Senin, 16 Februari 2015

SURAT GEMBALA PRAPASKAH 2015

SURAT GEMBALA PRAPASKAH 2015
KEUSKUPAN AGUNG MAKASSAR

POLA HIDUP SEHAT DAN BERKECUKUPAN

            Kepada para Pastor, Biarawan-Biarawati dan segenap Umat beriman Katolik Keuskupan Agung Makassar: Salam dan damai sejahtera dalam Kristus Yesus, Tuhan kita!
Pada tahun 2015 ini, Rabu Abu, sebagai awal Masa Prapaskah, jatuh pada tanggal 18 Februari. Tahun ini merupakan tahun ke-4 dari lingkaran 5-tahunan APP Nasional (2012-2016), dengan tema pokok “Mewujudkan Hidup Sejahtera”. Adapun sub-tema tahun ke-4 ini berpusat pada membangun “Pola Hidup Sehat dan Berkecukupan”.

Kaitan Sebab-Akibat antara Dua Kutub
            Selama 5 tahun (1981-1986) saya bertugas belajar di Roma. Agar tidak kehilangan semangat pastoral selama menjadi ‘anak sekolah’, dan sekaligus pula untuk mencari pengalaman pastoral di negeri lain, saya lebih suka menggunakan waktu-waktu liburan bekerja di paroki, baik di Italia maupun di Jerman dan Canada. Para pastor paroki di Eropa Barat dan Amerika Utara umumnya suka mengambil libur tahunan pada musim panas. Pada umumnya mereka berupaya mencari tenaga pengganti sementara di parokinya di Roma, karena tahu di sana banyak imam dari berbagai penjuru dunia sedang bertugas belajar.

            Saya teringat sebuah pengalaman kecil ketika pertama kali menjadi tenaga pengganti sementara (“vertreten” namanya dalam bahasa Jerman) di sebuah paroki di Dinkelsbühl, sebuah kota kecil di Jerman Selatan. Pada Misa hari Minggu pertama saya berada di paroki tersebut, saya terperanjat memperhatikan sedikit sekali umat yang hadir, dan umumnya hanya orang-orang yang sudah tua. Padahal menurut informasi pastor paroki, sebelum berangkat berlibur, jumlah umat paroki tersebut 3500-an. Di sakristi, sesudah Misa, saya bertanya kepada koster, “Mengapa sedikit sekali umat yang datang ke Misa?” Apa jawabnya? “Ah, Pastor, kalau perut sudah penuh, orang lupa berdoa kepada Tuhan!” Sambil tersenyum, saya menimpali, “Di negeri saya, Indonesia, orang sering berkata: ‘Kalau perut kosong, seseorang tidak mudah berdoa’!”

            Ya, rupanya baik “perut kenyang” maupun “perut lapar”, keduanya membawa masalah dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Bukankah kisah “dosa asal” dalam Kitab Suci menyangkut daya tarik materiil (kebutuhan jasmani) disertai hasrat berkuasa (mau menjadi seperti Allah)? “Tetapi ular (si penggoda) itu berkata kepada perempuan itu: ‘Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya … kamu akan menjadi seperti Allah…’. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya…” (Kej. 3:4-6). Ternyata sejak awal keberadaannya di bumi, manusia sudah berhadapan dengan godaan tidak tunduk kepada perintah Allah, dan lebih mementingkan materi dan kekuasaan. Nafsu memiliki materi sebanyak-banyaknya telah menyebabkan ketidak-seimbangan sangat parah pembagian kekayaan bumi di antara penduduk bumi itu sendiri. Sebagaimana seringkali dikatakan, 80% kekayaan bumi dimiliki oleh 20% penduduk bumi, dan hanya 20% kekayaan bumi dimiliki oleh 80% penduduk bumi. Di era global dewasa ini, pengembangan ekonomi dikendalikan oleh sistem “pasar bebas”, yang ciri utamanya ialah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Dunia industri terus-menerus menawarkan produk-produk baru, dan masyarakat merasa harus memilikinya agar tidak dianggap ketinggalan jaman. Ini melahirkan suatu gaya hidup baru, yang disebut konsumerisme. Dalam dunia materialistis-konsumeristis seperti ini, UANG menjadi unsur yang menentukan. Segala-galanya bisa dibeli dengan uang. Oleh karena itu orang berupaya memiliki uang sebanyak-banyaknya dengan segala macam cara, termasuk korupsi. Uang telah menjadi seakan ilah baru, menggantikan Ilah yang benar. Bahkan tampaknya gejala ini telah merasuk ke dalam hidup beragama, seperti dalam apa yang dewasa ini dikenal dengan nama “Teologi Sukses” atau “Teologi Kesejahteraan”. “Teologi Sukses” sesungguhnya merupakan ajaran yang mendewakan kesuksesan dan kesejahteraan materiil, di mana Allah diperlakukan tidak lebih dari sebagai “alat” untuk mencapainya.

            Pengembangan ekonomi dengan sistem “pasar bebas” murni menyebabkan yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Dalam sistem “pasar bebas” hanya mereka yang memiliki modal besar yang mampu bersaing, sedangkan yang bermodal kecil akan semakin terpuruk.  Maka hanya sekelompok kecil (20%) penduduk bumi akan terus berjaya, sedangkan mayoritas mutlak (80%) akan semakin tersingkir; sebagian besar dari mereka ini akan terus terancam tragedi kelaparan. Barangkali banyak dari mereka ini yang pasrah menerima nasib; atau kalau mereka masih percaya ada Tuhan, paling-paling mereka bisa menggugat, apakah Tuhan masih peduli mereka? Tetapi satu hal pasti, selama ketidak-seimbangan dan ketidak-adilan ini tidak diatasi, maka perdamaian dunia hanya merupakan ilusi. Dan selama itu, juga kelompok minoritas (yang 20% itu) tidak akan pernah sungguh-sungguh mengenyam ketentraman hidup!

Manusia Terpanggil Kembali ke Fitrahnya
            Apa dan siapakah manusia itu? Menurut Kitab Suci, “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya…; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka” (Kej. 1:27). Jadi manusia itu adalah makhluk ciptaan Tuhan. Dia tidak ada dari dirinya sendiri. Berikut, manusia itu tidak diciptakan seorang diri. Mereka diciptakan laki-laki dan perempuan. Berarti dari hakekatnya, manusia itu adalah makhluk sosial (dari bahasa Latin socius = bersama-sama, bersatu). Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:18). Sebagai makhluk sosial, yang-berada-bersama-orang-lain, manusia adalah citra atau gambar Allah. Nah, dalam Perjanjian Baru kita menemukan definisi, bahwa “Allah adalah kasih” (1 Yoh. 4:8.16). Kalau manusia itu adalah citra Allah dan Allah itu adalah kasih, maka manusia dari hakekatnya harus mencerminkan kasih dalam hubungannya dengan sesamanya.

            Selanjutnya, perlu dicatat, bahwa dalam Kitab Kejadian terdapat dua versi kisah penciptaan. Kej. 1:1-2:4a, yang menurut para ahli bersumber dari tradisi P (tradisi Imam), mengisahkan penciptaan langit dan bumi serta segala isinya oleh Allah melalui sabda-Nya dalam enam hari, dan pada hari ke-7 Ia beristirahat. Sedangkan Kej. 2:4b-3:24 bersumber dari tradisi Y (Yahwis). Di sini Allah digambarkan bagai pembuat periuk dengan membentuk manusia (2:7) dan segala binatang hutan dan segala burung di udara (2:19) dari tanah. Kej. 2:7 selengkapnya berbunyi: “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup”. Di sini kita menemukan dimensi hakiki dan asali lainnya dari manusia: manusia itu adalah makhluk jasmani-rohani dalam satu keutuhan; meminjam rumusan Prof. Dr. N. Drijarkara, SJ: manusia adalah roh-yang-membadan atau badan-yang menroh. Dari segala ciptaan hanya manusialah yang diciptakan secara demikian. Dari segi rohani, manusia adalah makhluk transenden di atas makhluk-makhluk lainnya. Kiranya sifat asali yang sama inilah yang dimaksudkan tradisi P dengan menyebut manusia itu sebagai citra Allah. Dari segi jasmaniah, manusia itu sama dengan makhluk ciptaan lainnya, dan sebagai demikian ia mempunyai kebutuhan pokok materiil untuk dapat hidup dan berkembang.

