Belum lepas dari ingatan kita, Perayaan Besar 50 tahun (Emas) Seminari Menengah St. Petrus Claver Makassar di tahun 2003 sebagai sebuah milestone sejarah baik untuk provinsi Sulawesi Selatan, Tanggara dan Barat secara umum, dan juga secara khusus untuk gereja lokal Keuskupan Agung Makassar. Waktu terus mengalir, tak terasa pada 09 September 2013 yang lalu, seminari ini merayakan dies natalis-nya yang ke-60. Walaupun Perayaan ini dilaksanakan secara sederhana, tidak seperti Perayaan Emas yang lalu, namun perayaan ini cukup menggoreskan harapan-harapan untuk Seminari ini di masa yang akan datang.
Dari segi usia/umur, Seminari ini adalah seminari menengah yang sudah cukup tua di Indonesia. Berdirinya Seminari Menengah di wilayah Keuskupan Agung Makassar diawali kunjungan Mgr.N.M Schneiders, Uskup Agung Makassar ke Bapa Suci Pius XII di Vatikan (1949). Pada waktu itu Sri Paus bertanya: “Monsinyur, apakah di wilayah Anda sudah dilangsungkan pendidikan Seminari?” Jawaban Mgr. Schneiders adalah: “Seminari belum dirasakan perlu didirikan mengingat jumlah umat katolik setempat belum melebihi dua ribu dan apalagi kebanyakan umat adalah kaum muda.”
Sepulang dari Vatikan, Mgr. N.M Schneiders langsung memohon kesediaan P. Albert Raskin, CICM membuka asrama bagi para siswa yang bercita-cita menjadi imam. Cita-cita mulia ini terwujud ketika tanggal 15 Juli malam, sebuah asrama di kota Makale, Ibukota Kabupaten Tana Toraja, mulai kedatangan para calon seminaris. Akan tetapi, mengingat situasi politik yang kurang kondusif serta didukung oleh usul Duta Vatikan Mgr. De Jonghe d’Ardoye yang sempat berkunjung ke Makassar (1952), seminari pun dipindahkan ke kota Makassar.
Di Makassar, pihak keuskupan ternyata telah membeli sebidang tanah yang merupakan kebun bunga dan buah-buahan milik keluarga Santiago, dengan rumah batu di tengah dan salah satu sudutnya. Supaya tempat ini sungguh-sungguh layak sebagai rumah pendidikan calon imam, diusahakan pula perbaikan dan pembangunan sarana pendukung. Salah satu gedung yang dibangun adalah kapel yang bahan bakunya menggunakan bahan bekas asrama Rumah Sakit Stella Maris. Tanggal 25 Juni 1953 para seminaris pindahan dari Makale mulai mendiami seminari baru ini. Pada 6 Juli 1953, mulailah pelajaran di seminari. Pada 9 September 1953, bertepatan dengan peringatan St. Petrus Claver, seminari ini diresmikan dengan nama Seminari Menengah St. Petrus Claver.
Secara manusiawi, 80 tahun adalah umur yang panjang dan kaya, hasil dari jatuh-bangunnya, gagal-suksesnya, perjuangan, pertempuran, semacam mors et vita duello conflixere mirando, duel antar kekuatan kehidupan/rahmat dan kekuatan kematian/dosa-kelemahan manusia, dan dimenangkan secara mulia oleh kekuatan kehidupan. Kekuatan kehidupan yang menang itu nampak dalam berkat imamat yang tak pernah kering menyuburkan iman umat di wilayah Keuskupan Agung Makassar bahkan seantero jagat, belum terhitung lagi kaum awam yang bermutu, terserap di seluruh lapisan sosial masyarakat kita.
Sejarah panjang itu turut membentuk identitas institusi ini. Identitas adalah suatu kondisi yang tetap dalam perkembangan waktu dan menjadi milik tetap individu/institusi tertentu. Identitas menurut Erikson menjadi matang lewat krisis-krisis kehidupan dari tahap-tahap kehidupan yang panjang. Menjadi kepribadian. Menjadi the condition of being the same dalam rentang waktu menuju masa depan. Menjadi the character of persisting essentially unchanged. Identitas personal/institusional menurut Laurence D. Ackerman (Identity is Destiny, Gramedia, 2004: 90) bersifat tetap melampaui waktu dan tempat namun manifestasinya berubah sesuai zamannya. Menurutnya, identitas terdiri atas unsur-unsur antara lain: hukum kehidupan, hukum individualitas, dan hukum ketetapan.
