Minggu, 24 Juli 2016

BERZIARAH BERSAMA RAPTIM DI TAHUN KERAHIMAN



Tahun yang lalu saya mendapat kesempatan berahmat,  mengambil bagian dalam ziarah yang diselenggarakan Raptim ke Tanah Suci. Saya diminta menjadi pendamping rohani dalam group. Sebagaimana saya tulis dalam KOINONIA, vol. 10, no.3, Juni-Agustus 2015, keikutsertaan saya ketika itu mempunyai motif khusus yang bersifat pribadi: HUT Imamat saya jatuh pada 10 Januari 2015. Saya ingin merayakan dan mensyukuri rahmat imamat itu dengan mengadakan napak tilas ke tempat-tempat bersejarah penyelamatan dalam hidup dan karya Dia yang telah memanggil saya menjadi imam-Nya. Selain itu, pada tahun 2015 Raptim, yang adalah milik KWI, merayakan HUT yang ke-45. Keikutsertaan saya sebagai pendamping rohani sekaligus sebagai ungkapan dukungan terhadap Raptim.
Tahun ini Presdir PT Raptim Indonesia kembali meminta saya menjadi pendamping rohani salah satu kelompok peziarah “Roma – Pisa – Monaco –Nice - Avignon – Carcasonne – Toulouse – Lourdes – Nevers – Paris - Amsterdam”, yang berlangsung 8-21 Agustus 2016. Semula saya merasa berat memenuhi permintaan tersebut. Saya berpikir, tidak baik keseringan meninggalkan tugas utama untuk waktu yang cukup lama. Tetapi kemudian saya tersadar, tahun ini adalah “Tahun Yubileum Agung Kerahimam Ilahi”. Kita harus berupaya semaksimal mungkin memperoleh kelimpahan rohani dari “Tahun Rahmat Tuhan” ini. Kecuali itu, saya ingin menggunakan tahun penuh rahmat ini sebagai persiapan rohani menyongsong peringatan syukur 25 tahun tahbisan saya menjadi Uskup, yang jatuh pada 2 Februari 2017. Maka jadilah saya memenuhi permintaan tersebut.

Audiensi Umum dengan Bapa Suci
Rombongan tour kami, yang terdiri dari 35 orang, tiba di Roma pagi hari Selasa, 9 Agustus.       Keesokan harinya, Rabu, 10 Agustus, kami mengambil bagian dalam audiensi mingguan dengan Bapa Suci. Kiranya ini merupakan salah satu puncak pengalaman rohani paling berkesan, sekurang-kurangnya bagi sebagian peserta. Karena di luar terlalu panas (maklum Agustus merupakan puncak musim panas di Roma), audiensi diadakan di Aula Paulus VI, yang terletak di samping kanan Basilika Sto. Petrus. Ketika tiba di tempat, kami menemukan antrian para peziarah yang sudah sangat panjang, dengan pemeriksaan X-ray yang amat ketat. Kami menjadi sangat pesimis, apa masih akan dapat giliran masuk. Syukurlah, ternyata kemudian masih bisa. Tetapi dalam keadaan terpisah-pisah, karena padatnya orang yang berdesak-desakan berebut masuk. Ada anggota yang sudah lolos masuk, yang lain masih tertinggal di belakang. Ketika kerumunan di mana saya dan beberapa anggota rombongan berada berhasil sampai di depan pintu Aula, di hadapan kami sudah terpasang papan penghalang, Berarti kami tidak bisa lagi masuk! Tetapi ketika salah seorang pengawal Vatikan melihat saya berdiri di balik pagar dalam pakaian jubah Uskup, dia bergegas datang mau menggeser pagar agar saya bisa lewat. Saya berkata, “Saya tidak mau masuk kalau rombongan saya ini tidak boleh ikut”. Sejenak dia tertegun, lalu berkata: “Tunggu sebentar”. Dia meninggalkan kami, pergi bicara dengan komandannya. Kemudian dia kembali bersama beberapa rekannya, meminta saya menunjukkan anggota rombongan saya. Tetapi ketika pagar dibuka, menyerbulah masuk kerumunan orang, dan membuat para pengawal itu kewalahan.

Teman-teman yang duluan masuk, ada yang berhasil mendapatkan tempat di pinggir jalur yang dilalui Sri Paus ketika memasuki Aula. Mereka berhasil menjamah dan dijamah serta diberkati Sri Paus, termasuk anggota rombongan termuda, Andrea Jesslyn, yang baru berusia 7 tahun, putri pasutri Hartawan-Marlinawati dari Makassar. Sri Paus meletakkan tangan di atas kepalanya, memberkati dia. Tentu saja hati mereka berbunga-bunga, penuh bahagia. Namun, barangkali yang paling berbahagia ialah pasutri Stefanus-Rita dari Jakarta. Kaki ibu Rita yang patah masih pakai gips, sehingga sepanjang perjalanan ziarah harus duduk di kursi roda yang didorong dengan setia oleh sang suami. Dalam audiensi orang-orang sakit selalu memperoleh tempat khusus paling depan. Pada akhir audiensi, setelah memberi berkat umum kepada semua peserta dan menyalami para Uskup yang hadir di panggung, Bapa Suci mendatangi orang-orang sakit itu satu per satu, menyalami dan memberkati mereka. Menurut hitungan Tour Leader, ada 15 anggota group yang memperoleh kesempatan indah membahagiakan itu. Tetapi sesungguhnya siapa saja yang mengikuti audiensi di Aula Paulus VI itu pasti merasa sangat dekat dan memperoleh berkat langsung dari Sri Paus. Bersama dengan sekian  banyak yang tidak bisa tertampung di Aula, puluhan ribu orang yang berdatangan dari pelbagai penjuru dunia itu sesaat menemukan diri dipersatukan sebagai satu keluarga oleh seorang Ayah penuh kasih sayang. Pengalaman mengharukan seperti ini, konon pernah membuat seseorang yang pertama kali mengikuti audiensi seperti ini spontan berkata: I am proud to be a Catholic”, “Saya bangga menjadi seorang Katolik”.

Sesungguhnya bagi saya sendiri juga audiensi ini mempunyai makna mendalam. Inilah pertemuan pertama saya  dengan Paus Fransiskus, sejak beliau menggantikan Paus Benediktus XVI. Saya sengaja memakai jubah Uskup, agar dapat bergabung dengan para Uskup lainnya di panggung. Ketika tiba giliran saya menyalami beliau, saya memperkenalkan diri dengan menyebut nama, Uskup Agung Makassar, Indonesia. Sambil tersenyum ramah, beliau berkata: “Doakan saya selalu, ya!” Saya menjawab: “Mohon Bpk. Paus juga selalu mendoakan Indonesia”. Dan beliau mengangguk disertai senyum kebapaan.

Homili beliau pada audiensi itu bagi saya sangat inspiratif. Setiap audiensi umum mempunyai susunan inti ini: (1) pembacaan kutipan dari Kitab Suci dalam berbagai bahasa, sesuai kelompok bahasa peserta audiensi (Indonesia selalu dimasukkan kelompok berbahasa Inggeris); (2) homili Sri Paus, yang selanjutnya intinya disampaikan dalam berbagai kelompok bahasa itu; (3) Sri Paus menyapa setiap kelompok peserta audiensi, dengan menyebut nama kelompok dan negara asal; inilah bagian yang paling ramai dan menyentuh hati (ada yang berteriak histeris, ada yang bernyanyi penuh semangat sambil mengibar-ngibarkan bendera kebangsaannya, ada yang menggelegar berseru, “Viva il Papa!”, ketika nama kelompok dan negara asalnya disebut); (4) berkat Sri Paus; (5) Sri Paus bersalaman dengan para Uskup/pimpinan negara yang hadir, dilanjutkan dengan menyalami/memberkati orang-orang sakit yang hadir.

Kembali ke homili Sri Paus, pembacaan Kitab Suci hari itu diambil dari Luk. 7:11-17, tentang Yesus membangkitkan anak muda, putera tunggal seorang ibu janda, di Nain. Sri Paus mengingatkan, kita sedang merayakan “Tahun Yubileum Agung Kerahiman Ilahi”. Kisah di Nain ini menjelaskan kepada kita, apa sesungguhnya arti kerahiman ilahi. Ibu janda itu telah kehilangan segala tumpuan harapan dalam kehidupan. Suaminya telah tiada, kini dia juga kehilangan putera tunggalnya. Melihat itu, hati Tuhan tergerak oleh belas kasihan. Ia berkata kepada ibu janda itu: “Jangan menangis!” Ia menghampiri    usungan itu, menyentuhnya, dan berkata: “Hai anak muda … bangkitlah!”. Anak muda itu bangun, duduk dan mulai berkata-kata. Dan Yesus menyerahkannya kepada ibunya. Jadi apa sesungguhnya kerahiman ilahi? “La misericordia é il cammino dal cuore alle mani!”, tegas Sri Paus; “Kerahiman adalah pergerakan dari hati ke tangan!” Belas kasih itu tidak hanya berupa sikap hati, ia harus diungkapkan dalam tindakan!

Sepuluh “Pintu Suci”
“Sebuah yubileum juga memerlukan pemberian indulgensi. Praktek ini akan memperoleh arti lebih penting dalam Tahun Suci Kerahiman. Pengampunan Allah tidak mengenal batas. … Namun demikian, kita semua mengenal dengan baik pengalaman dosa… Meskipun diampuni, konsekwensi yang bertentangan dari dosa-dosa kita tetap ada … dosa meninggalkan pengaruh buruk pada cara kita berpikir dan bertindak. Namun kerahiman Allah lebih kuat daripada hal ini. Ia menjadi indulgensi di pihak Bapa, yang melalui Sang Mempelai Kristus, Gereja-Nya, menjangkau orang berdosa yang diampuni dan membebaskan dia dari setiap sisa yang ditinggalkan oleh konsekwensi dosa, yang memungkinkan dia untuk bertindak dengan amal, bertumbuh dalam kasih daripada jatuh kembali ke dalam dosa” (Misericordiae Vultus, 22). Untuk memperoleh indulgensi ini, disebutkan sejumlah kegiatan yang perlu dilakukan:  mengaku dosa, memaafkan seseorang, melakukan satu dari 7 aksi kasih rohani dan jasmani, berdoa Doa Harian Tahun   Kerahiman Paus Fransiskus, berdoa Novena Kerahiman Ilahi, dan berziarah.

Kami tiba di Roma pagi hari Selasa, 9 Agustus. Kendati penat setelah perjalanan panjang dari Jakarta, rombongan tetap penuh semangat. Kami segera menuju Basilika Sto. Paulus di luar Tembok, didampingi seorang Tour Guide yang memberi penjelasan. Setelah berdoa bersama di depan pintu suci, rombongan masuk ke Basilika, antara lain untuk berdoa secara pribadi di depan makam Sto. Paulus, melihat bagian dalam Basilika, mengamati lukisan/foto para Paus, mulai dari Petrus sebagai Paus I sampai Fransiskus, Paus yang ke-266, yang terpampang di dinding tembok bagian atas Basilika. Dari Basilika Sto. Paulus, kami ke Basilika Sta. Maria Maggiore. Setelah memasuki Basilika melalui pintu suci, kami merayakan Ekaristi hari itu di Basilika ini. Sesudah makan siang, kami diantar ke Basilika Sto. Petrus. Di sini pengunjung berjubel dengan antrian panjang. Dibutuhkan kesabaran untuk mencapai dan memasuki pintu suci. Di dalam Basilika yang besar itu penuh sesak, sulit sekali bergerak. Masing-masing hanya dapat berdoa pribadi, tak mungkin berdoa bersama. Petang harinya kami masih sempat berkunjung ke Basilika utama ke-4 di kota Roma: Basilika Sto. Yohannes Lateran. Ini adalah Katedral Keuskupan Roma. Demikianlah, hari pertama di Roma kami memecahkan rekor, dapat memasuki pintu suci ke-4 Basilika utama di kota Roma. Hari berikutnya, Rabu, dari audiensi umum kita ke restoran untuk makan siang. Sesudahnya kita berziarah ke Scala Santa, dan selanjutnya merayakan Misa hari itu di kapel biara di samping Scala Santa. Kemudian ke Forum Romawi, Colosseum, dan ditutup dengan kunjungan ke Fortana di Trevi, untuk melempar koin, bagi mereka yang masih ingin kembali ke Roma kemudian hari …, begitu kata legenda.     

Hari berikutnya, Kamis, 11 Agustus, kami meninggalkan Roma menuju Pisa, yang terkenal dengan Menara Miring-nya, menara lonceng sebuah katedral. Ini sebuah perjalanan panjang dengan bis. Raptim sebagai Agen Ziarah yang sudah berpengalaman, tahu bagaimana menjaga agar peserta tidak menjadi bosan, tetapi dari hari ke hari semakin mengalami makna rohani ziarah, dan persaudaraan yang akrab semakin bertumbuh. Di Bandara Internasional Sukarno-Hatta, Cengkareng, sebelum meninggalkan tanah air menuju Roma, suasana doa sudah mulai diciptakan: Kita berdoa bersama sebagai satu group. Selama ziarah berlangsung, setiap pagi ketika bis mulai bergerak meninggalkan hotel menuju tempat tujuan pertama hari itu, kita berdoa pagi, yang diawali   dengan lagu “Selamat pagi, Bapa”. Dan ketika malam hari bis menuju hotel untuk istirahat malam, ditutup dengan doa malam, yang dibuka dengan lagu “Selamat malam, Bapa”. Di bis dalam perjalanan panjang diisi dengan berbagai acara, antara lain: doa Rosario yang dipimpin secara bergiliran, menyanyikan lagu-lagu rohani, sharing  pengalaman rohani mengesan dari hari-hari sebelumnya, pendamping rohani membuka kesempatan tanya-jawab masalah-masalah iman; yang istimewa kali ini ialah kelompok Merauke yang tampil dengan mob-mob Papua-nya yang menyegarkan dan tidak jarang membuat peserta meledak tertawa.

Di Pisa, setelah melebur di tengah kerumunan para pengunjung untuk melihat-lihat, kami memasuki “pintu suci” (yang kelima) gereja katedral yang terletak dekat Menara Miring untuk berdoa dan merayakan Ekaristi. Keesokan harinya, Jumat, 12 Agustus, kami melanjutkan perjalanan ke Monaco. Kami berkeliling melihat-lihat dan berfoto di depan istana Kerajaan Monaco. Kemudian kami mengunjungi Katedral Monaco, di mana terdapat makam Pangeran Rainier III dan permaisurinya, Putri Grace Kelly. Di sini kami merayakan Misa, setelah melalui “pintu suci” (yang ke-6). Sore hari, dalam perjalanan ke Nice di Perancis, kami mengunjungi pabrik minyak wangi dan mendapat penjelasan tentang proses pembuatan minyak wangi.

Setelah bermalam di Nice, keesokan harinya, Sabtu, 13 Agustus, kami melanjutkan perjalanan ke Avignon. Avignon merupakan kota bersejarah, karena sekitar 700 tahun lampau (abad ke-14) selama kurang lebih 70 tahun menjadi pusat kepausan. Tujuh Paus berturut-turut berdomisili dan memimpin Gereja dari Avignon. Baru pada tahun 1376, berkat pengaruh Santa Catarina dari Siena, Paus Gregorius XI kembali ke Roma. Rencananya hari ini kami merayakan Misa harian di sebuah kapel tua di sini. Tetapi tidak jadi, karena syaratnya harus seluruhnya dalam bahasa Latin, dan kami tidak siap untuk itu; tak ada sama sekali buku umat, hanya ada Misale tua. Terasa aneh bahwa setelah Konsili Vatikan II lewat lebih setengah abad, ternyata masih ada yang mempertahankan disiplin bahasa yang telah diubah oleh Konsili. Alhasil, kami hanya mengadakan Ibadat Sabda.

Kami bermalam di sebuah kota kecil dekat Avignon. Keesokan harinya pagi-pagi, kami berangkat menuju Lourdes, dengan mampir di Carcasonne dan Toulouse. Carcasonne adalah sebuah kota yang memiliki nuansa Abad Pertengahan,     dengan kastil-kastil indah peninggalan abad pertengahan. Kami juga mengunjungi Basilika Sto. Nazarius, yang merupakan ikon kota ini. Di Toulouse kami berkunjung ke Basilika Sto. Sernin, didampingi seorang Tour Guide yang terkesan sangat         menguasai kisah-kisah historis di balik Basilika tua yang terkenal ini. Kami memasuki Basilika melalui “pintu suci” (yang ke-7). Basilika Sto. Sernin dikenal sebagai Basilika Ziarah dan kultus relikwi orang-orang kudus. Tujuannya untuk merayakan dan menghormati para kudus dan, melalui mereka, Kristus membawa kembali kepada kehidupan. Iman Abad Pertengahan ditandai suatu kesadaran kuat akan kenyataan dosa. Setiap orang was-was untuk memperoleh keselamatan di bumi, dan pada saat kematiannya dapat beralih dari dunia ini ke firdaus, serta terhindar dari hukuman kekal. Ziarah dan penghormatan relikwi orang-orang kudus diharapkan dapat menjadi sarana penebusan kesalahan-kesalahan berat, dan sekaligus untuk   mengucap syukur atas segala berkat yang telah diterima.
Kami tiba di Lourdes lewat pk. 20.00. Rencana semula untuk merayakan Ekaristi Minggu dalam kelompok sendiri di salah satu kapel ternyata tidak mungkin lagi. Maka kelompok mengikuti Misa untuk umum di Grotto. Sesudahnya kelompok berusaha memasuki “pintu suci” Basilika Lourdes (yang ke-8). Kami berada di Lourdes dua malam, 14-16 Agustus, untuk mengikuti puncak perayaan Maria Diangkat Ke Surga pada 15 Agustus, yang masih akan diceritakan di bawah.

Pagi hari Selasa, 16 Agustus, setelah merayakan Ekaristi di sebuah kapel, kami meninggalkan Lourdes menuju Nevers. Tiba di Nevers sudah malam. Besoknya kami mengunjungi Biara Sta. Gildard, di mana disemayamkan jenazah Sta. Bernadette Soubirous, yang sampai sekarang masih utuh, walau sudah meninggal tahun 1879. Bernadette-lah yang mengalami rentetan penampakan-penampakan Bunda Maria di Lourdes sejak 11 Februari 1858, dan yang selanjutnya menjadikan Lourdes sebagai salah satu pusat ziarah yang paling banyak dikunjungi para peziarah dari berbagai bagian dunia. Kami memasuki “pintu suci” (yang ke-9) Kapel Biara untuk berdoa dan merayakan Ekaristi. Karena hari itu adalah HUT ke-71 Kemerdekaan Indonesia, kami mengambil tema Misa untuk Tanah Air. Pada akhir Misa, kami menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dengan penuh semangat. Para pengunjung lain kelihatan terheran-heran. Barangkali mereka berpikir, kok ada lagu liturgis seperti itu!

Sesudah Misa, kami meninggalkan Nevers menuju Paris. Ini juga suatu perjalanan panjang dengan bis. Ternyata gema “Indonesia Raya” yang dinyanyikan sebagai lagu penutup dalam Misa tadi terus menggelora di hati. Di bis secara spontan berkumandanglah lagu-lagu perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Sepertinya semangat nasionalisme itu terasa lebih menggebu ketika kita merayakan Proklamasi Kemerdekaan jauh dari Tanah Air! Kami tiba di Paris sudah malam. Sesudah makan malam, kami di bawah berkeliling menikmati keindahan kota Paris di malam hari, didampingi seorang Tour Guide yang luar biasa. Kami berfoto di depan Menara Eiffel, ikon utama Paris. Keesokan harinya, Kamis, 18 Agustus, kami mengunjungi berbagai obyek terkenal di kota Paris, termasuk naik kapal pesiar di sungai Seine. Tetapi tentu saja yang terpenting ialah ziarah ke Kapel Medali Wasiat di Rue du Bac, di mana Bunda Maria menampakkan diri kepada Sr. Katarina Labouré beberapa kali antara Juli - Desember 1830. Di sini kami masuk melalui “pintu suci” (yang ke-10 dan terakhir dalam rangkaian ziarah ini) untuk berdoa dan merayakan Ekaristi. Kapel ini menjadi terkenal dan sampai sekarang tetap banyak dikunjungi peziarah, berkat medali Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda yang dikenal di seluruh dunia dengan nama “medali ajaib”. Medali ajaib ini dipesankan oleh Bunda Maria kepada St. Katarina Labouré dalam penampakan tersebut. Tahun 1832 Paris dilanda epidemi-kolera yang mengerikan, menyebabkan 20.000 orang meninggal. Pada bulan Juni, medali-medali pertama yang dibuat oleh tukang emas Vachette dibagi-bagikan oleh para Suster Puteri Kasih. Penyembuhan, pertobatan dan perlindungan segera muncul dan menyebar. Inilah gelombang pertama. Penduduk Paris menyebut medali Maria Dikandung Tanpa Noda ini “medali ajaib”. Melalui simbolismenya yang kaya, medali ini menerangkan misteri-misteri iman Kristiani. Medali ini            menghubungkan misteri-misteri Inkarnasi dan Penebusan, posisi unik Maria dalam rencana Allah, cinta kasih Hati Kristus dan Maria kepada semua orang, keibuan universal Maria, misteri Gereja dan hubungan antara surga dan bumi.

Perayaan 15 Agustus di Lourdes
Tanggal 15 Agustus, Hari Raya SP Maria Diangkat Ke Surga, adalah hari libur nasional di Perancis. Perayaan besar dipusatkan di Lourdes. Kali ini diperkirakan 25.000 – 30.000 peziarah, baik dari Perancis sendiri maupun dari seluruh dunia memadati Kota Lourdes. Penjagaan keamanan sangat ketat, akibat aksi-aksi terorisme yang melanda Perancis akhir-akhir ini. Puncak perayaan adalah Misa Solemnis yang dipimpin Kardinal, didampingi sejumlah Uskup dan ratusan imam. Perayaan Ekaristi yang dihadiri puluhan ribu orang, dengan kor yang bernyanyi merdu penuh semangat, diiringi korps musik profesional, sesekali diselingi lagu umat, sungguh menciptakan suasana yang menyentuh dan mengobarkan hati. Misa dilangsungkan di lapangan seberang berhadapan dengan Grotta. Seusai Misa, ada anggota group yang menyatakan kepada saya, “Kami bangga melihat Pendamping Rohani kami berada di antara para Uskup konselebran sebagai satu-satunya wakil dari Asia!” Saya hanya membalas dengan tersenyum. Tetapi melihat wajah-wajah berseri bahagia dari setiap anggota group, saya yakin bahwa sekali lagi mereka telah mengalami saat indah seperti pada audiensi dengan Sri Paus di Roma: Tersadar bahwa sebagai umat Katolik, kita adalah anggota sebuah keluarga besar yang tersebar di seluruh dunia!
Sementara para konselebran, Kardinal, Uskup-Uskup dan para Imam mulai bergerak kembali ke Sakristi, mulailah pesta mercon yang memuntahkan potongan-potongan kertas bebungaan berwarna-warni ke udara dari mana-mana. Bunyinya ramai dan keras sekali, seakan sedang ada perang, disertai teriakan gegap gempita di mana-mana. Sepertinya para hadirin mau menyerukan kepada para teroris: “Kami tidak takut padamu!”.

Salah satu acara yang biasanya tak ingin dilewatkan oleh setiap peziarah yang datang ke Lourdes, ialah mandi air Lourdes di tempat khusus yang terdapat di samping gua (Grotta). Kali ini anggota group diberi kesempatan pada pagi-pagi hari atau sesudah makan siang. Ternyata kebanyakan melaksanakannya sesudah makan siang, karena ada waktu cukup sampai acara berikutnya: Jalan Salib. Pk. 17.00 giliran kami melaksanakan Jalan Salib. Walau sudah capek, semua tetap bersemangat menapaki Jalan Salib yang jalurnya panjang dan menanjak, berbatu-batu atau berkerikil. Hampir semua mengap-mengap, sulit  mengucapkan doa dan bernyanyi. Tetapi semua bertahan sampai selesai, termasuk Ibu Rita yang harus duduk terus di kursi roda karena patah kaki yang masih digips dan dengan setia didorong oleh sang suami tercinta, Bpk. Stefanus.