            Adapun tujuan Allah menciptakan manusia adalah untuk membahagiakannya. Ini diungkapkan dengan kisah taman Eden: “Selanjutnya Tuhan Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur, disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuknya itu. Lalu Tuhan Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya” (Kej. 2:8-9). Seterusnya dikatakan: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (ay. 15). Sesungguhnya taman Eden itu ialah bumi yang didiami manusia ini. Pemilik dari segala sesuatu yang ada bukanlah manusia, melainkan Tuhan Allah, Sang Pencipta, yang mengadakan semuanya itu untuk segenap umat manusia, tanpa kecuali. Manusia sendiri hanyalah pengelola milik Sang Pencipta itu. Tetapi dosa telah memporak-porandakan rencana baik dari Allah itu. Akibatnya taman Eden, sebagai taman keselamatan dan kesejahteraan itu, berubah menjadi taman kemalangan.

            Namun, dari kodratnya setiap manusia tetap mendambakan keselamatan-kesejahteraan, kebahagiaan. Dan ini hanya dapat terwujud apabila manusia kembali ke fitrahnya, sifat-sifat asalinya menurut Kitab Suci, sebagaimana sudah diutarakan di atas.

Membangun Pola Hidup Sehat dan Berkecukupan
            Dosa telah mengubah posisi manusia sebagai pengelola harta kekayaan bumi, dan berlagak sebagai pemilik aslinya. Padahal segala kekayaan dunia itu hanyalah “titipan” dari Sang Pencipta. Tiada manusia yang datang ke dalam dunia ini sudah membawa serta harta kekayaan. Setiap manusia dilahirkan ke dalam dunia ini dengan telanjang bulat, tak memiliki apa-apa. Dosa juga telah menyebabkan ketidak-seimbangan keutuhan manusia sebagai makhluk jasmaniah-rohani; yang ditekankan hanyalah segi kebutuhan jasmani-materiil: “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya” (Kej. 3:6). Daya tarik materi melahirkan sikap mendewakan materi (materialisme), yang berujung pada pendewaan uang (mamon). Kerakusan akan materi juga mengubah fitrah asli manusia sebagai makhluk sosial menjadi makhluk individualistis, yang mengeksploitasi sesamanya. Tidak itu saja. Alam lingkungan tidak lagi diperlakukan sebagai taman (Eden) yang harus dipelihara, melainkan dipandang sebagai tambang yang boleh dikuras habis demi kepentingan ekonomistik. Maka berkembanglah sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi yang buta etika. Eksploitasi alam tanpa etika semacam ini sungguh merupakan ancaman serius bagi keberadaan umat manusia itu sendiri!

            Yesus Kristus, Manusia baru itu, telah memulihkan fitrah asli manusia dan mengangkatnya. Maka hanya Yesus Kristuslah satu-satunya yang harus menjadi dasar dan model dalam upaya mengkonkretkan fitrah asli manusia itu. Dialah Sang Sabda yang menjelma (lih. Yoh. 1:1-18), menjadi “sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15). Sebelum Dia mulai hidup dan berkarya di depan umum, Yesus berpuasa 40 hari dan dicobai (Mat. 4:1-12; Luk, 4:1-13). Cobaan pertama berupa godaan materiil. Yesus yang lapar digoda mengubah batu jadi roti. Yesus menolak dengan mengutip Kitab Suci (Ul. 8:3): “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah”. Dengan itu Yesus mau mengajar kita, bagaimana seharusnya kita menghayati jati diri asli kita sebagai makhluk jasmani-rohani: segi rohanilah yang harus mengarahkan segi jasmani, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini kita dapat memahami nasehat-Nya: “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat. 6:33). Atau: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Mat. 16:26). Dan kepada orang yang mendewakan uang, Dia mengingatkan: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Mat. 6:24).

            Godaan kedua, menurut versi Matius, ialah menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah. Inilah godaan menikmati kepopuleran, ingin disanjung-sanjung publik. Yesus tegas menolak dengan kembali mengutip Kitab Suci (Ul. 6:16): “Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” Di sini Yesus mau mengajar kita untuk tidak mencari popularitas murahan dengan membawa-bawa nama Allah. Akhirnya, godaan ketiga ialah godaan akan kekuasaan. Yesus ditawari “semua kerajaan dunia dengan kemegahannya” asalkan Dia mau sujud menyembah Iblis. Yesus menghardik, “Enyahlah, Iblis!”, dan sekali lagi mengutip Kitab Suci (Ul. 6:13): “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” Yesus datang tidak untuk mengejar kekuasaan: Putera Manusia datang “bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk. 10:45). Dengan demikian, Citra Allah yang sempurna itu tidak hanya memulihkan fitrah manusia sebagai makhluk sosial, yang-berada-bersama-orang-lain. Ia sekaligus menyempurnakan fitrah sosial manusia menjadi “berada untuk-orang-lain” (altruisme sejati). Dasar dari sikap altruis sejati ini tidak dapat lain daripada KASIH sejati: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13).

