihat format serta contoh program di bagian lampiran. Bagi mereka yang terbiasa ikut lokakarya perencanaan strategis Komisi PSE/CU, mestinya ini pekerjaan mudah.
Terobosan Minanga dan Solusi Strategis
Di tengah ‘dinamika KAMS’ tersebut di atas, Paroki Minanga membuat satu terobosan: pendataan umat yang sangat akurat sekaligus ilmiah, menggunakan format survei yang dirancang oleh Rm.Francis Purwanto SCJ, dosen Seminari Tinggi St.Paulus Yogyakarta. Terobosan ini lahir dari inisiatif “Kevikepan” Anging Mamiri Jogyakarta bekerjasama dengan STIKPAR Rantepao yang sudah lama menyadari pentingnya pendataan umat. Hasil pendataan yang telah diolah/di-input ke dalam sistem menghasilkan Informasi Pastoral yang sangat valid. Terobosan ini kemudian diikuti oleh Paroki Nonongan. Inspirasi dari kedua terobosan inilah yang kemudian menjadi agenda utama rapat Tim-9 bersama Uskup, Vikjen, kelima Vikep dan Tim Gerbu, 28 Januari 2014 yang lalu. Rapat ini menghasilkan tiga solusi strategis yang akan didukung secara finansial oleh Gerakan Seribu. Pertama, kesepakatan semua Vikep untuk menjadikan Pendataan Umat se-KAMS sebagai prioritas bersama yang harus rampung akhir 2014. Program prioritas ini terdiri dari 4 tahap: TOT untuk utusan-utusan Paroki (rencana 13-14 Maret), pelatihan untuk pengumpul data di tingkat paroki, pengumpulan data door to door, dan pengolahan/pemasukan data ke dalam sistem. Kedua, setelah setiap paroki memiliki Informasi Pastoral hasil pengolahan data, direncanakan Pelatihan Manajemen & Kepemimpinan Pastoral untuk semua Pastor paroki (bersama Depas?). Salah satu materi utama, bagaimana menggunakan Informasi Pastoral itu untuk penentuan prioritas pastoral dan penjabarannya ke dalam program-kerja untuk ke-8 bidang hasil Sinode. Ketiga, suatu rekomendasi kepada Uskup untuk membentuk “Tim Kajian Pedoman Kerja Depas”, bahkan sekalian “Tim Perancangan/Penyempurnaan Sistem Pastoral KAMS”. Yang terakhir ini dianggap penting dan urgent sebagai solusi berbagai masalah seperti Pastor-sentris, persoalan otoritas Vikep, krisis ketaatan, struktur Depas, kecenderungan ‘jalan sendiri-sendiri’, hingga berbagai kelemahan invidual para pemimpin. Dengan demikian diharapkan ke depan semangat syn-odos (jalan bersama) yang nampak redup selama ini, kembali berkobar. *** Penulis: Philips Tangdilintin, Sekretaris Tim Implementasi Hasil Sinode
Tidak ada komentar:
Posting Komentar