Prosesi lilin di malam hari pk. 21.00, sambil berdoa Rosario diselingi lagu-lagu Maria dalam pelbagai bahasa, sesuai bahasa kelompok peserta, merupakan acara penting dan berkesan lainnya yang tak ingin dilewatkan para peziarah. Belasan bahkan puluhan ribu orang dari pelbagai penjuru dunia berarak panjang sambil memegang lilin bernyala di tangan, mendaraskan Doa Rosario dalam bahasa masing-masing, diselingi gelegar lagu-lagu Maria yang memecah kesunyian malam, sungguh merupakan suasana yang menyentuh sampai relung-relung hati paling dalam. Di saat seperti itu, seorang beriman Katolik yang mengakui Maria sebagai ibunya, akan tersadar bahwa Maria sesungguhnya adalah ibu segala bangsa … dan air mata keharuan akan meleleh membasahi pipinya!

Misa Penutupan Ziarah di Kapel “Bunda Segala Bangsa”
Kami meninggalkan Paris pagi hari Jumat, 19 Agustus, menuju Amsterdam dengan singgah di Brussels, ibukota Belgia. Kami berkunjung ke Alun-Alun Kota yang terkenal itu, lalu ke tempat Manneken Piss, ikon Brussels, dan berbelanja coklat Belgia di situ. Kami juga mampir dan mengambil foto-foto di depan Atomium, salah satu simbol lain dari Brussels. Karena hari itu kami tidak sempat merayakan Ekaristi, di atas bis dalam perjalanan ke Amsterdam kami mengadakan Ibadat Sabda, di samping Doa Rosario. Kami tiba di Amsterdam malam hari.

Sabtu pagi, 20 Agustus, kami agak lambat meninggalkan hotel, karena sarapan pagi terlambat disiapkan. Maklum libur weekend. Kami berkunjung ke tempat pembuatan keju; Belanda terkenal sebagai penghasil keju. Selanjutnya kami ke Volendam. Volendam semula adalah desa nelayan. Tetapi setelah pemerintah berhasil membangun dam besar, wilayah daratan bertambah luas dan sebagian besarnya berada di bawah permukaan air laut. Tetapi akibatnya penduduknya kehilangan mata pencaharian. Namun mereka tidak putus asa. Mereka kreatif menciptakan lapangan kerja baru, antara lain membuat sandal dan sepatu klomp dari kayu yang terkenal itu. Di sini juga kita dapat berfoto menggunakan pakaian adat setempat. Sesudah makan siang kami kembali ke Amsterdam,       mengunjungi pabrik pembuatan berlian yang terkenal.

Akhirnya tertinggallah satu kegiatan penting sebagai penutup rangkaian ziarah kami di Tahun Suci “Kerahiman Ilahi” ini: Perayaan Ekaristi di Kapel “Bunda Segala Bangsa” di Amsterdam. Alkisah, antara tahun 1945-1959 di sini SP Maria menampakkan diri kepada seorang wanita sederhana, bernama Ida Peerdeman. Kepadanya Maria menyatakan bahwa ia hendak dikenal dan dicintai sebagai “Bunda Segala Bangsa”. Maria memperlihatkan keadaan Gereja dan dunia pada saat ini melalui penglihatan-penglihatan ramalan yang mengesankan. Dalam pesan-pesannya, Bunda Maria  mengungkapkan suatu rencana dengan mana Tuhan hendak menyelamatkan dunia melalui Bunda-Nya. Oleh karena itu Bunda memberi kepada segala bangsa dan negara suatu doa beserta gambarnya. Bunda Segala Bangsa dengan sungguh-sungguh meminta suatu aksi sedunia yang besar untuk menyebarluaskan doa dan      gambarnya itu. Dan pada 31 Mei 1996, uskup Haarlem-Amsterdam, H. Bomers dan uskup pembantunya, J.M. Punt, setelah berunding dengan Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman, memutuskan secara resmi untuk mengizinkan devosi umum kepada Maria berdasarkan gelar alkitabnya, “Bunda Segala Bangsa”. Sejak itu tempat ini mulai dikunjungi banyak peziarah.
Kami sangat bersyukur beroleh kesempatan merayakan Ekaristi penutupan ziarah di Kapel ini. Karena besoknya, hari Minggu Biasa XXI, sepanjang hari kami akan berada di pesawat dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, kami mengambil Misa Hari Minggu tersebut. Yang mengesankan ialah hampir semua peserta merasa sayang bahwa waktu berziarah bersama ini akan segera berakhir. Bagi saya ini merupakan pertanda sangat positif. Sepanjang ziarah saya senantiasa mengingatkan dalam setiap perayaan Ekaristi, Ibadat Sabda, Doa Rosario, dan juga ketika memasuki “pintu-pintu suci”, agar masing-masing memanjatkan ujud-ujud doa, baik pribadi maupun yang berupa “titipan” dari sanak keluarga atau kenalan. Pada pengantar Misa  Penutupan ini, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya saya mengingatkan itu. Seusai Misa, salah seorang dari para Suster, yang menerima kami dengan ramah tamah, berkenan memberi penjelasan sekitar “Bunda Segala Bangsa”. Hartelijke bedank, Zusters!

Paspor yang Hilang Ditemukan Kembali
Rencana semula, sebelum ke Bandara Internasional Schiphol kami masih makan malam dulu. Tetapi karena khawatir jangan sampai terlambat, seusai Misa dan pertemuan singkat dengan para Suster di Kapel “Bunda Segala Bangsa”, kami segera berangkat ke bandara. Di bandara kita berpisah dengan beberapa teman yang masih tinggal beberapa hari untuk bersama dengan sanak keluarga yang tinggal di Negeri Belanda. Sebagian lain ikut antrian panjang untuk urusan pengembalian uang pajak atas barang-barang yang dibeli. Ketika check-in, salah seorang anggota group, Ibu Maya dari Semarang, tersadar telah  kehilangan paspor. Padahal waktu sudah mepet! Rupanya ketika mengurus pengembalian uang pajak pembelian tadi, paspornya terjatuh tanpa disadari. Kami semua terdiam dilanda kekhawatiran besar. Berarti beliau tidak bisa berangkat pulang. Beliau harus menghadap ke Kedubes RI, yang terletak jauh di Den Haag. Padahal besoknya hari Minggu. Paling cepat hari Senin baru Kedubes terbuka. Terbayang kesedihan besar di benak setiap anggota kelompok, apabila salah seorang teman harus ditinggal sendiri di negeri orang. Semua berdoa khusyuk di hati. Tiba-tiba ada pengumuman, telah ditemukan sebuah paspor Indonesia, dan disebut di mana bisa mendapatkannya kembali. Tour Leader bersama Ibu Maya berlari sekuat tenaga ke tempat yang ditunjuk. Ternyata jauhnya sekitar dua km! Rupanya seorang yang baik hati telah menemukan paspor tersebut, kemudian menyerahkannya kepada petugas keamanan yang pertama dijumpai. Tour Leader segera menunjukkan photo-copy paspor Ibu Maya untuk membuktikan bahwa Ibu Maya-lah pemilik sah paspor tersebut, dan petugas segera menyerahkannya. Mereka cepat-cepat kembali untuk check-in. Untung belum terlambat. Dalam hati spontan saya berseru: “Puji syukur kepada-Mu, Tuhan!”. Saya yakin teman-teman lain juga begitu. Kami semua merasa lega. Keceriaan yang telah menyertai sepanjang perjalanan ziarah di Tahun Suci “Kerahiman Ilahi” ini kembali menjadi milik kelompok ini: Tuhan memang Maharahim!
Dan keakraban persaudaraan yang telah bertumbuh dalam kelompok ini selama ziarah bersama tidak terakhir dengan usainya ziarah ini. Teman-teman telah bersepakat mengadakan reuni pada awal Februari 2017 yang akan datang di Makassar. Teman-teman, selamat datang ke Kota Anging Mammiri!

Makassar, September 2016

  +John Liku-Ada’