Demikian kita memandang seminari sebagai sebuah institusi yang memiliki identitas, kepribadian, karakter yang tetap tapi berubah dalam manifestasinya sesuai tantangan dan kebutuhan zamannya, melewati krisis-krisis kehidupan. Seminari perlu membuat analisa identitas, yakni proses kontinual-sirkuler, terus-menerus melakukan konstruksi, dekonstruksi yang diikuti dengan rekonstruksi atas dirinya. Segala sesuatu dilucuti dan diletakkan bersama-sama lagi dalam sebuah cara yang terarah pada keseluruhan dirinya.
HUKUM KEHIDUPAN
Ini adalah unsur pertama dari identitas: kehidupan. Laurence (2004: 19) katakan institusi apapun memiliki kehidupan dalam dirinya sendiri dengan menunjukkan kemampuan fisik, mental, dan emosi yang berbeda-beda yang berasal dari, sekaligus melampaui, setiap individu yang membuat institusi itu bertahan hidup. Institusi tidak sekedar berada (to exist) melainkan ia hidup (to live). Sebuah institusi yang sekedar berada berarti ia cuma melanjutkan untuk membuat apa yang diharapkan orang lain terhadap dirinya. Sedangkan institusi yang hidup berarti mengejar apa dipercayainya sebagai yang penting dan benar. Institusi yang hidup selalu yakin akan dirinya dengan seluruh visi dan misinya. Dia bukan sekedar reaktif terhadap tantangan dan tuntutan masyarakat, melainkan proaktif membawa visi-misinya yang benar.
Seminari adalah institusi yang hidup sebab ia memiliki dirinya dengan seluruh sejarah dan arah tujuan yang terumus dalam visinya. Visinya jelas, yang tertuang dalam visi Seminari Menengah St. Petrus Claver Makassar: menjadi komunitas pendidikan calon imam tingkat menengah yang handal dan berkompeten dalam mengembangkan sanctitas (kesucian), sanitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan) ke arah imamat yang tanggap terhadap kebutuhan zaman.
Visi itu meresap menjadi keyakinan, spirit, dan perjuangan tiada hentinya walaupun ia berhadapan dengan godaan-godaan duniawi yang hendak mengalihkan visi dan misinya itu. Uskup Agung Makassar, Mgr John Liku-Ada’, Pr. dalam satu pembicaraan pribadi dengan Rektor Seminari, pernah berkata: seminari tetap adalah lembaga pendidikan calon imam, bukan lembaga pengkaderan kaum awam (walaupun kenyataan mengatakan sebagian besar outputnya menjadi awam yang baik).
HUKUM INDIVIDUALITAS
Ini adalah unsur kedua dari identitas: individualitas. Kemampuan-kemampuan manusia dalam institusi selalu bercampur menjadi identitas yang dapat dilihat, yang membuat institusi itu menjadi unik (2004: 58). Institusi merupakan keseluruhan dari bagian-bagian yang memiliki identitas yang individual. Institusi merupakan sinergi dari semua unsur (chemistry) yang membentuknya. Semua individu di dalamnya memberi warna sehingga ia menjadi unik. Pada titik ini kepemimpinan menjadi sangat penting untuk membuat sel-sel itu bekerja secara sinergis dan menghasilkan yang terbaik.
Seminari Menengah St. Petrus Claver Makassar adalah institusi yang unik, yang terbangun dari anasir yang berbeda-beda: ada unit sekolah, unit asrama, unit pembina dan guru, unit dapur, unit karyawan/ti dan pegawai, unit perkebunan, dan humanioran. Unit-unit ini berada di bawah kepemimpinan seorang Rektor yang memanagenya dengan kebijaksanaan dan cinta. Setiap individu di dalam seminari menjadi salah satu batu dari bangunan besar seminari yang satu dan sama. Mereka dalam keunikannya masing-masing bekerjasama untuk membangun individualitas institusi seminari. Mereka berlangkah bersama dengan visi dan misi yang sama: membentuk calon-calon imam yang tangguh.
Walaupun seminari itu unik dan individual tapi ia tidak menjadi monastik (tertutup). Seminari berelasi dengan Uskup sebagai Pemilik Utama seminari, dan berelasi dengan stakeholders yang lain seperti umat dan sekolah serta pemerintah. Umat selalu menjadi lahan penghasil bibit-bibit calon imam selain ikut bertanggungjawab atas keberadaan/keberlangsungan seminari.
HUKUM KETETAPAN
Ini adalah unsur ketiga dari identitas: ketetapan. Identitas bersifat tetap melampau waktu dan tempat, namun manifestasinya terus berubah. Bagaikan air menyesuaikan dirinya dengan tempat tampungnya. Ketetapan selalu berhadapan dengan change (perubahan) tapi tetap sifat ketetapan adalah bahwa sejumlah hal tidak berubah meskipun kelihatannya mereka berbeda. Dengan kata lain, perubahan tidak mengabaikan segala sesuatu. Seringkali yang kita lihat berubah sebenarnya tidak berubah samasekali, ada sesuatu yang tetap. Hukum ketetapan memberi batas pada perubahan: tidak pernah lepas dari ciri-ciri khas yang memungkinkan institusi membuat nilai di dunia ini (2004: 92).
Demikianlah seminari berhadapan dengan change, manifestasi-manisfestasinya banyak berubah dari masa ke masa. Sangat berbeda suasana seminari pada awal berdirinya dibandingkan dengan seminari di era millenium ketiga ini. Banyak pihak menilai dengan pelbagai parameter/standar untuk mengatakan bahwa perubahan itu positif atau negatif, apakah seminari sekarang lebih bermutu daripada yang dulu atau sebaliknya? Dulu seminari ditangani oleh imam-imam CICM berkulit putih lalu masuk imam-imam berkulit coklat/hitam/sawo matang, Imam diosesan/Projo: ada sesuatu yang berubah? Tentu ada banyak perubahan, tapi perubahan itu tak menghapus ciri khasnya yang tahan zaman, yang melintasi sejarah manusia, yakni ciri spiritual/identitas rohaninya.
Identitas rohani membentuk nasib (destiny) seminari. Kerohanian menjadi kepribadian dan karakter seminari. Dalam melintasi krisis demi krisis dalam tahap-tahap perjalanan sejarahnya, identitas rohani menjadi condition of being the same. Kerohanian menjadi alasan berdiri dan berlangsungnya seminari seterusnya. Karena kerohaniannya ini maka seminari disebut juga sebagai jantung gereja, khususnya Gereja Lokal Keuskupan Agung Makassar.
Identitas rohani membentuk nasib (destiny) seminari. Kerohanian menjadi kepribadian dan karakter seminari. Dalam melintasi krisis demi krisis dalam tahap-tahap perjalanan sejarahnya, identitas rohani menjadi condition of being the same. Kerohanian menjadi alasan berdiri dan berlangsungnya seminari seterusnya. Karena kerohaniannya ini maka seminari disebut juga sebagai jantung gereja, khususnya Gereja Lokal Keuskupan Agung Makassar.
Tentang identitas rohani ini, kita membaca kembali Exhortasi Apostolik Paus Yohanes Paulus II yang berjudul Pastores Dabo Vobis (PDV), di dalamnya dikatakan bahwa formasi calon imam terjadi dalam circumstances of present day namun ada aspek esensial dari imamat yang tidak berubah, yakni, entah mereka dididik pada masa lalu atau masa kini, mereka tetap menyerupai Kristus. PDV menambahkan lagi bahwa di millenium ketiga ini panggilan menjadi imam meneruskan panggilan untuk hidup sebagai imam Yesus Kristus yang permanen dan unik (PDV:5). Harapan PDV itu termanifestasi melalui seluruh proses pendidikan di seminari sebagai lembaga rohani. Dalam proses pembinaan, kerohanian mewarnai seluruh tata nilai yang ditanamkan ke dalam diri calon imam.
Akhirnya, catatan kecil ini turut pula membawa tantangan, harapan, cita-cita atau entahlah istilah apa yang tepat untuk menyebutkan bahwa OUR IDENTITY AND OUR DESTINY adalah bukan hanya perjuangan yang tiada henti yang diletakkan di atas pundak para staf Pembina dan guru di Seminari. Bukan pula hanya pada tanggung jawab pengelola utama dari Gereja Lokal Keuskupan Agung Makassar. Tentu saja juga bukan hanya bersandar pada kepedulian dan perhatian Umat Allah di Keuskupan Agung Makassar. Perjuangan tanpa henti itu adalah perjuangan kita semua dalam kebersamaan dan dalam persaudaraan yang hangat sebagai anak-anak Allah. *** Penulis: Pastor Edy Oktafianus Kaniu, Rektor SPC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar