Senin, 26 September 2011

Sampul Koinonia Vol. 6 no. 4

Belajar dari Empat Tahap Pembinaan Iman Gereja Perdana

PENDAHULUAN
              Sinode Diosesan ke-2  Keuskupan Agung kita, yang direncanakan berlangsung 27-31 Mei 2012, semakin mendekat. Sebagaimana sudah disampaikan, Sinode Diosesan II ini diadakan bertepatan dengan momen historis 75 tahun usia Gereja lokal KAMS, yang sekaligus juga berarti 75 tahun CICM berkarya di Indonesia. Karena itu disepakati untuk mengadakan perayaan syukur bersama Gereja lokal KAMS dan Tarekat CICM. Panitia Penyelenggara (OC) dan Panitia Pengarah (SC-Sinode) sudah dibentuk dan sudah mulai bekerja. Khususnya SC-Sinode sedang bekerja merumuskan hasil-hasil dari basis, yang sudah melalui pengolahan di tingkat paroki/unit kategorial dan di kevikepan. Sesungguhnya pertanyaan mendasar yang harus digumuli dalam sebuah Sinode Diosesan ialah, bagaimana kita sebagai Gereja lokal menjadi semakin dewasa dalam iman kepada Kristus, sehingga semakin mantap pula dalam mengamalkannya secara kontekstual ke depan. Dan ini adalah sebuah   pertanyaan kateketis.
Kebetulan juga Sidang Pleno Tahunan KWI, bulan November 2011 yang akan datang, mengambil tema: katekese. Ini kiranya menandakan bahwa para Waligereja Indonesia tetap    menyadari katekese sebagai salah satu bidang teramat penting yang harus selalu mendapat perhatian memadai dalam hidup Gereja. Ini menyegarkan lagi ingatan kita pada Sinode para Uskup di Roma tahun 1977, yang mengambil tema: Katekese. Sinode tersebut menggarisbawahi perlunya pembinaan iman Kristiani yang sistematis dan berkelanjutan. Pembinaan semacam itu tidak hanya terbatas pada anak-anak dan pada Komuni Pertama mereka. Sebaliknya, pembinaan tersebut meliputi seluruh pengalaman kehidupan Kristiani, mulai dari persiapan untuk Pembaptisan sampai kedewasaan Kristiani.
Dalam hal ini perlulah kita belajar dari sistematika pembinaan iman pada umat Kristiani awal, sebagaimana diuraikan oleh Kardinal Carlo Martini. Sebelum diangkat menjadi Uskup Agung Milano, Italia, pada Desember 1979, Pater Carlo Martini SJ, menjabat sebagai Rektor Universitas Kepausan Gregoriana, Roma; dan sebelum itu beliau adalah Rektor Institut Biblicum yang terkenal itu. Beliau dipandang banyak orang sebagai salah satu otoritas terkemuka dalam bidang Kitab Suci. Beliau mengajukan hipotese bahwa ke-4 Injil itu (Markus, Mateus, Lukas, dan Yohanes) merupakan buku pedoman pembinaan iman Kristen dalam empat tahap yang berkesinambungan: 
MARKUS, INJIL KATEKUMEN
Injil Markus memuat unsur-unsur yang hakiki untuk mengintrodusir seorang calon, yang berasal dari suatu lingkungan kafir, ke dalam katekumenat. Markus mengajar calon apa yang perlu untuk mengambil langkah pertama: langkah pertobatan. Calon dibimbing ke ambang pertobatan dengan apa yang dapat disebut sebagai “katekese pra-baptis”. Dalam Mrk. 4:11, misalnya, kita membaca: “Kepadamu telah diberikan rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang luar segala sesuatu disampaikan dalam perumpamaan”. Di sini kita menemukan proses yang digariskan injil Markus untuk dilalui katekumen. Pada kenyataannya katekumen sudah mengetahui sesuatu mengenai Gereja, sesuatu mengenai kelompok sosial ini yang menyebut diri orang-orang Kristen; dia telah mendengar pembicaraan mengenai orang-orang ini, tetapi apa yang dia tahu hanya dalam “perumpamaan”. Semua itu sedikit mengandung teka-teki dan menimbulkan rasa ingin tahu. Apa yang dia harus buat? Mengapa orang-orang ini begitu antusias? Hidup macam apa yang mereka hayati?
Nah, injil Markus bermaksud membimbing katekumen masuk ke dalam “inti” pengalaman Kristiani: “Kepadamu diberikan rahasia (atau misteri)”. Dengan lain kata, injil Markus membimbing calon melalui suatu proses yang dimulai dengan mengetahui sesuatu tentang Kekristenan, dan kehidupan Kristen, “dari luar”. Ini selanjutnya menimbulkan dalam dirinya rasa ingin tahu dan memancing banyak pertanyaan. Dan akhirnya membawa calon ke dalam kontak langsung dengan misteri Kristus yang memanggil dia ke pertobatan.
Calon lalu memulai peziarahannya, dan demikian lahirlah “jalan katekumen”. Sedangkan kita yang ada di dalam Gereja terkadang menemukannya sebagai sebuah teka-teki. Kita kurang-lebih berada di dalam Gereja, tetapi kita menghayati hidupnya separuh di luar habitus-nya. Maka “jalan katekumen” berarti beralih dari pengetahuan tanpa habitus, yang  mengaburkan makna sejati dari sesuatu, ke suatu perjumpaan langsung. Dan perlu diingat, “jalan katekumen” itu tidak hanya berlaku bagi mereka yang belum menerima air pembaptisan. Ini juga berlaku bagi mereka yang belum mengalami peralihan “dari sisi luar” ke “inti”. Selain itu, kita tidak boleh lupa bahwa, dalam injilnya Markus menekankan kesendirian total yang dialami Kristus: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:34c). Ini mengingatkan kita semua akan kesukaran-kesukaran kehidupan Kristiani kita: tidak hanya peralihan itu, dengan jalan Salib, melainkan juga kenyataan bahwa Kristus yang telah menyembuhkan begitu banyak orang sakit selalu mampu menyembuhkan dan menolong kita.
Bagaimana kita mewujudkan jalan lintasan, peralihan ini? Melalui perjumpaan dengan Allah Tuhan kita Yesus Kristus. Sebagaimana ditulis Paulus, orang kafir mengenal sekian banyak allah dan dewa-dewi. Ia hidup dalam sebuah dunia di mana “agama” merupakan sesuatu yang agak bersifat eksternal bagi dia, tidak menyentuh hati. Kini dia diundang untuk beralih dari dunia macam ini, di mana Gereja tampaknya merupakan salah satu sekte keagamaan tambahan di antara sekian banyak lainnya. Dia diundang untuk beralih dari semua ini kepada Allah Yesus Kristus, seorang Allah yang sama sekali unik.
Perjumpaan dengan Allah Yesus Kristus adalah perjumpaan dengan Yesus Kristus, Putera Allah. Karena itulah injil Markus berjudul: “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Putera Allah” (1:1). Yesus Kristus, Putera Allah, ditampilkan dalam dua jalan berbeda dalam Markus. Pertama, Dia ditampilkan sebagai Guru yang harus diikuti dengan antusias, dan kedua sebagai Injil yang harus diterima. Calon baptis harus mencapai tahap pengetahuan sebagai pengalaman hidup, “Yesus adalah Injil”. Dalam cara Dia hidup dan mati Yesus menampakkan kepada kita wajah sejati Allah. Dan perlu kita catat di sini bahwa bagian terakhir injil Markus, itu seruan kepala pasukan, mewakili seruan katekumen pada ambang pembaptisan: “Sungguh, orang ini adalah Putera Allah” (15:39).
Demikianlah injil Markus menapaki perjalanan yang mengantar orang dari seorang Allah kafir yang dapat kita kendalikan, dari seorang Allah kafir yang diciptakan dalam gambar dan rupa saya sendiri, dari suatu “berhala”, ke seorang Allah yang tak dapat kita kendalikan, seorang Allah yang sama sekali “lain”. Inilah Allah yang mendatangi kita, yang memanggil kita, yang menarik kita kepada DiriNya dan yang membantu kita membuka diri, dalam Putera-Nya, pada kehidupan sejati Injil.
Begitulah, secara sangat umum, jalan yang digambarkan Markus sebagai jalan katekumen. Sebagaimana dapat kita lihat, itu memuat semua yang hakiki bagi suatu pengantar sangat praktis ke dalam tahap persiapan untuk pembaptisan. Ini bukanlah sebuah “katekismus”, sebuah ringkasan dari apa yang harus dipelajari dan diketahui. Ia lebih merupakan sebuah pedoman praktis bagi seseorang yang bertugas mempersiapkan sekelompok katekumen menuju pembaptisan, dengan memperlengkapi dia dengan bahan yang perlu disampaikan kepada mereka.
MATIUS, INJIL KATEKIS
Injil Matius dapat dinamakan demikian, karena berdasarkan pembagiannya yang jelas dan praktis, injil ini memuat bahan yang sangat membantu bagi seorang katekis yang bertugas membimbing mereka yang sudah dibaptis ke dalam hidup Gereja. Injil Matius juga cocok disebut “Injil Gereja”, karena dalam mengantar mereka yang sudah dibaptis ke dalam hidup Gereja, kita menemukan di dalamnya banyak hal yang oleh Markus dilewatkan diam-diam. Mereka yang sudah dibaptis diantar ke dalam berbagai tahapan misteri Kerajaan, yang diungkapkan dalam 5 khotbah besar dalam injil Matius (bab-bab 5,10,13,18 dan 24). Cukuplah kita mengambil satu dua bagian yang jelas memperkuat anggapan injil Matius sebagai sebuah katekismus.
“Bacaan kunci” pertama ialah Mat. 28:20: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. Bertitik tolak dari sini, kita dapat membaca ulang seluruh injil Matius dan menjelaskan kepada seorang yang telah dibaptis bagaimana Yesus menyertai kita sekarang ini. Inilah suatu cara mendekati teks yang memungkinkan kita melihat bagaimana janji Kristus ini dipenuhi, diaktualisasikan, dalam hidup orang yang sudah dibaptis, dan dalam hidup Gereja.
Sebuah “bacaan kunci” lain, sejajar dengan yang baru saja dikutip, diberikan dalam bagian yang khas Matius: 25:30.31-46, khususnya ayat 35-36: “Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku”. Dan orang-orang benar menjawab, katanya: “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?” Dan Raja itu menjawab: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Kita harus dengan teliti memperhatikan kata ganti yang digunakan” “Bilamanakah kami melihat Engkau … Kamu telah membuatnya untuk Aku…”
Nah, membaca teks ini sebagai bagian dari sebuah pengajaran kateketis, apa yang kita lihat adalah suatu penjelasan yang diberikan kepada orang-orang yang telah dibaptis mengenai bagaimana mereka melihat Tuhan dalam saudari-saudara mereka, di tengah kehidupan mereka bersama dalam Gereja. “Mengetrapkan” penemuan akan Tuhan di dalam sesama ini, dalam hubungan dengan kehidupan bersama dalam Gereja, seseorang perlu dihantar untuk mengenali Tuhan dalam sabda dan dalam sakramen, dalam saudaranya, dalam orang kecil, dalam seseorang yang harus dimaafkan.
Banyak bagian injil Matius dapat dibaca dalam terang ini, sebagai inisiasi praktis ke dalam cara mengenali terus-menerus kehadiran Kristus dalam sejarah, khususnya dalam kehidupan Gereja. Dengan lain kata, Matius memperkenalkan kita dengan sebuah tatanan yang agak kompleks. Ia menyajikan kita semua kriteria, prasyarat yang perlu untuk mengenal Tuhan dalam sesama. Dalam arti ini, ia mengantar kita secara sangat konkrit ke dalam kehidupan Gereja.
LUKAS, INJIL TEOLOG
Lukas mendedikasikan baik injilnya maupun Kisah Para Rasul kepada seorang Theophilus tertentu. Siapa gerangan orang ini? Siapapun dia secara historis (“Theophilus” berarti seorang yang mencintai Allah), jelas kiranya bahwa Theophilus adalah orang Kristen yang mulai menyadari betapa jauh dan luas jangkauan komunitas Kristiani serta dampak komunitas tersebut pada dunia “luar” -sebuah dunia yang boleh jadi adalah Yahudi, Yunani atau Romawi. Tiga dunia ini semua muncul dalam Kisah Para Rasul.
Orang Kristen tersebut menyadari bahwa pengalamannya mengenai Gereja tidak hanya berupa pengalaman akan sebuah kelompok kecil orang yang saling mengerti satu sama lain dan yang mengenal Kristus. Itu juga adalah pengalaman menjadi bagian dari sebuah realitas yang membawa dampak pada dunia sekitar, yang kadangkala bereaksi positif, kadangkala tidak. Dan dengan demikian mulailah penganiayaan dan tuduhan-tuduhan, keperluan untuk membela diri dan menjelaskan diri. Dan kita tidak dapat menerangkan diri kepada orang lain kecuali, pertama, kita dapat menjelaskannya kepada diri kita sendiri serta mengisahkan sejarah kita sendiri. Lalu, secara khusus, sebuah krisis sangat berat menerpa komunitas baru yang mungil itu, persis pada akar ke-Yahudian-nya: bagaimana ia melihat dirinya sendiri dalam hubungannya dengan Yudaisme, pada janji-janji Allah dan dalam hubungannya dengan seluruh kerumitan sejarah dunia? Sedemikian itu muncullah pertanyaan bagi orang Kristen ini: Apa hubungan antara pengalaman iman yang saya miliki dalam komunitas kecil saya dengan berpegang pada aturan moral dan spiritual yang saya temukan dalam injil Matius, dan sejarah dunia yang di dalamnya saya hidup dan terlibat? Dan dunia tersebut sedemikian kompleks, ada sejarah masa lampau, agama-agama kafir, Yudaisme, janji-janji Allah; ada sejarah masa kini, dunia Yunani, dunia Romawi; ada persoalan-persoalan filsafat, sastra; dan terdapat sekian banyak masalah dan isyu-isyu kontroversial yang harus dipecahkan.
Pertanyaan-pertanyaan ini membawa ke kesadaran mendalam dan jelas bahwa terdapat sebuah Sejarah Keselamatan dan menampilkan suatu problem yang berciri khas teologis. Ini seluruhnya menyangkut persoalan memahami akar, yang tiada lain daripada soal kemungkinan agama baru itu, dan konteks yang di dalamnya ia menemukan diri. Lalu apa hubungan antara Sejarah Keselamatan itu dan sejarah dunia? “Teologi”, demikian Lonergan menegaskan, “mempertemukan antara sebuah acuan (matriks) budaya dan makna serta peran suatu agama dalam acuan tersebut” (Method in Theology, p.xi).
Kiranya inilah persis masalah yang menyebabkan penulisan injil Lukas. Injil Lukas merupakan sebuah karya yang cukup berbeda dari injil-injil lainnya. Ia mempunyai tujuan khas sendiri.
YOHANES, INJIL IMAM (PRESBYTER)
Dengan istilah “imam” di sini tidak pertama-tama dimaksudkan imam tertahbis. Kata ini di sini lebih menunjuk pada suatu keadaan senioritas, kematangan. Injil Yohanes adalah injil manusia Kristen yang sudah matang, orang Kristen yang sudah tercerahkan, penganut Kristen yang “sempurna” (“teleios”, sebagaimana dikatakan Paulus). Orang sedemikian adalah “sempurna”, bukan karena ia tidak mempunyai kesalahan-kesalahan, melainkan karena ia telah mencapai “tujuan” (“telos”), “sasaran” dari perjalanan setiap orang Kristen. Jadi ini menyangkut persoalan manusia Kristen yang telah mencapai suatu sosok tertentu. Semua gambaran ini menunjukkan bahwa orang seperti itu telah melalui banyak pengalaman pembinaan Kristiani. Ini merupakan realitas kompleks yang meliputi “pengakuan iman”, dan pengetahuan akan perintah-perintah, yang berarti orang tersebut tahu bagaimana mencintai, berdoa dan terbiasa dengan ritus-ritus peribadatan. Tidak saja bahwa manusia Kristen dewasa itu telah menapaki pengalaman-pengalaman ini. Ia juga telah menggabungkan semua itu, dan menyaringnya bagai sopi manis nan enak. Kematangan Kristiani yang kita bicarakan ini meringkaskan semua yang telah dilalui sebelumnya, membawanya berbuah, melalui pengalaman iman.
Injil Yohanes adalah persis injil yang membangkitkan dan mempersatukan semua pengalaman terdahulu manusia Kristen. Ini sebuah injil kontemplasi. Ia hampir tak memuat perintah-perintah; tidak berbicara mengenai upacara atau ritus-ritus. Ia tidak mengutip begitu banyak pengakuan (iman). “Pengakuan iman”-nya hanyalah: “Bapa memberi kita Putera”. “Pistis”, tanggapan iman, adalah imbangannya. Siapa saja yang memiliki anugerah ini mulai mencintai seperti Kristus mencintai.
Demikianlah maka kita dapat memahami mengapa Yohanes memberi kita hanya satu perintah: Kasih. Tetapi ini harus dimengerti sebagai sebuah sintese menyeluruh kehidupan. Kasih yang dimaksudkan Yohanes persis sama dengan kasih yang diberikan dalam Khotbah di Bukit dalam Matius, dengan contoh-contoh konkrit yang begitu banyak. Ini bukanlah sebuah prinsip abstrak yang daripadanya kita dapat menarik semua kesimpulan praktis. Prinsip Yohanes, “kasih”, adalah sebuah sintese – sebuah sintese kehidupan. Karena itu, ketika ia berkata: “Satu-satunya hal yang harus kita buat, anak-anakku, ialah mengasihi”, ia tahu sungguh-sungguh bahwa Gereja (umat) mengerti apa yang ia maksudkan, karena ia telah mempunyai pengalaman panjang tentang itu.
Mengambil perintah injil Yohanes – sintesis – dalam rumusan sesederhana mungkin berarti mempersatukan eksistensi Kristiani dan sejarah dunia, pada tarafnya yang paling dalam. Injil Yohanes pada hakekatnya bersifat kontemplatif, dengan mengandaikan semua taraf inisiasi yang telah dilalui sebelumnya. Ia mengundang manusia Kristen melangkah lebih lanjut dan menggapai titik akhir “pencapaian”, yang merupakan inti sari Kekristenan. Pada tahap akhir ini, kasih telah menjadi sedemikian mendalam, sedemikian penuh makna, sehingga dapat dianjurkan kepada manusia Kristen sebagai satu-satunya perintah.
   
