PENGANTAR
Pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD yang direncanakan diselenggarakan tanggal 9 April 2014, semakin dekat. Kasak-kusuk di tengah masyarakat semakin terasa. Timbul pertanyaan-pertanyaan di kalangan umat, yang tidak jarang dialamatkan pula kepada para pastor dan uskup. Melalui edisi ini KOINONIA ingin memberi sumbangannya, berupa sekedar pencerahan dan penyuluhan. Oleh karena itu, walaupun sudah diedarkan sebelumnya, dalam edisi ini dimuat Surat Gembala KWI Menyambut Pemilu Legislatif 2014, berjudul “Jadilah Pemilih yang Cerdas dengan Berpegang pada Hati Nurani”. Tulisan di bawah ini sebenarnya sudah pernah dimuat dalam KOINONIA, vol. 5 no. 4, September-November 2010, dengan judul “Pendidikan Politik”. Kita menerbitkannya kembali dalam edisi ini karena percaya bahwa isinya masih tetap relevan dan penting. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua, sebagai orang Katolik warganegara Indonesia.
MENGATASI FOBI POLITIK
Secara tradisional tampaknya ada gejala ketakutan terhadap politik di kalangan umat Katolik. Entah dari mana asal-muasal ketakutan tradisional tersebut. Barangkali berdasarkan pengalaman Gereja dari abad ke abad, yang dimulai ketika kaisar Konstantin Agung menjadikan Agama Kristen sebagai agama resmi Negara (Edikt Milano, 313). Bahkan kemudian dalam sejarah muncul Negara Gereja, yang di satu pihak justru melemahkan dan menyebabkan Gereja mengalami kemunduran. Dulu kerap terdengar ucapan bernada nasehat ini: “Politik itu kotor. Karena itu kalau mau menjadi orang Katolik yang baik, jauhilah politik”. Sejauh mana hal ini masih menggejala di kalangan masyarakat Katolik di Keuskupan Agung Makassar, dapat terlihat pada hasil survey yang diadakan antara Februari-April 2009 di wilayah KAMS: 63,6% responden menjawab “tidak tertarik pada hal-hal yang berbau politik”. Pada kelompok mayoritas ini kata “politik” diasosiasikan dengan macam-macam hal negatif, antara lain: mencari kedudukan/kekuasaan; berbicara tentang persaingan; kemunafikan/kepalsuan; strategi seseorang mencapai tujuan dan sasaran; kolusi, korupsi dan nepotisme; kecurangan; bingung.
Namun, Konsili Vatikan II menegaskan: “Untuk menunaikan tugasnya, Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam terang Injil” (GS,4). Dan dokumen yang sama, yaitu Konstitusi Pastoral ‘Gaudium et Spes’ tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, dibuka dengan kata-kata berikut: “Kegembiraan dan Harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS,1). Memang Gereja ada bukan untuk memperjuangkan kepentingan dan keselamatannya sendiri saja. Gereja diutus untuk menjadi garam dan terang dunia (bdk. Mat. 5:13-16). Nah, kalau benar bahwa dunia politik itu kotor dan gelap, maka justru di sanalah murid-murid Kristus dibutuhkan menjadi terang! Inilah tugas perutusan yang terus-menerus harus disadari oleh para murid Kristus. Sedangkan orang-orang Katolik yang sudah melibatkan diri di dunia politik harus selalu menjaga agar terangnya tidak pernah redup dan sendiri menjadi unsur kegelapan. Sebagaimana ditegaskan oleh para Bapa Konsili: “Hendaknya segenap umat kristen menyadari panggilan mereka yang khas dalam negara. Di situlah harus terpancarkan teladan mereka, yang terikat oleh kesadaran akan kewajiban mereka mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum yang memang perlu ditingkatkan” (GS,75).
GEREJA DAN POLITIK/NEGARA
Melalui permenungan mendalam atas hakekat dirinya, dan tentu dengan latar belakang pengalaman panjang dari abad ke abad, akhirnya Gereja dalam Konsili Vatikan II menggariskan bagaimana seharusnya relasi dasar antara Gereja dan Negara.