            Demikianlah, upaya membangun pola hidup sehat dan berkecukupan harus dilihat dalam kerangka pemulihan fitrah asli manusia yang berlandas dan bermodelkan Yesus Kristus, Manusia baru, Citra Allah yang sempurna. Sebagaimana diterangkan dalam naskah “Gerakan APP Nasional 2015”, pola hidup sehat berarti melakukan kegiatan olah rohani dan jasmani yang teratur, terus-menerus dan seimbang, dalam mencapai pemenuhan kebutuhan mendasar hidup manusia. Kesehatan dimengerti sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap manusia hidup produktif dan kreatif seturut dimensi sosial dan ekonomi. Situasi dan kondisi ini yang membuat manusia mempunyai daya hidup untuk memberdayakan segala sesuatu dengan maksimal, baik yang dimilikinya maupun lingkungan hidupnya, demi membangun dan mewujudkan kesejahteraan hidup bersama.

            Selanjutnya disebutkan tiga sasaran dan tujuan “Pola Hidup Sehat dan Berkecukupan” sebagai gerakan APP 2015 dalam membangun dan mewujudkan pembaharuan iman umat, sebagai berikut: (1) Menghargai dan menghormati tubuh sebagai kenyataan yang sangat pribadi sebagai tanda dan wahana untuk membangun hubungan-hubungan dengan sesama, dengan Allah dan alam semesta demi terwujudnya kesejahteraan bersama: (2) Perilaku hidup yang manusiawi; keadilan, kebenaran, kejujuran,  kasih dengan menjaga, memelihara dan membangun lingkungan hidup yang baik dan berkelanjutan; dan (3) Tanggungjawab atas keutuhan biologis manusia yang diciptakan sebagai citra Allah dengan hidup saling berbagi satu sama lain.

            Akhirnya, disajikan beberapa inspirasi membangun gerakan pola hidup sehat dan berkecukupan yang dapat dibuat, antara lain: (1) Gerakan ‘Optimalisasi Lahan Pekarangan’: Sesungguhnya setiap unit keluarga harus memperlakukan lahan pekarangannya bagai ‘taman Eden’, di mana Allah telah menempatkan keluarga bersangkutan untuk mengusahakan dan memeliharanya demi kesejahteraan dan keberlangsungan hidupnya; (2) Gerakan ‘Bersih dan Sehat Lingkungan’: Budaya sampah sudah membuat manusia tidak peka dengan memboroskan dan membuang sisa makanan. Sementara, di setiap bagian dunia masih sekian banyak orang dan keluarga yang menderita kelaparan dan gizi buruk. Gerakan ‘Bersih dan Sehat Lingkungan’ dapat menjadi cara untuk menghormati dan merawat ciptaan, untuk memperhatikan setiap orang, untuk melawan budaya menyampah dan membuang-buang makanan, serta memajukan budaya solidaritas dan perjumpaan; (3) Gerakan ‘Bank Benih Petani’: Alam ciptaan adalah anugerah Allah untuk umat manusia. Dalam penggunaannya, manusia mempunyai tanggung jawab terhadap kaum miskin, generasi mendatang, dan umat manusia sebagai keseluruhan. Gerakan ‘Bank Benih Petani’: dari, oleh, dan untuk petani bagi keberlanjutan kehidupan akan bercirikan bela rasa dan keadilan antar generasi.

Penutup
            Selamat menjalani Masa Prapaskah, yang berfokus pada upaya membangun “Pola Hidup Sehat dan Berkecukupan”, dengan berlandas dan meneladani hidup dan karya Yesus Kristus, Citra Allah yang sempurna, yang telah memulihkan dan menyempurnakan fitrah asali manusia. Makna sejati puasa dan pantang serta Aksi Puasa Pembangunan (APP) harus kita gali dari hidup dan karya Yesus sendiri. Dengan berpuasa 40 hari, Yesus mau mengajar kita untuk senantiasa mengendalikan nafsu jasmani kita manusia sebagai makhluk rohani-jasmani. Dengan APP kita ingin meneladani Dia yang telah rela menjadi sama dengan kita, makhluk sosial yang berkewajiban berbela rasa dengan saudari-saudaranya yang menderita kemiskinan. Selanjutnya, sejalan dengan pusat keprihatinan Paus kita, hendaknya gerakan “Pola Hidup Sehat dan Berkecukupan” kita mulai dari keluarga kita masing-masing. Paus Fransiskus tampaknya mempunyai keyakinan yang sama dengan pendahulu beliau, Paus Yohannes Paulus II. Paus Yohannes Paulus II pernah menegaskan, “Jika keluarga-keluarga Katolik baik, maka Gereja akan baik”. Paus Fransiskus telah memutuskan mengadakan dua sinode para Uskup berturut-turut (2014 dan 2015) menyangkut tema yang sama: pastoral keluarga. KWI dan PGI menyambut antusias keprihatinan Paus itu: Pesan Natal Bersama KWI-PGI 2014 mengambil tema “Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga”. Sementara untuk Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2015 sengaja dipilih tema yang sama, mengenai KELUARGA. Semoga keluarga-keluarga Katolik semakin mencerminkan Keluarga Kudus Nazaret.
Tuhan memberkati kita!                     
 
                                                       Makassar, 26 Januari 2015
  
                                                              + John Liku-Ada’
                                                            Uskup Agung Makassar   

PERATURAN PUASA DAN PANTANG:

1.     Masa Prapaskah mulai pada HARI RABU ABU tanggal 18 Februari 2015 dan berjalan sampai Pesta Paskah tanggal 5 April 2015.

2.     Seluruh Masa Prapaskah adalah waktu bertapa. Karena itu diharapkan dari masing-masing agar selama Masa Prapaskah dengan kesadaran dan kerelaan melakukan pekerjaan amal dan tapa menurut pilihan masing-masing, selain yang diwajibkan di bawah ini.

3.     Secara khusus diminta perhatian untuk AKSI PUASA PEMBANGUNAN (APP), yang dimaksudkan mengumpulkan dana, yang diperoleh dari usaha-usaha penghematan / berpantang. Dana itu diperuntukkan karya-karya sosial, termasuk usaha-usaha pengembangan Komunitas Basis/Keluarga dan pemberdayaan lingkungan. Sungguh menggembirakan melihat animo umat untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan APP semakin meningkat. Tahun 2014 dana hasil APP di Keuskupan kita naik 27% dibanding dengan tahun 2013. Sambil mengucapkan terima kasih atas semua itu, kita berharap APP tahun ini akan meningkat lebih baik lagi.

4.     Di samping itu selama Masa Prapaskah kita wajib berpuasa dan berpantang menurut peraturan berikut:
a.        Pada Hari Rabu Abu dan Jumat Agung ada kewajiban berpuasa dan berpantang.
b.        Pada hari-hari Jumat Biasa dalam Masa Prapaskah hanya ada kewajiban berpantang.
c.        Berpuasa berarti mengurangi makan, sehingga hanya satu kali saja boleh makan kenyang dalam sehari.
Kewajiban untuk berpuasa ini berlaku bagi mereka yang berumur antara 18 sampai 60 tahun.
d.        Berpantang berarti mengurangi makanan mewah sesuai dengan penilaian daerah masing-masing, misalnya berpantang dari daging.
Secara perorangan dapat pula menentukan wujud berpantang menurut keadaan masing-masing, misalnya berpantang dari berjajan makanan khusus, dari minuman keras, dari rokok, dll.
Kewajiban berpantang berlaku bagi mereka yang berusia 14 tahun ke atas.

5.     Mereka yang mendapat makanan dari dapur umum, atau yang hidup di tengah keluarga yang seluruhnya belum Katolik, bebas dari wajib pantang, tetapi tidak bebas dari wajib puasa.

6.     Kewajiban Paskah, yaitu kewajiban untuk menyambut komuni (dan kalau perlu sebelumnya mengaku dosa) dapat dipenuhi dari Hari Rabu Abu tanggal 18 Februari 2015 sampai Hari Raya Tritunggal Mahakudus, 31 Mei 2015.

NB. :        Berhubung Tahun Baru Imlek jatuh pada 19 Februari 2015 dan biasanya ada yang sudah mulai perayaan pada malam sebelumnya, maka dengan ini diberikan dispensasi dari kewajiban puasa dan pantang sejak Rabu malam, 18 Februari 2015, bagi umat Katolik yang merayakannya.

*********