RANGKUMAN PENUTUP
Apabila kita mempertimbangkan injil-injil sebagai buku-buku pedoman pembinaan Kristen, kita melihat bahwa mereka menampilkan tahap-tahap berurutan yang harus dilalui. Tahap-tahap tersebut sangat diperlukan bagi pengalaman Kristiani. Tahap terakhir, yang diwakili injil Yohanes, harus didahului oleh tahap-tahap yang ditampilkan dalam Markus, Matius dan Lukas. Jika tidak demikian, maka tahap terakhir itu tidak dipahami secara tepat. Kenyataannya, terdapat bahaya besar bahwa ia dapat merosot ke dalam suatu bentuk kontemplasi yang kabur, cukup menyenangkan dalam caranya sendiri, tetapi jauh menyimpang dari tujuan-tujuan konkrit injil Yohanes, seperti melayani orang sakit, perhatian terhadap sesama dan orang miskin.
Selanjutnya, tidak seorangpun dapat berkata, “Melayani saudari-saudaraku adalah cukup bagiku”. Tidak! Saya harus mengerti mengapa saya melayani saudari-saudaraku; visiku mengenai dunia dan tindakan amalku harus disatukan, diintegrasikan. Jika tidak demikian pelayanan seperti itu tidak pernah dapat menyentuh apa yang inti. Betapa heroiknya pun boleh jadi pelayanan sedemikian, ia tidak pernah dapat merupakan tindakan yang diilhami oleh kasih Bapa dan Putera, yang telah memberi sedemikian ikhlasnya kepada saya, dan kepadaNya saya memberikan tanggapan dalam kegembiraan dan kesederhanaan.
Demikianlah, upaya katekese, sebagai sarana pewartaan/pembinaan iman dalam tahapan-tahapan berkelanjutan, harus selalu memuat dua sisi: segi pengetahuan/pemahaman dan segi penghayatan/pengamalan.
Makassar, 12 September 2011
+ John Liku-Ada’
Sumber:  Carlo Martini, Archbishop of Milan, Christian Formation according to the Gospels,    PROGRESSIO, Supplement N.15, June 1980, Roma.

Hasil Pernas Komisi Liturgi KWI: Menemukan Kembali Spiritualitas Devosi

Rapat Pleno Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia yang diselenggarakan pada 18-22 Juli 2011 di Graha Wacana, SVD Family Centre, Jalan Raya Ledug 5A, Prigen, Jawa Timur. Pertemuan yang dihadiri oleh para Utusan Keuskupan se-Indonesia, para Dosen Liturgi, dan Dewan Pleno Komisi ini memilih tema: “Menemukan Kembali Spiritualitas Devosi“. Pengalaman devosi merupakan suasana yang dominan dalam kehidupan umat. Devosi membantu umat untuk mengungkapkan hubungan dengan Allah dan untuk menumbuhkembangkan iman. Namun, seringkali devosi dilakukan  semata-mata untuk menuruti perasaan pribadi tanpa memperhatikan kebenaran iman yang seharusnya terungkap di dalamnya dan tanpa memperhatikan dampaknya bagi sesama umat beriman. Selain kebutuhan pribadi umat dengan harapan bahwa Allah akan memenuhi kebutuhannya. Karena merasa puas dengan menjalankan devosi, banyak orang yang kemudian kurang menghayati dan kurang menghargai liturgi. Apalagi liturgi dirasa sangat kering dan membosankan karena tidak sesuai keinginan dan persaan pribadinya. Melihat kenyataan itu, seluruh anggota Gereja perlu memahami spiritualitas devosi, kaitan antara devosi dan liturgi, serta bagaimana menjalankan devosi secara benar dan sehat.

A. Latar Belakang
Devosi: Dalam devosi orang mengungkapkan bakti kepada pribadi yang dihormati dan dikasihi. Dalam pemahaman religious, devosi diarahkan kepada Allah baik secara langsung maupun melalui orang kudus dengan berbagai cara dan sarana. Devosi yang bersifat personal itu dilakukan dalam kesadaran sebagai anggota tubuh Kristus. Devosi diungkapkan dengan doa, mudah, kebiasaan yang dikaitkan dengan waktu atau tempat tertentu, panji-panji, medali, busana, dan sebagainya. Devosi tidak terkait pada aturan resmi Gereja seperti liturgi. Gereja pun tidak mewajibkan orang beriman untuk melaksanakannya, walaupun kegiatan ini sungguh bernilai dan disukai. Penyelenggaraan devosi, baik urutan maupun unsur-unsurnya, dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan orang yang melaksanakannya. Karena lebih mengikuti keinginan pribadi, devosi tidak terkait pada kebersamaan, walaupun orang-orang yang memilikih keinginan yang sama dapat melakukannya secara bersama-sama. 

Liturgi: Berbeda dari devosi, liturgi merupakan kegiatan resmi Gereja yang dilakukan bersama oleh umat demi kepentingan umum dan dengan mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh Gereja. Dari dirinya sendiri tindakan liturgis mengandung nilai keselamatan. Seluruh perayaan, yang dilaksanakan dengan pola resmiyang disepakati, membuat umat beriman mengalami kehadiran Allah dan karyaNya yang menyelamatkan. Liturgi dipandang sebagai kegiatan yang harus dilaksanakan oleh umat beriman agar hidupnya dalam persekutuan Gereja bertumbuh dan berkembang dengan baik.

Keunggulan Liturgi: Gereja menghargai kedua kegiatan ini karena masing-masing mempunyai peran khusus dalam menumbuhkembangkan iman. Liturgi lebih unggul dibandingkan dengan semua bentuk doa Kristiani. Keunggulan itu terletak pada hakikat liturgi sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus untuk memuliakan Allah dan menguduskan manusia. Karena itu, devosi tidak boleh menjadi saingan dari liturgi. Devosi harus selaras dengan liturgi kudus; bersumber pada liturgi dan menghantar umat kepada perayaan Liturgi (SC.13). Semua kegiatan devosional harus memuncak pada perjumpaan dengan Allah dalam perayaan liturgis.

B. Penyerasian
Devosi dan Masa Liturgi : Devosi merupakan sarana yang efektif bagi umat untuk menghayati iman dan meraih kesucian. Karena itu, Gerejak mengajak umat mempergunakan Masa Liturgi sebagai kesempatan untuk mengarahkan diri pada misteri iman yang dirayakan. Misalnya, dalam masa prapaskah, jalan salib dapat menjadi sarana yang ampuh untuk mengajak umat merenungkan misteri salib Kristus dan memandang salib sebagai jalan untuk bersatu dengan Kristus. Agar umat semakin dapat menghayati nilai spiritual di masa liturgi tertentu, perlu ditawarkan bentuk-bentuk devosi tertentu. Misalnya, pada masa prapaskah, selain jalan salib, bisa juga diadakan devosi kepada Wajah Kristus dan Ibadah Tujuh Sabda; pada masa adven, ketika perayaan liturgi menampilkan peran Yohanes dan Maria, dapt juga dianjurkan devosi kepada kedua orang kudus itu.

Devosi dan Perayaan Liturgi: Dalam sejarah liturgi gereja beberapa unsur devosional telah diangkat menjadi bagian dari perayaan liturgis setelah melewati proses pembentukan yang dilakukan di bawah kewenangan Gereja. Misalnya perarakan daun Palma menggantikan Ritus pembuka dalam misa mengenangkan sengsara Tuhan dan perarakan Sakramen Mahakudus menggantikan Ritus Penutup dalam misa pengenangan perjamuan Tuhan. Proses Integrasi unsure devosi ke dalam liturgi ini telah ditentukan dengan kriteria dan norma liturgis yang berlaku, sehingga tidak sembarang orang diperkenankan melakukannya.

Devosi dan budaya:  Umat yang hidup dalam suasana dan jiwa budaya tertentu dimungkinkan untuk mempergunakan unsur-unsur budaya dalam kegiatan devosional. Contoh, pohon lain yang mempunyai nilai khusus dalam budaya setempat dan makna simbolis yang serupa. Dalam hal ini hendaknya diperhatikan anjuran berikut “ tidak boleh melakukan ritus-ritus yang dirasuki oleh takhyul ke dalam gereja, penyembahan berhala, animism, dan balas dendam atau hal-hal yang terkait dengan seks “ (Varietetes Legitimae, 48).

C. Devosi yang Benar dan Sehat
Devosi dan Pertobatan : Devosi yang benar dan sesuai dengan kehendak Allah dalam kesatuan Gereja Katolik mewujudkan gerakan hidup rohani yang akan menghadirkan wajah gereja yang kudus. Devosi harus didasarkan pada perjumpaan orang beriman dengan Allah, melalui Kitab Suci, sakramen-sakramen, dan karya kasih, serta dalam hati nurani umat beriman. Perlu diingatkan kembali bahwa devosi yang sejati tidak didasari harapan agar Tuhan memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi dengan semangat untuk bertobat supaya dapat hidup dalam kesalehan sebagai anggota tubuh Kristus.

Devosi dan Pelayanan: Melalui devosi yang sehat diharapkan umat bertumbuh dalam iman dan kasih persaudaraan sebagai Gereja penghayatan devosi yang sehat membuahkan karya kasih ditengah masyarakat.

D. Kepedulian dan Kesepakatan
Komisi Liturgi keuskupan perlu memberi bimbingan yang bijaksana dan berkelanjutan kepada umat agar :
1. Memiliki pemahaman yang benar dan baik tentang spiritualitas, tatacara, dan makna dari unsur-unsur devosional (gambar, doa, waktu, lambang).
2. Menjalankan devosi sehingga dapat lebih menghayati perayaan liturgi, terutama Ekaristi.

Untuk menjalankan proses katekese ini Komisi Liturgi Keuskupan perlu mengupayakan :
1. Misteri yang disusun secara sistematis supaya dapat dipahami oleh umat pada umumnya
2. Sarana yang memadai dan efektif
3. Pembinaan tenaga-tenaga pengajar agar memiliki kompetensi dalam bidang ini.
4. Dukungan dari pihak-pihak yang bertanggung jawab langsung atas pembinaan iman baru.
Seluruh rangkaian pertemuan ini telah melalui beberapa tahap yang meliputi survei untuk mencari data faktual, refleksi bersama dengan bantuan para narasumber, serta merumuskan kepedulian dan kesepakatan. Selanjutnya diharapkan para peserta menindaklanjuti kesepakatan yang telah dicapai dalam pertemuan ini sesuai dengan keadaan di tempat karya masing-masing.

Graha Wacana-Prigen, 21 Juli  2011
Atas nama para peserta
Mgr. AM. Sutrisnaatmaka, MSF

Optimalisasi Karya Katekese sebagai Media Evangelisasi Baru

Para rasul menerima mandat dari Yesus yang bangkit untuk melanjutkan pelaksanaan tugas perutusan-Nya yakni untuk memberitakan injil (Mat. 28:18-20). Pewartaan kabar gembira para rasul menumbuhkembangkan Gereja, yang pada gilirannya diutus untuk meneruskan karya pewartaan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Gereja adalah hasil evangelisasi dari Yesus sendiri dan para rasul-Nya. Gereja mempunyai tugas untuk melanjutkan dan mengembangkan evangelisasi kepada semua bangsa.
Konsili Vatikan II menyadari bahwa tugas perutusan mewartakan injil bukan lagi menjadi monopoli kaum klerus melainkan tugas perutusan Gereja yakni umat Allah. Setiap umat beriman berkat kesatuannya dengan Kristus melalui sakramen inisiasi dipanggil untuk mengambil bagian dalam tri-tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Konsili Vatikan II juga menyadari bahwa meskipun ada perbedaan dalam hakekat berdasarkan tahbisan antara klerus dan kaum awam akan tetapi dalam pelaksanaan tugas dan pewartaan keduanya saling melengkapi (bdk. LG. 10).
Katekis dan karyanya adalah ungkapan partisipasi yang nyata dari kaum awam untuk melaksanakan tri-tugas Kristus tersebut. Dalam sejarah pewartaan Gereja Katolik Indonesia, katekis adalah "ujung tombak" yang memiliki peranan sangat besar. Meskipun demikian, dewasa ini eksistensi katekis dan karyanya kurang mendapat perhatian yang semestinya. Mengapa?
Komisi Kateketik Regio MAM dalam pertemuannya yang bertemakan: "OPTIMALISASI KARYA KATEKESE SEBAGAI MEDIA EVANGELISASI BARU" berusaha untuk menjawab persoalan di atas, dengan memberikan penekanan pada identitas dan spiritualitas katekis serta pastoral dan evangelisasi baru.
Berdasarkan input, refleksi dan sharing para peserta, lahir butir-butir penyadaran sebagai berikut:
1. Para katekis menyadari panggilan, keterpilihan dan perutusannya untuk menjadi sarana Allah dan mitra kerja imam dalam mewartakan kabar gembira di tengah Gereja dan masyarakat secara kontekstual.
2. Para katekis juga menyadari keterbatasannya sebagai katekis untuk menginternalisasikan identitas dan spiritualitas tersebut di atas karena faktor kepribadian dan kemampuan.
3. Para katekis menyadari adanya tantangan dalam pelaksanaan tugas perutusannya, antara lain:
» Kurangnya dukungan para imam
» Sikap umat yang masih klerikalistik
» Sarana katekese yang kurang memadai
» Kurangnya penghargaan terhadap hasil karya
» Kesejahteraan katekis kurang diperhatikan
Berdasarkan butir-butir penyadaran tersebut di atas dan demi optimalisasi karya katekese sebagai media evangelisasi baru, para peserta mengharapkan:
1. Karya katekese in sensu stricto pewartaan, yang adalah tugas utama Gereja, harus mendapat perhatian serius oleh hirarki.
2. Uskup, imam dan katekis hendaknya membaca dan mempelajari dokumen-dokumen Gereja yang berkaitan dengan katekese: eksistensi dan karya katekis.
3. Adanya on going formation bagi para katekis dalam bentuk retret, rekoleksi atau studi lanjut.
4. Adanya forum pertemuan antar-katekis untuk saling meneguhkan dan mendukung satu sama tain.
5. Adanya komunikasi dan kerjasama yang lebih baik antara imam dan katekis.
6. Adanya insentif/honor/gaji yang layak sebagai bentuk penghargaan atas hasil karya katekis.

Demikianlah beberapa butir penyadaran dan rekomendasi yang dihasilkan dalam temu Komisi Kateketik Regio Makassar-Amboina-Manado.

Gonzalo Veloso, Karang Panjang Ambon,  04 September 2011.

Sarasehan Liturgi Kevikepan


Setelah tertunda beberapa kali, akhirnya Komisi Liturgi (Komlit) KWI bisa datang juga ke Keuskupan Agung Makassar (KAMS). Sebenarnya sejak tiga tahun yang lalu, Komlit KAMS telah mengundang Komlit KWI untuk memberikan masukan berkaitan dengan pedoman perayaan dan pelaksanaan Liturgi yang baru. Kesepakatan tema dan agenda pertemuan sudah beberapa kali pula dijadualkan, tetapi pelaksanaan selalu gagal karena adanya kegiatan "tak terduga" di KAMS sendiri. 
    Syukurlah, akhirnya pada tgl.19 -  27 Juni 2011 yang lalu acara Sarasehan Liturgi bisa dilangsungkan di tiga Kevikepan KAMS, yakni Kevikepan Makassar, Kevikepan Tana Toraja, dan Kevikepan Luwu. Dua Kevikepan lainnya, yakni Kevikepan Sulawesi Tenggara dan
Kevikepan Sulawesi Barat, belum terjadualkan karena keterbatasan waktu pemateri.
    Sarasehan Liturgi KAMS ini didampingi oleh Rm. Bosco da Cunha O.Carm (Sekretaris Eksekutif Komlit KWI) dan Pst. Petrus Bine Saramae, Pr (Anggota Komlit KAMS yang juga anggota Staf Seminari Anging Mamiri di Jogjakarta).
    Bahan materi dan peserta Sarasehan Liturgi ini sama untuk semua Kevikepan dengan penekanan yang agak berbeda sesuai situasi masing-masing Kevikepan.   

Kevikepan Makassar
    Sarasehan Liturgi di Kevikepan Makassar dilaksanakan di Aula Keuskupan pada tgl. 19 Juni untuk para Asisten Imam (prodiakon) dan Seksi Liturgi Paroki.  Acara ini dihadiri oleh 170 peserta sebagai utusan dari 13 Paroki yang tersebar di Kevikepan ini.
   Persoalan yang cukup ramai dibicarakan yakni berkaitan dengan sikap dan tata-gerak para Asisten Imam yang tidak sama di setiap Paroki ketika mereka sedang bertugas membantu imam. Persoalan lainnya yang diketemukan dalam sharing dan diskusi kelompok adalah banyak Paroki yang belum mengikuti aturan Pedoman Umum Missale Romanum (PUMR), khususnya dalam pemilihan lagu-lagu liturgis.
     Untuk para Imam, Sarasehan Liturgi dilaksanakan di Aula
Keuskupan juga pada tgl.20 - 21 Juni. Hadir dalam acara ini 24 imam pada hari I, dan 19 imam pada hari II. Persoalan yang cukup ramai dibicarakan adalah komuni  dua rupa dengan cara umat sendiri mencelupkan Hosti yang telah diterimanya ke dalam piala yang berisi Air Anggur. Persoalan lainnya, yakni berkaitan dengan sapaan imam kepada umat beriman, "Tuhan bersamamu" dan jawaban umat , "dan bersama roh-mu".

Kevikepan Tana-Toraja
    Sarasehan Liturgi dilaksanakan pada tgl. 23 - 24 Juni di Aula Stikpar (Sekolah Tinggi Ilmu Kateketik dan Pastoral Rantepao) untuk para Imam, dan 25 Juni di Gereja Nonongan untuk para Pengantar (Pemandu Perayaan Sabda Hari Minggu).
    Selama 2 hari Sarasehan tersebut hadir. 17 imam. Tidak semua rekan imam bisa hadir pada saat itu karena di sana sini sedang ada upacara pemakaman secara adat. Selain persoalan sapaan "Tuhan bersamamu" dan jawabannya "dan bersama roh-mu", persoalan yang cukup hangat dibicarakan adalah "penyisipan unsur budaya lokal" dalam liturgi. Disinyalir bahwa penyisipan itu menjadi masaalah karena kurangnya pemahaman akan makna baik atas ritus liturgi maupun
atas unsur budaya lokal tersebut. Selain itu, yang juga hangat dibicarakan adalah masalah Perayaan Misa di rumah-rumah umat. Ada kebijakan bersama agar Perayaan Ekaristi, khususnya Misa Requiem tidak dibuat di rumah-rumah umat yang berduka tetapi di Gereja demi menciptakan suasana kesakralan dan keheningan. Hal ini dibuat mengingat pada saat itu di rumah duka senantiasa dilaksanakan acara pemotongan kerbau serta hadirnya banyak orang yang sangat sulit untuk menciptakan suasana doa.
    Tgl. 25 Juni, Sarasehan dikhususkan bagi para Pengantar dan Seksi Liturgi Paroki, namun banyak umat yang juga ingin hadir. Lebih dari 400 orang hadir pada acara ini sehingga bagian konsumsi
sangat kewalahan karena hanya menyediakan 250 nasi bungkus (nasi rames). Untunglah masalah ini bisa teratasi dengan memesan makanan di warung-warung yang berdekatan dengan Gereja, meskipun ada juga yang terpaksa makan "satu bungkus berdua".
    Persoalan yang muncul yakni berkaitan dengan Perayaan Sabda Hari Minggu. Hal ini bisa dipahami mengingat Kevikepan Tana Toraja yang terdiri dari 11 Paroki dengan 285 Stasi dan dilayani hanya oleh 21 imam termasuk mereka yang ada di kategorial. Persoalan yang muncul a.l., pakaian para pengantar ketika bertugas belum seragam bahkan ada yang masih memakai pakaian biasa, tata-gerak yang persis meniru tata-gerak imam dalam Perayaan Ekaristi, mazmur
tanggapan yang diganti dengan lagu antar bacaan, ketidak-siapan membawakan Bacaan Injil dan kotbah.
Hal lain yang juga dimunculkan yakni bahwa ada Stasi-stasi yang mendapatkan pelayanan Ekaristi hanya 1 kali dalam 4 bulan, bahkan ada yang 1 kali dalam 1 tahun.

Kevikepan Luwu
    Acara Sarasehan Liturgi di Kevikepan Luwu dilaksanakan di Pusat Pastoral Kevikepan, yakni di Paroki Saluampak pada tgl. 27 Juni. Acara ini dihadiri oleh 6 imam, 1 frater diakon, 3 suster, 1 frater Hamba-hamba Kristus, dan 3 orang muda. Seksi Liturgi dan Pengantar lainnya tidak bisa hadir, karena sedang mempersiapkan Camping Rohani Sekami. Selain itu, pada awalnya acara ini dikhususkan untuk para imam.
    Persoalan yang banyak disinggung yakni ketidak-jelasan panduan dan pelaksanaan tata cara peribadatan di Kevikepan dan di Keuskupan. Misalnya, di Kevikepan dan paroki-paroki sudah dilaksanakan suatu kebijakan pastoral berkaitan dengan tata cara peribadatan, tetapi menjadi mentah lagi karena ada
pejabat gerejani dari keuskupan yang melakukan tata cara peribadatan yang berbeda. Hal ini membuat umat menjadi bingung.
Diusulkan agar ada kesepakatan umum di seluruh keuskupan berkaitan dengan tata cara peribadatan yang harus ditaati bukan hanya para pastor paroki tetapi juga uskup dan jajarannya.
    Masalah lain yang dibicarakan yakni komuni dua rupa, kemungkinan misa requiem bukan hanya di Gereja, perlunya buku panduan tata cara peribadatan yang diberlakukan untuk seluruh keuskupan.

Beberapa gagasan bersama
    Liturgi merupakan tindakan keselamatan Allah Tritunggal yang dirayakan dan dikenangkan oleh umat beriman dalam dan melalui kata dan simbol yang bermakna. Dalam perkembangannya, karena kesepadanannya dengan ajaran Kitab Suci, Tradisi, Bapa Gereja, ke dua unsur tersebut, kata dan simbol, diinstitusikan demi kesatuan. Meskipun demikian, Liturgi sebagai ungkapan iman umat beriman atas tindakan Allah Tritunggal, tetap terbuka terhadap gagasan dan ungkapan-ungkapan iman umat setempat. Dalam konteks ini, kita berbicara soal penyesuaian.
    Perlu diperhatikan ketika kita berbicara soal penyesuaian, bahwa penyesuaian ini bukanlah bergantung pada selera atau pemikiran atau devosi pribadi, tetapi ungkapan iman umat beriman lokal.
Dalam hal ini pentinglah memperhatikan kesatuan umat beriman pula.
    Tata Liturgi bukanlah hanya sekedar rangkaian aturan-aturan baku. Karena itu, katekese liturgi bagi umat beriman masih sangat dibutuhkan, agar liturgi bisa menjadi "sumber dan puncak kegiatan umat beriman". *** Penulis: P. Sani Saliwardaya MSC