Konsili mengakui keabsahan keberadaan Negara, yang bersumber pada kehendak Allah sendiri. Dengan jelas ditegaskan, “negara dan pemerintah mempunyai dasarnya pada kodrat manusia, dan karena itu termasuk tatanan yang ditetapkan oleh Allah” (GS,74). Adapun dasar pemikirannya sebagai berikut: “Orang-orang, keluarga-keluarga dan pelbagai kelompok, yang bersama-sama membentuk masyarakat sipil, menyadari kurangnya kemampuan mereka untuk mewujudkan kehidupan sungguh manusiawi. Mereka memahami perlunya rukun hidup bersama yang lebih luas, yang memberi ruang kepada semua anggotanya, untuk dari hari ke hari menyumbangkan tenaga mereka sendiri demi semakin terwujudnya kesejahteraan umum. Oleh sebab itu mereka membentuk negara menurut pelbagai pola” (GS,74).
Dari pernyataan Konsili di atas jelas ditegaskan bahwa negara ada karena tuntutan kodrat manusia. Karena kodrat manusia diciptakan oleh Allah, maka harus dikatakan bahwa keberadaan negara berdasarkan penetapan Allah sendiri. Kecuali itu ditegaskan bahwa negara ada “demi semakin terwujudnya kesejahteraan umum”. Satu-satunya dasar dan makna keberadaan negara ialah KESEJAHTERAAN UMUM (bonum publicum, bonum commune). Apa itu kesejahteraan umum? Dijelaskan oleh Konsili dengan kata-kata berikut: “Kesejahteraan umum mencakup keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan sosial, yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan perhimpunan-perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah” (GS,74).
Setelah pernyataan di atas, Konsili selanjutnya menggariskan relasi dasar antara Gereja dan Negara. Ditegaskan, “berdasarkan tugas maupun wewenangnya Gereja sama sekali tidak dapat dicampuradukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sistem politik mana pun juga. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dan perlindungan transendensi pribadi manusia. Di bidang masing-masing negara dan Gereja bersifat otonom, tidak saling tergantung” (GS,76). Namun, baik Gereja maupun negara “melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama”, kendati atas dasar yang berbeda. “Pelayanan itu akan semakin efektif dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat dan semasa. Sebab manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi melulu (-inilah bidang khas negara-), melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi ia sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal (-inilah bidang khas Gereja-). Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang kegiatan manusiawi melalui ajarannya dan melalui kesaksian umat kristiani, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara” (GS,76).
Guna mewujudkan prinsip di atas secara jelas, Konsili memberi penggarisan berikut sebagai pedoman dasar: “Terutama dalam masyarakat yang bersifat majemuk, sangat pentinglah bahwa orang-orang mempunyai pandangan yang tepat tentang hubungan antara negara dan Gereja, dan bahwa ada pembedaan yang jelas antara apa yang dijalankan oleh umat kristiani, entah sebagai perorangan entah secara kolektif, atas nama mereka sendiri selaku warganegara, di bawah bimbingan suara hati kristiani, dan di pihak lain apa yang mereka jalankan atas nama Gereja bersama para gembala mereka” (GS,76). Dalam dokumen yang sama pada nomor sebelumnya ditegaskan sebagai berikut: “Secara khas, meskipun tidak eksklusif, tugas kewajiban maupun kegiatan keduniaan (sekular) termasuk kewenangan kaum awam” (GS,43). Lalu apa tugas khas hirarki dalam hal ini? Pertanyaan ini dijawab, dari para gembala “kaum awam hendaknya mengharapkan penyuluhan dan kekuatan rohani” (GS,43).
PENTING DAN PERLUNYA PENDIDIKAN POLITIK
Konstitusi Pastoral ‘Gaudium et Spes’ tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini menekankan pentingnya dan perlunya pendidikan politik bagi umat Katolik, dengan kata-kata berikut: “Hendaknya secara intensif diusahakan pembinaan kewarganegaraan dan politik, yang sekarang ini perlu sekali bagi masyarakat dan terutama bagi generasi muda, supaya semua warganegara mampu memainkan peranannya dalam hidup bernegara” (GS,75). Dan survey yang diadakan di wilayah KAMS 2009 lalu, yang sudah disinggung di atas, menemukan bahwa “kurangnya pendidikan politik menjadi salah satu faktor penghambat bagi umat Katolik, ketika akan berperan lebih aktif dalam politik”.
Datangnya apa yang disebut ‘era Reformasi’, yang selanjutnya ditandai dengan Otonomi Daerah (Otoda), memang membawa perubahan besar dan mendasar, dibandingkan dengan sistem yang berlaku era sebelumnya (Orde Baru) yang otoriter dan sangat sentralistis. Arus demokratisasi kiranya akan berproses terus pada bangsa ini. Dalam sistem demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat. Maka era Reformasi sesungguhnya membawa serta tantangan besar kepada para warganegara/kelompok-kelompok sosial yang merupakan komponen bangsa ini untuk mengambil peran aktif dalam menentukan pergulatan bangsa ini ke depan dalam upayanya mewujudkan sebuah masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Tetapi barangkali tantangan ini terlebih mengena dan urgen untuk para warganegara dalam kelompok-kelompok sosial minoritas. Karena, di satu pihak, Undang-Undang Dasar menjamin hak dan kewajiban warganegara untuk berperan aktif dalam hidup bernegara. Tetapi kalau, di lain pihak, mereka sendiri tidak menggunakan hak itu, mereka akan terus tergeser ke pinggir dalam arus perjalanan bangsa ke depan.
Dalam sistem demokrasi, kedaulatan rakyat secara khusus dilaksanakan lewat pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia (luber). Melalui Pemilihan Umum yang langsung, bebas dan rahasia, rakyat memilih wakilnya (legislatif) dan pemimpinnya (eksekutif). Setiap warganegara, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Agar Pemilu semakin efektif dan bermutu, rakyat perlu terus-menerus dibantu melalui apa yang dapat disebut “pendidikan politik” supaya mereka memiliki kesadaran yang mendalam dan tepat dalam mewujudkan hak itu:
Menjadi Pemilih yang Cerdas
Setiap warganegara diharapkan menjadi pemilih yang cerdas. Apa maksudnya? Maksudnya bahwa ia mampu secara bebas berdasarkan suara hati yang baik menjatuhkan pilihannya pada figur yang tepat menjadi pemimpin (di bidang eksekutif: pemerintah) dan wakilnya (di lembaga legislatif).
Walaupun Indonesia sudah merdeka hampir 69 tahun, namun sistem politik yang sungguh demokratis baru dimulai dengan datangnya era Reformasi. Jadi boleh dikata bangsa ini sedang berada pada tahap awal dalam proses belajar berdemokrasi secara benar. Kesadaran politik rakyat pada umumnya, termasuk pengetahuan akan hak dan kewajibannya sebagai warganegara, masih lemah sehingga rentan dimanipulasi. Praktek yang paling banyak terdengar ialah apa yang disebut ‘money politics’ (‘politik uang’). Tetapi ketika rakyat sudah sadar akan hak politiknya, tentu ia akan tersinggung bila kedaulatannya sebagai warganegara, dan karena itu juga harga dirinya sebagai pribadi, dibeli atau dinilai antara Rp 25.000,- sampai Rp 50.000,-! Seseorang yang sudah sadar akan hak politiknya tidak perlu merasa bersalah bila ia menerima ‘pemberian’ calon tertentu, tetapi kemudian di bilik pemungutan suara ia memilih calon lain yang dia anggap lebih baik. Pemilu harus luber, orang memilih dengan bebas berdasarkan hatinurani dan rahasia. Tetapi tidak jarang para pemilih diintimidasi. Pemilih yang berstatus PNS diancam bila tidak memilih calon tertentu. Dan terdapat kejadian di mana mereka yang dicurigai memilih calon lain, kemudian disingkirkan oleh Bupati terpilih; wilayah yang memilih calon lain, selanjutnya diabaikan oleh Bupati terpilih. Ini jelas merupakan kejahatan terhadap prinsip demokrasi. Karena sekali seseorang terpilih menjadi Bupati/Walikota, Gubernur atau Presiden, ia menjadi Bupati/Walikota, Gubernur atau Presiden dari seluruh rakyat yang terkait, dan bukan hanya dari rakyat yang memilih dia! Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi. Segala macam gejala penyimpangan seperti ini harus terus-menerus dikikis dari alam demokrasi Indonesia. Untuk itu rakyat perlu mendapatkan pembinaan kewarganegaraan dan politik agar mereka tahu dan berani memperjuangkan hak-haknya yang benar.
Lalu mana kriteria atau ukuran yang hendaknya digunakan para pemilih dalam memilih calon pemimpin/wakil mereka? Kriteria itu ialah integritas, komitmen, dan kemampuan dari calon yang bersangkutan. Dengan integritas dimaksudkan bahwa calon bersangkutan sungguh seorang negarawan sejati dan memiliki moral yang baik sebagai pribadi. Sebagai negarawan, dia tahu bahwa hakekat dan tujuan adanya negara ialah demi kesejahteraan umum (bonum publicum atau bonum commune). Karena itu sebagai pemimpin dia harus berdiri di atas semua golongan; tiada satu golongan atau kelompok sosial, betapa kecil pun, yang boleh diabaikan. Selanjutnya, dia harus mempunyai komitmen sungguh-sungguh sebagai pemimpin/wakil rakyat. Janganlah janji-janji yang disampaikan pada waktu kampanye kemudian dengan gampang diingkari. Dan seorang calon yang secara sembunyi-sembunyi berupaya ‘membeli’ suara para pemilih (‘money politics’) sulit dipercaya bahwa ia mempunyai komitmen serius untuk menjadi pemimpin-pelayan masyarakat demi kesejahteraan umum. Calon seperti ini patut dicurigai hanya berambisi merebut kekuasaan dan memperkaya diri. Kecuali itu moralitasnya pantas dipertanyakan. Jelaslah ‘politik uang’ dilarang oleh undang-undang. Mengapa dia sampai hati membuatnya secara licik? Mengenai kriterium kemampuan, menyangkut dua unsur pokok, yaitu: profesionalitas dan ketrampilan. Ini antara lain akan tampak dalam visi, misi dan program yang diajukan calon bersangkutan. Visi-misi dan program inilah yang harus diperkenalkan sebaik mungkin oleh setiap calon kepada para pemilih dalam masa kampanye, sehingga kemudian para pemilih dapat menjatuhkan pilihannya pada calon yang tepat secara bebas berdasarkan suara hati mereka. Di negara-negara yang sudah mantap demokrasinya, para calon membutuhkan dana untuk kegiatan kampanye semacam ini, dan bukan untuk membeli suara para pemilih secara tidak pantas.
Akhirnya, sebagaimana sudah dikatakan di atas, setiap kelompok sosial komponen bangsa perlu ikut berperan langsung dalam hidup bernegara, baik di bidang eksekutif maupun legislatif. Namun, bagi kelompok-kelompok sosial minoritas, hal ini tidak selalu mungkin diwujudkan di setiap wilayah. Dalam hal seperti ini kelompok sosial bersangkutan harus cekatan membuat ‘kontrak politik’ dengan calon di luar kelompok sosial tersebut yang bersedia membawakan aspirasi dan menyuarakan kepentingan kelompok sosial-nya.
Menjadi Politisi / Negarawan Sejati
Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini menegaskan sebagai berikut: “Mereka yang cakap atau berbakat hendaknya menyiapkan diri untuk mencapai keahlian politik, yang sukar dan sekaligus amat luhur, dan berusaha mengamalkannya, tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan materiil. Hendaknya mereka dengan keutuhan kepribadiannya dan kebijaksanaan menentang ketidakadilan dan penindasan, kekuasaan sewenang-wenang dan sikap tidak bertenggang rasa satu orang atau satu partai politik. Hendaknya mereka secara jujur dan wajar, malahan dengan cinta kasih dan ketegasan politik, membaktikan diri bagi kesejahteraan semua orang” (GS,75). Kader politik dengan sosok seperti inilah yang kita maksudkan dengan ‘politisi/negarawan sejati: Kata-kata kuncinya ada pada bagian terakhir anjuran konsilier tersebut, “membaktikan diri bagi kesejahteraan semua orang” (bonum publicum/bonum commune). Seorang politisi Katolik tidak boleh berjuang hanya untuk kesejahteraan kelompoknya. Ia harus memperjuangkan kesejahteraan umum, termasuk di dalamnya kesejahteraan kelompoknya. Ia diutus ke dunia politik untuk menjadi garam dan terang. Karena itu ia haruslah seorang yang beriman Katolik secara kuat dan mendalam. Sebab kalau tidak demikian, ia akan dengan mudah terkontaminasi kegelapan dan sendiri menjadi unsur kegelapan.
Oleh karena itu pembinaan kader-kader Katolik haruslah bersifat integratif-komprehensif secara berjenjang. Seringkali terdengar kritik dari pihak ormas-ormas Katolik, bahwa Gereja (baca: hirarki) hanya memperhatikan ‘pembinaan ke dalam’ generasi muda Katolik (yang sering disebut ‘pembinaan sekitar altar’), dan mengabaikan ‘pembinaan ke luar’ (pembinaan sosial kemasyarakatan). Mudah-mudahan dalam kritik itu tidak terkandung pengertian bahwa ‘pembinaan ke dalam’ itu tidak perlu. Kiranya sudah tiba saatnya, untuk menyatukan visi dan bersepakat bahwa, baik ‘pembinaan ke dalam’ maupun ‘pembinaan ke luar’ keduanya dibutuhkan. Dan hendaknya diwujudkan lewat pembinaan integratif-komprehensif berjenjang. ‘Pembinaan ke dalam’ dimulai dalam keluarga-Sekami-Mudika, yang harus lebih diintensifkan di paroki-paroki/Kevikepan/Keuskupan: Komisi Kepemudaan, juga KMK-KMK di kampus-kampus. Di situ diadakan penelusuran bakat dan minat. Mereka yang berbakat di bidang sosial kemasyarakatan hendaknya didorong untuk bergabung dan menjadi aktivis di Pemuda Katolik atau PMKRI, yang harus dibangkitkan dan diaktifkan kembali. Selanjutnya, kader-kader ini didorong untuk mulai berkiprah ke luar, misalnya di KNPI atau mulai bergabung dan magang di partai-partai politik. Jangan dilupakan bahwa politik itu adalah terutama sebuah ketrampilan, dan karena itu keahlian di bidang ini lebih banyak akan diperoleh dari pengalaman ketimbang dari buku-buku ilmiah. Tentu saja ini tidak berarti bahwa seorang politisi sejati tidak butuh membaca buku-buku bermutu di bidang politik. Dia tetap perlu terus-menerus menambah dan memperdalam pengetahuannya. Demikian pula, sebagai politisi Katolik, dia harus terus-menerus memperdalam imannya, termasuk membaca buku-buku iman Katolik dan Ajaran Sosial Gereja.
Akhirnya, perkenankan saya menutup ulasan ini dengan mengutip kata-kata John F. Kennedy, mantan Presiden Amerika Serikat yang beragama Katolik: “Do not ask what your country can do for you, but ask what you can do for your country” (“Jangan tanya apa yang Negaramu dapat buat untukmu, tetapi tanyalah apa yang anda dapat buat untuk Negaramu”). Dan penegasan Yesus: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat. 22:21). Sebagai umat Katolik warganegara Indonesia, kita bertekad menjadi: “100% Katolik 100% Indonesia”!
Makassar, Februari 2014
+ John Liku-Ada’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar