Jumat, 26 September 2008

Sampul Koinonia vol.3 no.4




Dari Munas IX UNINDO: Kristenisasi Budaya Toraja atau Torajasasi Iman Kristen?


Mencegah Salah Paham, Memantapkan Upaya Inkulturasi
Rubrik ‘Dari Meja Uskup Agung’ KOINONIA kita vol. 3, no. 3 yang lalu menurunkan tema berjudul “Perjumpaan Injil dan Budaya: Inkulturasi Iman”. Tulisan itu dibuat atas permintaan Redaksi “untuk mengantar para imam dan umat memasuki Munas IX UNIO Indonesia” yang direncanakan diselenggarakan di Makassar dan Tana Toraja, 4-10 Agustus 2008. Kalau Munas VIII di Palasari, Bali (2005) berfokus pada “berpastoral berdasarkan data”, maka Munas IX ini berpusat pada “berpastoral inkulturatif”. Dan agar tidak melulu bersifat teoritis melainkan lebih ‘membumi’, SC (steering committee, red.) berani membatasi, dan dengan demikian lebih mengkongkritkan, tema itu pada “Menemukan Benih-Benih Sabda di Tana Toraja”. Bagi para peserta Munas yang datang dari setiap Keuskupan di seluruh Indonesia, pergumulan atas tema ini dimaksudkan sebagai sampel untuk berpastoral inkulturatif selanjutnya di Keuskupan asal masing-masing.

Kini Munas tersebut sudah lewat lebih sebulan. Sesungguhnya Gereja lokal Keuskupan Agung Makassar, khususnya Gereja Katolik di Tana Toraja, adalah pihak yang paling diuntungkan dengan pilihan sampel tersebut. Apakah keuntungan tersebut dapat menjadi kenyataan, akan tergantung pada bagaimana kita secara benar menindaklanjuti ‘benih-benih’ yang ditemukan dalam rangkaian kegiatan Munas itu. Dalam arah inilah kita sengaja mengangkat pertanyaan menggelitik di atas. Pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang imam peserta Munas, yang adalah seorang antropolog budaya. Kita mendapat kesan beliau mempunyai kekhawatiran, jangan-jangan upaya inkulturasi yang dicanangkan Gereja Katolik justru merusak budaya (baca: budaya Toraja).

Kekhawatiran semacam itu dapat menimbulkan salah paham yang mudah tersebar, dan karenanya akan berdampak negatif bagi upaya inkulturasi yang sedang digiatkan Gereja (Katolik). Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah klarifikasi meyakinkan bahwa inkulturasi sama sekali tidak merupakan ancaman bagi budaya yang bersangkutan. Malahan sebaliknya, akan memperkaya budaya yang bersangkutan, sebagaimana juga akan memperkaya Gereja (universal). Inkulturasi harus dimengerti secara utuh sebagai: proses integrasi pengalaman Kristiani sebuah Gereja lokal ke dalam kebudayaan setempat, sedemikian rupa sehingga pengalaman tersebut tidak hanya mengungkapkan diri di dalam unsur-unsur kebudayaan bersangkutan, melainkan juga menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, dan memperbaharui kebudayaan bersangkutan, dan dengan demikian menciptakan suatu kesatuan dan ‘communio’ baru, tidak hanya di dalam kebudayaan tersebut, melainkan juga sebagai sesuatu yang memperkaya Gereja universal.

Pertanyaan hakiki inkulturasi ialah, bagaimana seorang dan kelompok orang (=Gereja setempat) menghayati dan mengungkapkan iman Kristennya dalam budayanya sendiri. Dengan demikian inkulturasi tidak dapat tidak akan berlangsung dengan sendirinya ketika orang / kelompok orang Kristiani dari budaya tertentu secara serius mau menghayati dan mengamalkan iman Kristennya dalam hidup kongkrit mereka. Semakin banyak orang dari budaya bersangkutan menjadi anggota Gereja, khususnya ketika semakin banyak yang menjadi imam pelayan umat setempat, maka proses inkulturasi juga akan semakin diperkuat. Sungguh perlu diperhatikan bahwa, inkulturasi itu menyangkut orang / kelompok orang (=Gereja setempat) dari budaya tertentu, dan tidak langsung menyangkut budaya tersebut pada dirinya sendiri. Gereja setempat berupaya menghayati dan mengungkapkan imannya secara kontekstual, dalam budayanya sendiri.

Khusus bagi Gereja Katolik di Tana Toraja, sebuah upaya inkulturasi yang berhasil akan melahirkan suatu versi baru budaya Toraja, di samping versi-versi lainnya yang sudah ada. Ini tidak akan dipandang oleh masyarakat Toraja sebagai ancaman, melainkan sebuah sesuatu yang memperkaya totalitas budaya mereka. Mengapa bisa demikian? Kiranya Stanislaus Sandarupa, PhD., Dosen Antropologi Linguistik Fak. Sastra Unhas, benar ketika beliau menyatakan, bahwa salah satu kearifan lokal utama warisan nenek moyang orang Toraja ialah ciri “kesatuan sebagai totalitas yang mengandung keberagaman, sehingga piawai dalam mengorganisir perbedaan”. “Secara keluar”, demikian ditulis Stanis selanjutnya, “budaya Toraja memperlihatkan kesatuan, namun secara ke dalam terjadi keberagaman multiversi. Budaya Toraja menekankan bukan organisasi keseragaman melainkan organisasi perbedaan. Masyarakat Toraja yang berpenduduk 400.000 orang (1,5 juta orang di tanah rantau) merupakan satu kelompok etnis kecil di Sulawesi Selatan. Namun, mereka mempunyai satu sistem pikir dan sistem ritus unik yang tetap dipertahankan. Dalam tradisi itu mereka sangat menghargai keberagaman / perbedaan, seperti yang ada dalam ungkapan pantan lembang pantan serekan bane’ (“masing-masing punya negeri masing-masing punya praktik ritus”). Kalau masyarakat Toraja mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, itu bukan karena minoritasnya, melainkan karena mereka sudah terbiasa hidup dalam keberagaman (diversitas)” (Buku Panduan Seminar Budaya Toraja “Menemukan Benih-Benih Sabda di Toraja”; Munas IX UNIO Indonesia, Toraja, 9 Agustus 2008:95).

Torajasasi Pengalaman Iman Kristiani
Sebagai suatu proses menuju integrasi, dalam kegiatan inkulturasi dapat diperbedakan tiga tahap utama yang berkesinambungan: terjemahan, asimilasi, dan transformasi.
Dengan tahap terjemahan dimaksudkan tahap permulaan, di mana Gereja berkontak dengan suatu kebudayaan baru sambil memperkenalkan pesan dan hidup Kristiani yang sudah terdapat dalam wujud kebudayaan lain (secara garis-besar dalam sejarah: dari budaya Yahudi (semit) ke Yunani-Romawi atau Barat ke budaya-budaya dunia lainnya). Pesan dan hidup Kristiani itu diterjemahkan ke dalam bahasa setempat, dengan adaptasi terbatas di sana sini. Pada tahap selanjutnya berlangsunglah proses asimilasi. Di sini Gereja semakin mengasimilasikan diri pada kebudayaan setempat. Banyak unsur dari kebudayaan setempat (ritus, upacara atau pesta, simbol-simbol, dll) diambil alih ke dalam kehidupan Gereja.

Kini tampaknya Gereja Katolik di Tana Toraja sedang berada pada tahap asimilasi ini. Kita melihat sekian banyak unsur budaya asli Toraja telah diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Barangkali hal itu paling jelas di bidang ritual kematian (rambu solo’): bentuk upacara liturgis kematian orang Katolik hampir seluruhnya serupa dengan ritual kematian asli Toraja. Tetapi hal ini juga tidak kurang jelas di bidang ritual menyangkut kehidupan (rambu tuka’), misalnya pemberkatan rumah tongkonan (mangrara tongkonan) dan syukuran panen di lingkungan Katolik. Di bidang arsitektur, semakin banyak gedung gereja Katolik yang mengambil alih arsitektur asli tongkonan; demikian pula ukiran-ukirannya. Tidak itu saja! Bahkan tabernakel, tempat menyimpan Sakramen Mahakudus, Tubuh Kristus, di sejumlah gereja mengambil bentuk lumbung asli Toraja. Lumbung adalah tempat menyimpan padi: Dan dalam budaya religius Toraja, padi adalah sumber kehidupan manusia (bdk. perikop Takkebuku, moyang padi, dalam Passomba Tedong). Nah, bagi orang Kristen (Katolik) Kristuslah sumber kehidupan sejati, yang telah menyerahkan tubuh-Nya menjadi makanan bagi kita! Selanjutnya, cara hidup umat Kristen perdana (Kis. 2:41-47), yang oleh SAGKI 2000 dicanangkan sebagai cara baru hidup menggereja di Indonesia, dengan nama Komunitas Basis, sesungguhnya telah lama dipraktekkan umat Katolik di Toraja dengan mengambil alih bentuk organisasi sosial basis asli Toraja, yang disebut saroan (di wilayah tertentu dipakai nama lain). Sedemikian itu, maka kita sungguh dapat berbicara mengenai torajasasi kehidupan iman Gereja.

Tentu saja proses torajanisasi yang sedang berlangsung berkelanjutan tersebut perlu dilandasi dan dikawal dengan refleksi teologis yang cermat. Ini demi mencegah “semua bentuk sinkretisme dan partikularisme palsu” (AG,22). Untuk itu Gereja universal memberikan pedoman umum dan praktis, berupa metode tiga langkah berikut: Dalam mengambil alih manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan setempat (ritus, upacara atau pesta, simbol-simbol, dll) ke dalam penggunaan gerejawi perlulah (a) pertama-tama diusahakan memurnikan manifestasi-manifestasi tersebut dari unsur-unsur takhyul dan magis; lalu (b) menerima yang baik atau yang sudah dimurnikan; dan dengan demikian (c) memberi makna baru kepadanya, dengan mengangkatnya ke dalam kepenuhan Kristiani. Untuk menjelaskan metode tiga langkah ini, kita ambil lagi contoh klasik itu mengenai perayaan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus pada 25 Desember. Secara historis tanggal kelahiran Yesus Kristus tidak diketahui. Kitab Suci sendiri tidak mencatat hal itu. Diketahui bahwa pada tanggal 25 Desember itu aslinya dalam kekaisaran Romawi dirayakan sebagai hari besar Mahadewa Terang, yaitu Matahari. Ketika agama Kristen mulai berkembang di wilayah kekaisaran Romawi, orang Kristen tidak mau menerima Matahari sebagai Mahadewa Terang. Mereka tahu matahari itu ciptaan Tuhan. Bagi orang Kristen Maha Terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Maka melalui metode 3 langkah di atas hari besar 25 Desember diambil alih ke dalam penggunaan Gereja: merayakan peristiwa inkarnasi Sang Sabda, Terang Dunia; kini disebut Natal. Pada langkah pertama, hari besar 25 Desember dibersihkan dari unsur takhyul (matahari ditolak sebagai Dewa Terang); lalu 25 Desember diterima (langkah kedua); dan diberi makna baru: peristiwa inkarnasi Terang dunia (langkah ketiga).

Kristenisasi Budaya Toraja
Apabila proses asimilasi, yang di atas kita istilahkan “torajasasi kehidupan iman Kristiani (Gereja)”, berjalan baik, maka lama-kelamaan iman Kristiani akan tertanam dan mulai berfungsi normatif dalam memberi orientasi baru terhadap kebudayaan Toraja (dalam lingkungan Gereja Katolik di Toraja). Inilah tahap ke-3 dalam proses inkulturasi: tahap transformasi. Pada tahap ini kita akan menemukan terbentuknya suatu Komunitas Katolik baru khas Toraja; sebuah communio dinamis, terus-menerus berkembang dalam kekhasannya, tidak hanya pada bidang pengungkapan eksternal (seperti bentuk-bentuk liturgi dan ibadat), melainkan juga pada bidang refleksi iman (teologi) serta pada bidang sikap dasar dan praksis iman (spiritualitas). Ekspresi khas Toraja pengalaman Kristiani ini pada gilirannya memperkaya baik eksistensi budaya Toraja sendiri maupun Gereja Katolik semesta. Sebagaimana telah dicoba digali melalui sebuah penelaahan teologis dalam tulisan saya berjudul “Perjumpaan Paham Allah dalam Agama Kristiani dan Aluk To Dolo dalam konteks Pancasila”, terdapat kemungkinan saling memperkaya cukup luas di bidang teologi. Tulisan tersebut direncanakan dimuat dalam buku Komisi Teologi KWI tentang perjumpaan nilai-nilai Kristiani dan Pancasila.

Dalam communio Katolik khas Toraja yang sedang dalam proses pembentukannya itu tentu saja iman Katolik harus berfungsi normatif. Di dalamnya iman Katolik-lah yang menjadi ukuran; ia memberi orientasi dan makna baru. Sekedar contoh, korban harta benda, khususnya korban hewan, pada upacara kematian Katolik tak boleh lagi dianggap sebagai bekal (kinallo lalan) ke akhirat seperti dalam Aluk To Dolo. Bekal orang beriman Katolik ke akhirat ialah tubuh Kristus (Ekaristi). Keselamatan di akhirat tidak ditentukan oleh pelaksanaan aluk (ritual kematian), melainkan oleh Kristus, Penyelamat satu-satunya. Dan dengan demikian sesungguhnya pengorbanan berlebih-lebihan pada ritual kematian orang Katolik tidak mempunyai landasan imani Katolik. Paling-paling itu dapat dipahami sebagai pelestarian adat-istiadat; tetapi merupakan tradisi yang sangat memberatkan dari segi ekonomi bagi keluarga yang bersangkutan. Di sini orang-orang Katolik Toraja tidak boleh lupa akan peringatan keras Yesus: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat-istiadat sendiri” (Mrk. 7:9).

Akhir Kata
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa rumusan pertanyaan, yang dipinjam menjadi judul tulisan ini, adalah salah. Diambil dalam pengertiannya yang benar dan utuh, inkulturasi tidak mengenal pilihan “atau…atau…”, “atau Torajasasi pengalaman iman Kristen atau Kristenisasi budaya Toraja”. Dalam proses menuju integrasi final kedua hal itu berlangsung. “Torajanisasi” terlebih akan menonjol dalam tahap kedua (asimilasi), sedangkan “Kristenisasi” akan lebih berfungsi menentukan pada tahap ketiga (transformasi). Di ujung proses inkulturasi itu akan terjadi integrasi pada dua segi, yaitu: integrasi iman dan hidup Kristiani ke dalam kebudayaan Toraja, dan integrasi ekspresi pengalaman Kristiani khas Toraja ke dalam hidup Gereja universal.

Semoga Sang Sabda yang telah menjelma lebih 2000 tahun lalu ke dalam budaya Yahudi, semakin berinkarnasi pula ke dalam budaya Toraja, “demi kemuliaan Tuhan…dan kebahagiaan manusia” (LG,17; AG,9).

Makassar, Medio September 2008
+ John Liku-Ada’

Imam Projo di Tengah Konteks Multikultural

Laporan dari Munas IX Unio Indonesia

Imam Projo di Tengah Konteks Multikultural
“Menemukan Benih-Benih Sabda di Toraja”


Musyawarah Nasional IX Paguyuban Imam Projo (UNIO) Indonesia
Makassar-Toraja, 04-10 Agustus 2008

Musyawarah Nasional IX Unio Indonesia yang mengambil tema: “Imam Projo di tengah Konteks Multikultural” dengan Sub Tema: “Menemukan Benih Sabda di Toraja” baru saja selesai. Ada beberapa hal menarik yang patut dicatat dari Munas kali ini: merupakan perhelatan nasional UNIO yang pertama kali digelar di luar Jawa-Bali; perayaan ekaristi yang pembuka yang dipimpin oleh Duta Vatikan Mgr. Leopoldo Girelli, dibuka langsung oleh Gubernur Sulawesi Selatan Bpk. Syahrul Yasin Limpo, dihadiri oleh 11 orang Uskup (Mgr.Leopoldo Girelli – Dubes Vatikan, Mgr.Blasius Pujaraharja, Pr. – Uskup Ketapang, Mgr.Prajasuta MSF – Uskup Banjarmasin, Mgr.Agustinus Agus, Pr. – Uskup Sintang, Mgr.Jos Suwatan, MSC – Uskup Manado, Mgr.Julius Sunarka, SJ – Uskup Purwokerto, Mgr.P.C. Mandagi, MSC – Uskup Amboina, Mgr.H. Datus Lega, Pr. – Uskup Sorong, Mgr.Nicolas Adi Seputra, MSC – Uskup Agung Merauke, Mgr.John Philip Saklil, Pr. – Uskup Timika, Mgr.John Liku Ada’, Pr. – Uskup Agung Makassar, Mgr.Piet Timang, Pr. – Uskup Terpilih Banjarmasin) bersama dengan beberapa utusan negara tetangga (Malaysia – 1 orang , Filipina – 1 orang , Timor Leste – 2 orang, Thailand – 2 orang), dan dihadiri oleh kurang lebih 87 orang imam dari 37 Keuskupan di Indonesia.

Fakta yang paling menarik adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah Unio Indonesia, pelaksanaan terbagi dalam dua kegiatan besar di dua tempat yang berbeda. Kegiatan Persidangan dilaksanakan di Makassar pada tanggal 04–07 Agustus 2008. Sementara Kegiatan Refleksi bersama Umat dilaksanakan di Toraja pada tanggal 07–10 Agustus 2008. Pemilihan Toraja sebagai tempat refleksi bersama umat dan masyarakat terjadi atas dasar permintaan para peserta Munas VIII UNIO Indonesia di Palasari, Bali tahun 2005 yang lalu. Hal ini terjadi karena para peserta Munas UNIO pada waktu itu merasa perlu melihat bagaimana iman kristiani dapat berkembang di tengah kebudayaan yang demikian unik seperti Toraja.
Untuk memperjelas bagaimana proses pelaksanaan Munas ini berjalan, berikut kami memberikan gambaran pelaksanaan Munas baik yang terjadi di Makassar maupun di Toraja.

Kegiatan di Makassar, 4–6 Agustus 2008
Kegiatan di Makassar berlangsung 4-6 Agustus 2008. Pada tahap ini, seluruh rangkaian kegiatan secara khusus diperuntukkan bagi pelaksanaan berbagai macam sidang.

1. Pra Kegiatan dan Penjemputan Peserta, Sebelum 4 Agustus 2008
Sejak dibentuk pada akhir 2007, Panitia Pelaksana Munas IX Unio Indonesia sudah disibukkan dengan berbagai kegiatan: rapat-rapat persiapan dan lobi ke pihak pemerintah dan donatur, serta proses pencarian dana. Sebagai catatan, hal yang sama juga terjadi di Toraja. Puncak kesibukan persiapan adalah hari-hari terakhir menjelang pembukaan kegiatan. Proses terakhir dari persiapan kegiatan adalah penjemputan peserta yang mulai berdatangan sejak hari pertama dalam bulan Agustus.
Diawali dengan kedatangan Dubes Vatikan, rangkaian kedatangan peserta dimulai. Para peserta (termasuk para uskup) diantar untuk menginap pada keluarga-keluarga yang menyatakan kesediaannya untuk menerima mereka. Proses refleksi peserta sebenarnya sudah mulai terjadi pada tahap ini: peserta diajak untuk mengenal kehidupan umat yang berada di tengah kesibukan dan tantangan kota besar seperti di Makassar.

2. Perayaan Ekaristi dan Acara Pembukaan, 4 Agustus 2008
Tepat pukul 17.00 pada tanggal 04 Agustus 2008, perayaan ekaristi pembukaan Munas IX Unio Indonesia dimulai. Perayaan dilaksanakan di Paroki St. Fransiskus Asisi Panakkukang dan dipimpin oleh Duta Vatikan, Mgr. Leopoldo Girelli bersama para uskup yang hadir dari berbagai keuskupan di Indonesia, perwakilan pengurus Unio Indonesia (Ketua: P. St. Ferry Sutrisna) serta Perwakilan Unio Internasional (Fr. Franco Mulakkal). Dalam suasana inkulturatif Makassar para uskup dan para imam, baik peserta maupun imam Keuskupan Agung Makassar dengan jumlah kurang lebih 167 orang berarak memasuki Gereja dengan diiringi tabuhan gendang dan tarian “Batara” sebagai ungkapan penyambutan tamu agung.

Di awal perayaan, Pastor Paroki – P. Victor Patabang - atas UNIO Unit KAMS dan umat di Paroki St. Fransiskus Asisi menyampaikan ucapan selamat datang kepada seluruh peserta. Antusiasme umat untuk hadir dalam perayaan sangat terasa. Hal itu nampak dari dipenuhinya seluruh tempat duduk dan lokasi yang berada di sekitar Gereja. Suasana menjadi sedemikian meriah dalam perayaan itu dengan hadirnya persembahan lagu yang merupakan kolabolarasi Paduan Suara Resurrectionis dengan kelompok pengiring langgam keroncong “Bunga Desa” (yang berlatar belakang saudara-saudari kaum muslim), serta kelompok nyanyi anak-anak dengan iringan angklung dari BMA (Bina Musik Assisi).

Dalam khotbahnya, Uskup Agung KAMS, Mgr. John Liku-Ada’, mengajak umat dan para imam untuk merenungkan pertanyaan Yesus: “Menurut kamu siapakah Aku ini?”. Lewat pertanyaan tersebut umat dan imam yang mengikuti perayaan ekaristi diajak untuk melihat pentingnya pengenalan akan pribadi Yesus Kristus lewat proses inkulturasi. Proses seperti itulah yang akan terjadi selama munas berlangsung. Para imam akan diajak untuk sungguh mengalami dan mengenal kehadiran Yesus dengan segala bentuk khas dan tantangannya dalam budaya setempat baik di Makassar maupun di Toraja.

Setelah perayaaan ekaristi, acara dilanjutkan di halaman gereja St. Fransiskus Asisi. Gubernur Sulawesi Selatan Bpk. Syahrul Yasin Limpo, berkenan hadir untuk memberikan sambutan dan membuka Munas IX Unio Indonesia. Gubernur mengingatkan pentingnya usaha untuk mempererat tali silahturahmi antarumat beragama. Selain itu, sekali lagi, Gubernur menegaskan bahwa ia adalah pemimpin untuk semua kelompok, suku, dan agama di propinsi Sulawesi Selatan. Sambutan Bapak Gubernur ini mendapatkan aplaus yang meriah dari seluruh umat dan peserta yang hadir. Rangkaian acara pembukaan juga dimeriahkan oleh berbagai macam tarian, lagu, dan acara hiburan lain. Acara ini kemudian ditutup dengan makan malam bersama dan penyampaian proses kegiatan selama munas oleh Panitia Pelaksana.

3. Proses Persidangan, 5-6 Agustus 2008
Keesokan harinya, dimulailah proses persidangan. Persidangan selama Munas IX Unio Indonesia dilaksanakan selama 7 kali dengan tahapan sebagai berikut::

a. Sidang Pertama. Sidang ini merupakan bagian pendahuluan yang berisi berbagai sambutan. Duta Besar Vatikan, Mgr. Leopoldo Girelli mengingatkan hendaknya munas dijadikan sebagai bagian dari sarana on going formation. Para peserta diajak untuk sungguh-sungguh belajar dari pengalaman yang akan sharingkan oleh para peserta sendiri berdasarkan situasi konkret yang terjadi di masing-masing keuskupan. Lewat pembelajaran seperti ini, pada akhirnya para imam akan menjadi imam yang misioner dalam karyanya setiap hari. Sementara itu, Dirjen Bimas Katolik Bpk. Stef Agus mengharapkan supaya Munas ini sungguh-sungguh dapat dijadikan sebagai wadah para imam projo untuk saling berbagi pengalaman pastoral di masing-masing tempat serta memberikan sumbangan tidak hanya bagi gereja tetapi juga bagi masyarakat warga. Hal ini disebabkan oleh karena para imam yang berkumpul dalam Munas – dalam tugasnya sehari-hari, tidak jarang langsung bersentuhan dengan berbagai soal yang berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Akhirnya, Perwakilan Confederation of Apostolic Union of Clergy (AUC) – Unio Internasional, Fr. Franco Mulakkal, mengingatkan perlunya para imam projo meningkatkan diri baik dari segi jumlah maupun kemampuan. Hal itu akan terungkap lewat karya dan semangat pelayanan para imam dalam hidup sehari-hari.

b. Sidang Kedua; pada sidang ini Pengurus UNIO Indonesia menyampaikan laporan pertanggungjawaban masa tugas periode 2005-2008. Dalam Laporannya sebagai ketua, P. St. Ferry Sutrisna Wijaya mengingatkan sekali lagi tujuan keberadaan Unio, yaitu: menjadi salah satu sarana pengembangan hidup imamat dan pelayanan imam diosesan Indonesia dalam semangat persaudaraan (bdk. Statuta Unio Indonesia no. 35). Setelah itu, berturut-turut pengurus lain menyampaikan Laporan Pertanggungjawabannya: Laporan Sekretaris (P. Yohanes Driyanto dan P. D.G.B. Kusumawanta), Laporan Bendahara (P. Samuel Pangestu dan P. B. Hardijantan Dermawan), Laporan Pastoran Unio (P. Edy Purwanto), Laporan On Going Formation (P. Dedy Pradipta dan P. Terry Panomban), Laporan Bidang Publikasi dan Komunikasi (P. Aloysius Budi Purnomo), Laporan Para Animator Regio (P. Bernard Lie, P. A. Deny Firmanto, P. Piet Apot, P. Marcel Bria, dan P. John Kandam).

c. Sidang Ketiga; Sidang ini diisi oleh sharing para peserta yang berasal dari negara tetangga: India (Fr. Donald de Souza), Thailand (Fr. Anthony Vorayuth Kitbamrung – Keuskupan Bangkok dan Fr. Michael Vatcharin Tonprueksa – Keuskupan Agung Tharae-Nongsang), Timor Leste (P. Mateus Alfonso – P. Sabino Pintode Souza Gama), Filipina (Mgr. Tirsa Alcala – Keuskupan Surigao Mindanao), dan Malaysia (Fr. Dionysius Mathews – Keuskupan Agung Kuala Lumpur). Pada umumnya sharing utusan negara tetangga ini menceritakan perjuangan dan tantangan mereka sebagai imam projo yang hidup di tengah masyarakat yang multikultural. Selain itu, mereka juga menceritakan bagaimana para imam projo berusaha mengembangkan diri di tengah berbagai persoalan yang dihadapi.

d. Sidang keempat; Dalam sidang ini para peserta mendapakan masukan dari narasumber: Bpk. Ishak Ngeljaratan (Budayawan) dan Bpk. Stanislaus Sandarupa (Antropolog). Bpk Ishak Ngeljaratan membawakan makalah tentang: Mengembangkan Wujud KeIndonesiaan. Makalah ini berisi refleksi kritis kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Secara khusus beliau menguraikan mengenai kemajemukan bangsa Indonesia dalam budaya serta kekayaan yang termuat dalam perbedaan itu. Sementara itu, Bpk. Stanislaus Sandarupa membawakan makalah yang berkaitan dengan Kebudayaan Toraja. Makalah ini dimaksudkan untuk mempersiapkan peserta guna semakin mengenal budaya Toraja berhubung proses kedua dari Munas akan dilaksanakan di Toraja.

e. Sidang Kelima; proses persidangan pada tahap ini adalah sharing dan diskusi peserta Munas atas berbagai input yang diperoleh selama sidang berlangsung. Proses ini berlangsung dalam suasana penuh kekeluargaan dan persahabatan di antara para peserta.

f. Sidang Keenam; Sidang ini berisi masukan dari 2 (dua) orang uskup: Mgr.Blasius Pujaraharja (Keuskupan Ketapang) dan Mgr.H. Datus Lega (Keuskupan Sorong – Manokowari). Mgr.B. Pujaraharja berbicara mengenai Refleksi 25 Tahun UNIO Indonesia yang mengungkapkan bagaimana awal berdirinya Unio Indonesia hingga pelaksanaan Munas VIII Unio di Palasari Bali. Sementara Mgr.H. Datus Lega mengungkapkan sharingnya dalam makalah yang berjudul: Imam Misioner-Global: “Kekuatan” Projo di Masa Depan. Dalam sharing ini, Mgr. Datus Lega memberi bayangan bahwa imam projo di masa depan akan lebih berkiprah sebagai imam-imam misioner tanpa batas (priest without frontiers) yang harus dapat men-global di tengah dunia yang makin penuh tantatangan.

g. Sidang Ketujuh; Sidang ini dimaksudkan untuk memilih pengurus UNIO Indonesia periode 2008-2011. Pada tahap ini terlebih dahulu dipilih para pengurus Inti. Setelah itu para pengurus inti (khususnya Ketua dan Wakil Ketua) menentukan komposisi kepengurusan untuk periode 2008-2011. Berikut ini susunan Kepengurusan Unio Indonesia, periode 2008-2011:

Pelindung : Mgr. Blasius Pujaraharja, Mgr. J.M. Pujasumarta
Penasehat : Mgr. John Liku-Ada’, Mgr. Hilarion Datus Lega, Mgr. Agustinus Agus
Ketua I : P. St. Ferry Sutrisna Wijaya
Ketua II : P. Edy Purwanto
Sekretaris I : P. D.G.B. Kusumawanta
Sekretaris II : P. Fabianus Muktiarso
Bendahara I : P. Lukas Paliling
Bendahara II : P. Vinsensius Dwi Sumarno
Tim Foundraising: P. Jacobus Tarigan, P. Paulus Tongli
Kepala RT Unio: P. Edy Purwanto
Sie Publikasi/Komunikasi: P. Alf Boedi Prasetijo
Sie On Going Formation: P. Dedy Pradipta, P. Terry Panomban, P. FX Sukendar WS, P. Marcel Bria
Animator Regio Papua: P. John Kandam
Animator Regio Ende: P. Manfred Habur
Animator Regio Kupang: P. Y. Tjung Phoa
Animator Regio Sumatera: P. E. Belo Sede
Animator Regio Jawa: P. C.B. Mulyatno
Animator Regio Kalimantan Timur: P. Simon Edi Kabul
Animator Regio Kalimantan Barat: P. Piet Apot
Animator Regio MAM: P. Terry Panomban

Sidang ini juga menetapkan bahwa Munas X Unio Indonesia akan dilaksanakan pada tahun 2001 di Kuskupan Sintang. Tema yang diusulkan adalah Pastoral Dialogis atau Pastoral Ekumene atau Pastoral Migran. Cadangan tempat untuk Munas X adalah Keuskupan Atambua. Sementara untuk Munas XI pada tahun 2014 menurut rencana akan dilaksanakan di Keuskupan Kupang.

4. Rekreasi bersama House Couple dan Umat, 6 Agustus 2008
Akhir dari rangkaian kegiatan persidangan di Makassar adalah rekreasi bersama di Pantai Akkarena yang dimulai pukul 17.00 WITA. Bersama dengan keluarga tempat peserta menginap dan panitia, para peserta diajak masuk dalam suasana rekreatif: renang, nyanyi bersama, makan dan minum khas Makassar. Kegiatan ini dimulai sejak sore hari sampai malam hari. Akhirnya, pukul 21.30 WITA acara ditutup dan peserta diajak kembali ke rumah penginapan masing-masing untuk mempersiapkan perjalanan menuju ke Toraja keesokan harinya.

B. Proses Refleksi di Toraja, 7-10 Agustus 2008
Pada 7 Agustus 2008, para peserta memulai perjalanannya menuju Toraja. Sepanjang perjalanan para peserta dipandu oleh tour guide yang sudah dipersiapkan oleh panitia pelaksana. Peserta menyempatkan diri beristirahat di Bambapuang - Enrekang untuk bersantap siang bersama. Acara santap siang bersama ini dipersiapkan oleh umat yang berada di Paroki St. Petrus Rasul Pare-Pare. Setelah bersantap siang dan berfoto dengan latar belakang keindahan alam Bambapuang, peserta melanjutkan perjalanan yang masih tersisa menuju Toraja.
Tepat pukul 16.15, para peserta memasuki Kota Makale. Raungan sirine mobil Kepolisian yang mengawal sejak dari Makassar dan rombongan kendaraan roda dua dari Kelompok Bela Diri THS-THM Wilayah Toraja mengawali kedatangan peserta di Toraja. Para peserta kemudian diantar menuju kantor DPRD Kabupaten Tana Toraja untuk berganti pakaian dan menikmati minuman khas penyambutan di Toraja: jus tamarillo (terung belanda, red.). Dari suasana persidangan yang resmi, peserta mulai diajak masuk dalam situasi yang lebih santai dan bernuansa adat Toraja. Berikut ini laporan perjalanan pelaksanaan kegiatan munas di Toraja.

1. Penyambutan Adat dan Penerimaan Resmi Peserta
Penyambutan secara adat para peserta Munas UNIO Indonesia dilaksanakan sesaat setelah peserta tiba di kota Makale pada 7 Agustus 2008. Setelah berganti pakaian – para peserta diminta untuk memakai jubah - peserta diarak oleh rombongan pa’pelle’, pa’katirra dan ma’tenten menuju halaman Gereja Katolik Paroki Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria Makale. Bersama anggota Muspida yang lain, Bupati Toraja – Bpk. J.A. Situru – sudah menanti di gerbang gereja untuk menyambut secara resmi peserta dengan upacara pengenaan passapu’ kepada para uskup yang hadir dan utusan dari negara tetangga. Penyambutan ini menjadi pertanda bahwa kehadiran peserta di Toraja tidak hanya menjadi tamu umat Katolik di Kevikepan Toraja tetapi juga tamu masyarakat Toraja. Setelah diterima oleh Muspida Tana Toraja, peserta masih disuguhi berbagai macam acara adat: ma’papanggan (sorongan sepu’) dan ma’pairu’ (sorongan wailassu - tadoan tole’) sambil diiringi dengan tari-tarian penyambutan sebagai ungkapan penerimaan resmi secara kekeluargaan umat Katolik Kevikepan Toraja dan masyarakat Toraja.

2. Live-In: Menemukan Benih-Benih Sabda di tengah Umat dan Masyarakat di Toraja
Setelah upacara penyambutan dan penerimaan resmi di Makale, peserta Munas diantar menuju tempat tinggal yang tersebar di beberapa paroki: Paroki Mengkendek; Paroki Makale; Paroki Sangalla’; Paroki Nonongan; Paroki Rantetayo, dan Paroki Pangli. Setiap peserta mendiami salah satu rumah umat yang telah dipersiapkan dan ditunjuk oleh panitia setempat. Maksud dari penempatan peserta tinggal di rumah-rumah umat tidak lain agar peserta dapat menggali secara mendalam bagaimana iman kristiani berkembang berdasarkan kehidupan keseharian umat yang berlatar belakang budaya Toraja, sekaligus supaya para imam dapat berinteraksi dengan masyarakat yang berada di sekitarnya. Selain itu, melalui kegiatan ini umat juga diharapkan untuk semakin mengenal dan memahami situasi kehidupan para imam dengan segala kesulitan, kegembiraan dan tantangannya setiap hari.

3. Tour dan Seminar Budaya
Berbagai macam pengalaman yang ditemukan peserta pada saat tinggal bersama umat semakin diperdalam dengan tour budaya yang dilaksanakan pada 8 Agustus 2008. Kegiatan Tour Budaya ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana penghayatan hidup religius masyarakat dalam budaya Toraja. Peserta tour diajak melihat beberapa kuburan khas mayarakat Toraja (Bori’, Ke’te Kesu, Lemo, Sangalla’, dan Suaya, Tondok Batu), permukiman adat (Marante, Bokko-Balik, Karatuan, Penanian, dan Pangli). Secara khusus para peserta diajak untuk melihat secara dekat upacara Rambu Solo’ dari Ibu Gerarda Re’tek (Nenek dari Pastor Aidan Putra Sidik) di Randan Batu – Sanggalangi’. Pada kesempatan itu, para peserta diterima secara resmi sebagaimana setiap tamu yang datang mengungkapkan rasa kekeluargaan dengan keluarga yang berduka. Bahkan para peserta diperkenankan untuk ikut terlibat dalam tarian ma’badong serta mendoakan keselamatan arwah almarhumah lewat doa bersama yang dipimpin oleh Pastor Paroki Sangalla’, P. John Manta’.

Peserta Munas Unio, tidak hanya diajak untuk melihat dan mengalami berbagai perjumpaan di atas, melainkan juga diajak untuk merefleksikannya. Untuk itu, pada 9 Agustus 2008, setelah berkunjung ke pasar hewan di Pasar Bolu Rantepao, peserta Munas diajak masuk dalam Seminar Budaya yang dilaksanakan di Aula Pongtiku Kodim 1414 Tana Toraja. Seminar yang dipandu oleh Uskup terpilih Keuskupan Banjarmasin Mgr. Piet Timang menampilkan dua narasumber (Bpk. Stanislaus Sandarupa – seorang antropolog – dan Mgr. John Liku-Ada’ – Uskup Agung Keuskupan Agung Makassar). Mengawali Seminar, P. Stanis Dammen, sebagai penanggungjawab kegiatan seminar memberikan pengantar dan latar belakang pelaksanaan seminar. Dalam seminar yang berjudul: “Menemukan Benih-Benih Sabda di Toraja”, kedua narasumber mengajak peserta untuk merefleksikan nilai-nilai religius dalam budaya Toraja sekaligus menemukan tempat inkulturasi iman dalam budaya tersebut. Antusiasme terhadap seminar ini ternyata sangat besar. Hal itu terbukti dari keingintahuan peserta dan kehadiran umat yang di luar perkiraan banyaknya. Satu pelajaran berharga yang diperoleh dari seminar ini, ada begitu banyak hal menyangkut persoalan budaya yang masih harus dimaknai oleh Gereja agar iman Kristiani semakin mengakar di Kevikepan Toraja.

4. Perayaan Syukur bersama Umat Katolik Kevikepan Toraja
Puncak dari perjalanan peserta adalah pelaksanaan Perayaaan Syukur bersama umat di Wilayah Kevikepan Toraja pada 10 Agustus 2008 bertepatan dengan Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Perayaan ini dilaksanakan di Gereja Katolik Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria - Makale. Perayaan ini bagian dari Peringatan 70 Tahun pembaptisan pertama umat katolik dan syukuran panen Gereja Katolik di Kevikepan Toraja. Hal lain yang disyukuri adalah Peringatan Ulang Tahun UNIO Indonesia ke-25 dan Penutupan Munas IX Unio Indonesia. Bersama dengan seluruh umat yang berasal dari 11 paroki di Kevikepan Toraja para peserta sungguh-sungguh diajak untuk mengalami bagaimana umat katolik di Kevikepan Toraja mengungkapkan syukur. Perayaan syukur tersebut dirancang dalam suasana budaya Toraja, dalam misa inkulturatif dengan iringan koor Orang Muda Katolik dari Paroki Rantepao maupun dalam berbagai acara adat sebelum dan sesudah misa: lettoan (babi yang ditempatkan dalam miniatur rumah Toraja dan dipikul beramai-ramai oleh umat), pa’gellu’, pa’katia, manimbong, pa’barrung, pa’bass (musik bambu), sisemba’, dan lelang babi dll. Lettoan dan acara-acara tersebut dipersiapkan oleh masing-masing paroki yang berada di wilayah Kevikepan Toraja. Kehadiran umat yang membludak memenuhi gereja dan halaman gereja menjadi ungkapan terdalam bahwa kegiatan ini sungguh dirindukan dan disambut positif oleh umat di Kevikepan Toraja.

Akhirnya, setelah seluruh acara selesai, pada malam harinya para peserta kembali ke Makassar untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal masing-masing. Terima kasih untuk seluruh bantuan dan partisipasi siapapun juga lewat caranya masing-masing menyukseskan perhelatan akbar ini. Banyak pesan yang terungkap dari kegiatan ini. Para peserta pada umumnya merasa sangat puas karena sungguh mengalami perjumpaan budaya yang sangat memperkaya tugas dan panggilannya sebagai imam. Sementara umat dan masyarakat Toraja sendiri merasakan kegembiraan yang luar biasa karena penghayatan iman dan budayanya mendapatkan apresiasi yang sungguh luar biasa dari peserta. Bagi Gereja Katolik di Kevikepan Toraja, satu-satunya ungkapan yang mewakili seluruh ungkapan kebahagiaan, rasa syukur, dan harapan tidak lain adalah kata-kata yang tertuang dalam buku panduan seminar budaya di Toraja pada pelaksanaan Munas IX Unio Indonesia:

Denno upa’ ta po upa’
Paraya ta po paraya
Anna ra’pak-ra’pak Puang sola passakke Pela’ba’
La unrondong ki lan te kasipulungan,
La untaranak ki’ la tumengka lu lako,
Anta tontong situntun tua’
Unnola tampo malolo
Tadoyang tang silambanan
Umpentoe Kada Puang,
Bisara tang balle-balle
KURRE-KURRE-KURRE SUMANGA’


Sampai Jumpa di Munas X Unio Indonesia di Sintang tahun 2011

Sekretariat Panitia
Munas IX Unio Indonesia

Agenda Bapa Uskup, September-November 2008

September
Tgl. Acara
03-16 Kunjungan Pastoral Tahunan Ke Kevikepan Toraja
20 Pertemuan Mengenai Yayasan Palisupadang
21 Misa Pelantikan/Serah Terima Parochus Katedral
22 Misa/Acara Syukuran selesainya Munas IX UNINDO
24 Pertemuan Lanjutan Mengenai Yayasan Palisupadang
27/9-05/10 Kunjungan Pastoral Tahunan Ke Kevikepan Sulbar

Oktober
Tgl. Acara
06 Sosialisasi Caritas Makassar
07 Pesta Emas Kongregasi Frater HHK
14-18 Retret Tahunan di Malino
19 Pelantikan lektor-akolit
26 Tahbisan Uskup Banjarmasin
31 Rapat Presidium KWI

November
Tgl. Acara
01 Rapat Presidium KWI
03-13 Rapat Pleno KWI
14 Rapat Presidium KWI Pasca Rapat Pleno; sore rapat Komteol KWI
16-19 Kunjungan Pastoral ke SAM
25-27 Rapat Dewan Imam

”World Youth Day 2008, We have received the Power...!!”






Dalam rangka mengikuti WYD di Sydney, kami peserta dari Keuskupan Agung Makassar berjumlah 15 orang (di antaranya 2 imam) dan seorang volunteer/relawan. Kami berangkat menuju Jakarta untuk bergabung dengan Tim KWI yang berjumlah seluruhnya 191 peserta. Di antara mereka ada 5 uskup dan 27 imam dan 3 suster. Tim KWI sendiri menuju Australia dengan tiga gelombang penerbangan. Sebelum berangkat peserta berkumpul di Wisma Samadi Klender untuk mengikuti perkenalan, pembekalan serta mempersiapkan misi Tim yaitu: menyuarakan tema APP 2008 Lingkungan Hidup. Oleh karena itu Tim KWI juga menyebutnya dirinya, ”Indonesia Green” dengan jaket resmi berwarna hijau. Agar tim tetap kompak dan bersemangat dibuatlah yel-yel: Indonesia… Indonesia… Indonesia.. Green.. e a e..e a e ae.. e” (disertai gerakan)

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang selama 9 jam dengan transit di Bali, kami tiba di Sydney, 14 Juli sekitar jam 6 pagi waktu setempat. Ketika tiba Bandara Sydney suasana sudah ramai dan padat. Hari itu ternyata merupakan kedatangan peserta yang paling banyak. Kami yang tadinya merasa tim besar seakan tenggelam di antara ribuan peserta yang lain. Kami melihat ada rombongan dari Chile, Brasil, Italia dan Amerika Serikat dan juga peserta dari negara bagian Australia. Ada beberapa kelompok yang begitu kreatif. Di tengah suasana itu sambil juga menunggu infromasi tentang lokasi penginapan, mereka membentuk lingkaran, bernyanyi dan bergerak dengan pola tertentu (“mirip dero”) diiringi musik. Atraksi itu sekaligus menjadi penghangat maklum kami sudah merasa kedinginan dengan suhu sekitar 10 derajat celsius.

Panitia asal Indonesia menjemput kami di bandara dan selanjutnya mengarahkan kami menuju tiga lokasi yang berbeda. Ternyata kami ditempatkan di sekolah-sekolah dan menginap serta tidur di ruang-ruang kelas dengan alas sleeping bag dan matras yang kami bawa. Kami ditempatkan di tiga sekolah yang jaraknya beberapa kilometer yaitu di Jerusalem College, Amborisian College, dan di Betlehem College. Di sekolah-sekolah itu ternyata juga ditempati rombongan lain. Kami yang kelompok putra (setengahnya imam) berada di Jerusalem bersama dengan tim Italia. Kami ditempatkan di ruang kelas berbeda dengan Italia tetapi kamar mandi cuma ada satu. Dalam kamar mandi itu ada tiga pancuran. Jadilah kami mandi bertiga (awalnya sempat risih) dan kadang-kadang hanya diam saja karena masing-masing hanya tahu bahasa negaranya.

15 Juli 2008 merupakan hari pembukaan WYD. Acara pembukaan diawali dengan pertemuan berdasarkan keuskupan atau berdasarkan negara masing-masing. Peserta Indonesia mengikuti “Indonesian Gathering”. Pertemuan ini diprakarsai oleh umat katolik Indonesia yang berada di Sydney dan diadakan di Sydney Convention Centre. Ada 35 grup Indonesia yang jumlah seluruhnya sekitar 2000 orang. Sekitar 1000 datang dari Indonesia dan sekitar 1000 lagi berasal dari kelompok kaum muda katolik yang tinggal di Australia. Acara dimeriahkan dengan pentas seni, narasi drama “Go to Sydney” dan renungan yang dibawakan oleh Ketua KWI. Pada kesempaatan ini konjen RI di Sydney juga hadir dan memberikan sambutan. Acara ini ditutup dengan Penyembahan Sakramen Maha Kudus dan lagu-lagu puji-pujian.

Setelah acara Indonesian Gathering, kami berjalan sekitar 2km menuju Barangaroo untuk mengikuti misa pembukaan. Di dalam perjalanan ini kami menjumpai peserta dari negara lain. Perasaan takjub muncul ketika melihat peserta yang berasal dari negara masing-masing dengan seragam, yel-yel dan bendera masing-masing. Dalam perjalanan peserta saling menyapa, ada yang berkenalan atau berfoto bersama. Sementara perjalanan itu, peserta dikejutkan oleh suatu pemandangan di langit. Sebuah tulisan yang menyapa semua peserta, “welcome” dituliskan dengan asap dari pesawat jet.

Acara dimulai dengan sambutan dari PM Australia Kevin Rudd. Misa pembukaan dipimpin oleh Uskup Agung Sydney didampingi ratusan Kardinal dan Uskup serta ribuan imam. Setelah misa disediakan makan malam. Peserta secara berkelompok menukarkan kupon makannya di outlet-outlet yang tersedia. Sesudahnya peserta balik ke penginapan. Kami pun berjalan menuju stasiun kereta api.

Selama WYD peserta wajib memakai kartu pengenal. Dengan kartu pengenal itu peserta dapat bebas naik kereta dan bis tanpa bayar. Agar peserta tidak tersesat, di setiap persimpangan jalan dan perhentian stasiun yang akan dilewati peserta, ada volunteer yang berdiri di sana dan dengan ramah menunjukkan arah jalan.

Kegiatan katekese diadakan setiap pagi sampai siang pada 16-18 Juli 2008, pengajaran iman diberikan sehubungan dengan tema WYD. Katekese wajib diikuti oleh semua peserta dan diadakan per negara/keuskupan, dibawakan oleh uskup masing-masing negara/keuskupan. Kelompok Indonesia mendapatkan Katekese di gereja Paroki Newton. Ada tiga uskup yang membawakan katekese. Katekese ditutup dengan Perayaan Ekaristi. Setelah misa dilanjutkan dengan makan siang. Acara makan siang ini begitu dirindukan. Maklum selama WYD hanya pada kesempatan inilah kami dapat menikmati nasi serta lauk bercita rasa Indonesia. Sarapan pagi dan makan malam adalah makanan umum dalam kemasan.

Pada 16 Juli sore bertempat di Darling Harbour, Tim KWI menunjukan aksinya yang bertajuk "Preferential for the Nature" (Keberpihakan pada Alam). Tim KWI membentuk sebuah lingkaran besar dan merentangkan baliho di dalamnya. Di atas baliho itu dibawakan beberapa orasi dan pernyataan sikap agar negara-negara lain ikut peduli terhadap lingkungan hidup. Agar menarik, peserta dari tim tampil dengan pakaian daerah masing-masing diiringi oleh musik kombinasi dari lagu-lagu daerah, di antaranya “sajojo” yang diperdengarkan dengan speaker yang cukup besar. Dalam waktu yang tidak lama berkumpullah peserta-peserta dari negara lain. Mereka bahkan masuk dan ikut menari bersama tim. Beberapa media baik surat kabar dan televisi datang dan melakukan wawancara. Sementara itu beberapa peserta lain membagikan brosur tentang pentingnya memelihara lingkungan hidup dalam bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, Spanyol, dan Mandarin.

Selesai aksi, kami menuju stasiun kereta yang membawa kami mengikuti “Asian Gathering” atau pertemuan peserta asia. Acara ini diisi acara seni dari setiap negara di Asia. Indonesia diwakili Tim KWI membawakan tarian Sajojo. Yang paling besar acaranya adalah dari Filipina (maklum peserta terbanyak dari Asia, sekitar 7000 orang).

Selama kegiatan ini banyak sekali acara, festival, pertunjukan, aksi yang diadakan di beberapa tempat dan bahkan bersamaan. Terserah peserta atau grup mau melihat dan menghadiri kegiatan apa. Salah satu yang kami ikuti bersama beberapa orang adalah konser musik yang dibawakan Guy Sebastian, Australian Idol dan penyanyi lagu resmi WYD, “Receive the Power”. Senang juga boleh melihat dan mendengar langsung dari penyanyinya.

17 Juli 2008 disebut “Super Thursday”. Hari yang ditungu-tunggu oleh sebagian peserta, yaitu penyambutan Paus Benediktus XVI di Pelabuhan. Untuk menuju pelabuhan peserta harus berjalan kaki beberapa kilometer dan hanya boleh masuk menggunakan kartu peserta. Sekitar 140.000 peserta menghadiri penyambutan Bapa Suci di pelabuhan. Petugas keamanan berjaga-jaga di setiap lokasi dan kelihatannya keamanan sangat ketat untuk pemimpin katolik ini. Kami harus berdesakan untuk menjadi bagian terdepan agar dapat melihat Paus tiba (namun tidak bisa lolos juga). Tidak beberapa lama setelah tiba di Pelabuhan, Paus akhirnya muncul dengan menaiki kapal dan diiringi oleh 10 kapal lainnya yang berisi 1900 peziarah dengan bendera negaranya masing-masing. Di angkasa ada 8 helikopter berputar-putar mengapit kapal Paus. Melalui monitor, kami melihat Paus tak henti-hentinya melambaikan tangannnya dan tersenyum kepada ratusan ribu orang muda katolik yang menyambutnya. Lambaian bendera yang beraneka ragam dikibarkan oleh peserta dan teriakan yang menyebutkan nama Paus:Be-ne-det-to…. terdengar dimana-mana. Suasana penyambutan Paus kiranya menggambarkan bagaimana kekatolikan itu sendiri: beranekaragam tapi satu dan bersatu di bawah pimpinan Sang Paus. Paus pun turun dari kapal dan disambut dengan tari-tarian dari suku pribumi Aborigin. Setelah itu Paus bergerak masuk rombongan dengan menggunakan papal mobil melewati peserta. Paus selanjutnya memimpin ibadat dan menyampaikan salam hangat untuk peserta.

Keesokan harinya, Jumat, 18 Juli 2008, setelah katekese rutin pada pagi harinya, diadakan drama Jalan Salib yang diperankan oleh 100 aktor. Sebanyak 270.000 orang di seluruh kota menyaksikan prosesi yang juga turut disiarkan langsung di saluran televisi. Lokasi-lokasi pemberhentian jalan salib diambil di berbagai tempat di seluruh penjuru kota Sydney. Perhentian pertama diperingati di Katedral Santa Maria, tempat Bapa Paus menginap. Perhentian kedua dan ketiga diperingati di The Domain dan di sebuah galeri seni. Peristiwa Yesus di hadapan Pilatus sampai Ia memanggul salib-Nya diperingati di Sydney Opera House dan kisah Simon Kirene yang membantu Yesus sampai perhentian terakhir dimana tubuh Yesus diturunkan dari salib diperingati sepanjang Darling Harbour sampai di dekat lokasi para peziarah berkumpul. Prosesi Jalan Salib ini berlangsung selama 3 jam. Pada saat ini juga para peziarah diajak untuk merenungkan akan apa yang telah mereka alami selama WYD. Apapun yang mereka alami mulai dari berangkat sampai saat itu, bila ada masalah atau penderitaan karena adaptasi-adaptasi yang harus dilakukan, mereka diingatkan bahwa Yesus yang pernah menderita dan mati bagi mereka, tetap ada dan hadir bersama-sama dengan mereka.

Sabtu, 19 Juli 2008, peziarah melakukan peziarahan dalam arti yang sebenarnya. Seluruh peserta berjalan menuju Randwick racecourse sejauh 9 kilometer. Semua peserta memikul sendiri bawaannya; pakaian secukupnya, sleeping bag, matras dan keperluan lain. Perjalanan seperti ini adalah perjalanan terbesar di dunia. Hampir semua jalan di kota Sydney ditutup. Meskipun perjalanan melelahkan karena sudah berhari-hari berjalan mengikuti kegiatan, namun kita tetap bersemangat berjalan sampai di lokasi. Setelah tiba di lokasi, peserta lalu menempati kapling-kapling lapangan Randwick. Di tempat ini ada sekitar 250.000 peziarah yang datang dan tidur di alam terbuka dengan suhu sekitar 7 derajat, menanti misa puncak besok yang akan dipimpin Paus. Dari siang sampai sore para peziarah yang sudah berada di sekitar Randwick dihibur oleh performa yang ditampilkan pada Youth Festival. Band-band musik menyanyikan lagu-lagu dari berbagai negara termasuk theme song WYD 2008, Receive the Power. Pada kesempatan ini juga, tampil seorang bekas mafia London yang membagikan kesaksian pertobatannya tentang bagaimana ia menerima keselamatan yang diberikan Yesus Kristus dan akhirnya terpanggil untuk memberitakan penyelamatannya kepada kaum muda di seluruh dunia.

Pada malam harinya Paus hadir bersama-sama dengan para peziarah untuk bersama-sama berdoa dalam Evening Vigil. Malam begitu indah, lampu dipadamkan dan hanya terang lautan lilin yang memancarkan cahaya. Lautan lilin ini semakin indah ketika peserta melambaikan lilinnya sambil menyanyikan “receive the power”. Setelah Evening Vigil ini, lalu dibuka kesempatan bagi peserta untuk menerima Sakramen Pengakuan dan Adorasi hingga keesokan harinya.

Minggu, 20 Juli 2008, diawali dengan doa pagi. Sekitar pukul 9.00, Bapa Paus tiba di lokasi misa dan berkeliling lapangan untuk menyapa para peziarah. Dalam kesempatan tersebut, sejumlah bayi memperoleh ciuman Bapa Paus dan salah satunya ialah keturunan keenam St. Joseph Luu, seorang santo asal Vietnam. Dalam misa yang dirayakan dalam bahasa Inggris dan Latin ini, Bapa Paus juga menerimakan sakramen krisma kepada 24 pemuda dari Australia dan seluruh dunia.

Dalam kotbahnya Paus menyapa kaum muda dengan menyadarkan bahwa masa kini seiring dengan kemakmuran materi, telah terjadi kekeringan rohani: kekosongan jiwa, ketakutan yang tidak jelas penyebabnya, dan keputusasaan. Banyak orang mencari dan mengisi hidupnya ternyata sia-sia seperti membangun bak air yang kosong, rapuh dan retak (Yer 2:13). Paus menyatakan bahwa hidup yang sungguh berarti barulah ditemukan dalam dalam mengasihi. Anugerah terbesar Kabar Suka Cita yaitu panggilan untuk menemukan kepenuhan dalam cinta. Inilah pewahyuan kebenaran tentang manusia dan kebenaran tentang hidup.

Paus menyatakan Gereja membutuhkan iman, idealisme, dan kemurahan hati kaum muda. Dengan demikian Gereja akan selalu muda dalam Roh (bdk Lumen Gentium 4). Gereja membutuhkan kawula muda. Gereja bertumbuh dengan kuasa Roh Kudus yang memberikan sukacita dan inspirasi untuk melayani Tuhan dengan sukacita. “Bukalah hati kalian bagi kuasa Roh Kudus”. Paus juga menghimbau secara khusus kepada mereka yang terpanggil menjadi imam dan religius. Jangan takut mengatakan "YA" kepada Yesus, temukanlah sukacita dalam melayani kehendakNya, berikan sepenuhnya hidup kalian untuk mengejar kekudusan dan menggunakan semua talenta untuk melayani sesama.

Di akhir misa, Paus menyatakan rasa terima kasih dan kekagumannya atas acara yang telah dipelopori oleh Paus Yohanes Paulus II, pendahulunya. Pada WYD Sydney ini, Bapa Paus memperoleh pengalaman yang tak terlupakan dari karya Roh Kudus melalui para peziarah, panitia, sukarelawan, pemerintah dan seluruh personel yang terlibat. Sebagai penutup, Paus mengumumkan tuan rumah WYD2011 adalah kota Madrid, Spanyol. Paus juga mengharapkan kaum muda mempersiapkan diri untuk WYD 2011. Verle en Madrid!

Kesan Peserta WYD:
Alleluia....Alleluia… Sungguh tak terlupakan dan sangat berkesan pengalaman ikut WYD Sydney 2008. Ketika kembali di Indonesia, pertanyaan pertama yang diberikan kepadaku adalah apa kesanmu ikut WYD. Saya menjawab tak terlukiskan! Suka dan duka yang saya alami sungguh sangat bermakna bagi saya. Cuaca dingiiin, lingkungan baru, orang-orang yang saya temui, membuat saya dapat berkata Tuhan hadir di mana-mana... Selfi Gorety, 30, Kendari.

WORLD YOUTH DAY!!! Wow, amazing! saya jadi pengen ngulang lagi suasana pas WYD. Penderitaan dan kegembiraannya kerasa banget dan itu ditanggung bareng-bareng. Everyday I miss them alot! and I really received the power from Him. Bukan hanya power tapi saya mendapat banyak banget teman-teman dari seluruh Dunia yang sampai sekarang masih keep in touch. I hope on the next WYD2011 (Madrid-Spain) saya bisa jadi volunteer. See ya in Madrid-Spain!! Veronika Wijaya, 18, Mamuju.

Very exciting… enjoy banget. Dalam forum akbar ini kita dapat saling berjumpa, berkenalan, bersahabat, bernyanyi, misa dan berdoa bersama… dapat saling berdialog dengan penuh persaudaraan, penuh kehangatan di tengah dinginnya udara Sydney. Setiap hari selalu berkumpul dan berjalan bersama dengan ratusan ribu orang dari berbagai negara. Ziarah ini menyegarkan iman. In WYD we want to show to the word that we are unity in love and peace.
Perasaan bangga bahwa dalam Gereja Katolik kesatuan universal itu sangat kuat. Juga bersyukur atas ide dan semangat yang ditinggalkan oleh Bapa Suci kita. Andre Lomena, 42, Makassar.*** Penulis: P. Yulius Malli, Pr

Kunjungan Duta Besar Vatikan di RS Stella Maris


Di tengah padatnya acara Munas UNIO, Yang Mulia Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Leopoldo Girelli, menyempatkan diri mengunjungi para suster komunitas Stella Maris di Makassar. Tepatnya 2 Agustus 2008 pukul 16.45, Nuncio bersama rombongan pemerintah dan gereja tiba di Komunitas Stella Maris. Beliau bersama rombongannya disambut oleh para suster dari komunitas Stella Maris, Rajawali, Siti Miriam dan Dewan Pimpinan Provinsi Societas JMJ di Makassar. Kemudian Nuncio bersama rombongannya menuju RS Stella Maris diiringi suster-suster, dokter dan karyawan-karyawati RS Stella Maris. Rumah sakit ini merupakan salah satu karya pelayanan kesehatan suster-suster JMJ di kota Makassar. Societas JMJ berkarya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan sosial pastoral.

Dokter Victor Trigno sebagai direktur RS, memperkenalkan sekilas sejarah RS Stella Maris, jumlah karyawan-karyawati, unit-unit pelayanannya serta kepercayaan dari masyarakat sekitar. Selanjutnya Nuncio berkenan berkunjung ke beberapa bagian rumah sakit, termasuk bangunan yang baru diresmikan. Kemudian menuju Kapel Biara Stella Maris untuk ibadat sore bersama.

Pada pukul 18.00, beliau bersama rombongan menuju Paroki Andalas untuk mengikuti acara yang telah diagendakan oleh panitia. Pukul 20.00 kembali ke Biara Stella Maris untuk santap kasih bersama. Suasana sungguh akrab dan meriah. Mgr. Leopoldo Girelli memuji masakan para suster “Restoran Stella Maris” demikian beliau menyebut secara bergurau. Dalam santap kasih ini, Mgr. Leopoldo Girelli didampingi oleh Mgr. John Liku-ada’, Pr. Hadir pula para Pastor dari Keuskupan. Mgr. John Liku-Ada’ tidak sempat mendampingi Nuncio saat mengunjungi rumah sakit. Untuk memeriahkan santap malam ini para suster mempersembahkan lagu sebagai ungkapan terima kasih dan rasa syukur karena mendapat kunjungan yang mulia Mgr. Leopaldo Girelli.

Sr. Agneta Ngala JMJ, Provinsial Societas JMJ di Makassar dalam sambutannya mengungkapkan rasa bangga dan syukur atas perhatian dan kasih dari Yang Mulia yang berkenaan mengunjungi para suster di tengah padatnya acara di Keuskupan.

Dalam sambutannya, Mgr. Leopaldo Girelli juga berterima kasih, dapat bertatap muka dengan para suster. Beliau sudah mendapat informasi tentang Komunitas Stella Maris dari Sr. Fransinetti Manua JMJ. Beliau merasa bangga dengan karya pelayanan para suster JMJ di tengah masyarakat yang sangat membutuhkan perhatian. Dengan demikian turut membantu Gereja dalam mewartakan kerajaan Allah di dunia. Beliau juga menyaksikan keberadaandan kemajuan Societas. Kata beliau pemekaran Societas JMJ di Indonesia menjadi tiga Provinsi, merupakan suatu karunia Roh. Dalam kesatuannya, JMJ dimekarkan menjadi 3 Provinsi seperti Allah yang esa memiliki Tiga Pribadi, itulah Allah Tritunggal. Di akhir sambutannya, Mgr. Leopoldo Girelli mengingatkan bahwa tempat lain masih membutuhkan tenaga biarawan-biarawati, seperti Papua dan Kalimantan. Agar para suster siap diutus bila dibutuhkan seperti semangat kesiap-sediaan yang menjadi semangat mereka serta semangat Keluarga Kudus di Nazaret yang menjadi pelindung kongregasi.

Kunjungan Nuncio menjadi kenangan indah yang patut disyukuri. *** Penulis: Sr. Agneta Ngala YMY

50 Tahun HHK Kini dan Akan Datang

Merefleksi Sejarah
“Fugit hora”; Waktu lari berjalan kencang, itulah yang terjadi kini dan di sini ketika kongregasi sudah berusia 50 tahun. Melihat sejarah 50 tahun kongregasi, kita boleh menaruh harapan akan kuasa Allah seperti yang dikatakan oleh Paulus: “cukuplah kasih karuniaKu bagimu sebab justru dalam kelemahan kuasaKu menjadi sempurna (2Kor.12:9a). Bahwa kongregasi mengakui kelemahan, bukan untuk menyerah dalam keputusasaan, melainkan untuk mempercayakan diri kepada Yesus, Hamba Yahwe yang Mahakuasa, maka kongregasi harus yakin, bahwa Tuhan akan memperlihatkan kekuasaanNya terhadap kita. Bersama Paulus, kongregasi boleh mengatakan, “…terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus, sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor. 12:9b-10). Mengingat mereka yang pernah menggabungkan diri dengan kongregasi dan yang sesudahnya meninggalkan kongregasi, mungkin dapat mencemaskan kongregasi. Tetapi bukan jumlah yang penting, melainkan mutunya. Ketika “banyak murid mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Dia” (Yoh.6:66) Yesus tidak mendesak mereka supaya mereka kembali, tetapi sebaliknya memberikan kesempatan penuh kepada kedua belas rasul itu juga melepaskan Dia dengan berkata : “apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh.6:67). Yesus hanya perlu mereka yang mengikutinya dengan suka rela dan yang mempercayakan diri kepadaNya dengan meniru kata-kata St.Petrus : “Tuhan, kepada siapa kami akan pergi? (Yoh.6:68a)

Tantangan terbesar selama perjalanan 50 tahun kongregasi ini adalah mencari identitasnya di tanah kelahirannya sendiri. Bahwa memang Schneiders seperti yang tertuang dalam dekrit pendirian : “quo pii adolescents, ex his regionibus orti” bahwa kongregasi ini diperuntukkan untuk mendidik orang-orang ‘saleh’ yang berasal dari daerah ini, mesti ditafsir secara baru dalam konteks. Ada persoalan mendasar yang menjadi refleksi menyeluruh, bahwa benar jika pada akhirnya kongregasi ini tercabut dari akarnya mengingat fakta sejarah saat ini adalah: “ex his regionibus orti” semakin hilang bahkan untuk tidak mengatakan hampir punah. Kini angin perubahan yang ditiupkan oleh Konsili Vatikan II di mana orang sudah mencari jalan pembaruan “Aggiornamento”. Wawasan hidup kongregasi pun ditantang. Membuka diri selebar-lebarnya terhadap perubahan. Hal ini tentu saja sejalan dengan apa yang dinubuatkan oleh Yesus sendiri: “jika engkau pergi ke salah satu rumah, dan orang itu tidak menerimamu, pergilah ke tempat yang lain, dan jika tuan rumah itu menerimamu, maka tinggalah di situ” (Mrk. 6:11-12). Kalau mau diekstremkan kalimat ini sebagai berikut: “Kalau di tanah kelahiranmu sendiri sudah tidak mendapat tempat lagi, pergilah ke daerah yang lain yang bisa menerimamu”. Dan barangkali benar Sabda Yesus: “seorang nabi tidak dihargai di negerinya sendiri”. Refleksi teologis inilah yang memberanikan kongregasi untuk: “Pergi, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Mat. 28:19-20). Memaknai perutusan dalam konteks kini adalah untuk tidak terikat pada ruang dan waktu. Tempat hanyalah soal situasi saja. “kemana pun engkau Kuutus haruslah engkau pergi”. Pergi, tidak berarti harus tercabut dari akarnya, tetapi tetap memberikan pertumbuhan agar jangan sampai kehilangan jejak sejarah.

Sesuatu yang positif kini adalah beragamnya jumlah anggota yang berasal dari berbagai daerah dan suku dengan jumlah 116 orang. Tentu saja ini merupakan kekuatan dari kongregasi ini. Keragaman anggota menjadikan kekayaan budaya yang pada gilirannya keragaman cara pikir untuk tidak saja diwarnai oleh satu budaya saja. Setidaknya Schneiders dan van Roessel tersenyum bangga bahwa kini kongregasi di usianya yang ke-50 pada tahun 2008 ini sudah sangat majemuk, dan karena kemajemukannya itu mampu menembus batas-batas dan sekat ruang dan waktu. Suatu keyakinan akan tumbuh berkembang dan memberikan pertumbuhan sampai senja terbuka lebar bersama dan dalam Dia yang telah memberikan pertumbuhannya. Tidaklah berlebihan jika kini kami ingin memadahkan: ”kalian telah menanam, kami memelihara dan merawatnya tetapi Allah memberikan pertumbuhannya”. Suatu pengendapan penghayatan spiritualitas yang melebur dalam pengabdian kerasulan di berbagai tempat akan terus terpancar dan memberi daya hidup kepada dunia. Hal ini sejalan dengan gerak maju bersama hasil refleksi kritis dalam dua kapitel terakhir kongregasi yaitu menjadi “Pelita Pembawa Terang” (Mat.6:22). Pengalaman-pengalaman sejarah masa lalu, menjadi titik refleksi untuk terus tumbuh dan berkembang. Sejarah adalah refleksi kehidupan dalam konteks kekinian. Dari situ kongregasi bisa menatap masa depan secara baru bersama Yesus Hamba Yahwe yang memberi jalan paripurna dalam totalitas kesetiaan pada Sang Sumber Kehidupan yaitu Allah sendiri.

Duc In Altum
Berpikir secara baru memampukan Kongregasi untuk berani ‘menyeberang’ lebih jauh lagi, sehingga tidak hanya menjadi penonton di pinggiran saja. “Bukankah di bagian yang agak dalam terdapat banyak ikan?” Jangan takut tenggelam. Karena jikalau Kongregasi takut tenggelam, maka Kongregasi tetap akan tidak tahu berenang dan hanya berada di pinggir pantai saja. Berusahalah untuk berenang, bahkan sekalipun ke tempat yang paling dalam. “Aku menyertaimu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat.28:19). Hal ini jika kita mengertinya berdasarkan perkembangan zaman ini. Kongregasi hidup di tengah dunia dan berjalan melawan arus kehidupan dunia, berarti Kongregasi harus berjuang agar tidak tertabrak dengan cara "masuk dan berenang di dalam arus kehidupan itu". Ini berarti Kongregasi perlu merenungkan kembali amanat perutusan Yesus bagi kita; "Pergilah ke seluruh dunia dan baptislah semua orang dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus (Mat 28:19-20). Pesan Yesus ini disertai dengan suatu tenaga istimewa dalam hidup dan karya Kongregasi yakni Kongregasi diurapi oleh Allah dengan Roh-Nya seperti yang dinyatakan Allah kepada Yesus sendiri (Mat 12:18-21).

Maklumat Yesus ini merupakan suatu motivasi bagi Kongregasi untuk berani berenang ke tempat yang lebih dalam lagi (Duc in Altum). Berarti Kongregasi harus berani untuk berenang dan basah. Tetapi janganlah takut karena Allah tak pernah meninggalkan hambaNya yang telah diurapiNya; “lihat, itu hambaKu yang kupilih, yang Kukasihi, kepadanya Aku berkenan” .
Menginspirasi Musa yang berhasil membawa umat Israel keluar dari perbudakan di Mesir dengan menyeberangi Laut Merah, maka Kongregasi pun harus punya niat dan berusaha untuk membawa Kongregasi ‘menyeberang’. Berani mencoba untuk berenang, sebab dengan berenang kita akan bisa menghindari diri dari banjir dan arus yang datang melanda tiba-tiba.

"Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam lagi" (Luk 5:4) dalam kontkes ini bertolak lebih dalam di daerah Gereja Lokal KAMS tetapi juga bertolak lebih dalam lagi di daerah misi baru merupakan suatu ajakan bagi Kongregasi untuk semakin "setia" dan membawa warta Injil keluar dan membangun "hidup baru yang lain" di daerah lain. Pergilah ke seluruh dunia, itulah yang harus Kongregasi wujud-nyatakan. Dengan perahu layar (Phinisi) Kongregasi mesti berani berlayar. Phinisi pasti akan membawa Kongregasi ke tempat tujuan yang jelas jika Kongregasi mengendalikannya dengan baik, penuh semangat dan penuh harapan dengan berharap pada Kuasa Allah. Karena Yesus berkata bahwa "Ikan yang banyak ada di tempat yang dalam" (bdk.Luk 5:6), maka Kongregasi perlu dan harus berlayar ke tempat yang dalam itu, ke tempat yang terjanji.

Untuk keluar dan bertolak ke tempat yang dalam (tanah misi lain), Kongregasi tidak hanya terpaku dan berkutat pada bidang pendidikan saja. Kongregasi bisa keluar dengan membawa misi pelayanan lain yang sesuai konteks ruang dan waktu. Penafsiran mengenai spiritualitas pendiri, harus ditafsir secara mendalam dan sesuai dengan pemikiran ke depan yang relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Sikap keberanian pendiri harus Kongregasi hidupi dalam karya dan pelayanan. Seorang hamba yang ingin hidup lebih baik, harus berani melawan arus dunia yang menantang, untuk mencari dan memperoleh suatu kehidupan baru. Seorang Hamba Kristus harus berani memperjuangkan dan menyebarluaskan Kabar Gembira itu kepada semua orang. Warta Kerajaan Allah dan perjuangan hak orang-orang kecil harus menjadi prioritas utama dan fokus pekerjaan Kongregasi. Dalam konstitusi dirumuskan sebagai berikut;. "Kita berjalan untuk menyapa mereka yang tidak terkena tindak keadilan dan kebenaran dalam segala bentuknya”. (Konst. pasal 18).

50 tahun telah berlalu, tahun emas telah berlalu pula, namun “zaman keemasan” masih belum nampak dalam sejarah kongregasi. Kongregasi dapat menyetujui bahwa “zaman keemasan” kongregasi hanya ada bila kongregasi sudah mencapai tujuan. Sejalan dengan falsafah orang Makassar, “Sekali layar terkembang, pantang surut biduk ke pantai”. Juga merupakan falsafah hidup kongregasi HHK, sekali layar berkiprah di bumi Sulawesi maka pantang patah menyerah, bahkan dua atau tiga pulau akan terjangkau. Paling tidak, dari perubahan yang sudah dan sedang terjadi pada saat ini, kongregasi telah berani mengepakkan sayap dalam tugas perutusan bukan hanya di Sulawesi tetapi di belahan lain Nusantara, bahkan mulai menapaki dunia.
Sebagai seorang Hamba-hamba Kristus yang memiliki semboyan, Ad omne Opus Bonum Paratus, akan siap menerjang badai. Maka sudah selayaknya, di usia setengah abad ini, kongregasi kembangkan sayap selebar-lebarnyanya agar tidak tenggelam dalam pengaruh zaman. Hal ini senada dengan gerakan konsili Vatikan II yang mengusung tema pembaruan: “Aggiornamento”.

HHK kini dan akan datang

Kami ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip kata-kata Mgr. Frans Van Roessel, Pemimpin umum pertama kongregasi; “Masa lampau telah membuktikan kongregasi kita sanggup, walaupun kekurangan-kekurangan tetap ada. Masa depan akan membuktikan kongregasi kita sanggup berjalan terus dan berdasarkan pengalaman, sanggup mengadakan perubahan dan pencerahan dari masa ke masa”. Maka bila ditanyakan bagaimana masa depan Kongregasi Hamba Hamba Kristus, jawabannya jelas: Kongregasi akan tetap mempunyai masa depan dan berkembang, bila tetap setia pada spiritualitas pengabdiannya, karena dunia dari zaman mana pun selalu membutuhkan pengabdian yang jujur dan tanpa pamrih. Berdasarkan spiritualitas pengabdian itu, ruang hidup dan gerak pelayanan Kongregasi Hamba Hamba Kristus selalu akan terbuka dan terus akan berkembang menembus ruang dan waktu.

Di usia 50 pada tahun 2008 ini, sebetulnya permintaan akan pelayanan dari berbagai pihak kepada Kongregasi masih banyak jumlahnya, tetapi Kongregasi tidak dapat memenuhi, misalnya Flores Timur, Kalimantan, dan yang terakhir adalah Keuskupan Agung Ende dan Keuskupan Agung Marauke. Jumlah anggota perlu memadai dengan jumlah rumah komunitas maka Kongregasi akan membuat skala prioritas pelayanan dan daerah misi. Kiranya kongregasi akan mendapatkan kesulitan jika jumlah tempat berkarya terlalu banyak tidak sebanding dengan jumlah anggotanya, demikianlah pertimbangannya. Kendati orang dapat memperhitungkan kehandalan tiap pribadi frater Hamba Kristus, hidup komunitas perlu dapat berkembang bersama dengan jumlah anggota komunitas yang tidak terlalu sedikit. Seseorang memerlukan pula dukungan dari konfrater sekomunitasnya. Memang kadang-kadang ada semacam bentuk pelayanan yang sangat berarti dan tidak mudah ditolak, sehingga meski satu anggotapun dimungkinkan untuk hidup di lingkup komunitas yang bukan HHK, seperti misalnya yang pernah terjadi untuk pelayanan pastoral di Komisi Kateketik Keuskupan Agung Makassar, daerah misi Labuan Bajo yang dalam beberapa waktu hanya satu orang, juga yang sekarang terjadi di Surabaya dan Harvard University, USA. Kedua komunitas terakhir ini walaupun bukan komunitas karya namun toh mereka bisa hidup dan tetap menjadi Pelita Pembawa Terang dalam lingkup hidup dan studi mereka.

Dengan penuh optimis akan penyertaan Allah dan berdasarkan spiritualitas pengabdian kongregasi mampu melewati arus zaman yang selalu menawarkan berbagai perubahan dalam pelbagai bentuk, percobaan-percobaan yang berat datang silih berganti, namun tetap dapat tumbuh dan berkembang bahkan sampai berbuah lebat. Kini Taman itu telah bertunas bahkan telah menjadi pohon yang rindang sehingga membuat orang bisa berteduh di bawahnya. Tidak perlu meratapi, menangisi semua malapetaka baik pribadi maupun kelompok yang sudah terjadi. Semua akan terjadi lagi bahkan lebih hebat lagi, tapi hanya ada satu yang akan tinggal: “Biji harus mati untuk tumbuh hidup yang baru”.

Jika Kongregasi ini lahir dan berkembang atas kemauan Mgr. Schneiders dan Mgr. van Roessel, maka cepat atau lambat Kongregasi ini akan mati. Tapi jika Kongregasi ini lahir dan berkembang atas kehendak Allah, maka badai dan topan sedahsyat apapun tidak akan menggoyahkan langkah hidupnya, karena yang memegang kemudi adalah Tuhan sendiri. *** Penulis:
erefleksi Sejarah
“Fugit hora”; Waktu lari berjalan kencang, itulah yang terjadi kini dan di sini ketika kongregasi sudah berusia 50 tahun. Melihat sejarah 50 tahun kongregasi, kita boleh menaruh harapan akan kuasa Allah seperti yang dikatakan oleh Paulus: “cukuplah kasih karuniaKu bagimu sebab justru dalam kelemahan kuasaKu menjadi sempurna (2Kor.12:9a). Bahwa kongregasi mengakui kelemahan, bukan untuk menyerah dalam keputusasaan, melainkan untuk mempercayakan diri kepada Yesus, Hamba Yahwe yang Mahakuasa, maka kongregasi harus yakin, bahwa Tuhan akan memperlihatkan kekuasaanNya terhadap kita. Bersama Paulus, kongregasi boleh mengatakan, “…terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus, sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor. 12:9b-10). Mengingat mereka yang pernah menggabungkan diri dengan kongregasi dan yang sesudahnya meninggalkan kongregasi, mungkin dapat mencemaskan kongregasi. Tetapi bukan jumlah yang penting, melainkan mutunya. Ketika “banyak murid mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Dia” (Yoh.6:66) Yesus tidak mendesak mereka supaya mereka kembali, tetapi sebaliknya memberikan kesempatan penuh kepada kedua belas rasul itu juga melepaskan Dia dengan berkata : “apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh.6:67). Yesus hanya perlu mereka yang mengikutinya dengan suka rela dan yang mempercayakan diri kepadaNya dengan meniru kata-kata St.Petrus : “Tuhan, kepada siapa kami akan pergi? (Yoh.6:68a)
Tantangan terbesar selama perjalanan 50 tahun kongregasi ini adalah mencari identitasnya di tanah kelahirannya sendiri. Bahwa memang Schneiders seperti yang tertuang dalam dekrit pendirian : “quo pii adolescents, ex his regionibus orti” bahwa kongregasi ini diperuntukkan untuk mendidik orang-orang ‘saleh’ yang berasal dari daerah ini, mesti ditafsir secara baru dalam konteks. Ada persoalan mendasar yang menjadi refleksi menyeluruh, bahwa benar jika pada akhirnya kongregasi ini tercabut dari akarnya mengingat fakta sejarah saat ini adalah: “ex his regionibus orti” semakin hilang bahkan untuk tidak mengatakan hampir punah. Kini angin perubahan yang ditiupkan oleh Konsili Vatikan II di mana orang sudah mencari jalan pembaruan “ Aggiornamento”. Wawasan hidup kongregasi pun ditantang. Membuka diri selebar-lebarnya terhadap perubahan. Hal ini tentu saja sejalan dengan apa yang dinubuatkan oleh Yesus sendiri: “jika engkau pergi ke salah satu rumah, dan orang itu tidak menerimamu, pergilah ke tempat yang lain, dan jika tuan rumah itu menerimamu, maka tinggalah di situ” (Mrk. 6:11-12). Kalau mau diekstremkan kalimat ini sebagai berikut: “Kalau di tanah kelahiranmu sendiri sudah tidak mendapat tempat lagi, pergilah ke daerah yang lain yang bisa menerimamu”. Dan barangkali benar Sabda Yesus: “seorang nabi tidak dihargai di negerinya sendiri”. Refleksi teologis inilah yang memberanikan kongregasi untuk: “Pergi, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Mat. 28:19-20). Memaknai perutusan dalam konteks kini adalah untuk tidak terikat pada ruang dan waktu. Tempat hanyalah soal situasi saja. “kemana pun engkau Kuutus haruslah engkau pergi”. Pergi, tidak berarti harus tercabut dari akarnya, tetapi tetap memberikan pertumbuhan agar jangan sampai kehilangan jejak sejarah.
Sesuatu yang positif kini adalah beragamnya jumlah anggota yang berasal dari berbagai daerah dan suku dengan jumlah 116 orang. Tentu saja ini merupakan kekuatan dari kongregasi ini. Keragaman anggota menjadikan kekayaan budaya yang pada gilirannya keragaman cara pikir untuk tidak saja diwarnai oleh satu budaya saja. Setidaknya Schneiders dan van Roessel tersenyum bangga bahwa kini kongregasi di usianya yang ke-50 pada tahun 2008 ini sudah sangat majemuk, dan karena kemajemukannya itu mampu menembus batas-batas dan sekat ruang dan waktu. Suatu keyakinan akan tumbuh berkembang dan memberikan pertumbuhan sampai senja terbuka lebar bersama dan dalam Dia yang telah memberikan pertumbuhannya. Tidaklah berlebihan jika kini kami ingin memadahkan: ”kalian telah menanam, kami memelihara dan merawatnya tetapi Allah memberikan pertumbuhannya”. Suatu pengendapan penghayatan spiritualitas yang melebur dalam pengabdian kerasulan di berbagai tempat akan terus terpancar dan memberi daya hidup kepada dunia. Hal ini sejalan dengan gerak maju bersama hasil refleksi kritis dalam dua kapitel terakhir kongregasi yaitu menjadi “Pelita Pembawa Terang” (Mat.6:22). Pengalaman-pengalaman sejarah masa lalu, menjadi titik refleksi untuk terus tumbuh dan berkembang. Sejarah adalah refleksi kehidupan dalam konteks kekinian. Dari situ kongregasi bisa menatap masa depan secara baru bersama Yesus Hamba Yahwe yang memberi jalan paripurna dalam totalitas kesetiaan pada Sang Sumber Kehidupan yaitu Allah sendiri.

Duc In Altum
Berpikir secara baru memampukan Kongregasi untuk berani ‘menyeberang’ lebih jauh lagi, sehingga tidak hanya menjadi penonton di pinggiran saja. “Bukankah di bagian yang agak dalam terdapat banyak ikan?” Jangan takut tenggelam. Karena jikalau Kongregasi takut tenggelam, maka Kongregasi tetap akan tidak tahu berenang dan hanya berada di pinggir pantai saja. Berusahalah untuk berenang, bahkan sekalipun ke tempat yang paling dalam. “Aku menyertaimu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat.28:19). Hal ini jika kita mengertinya berdasarkan perkembangan zaman ini. Kongregasi hidup di tengah dunia dan berjalan melawan arus kehidupan dunia, berarti Kongregasi harus berjuang agar tidak tertabrak dengan cara "masuk dan berenang di dalam arus kehidupan itu". Ini berarti Kongregasi perlu merenungkan kembali amanat perutusan Yesus bagi kita; "Pergilah ke seluruh dunia dan baptislah semua orang dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus (Mat 28:19-20). Pesan Yesus ini disertai dengan suatu tenaga istimewa dalam hidup dan karya Kongregasi yakni Kongregasi diurapi oleh Allah dengan Roh-Nya seperti yang dinyatakan Allah kepada Yesus sendiri (Mat 12:18-21). Maklumat Yesus ini merupakan suatu motivasi bagi Kongregasi untuk berani berenang ke tempat yang lebih dalam lagi (Duc in Altum). Berarti Kongregasi harus berani untuk berenang dan basah. Tetapi janganlah takut karena Allah tak pernah meninggalkan hambaNya yang telah diurapiNya; “lihat, itu hambaKu yang kupilih, yang Kukasihi, kepadanya Aku berkenan” .
Menginspirasi Musa yang berhasil membawa umat Israel keluar dari perbudakan di Mesir dengan menyeberangi Laut Merah, maka Kongregasi pun harus punya niat dan berusaha untuk membawa Kongregasi ‘menyeberang’. Berani mencoba untuk berenang, sebab dengan berenang kita akan bisa menghindari diri dari banjir dan arus yang datang melanda tiba-tiba.
"Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam lagi" (Luk 5:4) dalam kontkes ini bertolak lebih dalam di daerah Gereja Lokal KAMS tetapi juga bertolak lebih dalam lagi di daerah misi baru merupakan suatu ajakan bagi Kongregasi untuk semakin "setia" dan membawa warta Injil keluar dan membangun "hidup baru yang lain" di daerah lain. Pergilah ke seluruh dunia, itulah yang harus Kongregasi wujud-nyatakan. Dengan perahu layar (Phinisi) Kongregasi mesti berani berlayar. Phinisi pasti akan membawa Kongregasi ke tempat tujuan yang jelas jika Kongregasi mengendalikannya dengan baik, penuh semangat dan penuh harapan dengan berharap pada Kuasa Allah. Karena Yesus berkata bahwa "Ikan yang banyak ada di tempat yang dalam" (bdk.Luk 5:6), maka Kongregasi perlu dan harus berlayar ke tempat yang dalam itu, ke tempat yang terjanji.
Untuk keluar dan bertolak ke tempat yang dalam (tanah misi lain), Kongregasi tidak hanya terpaku dan berkutat pada bidang pendidikan saja. Kongregasi bisa keluar dengan membawa misi pelayanan lain yang sesuai konteks ruang dan waktu. Penafsiran mengenai spiritualitas pendiri, harus ditafsir secara mendalam dan sesuai dengan pemikiran ke depan yang relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Sikap keberanian pendiri harus Kongregasi hidupi dalam karya dan pelayanan. Seorang hamba yang ingin hidup lebih baik, harus berani melawan arus dunia yang menantang, untuk mencari dan memperoleh suatu kehidupan baru. Seorang Hamba Kristus harus berani memperjuangkan dan menyebarluaskan Kabar Gembira itu kepada semua orang. Warta Kerajaan Allah dan perjuangan hak orang-orang kecil harus menjadi prioritas utama dan fokus pekerjaan Kongregasi. Dalam konstitusi dirumuskan sebagai berikut;. "Kita berjalan untuk menyapa mereka yang tidak terkena tindak keadilan dan kebenaran dalam segala bentuknya”. (Konst. pasal 18).
50 tahun telah berlalu, tahun emas telah berlalu pula, namun “zaman keemasan” masih belum nampak dalam sejarah kongregasi. Kongregasi dapat menyetujui bahwa “zaman keemasan” kongregasi hanya ada bila kongregasi sudah mencapai tujuan. Sejalan dengan falsafah orang Makassar, “Sekali layar terkembang, pantang surut biduk ke pantai”. Juga merupakan falsafah hidup kongregasi HHK, sekali layar berkiprah di bumi Sulawesi maka pantang patah menyerah, bahkan dua atau tiga pulau akan terjangkau. Paling tidak, dari perubahan yang sudah dan sedang terjadi pada saat ini, kongregasi telah berani mengepakkan sayap dalam tugas perutusan bukan hanya di Sulawesi tetapi di belahan lain Nusantara, bahkan mulai menapaki dunia.
Sebagai seorang Hamba-hamba Kristus yang memiliki semboyan, Ad omne Opus Bonum Paratus, akan siap menerjang badai. Maka sudah selayaknya, di usia setengah abad ini, kongregasi kembangkan sayap selebar-lebarnyanya agar tidak tenggelam dalam pengaruh zaman. Hal ini senada dengan gerakan konsili Vatikan II yang mengusung tema pembaruan: “Aggiornamento”.

HHK kini dan akan datang
Kami ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip kata-kata Mgr. Frans Van Roessel, Pemimpin umum pertama kongregasi; “Masa lampau telah membuktikan kongregasi kita sanggup, walaupun kekurangan-kekurangan tetap ada. Masa depan akan membuktikan kongregasi kita sanggup berjalan terus dan berdasarkan pengalaman, sanggup mengadakan perubahan dan pencerahan dari masa ke masa”. Maka bila ditanyakan bagaimana masa depan Kongregasi Hamba Hamba Kristus, jawabannya jelas: Kongregasi akan tetap mempunyai masa depan dan berkembang, bila tetap setia pada spiritualitas pengabdiannya, karena dunia dari zaman mana pun selalu membutuhkan pengabdian yang jujur dan tanpa pamrih. Berdasarkan spiritualitas pengabdian itu, ruang hidup dan gerak pelayanan Kongregasi Hamba Hamba Kristus selalu akan terbuka dan terus akan berkembang menembus ruang dan waktu.
Di usia 50 pada tahun 2008 ini, sebetulnya permintaan akan pelayanan dari berbagai pihak kepada Kongregasi masih banyak jumlahnya, tetapi Kongregasi tidak dapat memenuhi, misalnya Flores Timur, Kalimantan, dan yang terakhir adalah Keuskupan Agung Ende dan Keuskupan Agung Marauke. Jumlah anggota perlu memadai dengan jumlah rumah komunitas maka Kongregasi akan membuat skala prioritas pelayanan dan daerah misi. Kiranya kongregasi akan mendapatkan kesulitan jika jumlah tempat berkarya terlalu banyak tidak sebanding dengan jumlah anggotanya, demikianlah pertimbangannya. Kendati orang dapat memperhitungkan kehandalan tiap pribadi frater Hamba Kristus, hidup komunitas perlu dapat berkembang bersama dengan jumlah anggota komunitas yang tidak terlalu sedikit. Seseorang memerlukan pula dukungan dari konfrater sekomunitasnya. Memang kadang-kadang ada semacam bentuk pelayanan yang sangat berarti dan tidak mudah ditolak, sehingga meski satu anggotapun dimungkinkan untuk hidup di lingkup komunitas yang bukan HHK, seperti misalnya yang pernah terjadi untuk pelayanan pastoral di Komisi Kateketik Keuskupan Agung Makassar, daerah misi Labuan Bajo yang dalam beberapa waktu hanya satu orang, juga yang sekarang terjadi di Surabaya dan Harvard University, USA. Kedua komunitas terakhir ini walaupun bukan komunitas karya namun toh mereka bisa hidup dan tetap menjadi Pelita Pembawa Terang dalam lingkup hidup dan studi mereka.
Dengan penuh optimis akan penyertaan Allah dan berdasarkan spiritualitas pengabdian kongregasi mampu melewati arus zaman yang selalu menawarkan berbagai perubahan dalam pelbagai bentuk, percobaan-percobaan yang berat datang silih berganti, namun tetap dapat tumbuh dan berkembang bahkan sampai berbuah lebat. Kini Taman itu telah bertunas bahkan telah menjadi pohon yang rindang sehingga membuat orang bisa berteduh di bawahnya. Tidak perlu meratapi, menangisi semua malapetaka baik pribadi maupun kelompok yang sudah terjadi. Semua akan terjadi lagi bahkan lebih hebat lagi, tapi hanya ada satu yang akan tinggal: “Biji harus mati untuk tumbuh hidup yang baru”.
Jika Kongregasi ini lahir dan berkembang atas kemauan Mgr. Scheiders dan Mgr. van Roessel, maka cepat atau lambat Kongregasi ini akan mati. Tapi jika Kongregasi ini lahir dan berkembang atas kehendak Allah, maka badai dan topan sedahsyat apapun tidak akan menggoyahkan langkah hidupnya, karena yang memegang kemudi adalah Tuhan sendiri. *** Penulis: Faustyn Romanus hhk

Misa Pertama di Ladongi, Kolaka


Sudah berhari-hari hujan mengguyur wilayah Sulawesi Tenggara, termasuk sebuah desa bernama Putemata di Kecamatan Ladongi. Padahal tanggal 13 Agustus 2008 sudah direncanakan akan ada sebuah acara rohani yang diselenggarakan oleh umat separoki St. Clemens Kolaka dan bertempat di stasi Ladongi. Acara itu, tiada lain adalah Misa Perdana Imam Baru, putra pertama daratan Sulawesi Tenggara yang lahir tepatnya di Putemata, 11 Juli 1981. Dia adalah Pastor I Made Markus Suma, Pr atau yang akrab dipanggil Pastor Made.

Meski di musim hujan, Tuhan memberi “hadiah” untuk seluruh umat. 11 Agustus 2008, tepatnya hari Senin, cuaca mulai tampak lebih bersahabat. Angin bertiup lebih kencang dan awan pun bergerak meninggalkan langit Ladongi. Matahari mulai menampakkan sinarnya dari balik awan putih. Langit jadi lebih cerah, meski beberapa bagian langit masih berselimut awan.

Seluruh umat dan Panitia Misa perdana bekerja bahu-membahu mendirikan tenda yang menutupi lapangan sepak bola stasi Ladongi. Bambu-bambu dan batangan kayu dipadu menjadi kerangka untuk menopang lembaran terpal yang menjadi atap. Hiasan dengan pernak-pernik khas kultur Bali pun tidak ketinggalan. Pohon-pohon kelapa menyumbangkan janur kuningnya untuk menambah semarak tenda yang akan dijadikan tempat Misa. Bahkan sepanjang jalan dari rumah Imam Baru sampai ke tempat Misa di kanan-kirinya dihias dengan penjor tunggul (bambu pendek yang dihiasi janur dan dedaunan). Di samping gapura depan tenda juga dipasang tulisan “Selamat Datang”. Lalu sebuah baliho (mirip baliho Pilkada) yang memajang foto Imam Baru bertengger pada tenda utama. Sungguh, sebuah suasana sukacita terungkap melalui berbagai kreasi, pernak-pernik dan simbol-simbol di seputar tempat Misa.

Sampai tiba harinya, acara pun dilaksanakan. Cuaca cerah sungguh menjadi ‘hadiah’ istimewa bagi seluruh umat yang mengikuti Misa pagi itu. Di bawah cerah sinar mentari, Misa dimulai sekitar pukul 09.40 WITA. Namun sebelumnya, masih ada acara perarakan dari rumah Imam Baru menuju ke gereja. Iring-iringan perarakan bergerak dengan Imam Baru dan Vikep Sultra, Pastor Matheus Bakolu,Pr berada di barisan depan. Lalu segenap keluarga Imam Baru dan umat menyertai dari belakang.

Yang sungguh menarik dari perarakan tersebut adalah kehadiran bunyi-bunyian bleganjur (gong dengan sejumlah peralatan musik tradisional Bali) yang menyibak keheningan kampung halaman Imam Baru dan mengiringi perarakan tersebut. Aura budaya Bali menyemarakan perarakan itu karena segenap umat Ladongi berpakaian adat Bali, lengkap dengan udeng (ikat kepala), baju brokat (kebaya Bali yang dipakai perempuan) dan kamen mekancut (sarung Bali yang dipakai laki-laki dengan salah satu ujungnya menjulur ke bawah).

Sesampai di gereja, Imam Baru dan enam Imam konselebran menyiapkan diri untuk merayakan Misa. Yang hadir waktu itu adalah Pastor Piet Majina, Pr (Pastor Paroki Kolaka), Pastor Matheus Bakolu,Pr (Vikep Sultra), Pastor Linus Oge,Pr (Paroki Unaaha), Pastor Samson Bureny, Pr (Pastor Paroki Mandonga), Pastor Albert Maria Rua, Pr (Pastor Kapelan Mandonga) dan Pastor Martinus Pasomba, Pr (Pastor Paroki Sadohoa).

Sementara itu, umat dari sejumlah stasi di wilayah Paroki Kolaka dan segenap umat dari Paroki Unaaha, Mandonga dan Sadohoa sudah menempati tenda tempat Misa. Dari altar, pembawa acara membacakan sejarah singkat gereja stasi Ladongi. Stasi ini dirintis oleh 10 KK, peserta transmigran yang berasal dari pulau dewata, Bali. Mereka tiba di Ladongi November 1973, lalu disusul oleh 24 KK kloter kedua yang tiba sekitar bulan Februari 1974. Dalam perkembangan sejarahnya stasi ini mengalami pasang-surut. Namun Tuhan terus berkarya dan setia memelihara umatNya. Hingga Tuhan menyemaikan benih-benih panggilan dari antara orang-orang muda di stasi ini. Dari stasi ini sudah ada 2 orang Biarawati yakni Sr. Marianne, JMJ dan Sr. Anna Maria, JMJ serta seorang Imam Projo Keuskupan Agung Makassar, Pastor Made.

Didahului oleh putra-putri altar, perarakan Misa pun dimulai dari halaman gereja St. Maria Ladongi. Lagu pembuka “Panggilan Tuhan” membahana dinyanyikan seluruh umat, lalu dilanjutkan koor dari stasi Ladongi yang menggemakan lagu berbahasa Bali. Misa berlangsung dengan khidmat.

Selaras dengan itulah, motto hidup panggilan Imam Baru berbunyi, “Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna.” (2Kor 12:9) Tuhan mengaruniakan panggilan itu di tengah kelemahan manusiawi orang yang terpanggil, sehingga Tuhan sendiri yang terus-menerus menyempurnakannya hingga akhir hayat.

Dalam kisah panggilannya, Pastor Made mengatakan bahwa semasa kecil tidak pernah bercita-cita menjadi Pastor. Maklum, stasinya hanya dikunjungi sekali sebulan oleh Pastor dari Kolaka. Justru dia punya keinginan kuat untuk menjadi tentara. Cita-cita mau jadi tentara memotivasinya untuk belajar giat dan menjaga kesehatan dengan olahraga dan jogging pagi hari. Menjelang tamat SLTP, dia mengikuti tes seleksi calon siswa di SMU Taruna Magelang, Jawa Tengah. Di sela-sela tes itu, ada Pastor Matheus Bakolu,Pr mampir di Ladongi karena kemalaman di perjalanan dari Kendari menuju Pomalaa. Tanpa rencana, Pastor Matheus mencari anak-anak yang hampir tamat SLTP untuk coba-coba tes masuk Seminari.

Remaja bernama Markus (panggilan Pastor Made di kampung halamannya) menyatakan keinginan untuk mencoba tes penerimaan calon siswa Seminari St. Petrus Claver Makassar. Sore itu tes dimulai, lalu disela oleh kesempatan untuk mengikuti Misa yang dipersembahkan oleh Pastor Matheus Bakolu,Pr. Tidak disangka, ternyata lulus di Seminari dan gagal dalam tes SMU Taruna Nusantara pada tingkat Provinsi (di Makorem Kendari). Karena lulus Seminari, maka bersiap-siaplah dia berangkat ke Makassar, daerah yang sama sekali asing bagi remaja dari desa Putemata ini. Perjalanan panggilan memasuki babak awal pada bulan Juli 1996 dengan bergabung dalam keluarga besar SPC (Seminari Petrus Claver).

Benih-benih panggilan bersemi di almamater ini dan terus berlanjut sampai ke TOR (Tahun Orientasi Rohani, tahun 2000-2001), lalu mencapai jenjang berikutnya yakni Seminari Tinggi “Anging Mammiri” di Jogjakarta dari tahun 2001-2008. Perjalanan panjang ini ditempuh selama lebih kurang 12 tahun. Kalau dihitung bukan waktu yang pendek dan bukan pula sebuah “jalan tol” alias bebas dari hambatan atau tantangan. Lalu, pada tanggal 2 Agustus 2008 Pastor Made bersama rekannya Pastor Gratias menerima tahbisan imamat di Paroki St. Joseph Pekerja Gotong-Gotong Makassar dari tangan Mgr. Leopoldo Girelli, Dubes Vatikan untuk Indonesia. Begitulah inti sharing panggilan Pastor Made, seorang tentara Kristus!

Seusai Misa, masih ada acara bersama dengan para tamu undangan, baik dari pemerintah setempat (Pembimas Sultra, Camat yang diwakili Sekretaris Camat, Kepala Desa, Kapolsek, Babinsa, Sejumlah Aparat Desa) maupun dari pemuka dan tokoh-tokoh agama (Hindu, Islam dan Protestan). Pada saat acara ramah-tamah, panitia menyuguhkan sejumlah tarian tradisional dari tarian Legong (Bali), Poco-poco dan tarian Pagellu’ (Toraja). Selain itu, acara itu juga dibuat semarak oleh penampilan sebuah grup karbitan bernama “Bujangan” dengan komandan Pastor Piet Majina yang melantunkan tembang lawas berjudul “Begini Nasib Jadi Bujangan”.

Seluruh rangkaian acara Misa Perdana itu berakhir sekitar pukul 14.00 WITA. Sungguh, sebuah peristiwa iman menggetarkan nubari seluruh umat Allah!*** Penulis: P. I Made Markus Suma Pr

Kronik KAMS Juni-Agustus 2008

1 Juni
Bapa Uskup menerimakan Sakramen Krisma kepada lebih 140 umat di Paroki St. Yakobus, Mariso.

Sementara itu di Tana Toraja, Vikjen P. Ernesto Amigleo bersama Vikep Tana Toraja, P. Frans Arring, menerimakan Sakramen Krisma kepada 137 umat di paroki St. Theresia, Rantepao. P. Markus Paretta sebagai konselebran dalam Perayaan Ekaristi tsb.

3 Juni
Di Paroki St. Yoseph Gotong-gotong, Hendra Kosman Koordinator Karismatik yang baru terpilih bersama para pengurus lain dilantik oleh Mgr. John Liku-Ada’ dalam Perayaan Ekaristi. Turut serta dalam pelantikan, P. Hendrik Njiolah selaku Moderator Karismatik BPK KAMS sekaligus sebagai Pastor Paroki Gotong-gotong.

4 Juni
Ketua Komisi Kepemudaan KAMS mengadakan rapat bersama para pendamping dan guru katolik dari sekolah-sekolah non-katolik Kodya Makassar di Pusat Pastoral Jl. Serui, Makassar.

Rapat Mingguan Kuria KAMS.

5 Juni
Peluncuran buku berjudul “Hati Nurani Hakim dan Putusannya” yang ditulis oleh Antonius Sudirman SH MHum, diadakan di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Makassar. Penulis sekaligus Dekan FH UAJM. Tiga orang panelis dari luar kampus memberikan analisa dan penghargaan atas buku tersebut.

8 Juni
Bapa Uskup memberikan Sakramen Krisma kepada 40 umat di Paroki Gotong-gotong. P. Hendrik Njiolah dan P. Agus Tikupasang ikut serta sebagai konselebran ekaristi.

Malam hari, para anggota Kuria (Vikjen, Sekretaris, dan Ekonom) bersama P. Stef Tarigan dan P. John da Cunha berangkat ke Paroki Mandai untuk bertemu dengan Dewan Pastoral dan Panitia Pembangunan Paroki. Banyak hal dibicarakan, termasuk strategi penggalangan dana dan permohonan IMB untuk pembangunan gereja di Sudiang.

9 Juni
Peresmian Modernisasi Kanwil DJP Nanggroe Aceh Darussalam dan Kanwil DJP Sumut II serta Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di lingkungan Kanwil DJP Sumut I Kanwil DJP Riau dan Kep. Riau, Kanwil DJP Kalimantan Timur, dan Kanwil DJP Sulseltrabar oleh Menkeu RI, Dr. Sri Mulyani.

Rapat Kuria bersama dengan Keuangan KAMS untuk membahas asuransi kesehatan PT Equity Life Indonesia.

10 Juni
Sejumlah 19 novis HHK berangkat ke Malino untuk retret persiapan kaul. Pembimbing rohani mereka, P. Jos van Rooy turut mendampingi.

Di paroki Katedral diadakan upacara 100 hari meninggalnya P. Arie Maitimo. Perayaan dipimpin oleh pastor paroki, P. Piet Timang.

11 Juni
Bapa Uskup memimpin Misa Pembukaan Pertemuan Regional Pembina Mahasiswa Katolik se-Intim di Hotel Yasmin. Di aula Keuskupan juga diadakan rapat pleno Panitia Munas IX Unio.

Menjelang rapat Panitia Munas berakhir, diterima kabar mengejutkan bahwa P. Patrick Galla (51 tahun) salah satu staf Seminari Tinggi Anging Mammiri meninggal dunia dalam perjalanan dari lapangan badminton Yonif Kentungan menuju RS. Panti Rapih Yogya. Rapat Panitia Munas langsung disambung dengan rapat pembentukan panitia penguburan.

12 Juni
Jenasah mendiang P. Patrick Galla tiba melalui bandara udara Hasanuddin, dijemput oleh Bapa Uskup dan umat. Setiba di aula keuskupan, diadakan ibadat sabda yang dipimpin Vikjen. Keluarga mendiang turut hadir bersama para pelayat. Setelah ibadat, diadakan Rapat Kuria bersama P. Eltus Mali dan P. Paulus Tongli serta keluarga mendiang mengenai waktu dan tempat pemakaman.

Malam hari diadakan Misa Tirakatan yang dipimpin P. Victor Patabang.

13 Juni
Keluarga P. Patrick dari Sangalla’ tiba dan ikut serta dalam Misa Requiem di aula keuskupan. P. Stanis Dammen memimpin perayaan ekaristi, didampingi sekitar 30 imam. Tidak diadakan homili, namun P. Paulus Tongli, P. Noel Para’pak dan P. Stanis Dammen membagikan pengalaman ketika bersama mendiang. Mereka menyebut P. Patrick sebagai seorang pendoa, olahragawan dan seorang gembala.

14 Juni
Pukul 8 pagi, ibadat dipimpin P. Cornelis sebelum jenasah diantar ke Katedral. Mgr. John Liku-Ada’ memimpin Misa Requiem didampingi Vikep Tana Toraja P. Frans Arring, dan Rektor Seminari Tinggi Anging Mammiri P. Willem Tee. Bapa Uskup menceritakan pengalaman-pengalaman bersama mendiang yang disebut orang berprinsip teguh. Setelah Misa, jenasah dibawa ke Pemakaman Rohaniwan KAMS di Pakatto’, Gowa. Di sana diadakan ibadat pemberkatan makam dan jenasah. Semoga P. Patrick beristirahat dalam damai.

Malam hari Bapa Uskup secara resmi mengumumkan telah diangkatnya P. Piet Timang, Parochus Katedral Makassar sebagai Uskup baru Banjarmasin, pada pengumuman misa malam Minggu di Katedral.

15 Juni
Di Paroki Gotong-gotong, P. Hendrik Njiolah didampingi Pastor Bantu P. Agus Tikupasang melantik 89 pengurus Karismatik dalam Perayaan Ekaristi yang dipimpin P. Agus Tikupasang, asisten pastor paroki. Koordinator baru yang terpilih adalah Ibu Vonny Pondaag. Setelah misa diadakan jamuan malam.

16 Juni
Diadakan penandatanganan kontrak antara pihak KAMS diwakili Tim Usaha cq. Bpk. Herry Kontessa dan Dewi Sartika Travel Agency di kantor notaris Henrika Dwi Nawangsani di Jl. Andalas berkenaan penyewaan ruang di samping Toko Lux Aeterna di Jl. Cendrawasih.

17 Juni
Perayaan ekaristi diadakan di aula keuskupan dalam rangka malam ketujuh berpulangnya P. Patrick Galla’. Keluarga mendiang dan umat menghadiri misa yang dipimpin P. Herman Panggalo beserta 7 imam.

18 Juni
Misa Syukur diadakan di Universitas Atma Jaya Makassar dipimpin P. Ernesto Pastor Kampus bersama P. Herman Panggalo Kepala SMU Katolik Cendrawasih, dalam rangka Perayaan Dies Natalis XXVIII UAJM dan Upacara Wisuda XXI yang diadakan esok.

Bapa Uskup menghadiri acara “Pisah Sambut” Kakanwil DJP Sulseltrabar, Bpk. Djangkung Sudjarwadi, SH.,LLM (Pejabat Lama) dengan Bpk. Drs. Eddy Setiadi (Pejabat Baru) di Jasmine Hall, Hotel Clarion, Jl. AP. Pettarani Makassar.

19 Juni
Upacara Wisuda 148 lulusan dari 4 fakultas di lingkungan UAJM digelar di Auditorium Hotel Clarion. Upacara dimulai dengan prosesi Senat Universitas dan doa pembuka oleh Pastor Kampus. Prof. Dr. Ir. Sherly Wunas memberikan orasi ilmiah mengenai Masalah Ekologi Rumah. Kata Sambutan diberikan oleh Ketua Yayasan, Sekretaris KAMS P. Frans Nipa dan perwakilan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta di Sulawesi.

22 Juni
P. Hendrik Njiolah dan P. Felix Layadi berangkat ke Jerman melalui Jakarta. P. Hendrik mewakili KAMS menghadiri Perayaan Ulangtahun ke-40 Perkawinan Herman dan Maria, ketua Pater Noldus Aktion, sebuah lembaga donatur KAMS. P. Felix berada di Jerman selama 3 bulan untuk melayani paroki-paroki di sana.

Malam hari, Vikjen P. Enesto Amigleo mewakili KAMS menghadiri Perayaan Waisak 2552 yang diselenggarakan Walubi.

23 Juni
Rapat mingguan Kuria KAMS.

Di Rantepao, Pembimbing Rohani HHK P. Jos van Rooy, CICM sebagai selebran utama dalam perayaan Ekaristi penerimaan jubah 36 Frater Novis HHK.

Mgr. John Liku-Ada’ membuka Lokakarya Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan dalam Perayaan Ekaristi di Baruga Kare. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komisi Kepemudaan dan diikuti peserta dari Makassar, Ambon, dan Manado.

25 Juni
Rapat Kuria diadakan pagi hari untuk membahas hal penting. Malam hari, beberapa konfrater dan imam CICM dan Xaverian tiba di Makassar. Wakil Provinsial CICM P. Silvester Asa; P. Herwine Susilo, P. Joni Payuk, P. Rob Suykens, P. Derikson Turnip, P. John Raharjo dan P. Daru Pancaro tiba dari Jakarta. Mereka menginap di Wisma Kare.

26 Juni
Dewan Konsultor KAMS mengadakan rapat membahas antara lain: penempatan beberapa imam.

Sore hari, WKRI Cab. Makassar merayakan HUT ke-84 dalam perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Bapa Uskup di aula Keuskupan. Didahului dengan seminar yang dibawakan oleh Dr. Agnes Rampisela dan P. Folata Laia, CICM perihal Perempuan dan Lingkungan Hidup.

27 Juni
Pagi hari, Dewan On Going Formation mengadakan perteman rutin. Sementara Sekretaris KAMS P. Frans Nipa berangkat ke Manado mewakili KAMS menghadiri Konvensi Karismatik V di Tomohon, Sulawesi Utara. Pastor Paroki Mariso P. Leo Paliling, bersama 40 umat dari Makassar dan Toraja ikut serta konvensi tsb.

Kongregasi CICM dan SX mendapat panenan imam baru. Dua diakon CICM dan satu dari Xaverian ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. John Liku-Ada’ dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kare pukul 16.00. Wakil Provinsial CICM dan SX sebagai konselebran, bersama 50 imam projo, CICM, MSC. Dua imam baru CICM: P. Yans Dipati dan P. Thomas Claudius; sementara SX: P. Marcel Rante Taruk. Misa penahbisan berjalan hikmat dan lancar. Pada akhir misa, ucapan selamat dan terimakasih disampaikan oleh Ayahanda P. Marcel Rante Taruk, mewakili ketiga keluarga tahbisan baru. Kemudian berturut-turut: Wakil Provinsial CICM dan SX, P.Yans Dipati (mewakili ketiga tahbisan baru), Dirjen Bimas Katolik Depag Bpk. Stef Agus yang mewakili pemerintah dan sekaligus menyerahkan hadiah perlengkapan misa kepada ketiganya, Bpk. Joseph Galla, dan Bapa Uskup. Ketiga imam baru berasal dari KAMS. P. Yan Dipati berasal dari Pare-pare. P. Thomas lahir di Makassar. P. Marcel dari Rantepao. Setelah penahbisan, P. Yans akan kembali ke tanah misi di Brazil, P. Thomas bertugas di Indonesia, P. Marcel berangkat ke Sierra Leone, Afrika.

28 Juni
Bapa Uskup bersama Pembimbing rohani HHK P. Jos van Rooy dan P. Simon di paroki Katedral memimpin upacara kaul kekal 3 frater HHK yakni: Fr. Mathias Talung, Fr. Tarsisius Martinus, Fr. Silanus Gole, dan kaul sementara 6 frater HHK yakni: Fr. Daniel Bala, Fr. Fransiskus Ndareng, Fr. Gregoirus Arjen, Fr. Rui da Costa, Fr. Salomon Ikun, dan Fr. Yemfilmis Edi Wake. Kesembilan frater didampingi orangtua dan sanak saudara mereka.

Rektor Seminari Menengah P. Willy Welle berangkat ke Bandung untuk mengikuti Pertemuan Para Rektor Semnari Menengah di Indonesia.

29 Juni
Pagi hari, P. Yans Dipati cicm berangkat ke Parepare untuk merayakan Misa Syukur Pertama Penahbisan di paroki asal, Paroki St. Petrus Rasul Parepare. Turut serta dua imam yang baru ditahbiskan, Pastor Paroki P. Willem Tulak dan Wakil Provinsial CICM P. Silvester Asa. Hari ini bertepatan Pesta Pelindung Paroki, Penerimaan Komuni Pertama, dan Pelantikan Dewan Pastoral Paroki. Gereja dipenuhi dengan umat.

2 Juli
P. Thomas Claudius cicm merayakan Misa Syukur Pertama Penahbisan di Paroki St. Fransiskus Assisi Panakukkang, bersama P. Yans Dipati dan P. Kamelus Kamus serta imam-imam lain. Dipimpin ibunda P. Claudius dan kerabatnya, sekitar 150 umat dari etnis Manggarai, turut serta dalam Misa. Setelah itu diadakan resepsi syukuran. Kata sambutan diberikan oleh ketua panitia, wakil keluarga, dan P. Claudius. Kemudian P. Kamelus diminta memberikan sambutan mewakili komunitas CICM, dan akhirnya P. Ernesto yang mewakili KAMS.

3 Juli
Kuria KAMS mengadakan rapat mingguan.

6 Juli
Pastor Kampus Universitas Atma Jaya Makassar P. Ernesto Amigleo menutup Lokakarya Rencana Strategis 2009-2013 UAJM selama tiga hari dalam Perayaan Ekaristi di Hotel Grand Wisata. Peserta Lokakarya terdiri: dua utusan Yayasan, Rektor dan Pembantu Rektor, Dekan, dan Para Pejabat Struktural. Keseluruhan berjumlah 30 orang.

Bapa Uskup berangkat ke Tana Toraja untuk kunjungan pastoral tahunan.
Malam hari, diadakan pertemuan antara Badan Pembangunan dan Prasarana KAMS, anggota Kuria, dan Vikep Makassar diadakan di ruang rapat untuk membahas pembangunan gedung baru di Kare.

10-11 Juli
Ketua Komisi APP P. Fredy Rante Taruk mengadakan pertemuan dua hari untuk mengevaluasi Program APP terakhir dan alokasi dana untuk komunitas-komunitas di KAMS sesuai permintaan dan proyek APP. Hadir dalam pertemuan ini wakil-wakil komisi dan kevikepan.

11 Juli
Panitia Persiapan Kunjungan Nuncio (Dubes Vatikan) pada 1 Agustus 2008 mengadakan pertemuan untuk membahas teknis penyambutan Nuncio.

Malam hari, kelompok peziarah World Youth Day yang dipimpin P. Yulius Malli beraudiensi dengan Bapa Uskup, meminta berkat untuk perjalanan mereka ke Sydney, Australia.

12 Juli
Dewan Keuangan KAMS mengadakan pertemuan untuk membahas beberapa hal keuangan, termasuk Lapora Keuangan KAMS 2007. Vikjen P. Ernesto memimpin pertemuan ini.

13 Juli
Tujuh novis CICM: Fr. Paskalis Keban Kaha, Fr. Musa Pata’ Malape, Fr. Fransiskus Lewo Namang, Fr. Wifridus Ngalla, Fr. Christian Palimbong, Fr. Lammarudut Sihombing, Fr. Benediktus Elbanus Tobing mengucapkan kaul pertama di depan Wakil Provinsial, P. Silvester Asa, dalam sebuah Perayaan Ekaristi di Paroki Kare pukul 7.30 pagi. Pada kesempatan itu dilakukan penerimaan 7 novis baru.
Malam hari diadakan resepsi di Novisiat Sang Tunas bersama Mgr. John Liku-Ada’, Mgr. Piet Timang, para imam dan umat.

Pukul 4 sore di SD St. Yoseph Rajawali yang dikelola suster-suster YMY, Bapa Uskup Mgr. John Liku-Ada’ didampingi Mgr. Piet Timang dan Kepala Sekolah SMU Katolik Cendrawasih P. Herman Panggalo, memimpin Ekaristi dan pemberkatan gedung sekolah yang baru direnovasi.

16 Juli
Bapa Uskup berangkat ke Bandung untuk menghadiri tahbisan Uskup Bandung, Mgr. Johannes Pujasumarta.

19 Juli
Akademi Sekretaris dan Manajemen (Aksema) Atma Jaya Makassar mengadakan Wisuda XXII bagi 25 lulusan di Makassar Golden. Direktur Aksema Nancy Ngeljaratan memimpin prosesi Senat dan menyerahkan ijasah D3. Hadir Ketua Yayasan Patingaloang, Kopertis Wilayah Sulawesi dan Vikjen P. Ernesto.

20 Juli
Hari ini genap 40 hari kepergian P. Patrick Galla. Misa Arwah diadakan di Paroki Mariso, tempat mendiang pernah bertugas sebagai Pastor Paroki. Misa dipimpin P. Leo Paliling, didampingi P. Nico Tangke dan P. Albert Arina.

Di stasi Antang, 92 umat menerima Komuni Pertama dari Pastor Paroki, P. Noel Valencia.

25 Juli
P. Marsel Lolo Tandung dan P. Paulus Tongli berangkat ke Tana Toraja untuk persiapan akhir Munas UNIO.

26-27 Juli
Jeduthun Salvation Ministry (JSM) mengadakan retret dengan tema “Pertumbuhan Hidup Rohani” yang dibimbing oleh Yovita dari Surabaya.

Dalam rangka ulangtahun Choice Distrik Makassar digelar Seminar bertema: “Mengenali Penyakit Jantung Koroner” diadakan di aula KAMS. Pembicara Dr. Bambang Budiono, SpJP-FIHA.

28 Juli
Komisi Teologi KWI yang dipimpin Mgr. John Liku-Ada’ mengadakan pertemuan 5 hari di Baruga Kare, Makassar.

Ekonom KAMS P. Albert Arina, Ketua Yayasan Sentosa Ibu Andreas Lumme dan Bendahara Yayasan Sentosa Ibu P. Ernesto berangkat ke Parepare untuk meninjau lahan yang akan dibeli oleh Akper Fatima.

29 Juli
Petugas dari Asuransi Kesehatan Equity Life, Bernard dan Herman, memberikan informasi kepada karyawan KAMS. Bapa Uskup telah memutuskan untuk memberikan asuransi kesehatan kepada semua karyawan tetap KAMS demi kesejahteraan karyawan dan keluarga.

31 Juli
Tim Toko Buku Lux Aeterna mengadakan evaluasi kinerja toko buku. Di samping beberapa kesulitan teknis, toko buku dapat dikelola dengan baik.
Sementara itu, Panitia Persiapan Penyambutan Nuncio dan Munas UNIO mengadakan pertemuan untuk persiapan akhir.

Pagi hari, P. Hendrik Njiolah dan Tuan Herman dari Pater Noldus Aktion tiba dari Jerman.

1 Agustus
Sore hari, Nuncio Mgr. Leopoldo Girelli tiba di Makassar. Bapa Uskup bersama Kuria (kecuali Sekertaris KAMS P. Frans Nipa yang sedang dirawat di RS), Ketua UNIO KAMS, Rektor Seminari Menengah, para imam, Komisi Transportasi, WKRI Katedral menjemput Nuncio yang tiba pukul 6 sore. Sebelum tiba di ruang VIP Bandara, seorang ibu WKRI menyambut dengan mengalungkan karangan bunga anggrek pada Nuncio disertai pergelaran tari-tarian. Nuncio diantar ke Wisma Keuskupan dan Rumah Gubernur, di sana Nuncio dijamu dengan santap malam.

2 Agustus
Pukul 9 pagi di Paroki Gotong-gotong diadakan Tahbisan Imamat 2 orang diakon oleh Nuntius Mgr. Leopoldo Girelli disertai Bapa Uskup Mgr. John Liku-Ada’, Rektor Seminari Tinggi Anging Mammiri P. Willem Tee, Pastor Paroki Gotong-gotong P. Hendrik Njiolah, Wakil Sekretaris P. Marsel Lolo Tandung dan 60 imam konselebran. Kedua diakon yang ditahbiskan: Fr. I Made Markus Suma dan Fr. John Gratias Pakulayuk. Bapa Uskup memberikan homili bertema: “Tuhan yang memanggil itu setia”.

Pukul 6 sore, Nuncio memimpin misa di Paroki Andalas bersama P. Marsel Lolo Tandung dan P. Maris Marannu. Setelah misa, Nuncio mengunjungi Komunitas Suster YMY di RS Stella Maris.

3 Agustus
Pukul 8.30 pagi, Nuncio memimpin Misa Minggu di Katedral bersama beberapa imam.

Pukul 11 siang, Nuncio mengadakan dialog bersama para tokoh umat Kevikepan Makassar di aula KAMS.

Pukul 16, Nuncio mengunjungi Paroki Bunda Maria, Mandai, kemudian ke Baruga Kare. Pukul 18, Nuncio merayakan Ekaristi Minggu bersama umat Paroki Kare. Setelah Misa, Nuncio mengunjungi Novisiat Sang Tunas dan santap malam bersama.

4 Agustus
Pagi hari, Nuncio merayakan Ekaristi bersama Seminaris, Rektor dan Staf Seminari Menengah St. Petrus Claver. Setelah Misa, dilanjutkan sarapan pagi dan dialog. Kemudian Nuncio menuju ke Biara HHK dan mengadakan dialog dengan pimpinan dan para frater. Selanjutnya Nuncio ke Universitas Atma Jaya Makassar untuk meletakkan batu pertama pembangunan gedung rektorat baru. Dalam sambutannya, Nuncio mengingatkan peranan Pendidikan Katolik di universitas katolik. Tugas Universitas Katolik tidak hanya menyebarkan pengetahuan kepada kaum muda, namun juga berfokus pada pengembangan total dan menyeluruh pribadi manusia. Kaum muda harus dibekali nilai-nilai etika dan spiritual seperti: keadilan, perdamaian, kasih dan hormat terhadap sesama. Peran Universitas Katolik di tengah masyarakat majemuk bukan untuk menjadikan mereka katolik, namun memberikan peluang untuk belajar mengenai semangat Injili.


6 Agustus
Pukul 17.30 di Kapel Stella Maris, 7 biarawati YMY merayakan Pesta Perak Kaul Kekal dalam Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh P. Yulius Taleta dari Manado, didampingi P. Willy Welle dan P. Lasber Sinaga. Ketujuh yubilaris: Sr. Anastase Turang, Sr. Jeannette Runtu, Sr. Rosa Liling, Sr. Jacinta Rampengan. Sementara itu Sr. Juliana Anna Bolosi, Sr. Veronica Barrang, Sr. Lidwina Randa juga merayakan Pesta Perak Kaul.

7 Agustus
P. Lasber Sinaga membimbing retret para suster YMY di Malino.

13 Agustus
Pertemuan para imam muda (bawah lima tahun) diadakan di Getengan, Toraja. Kegiatan ini rutin dilakanakan untuk memacu rasa persaudaraan antar-imam.

14 Agustus
Hari ini Dewan Konsultor berkumpul di aula keuskupan mengadakan pertemuan rutin. Di antaranya pemantapan agenda penempatan para imam.

Di antara siswa SLTP se-Indonesia yang bertanding di Olimpiade Sains Nasional VII, Alvin Pither yang mewakili Sulawesi Selatan memenangkan medali emas. Alvin adalah siswa SLTP Katolik Rajawali. Selamat!

15 Agustus
Pesta Bunda Maria Diangkat ke Surga yang diadakan di Bumi Rajawali dihadiri sekitar 5000 umat katolik dari kevikepan Makassar. Bapa Uskup memimpin ekaristi didampingi P. Victor Patabang, Pastor Paroki Assisi selaku panitia penyelenggara, dan P. Hendrik Njiolah, Pastor Paroki Gotong-gotong yang menjadi panitia perayaan tahun depan. Sejumlah 20 imam sebagai konselebran. Tema perayaan: “Bunda Maria, Bunda Pemersatu dan Pembawa Damai”.

17 Agustus
Selamat Merayakan Kemerdekaan RI! Hari ini menandai usia ke-63 Republik Indonesia. Upacara bendera dilakukan di halaman rumah Gubernur dan dihadiri Mgr. John Liku-Ada’.

Vikjen P. Ernesto memimpin misa dan memberkati batu pertama pembangunan geeja Kare. Ini suatu peristiwa bersejarah bagi umat katolik di Kare dan kevikepan Makassar. Setelah bertahun-tahun berusaha, akhirnya pemerintah menerbitkan surat ijin pembangunan gereja permanen di lokasi yang sama.

18 Agustus
Rapat mingguan Kuria KAMS.

19 Agustus
Bapa Uskup berangkat ke Jakarta untuk rapat Presidium KWI.

21-22 Agustus
Pertemuan Forum Antar-Umat Beragama mengadakan pertemuan di Hotel Bumi Asih yang diikuti perwakilan masing-masing agama. Ketua Komisi HAK KAMS P. Paulus Tongli hadir dalam kegiatan ini, juga Herman Senggeh, Fr. Paulino, Yohana Lobo, Dalmas, dan Toni. Prof. Qasim Mathar dosen UIN antara lain menjelaskan mengenai Ahmadiyah.

28 Agustus
Ketua Dewan Keuangan KAMS P. Ernesto mengadakan rapat bersama anggota untuk membahas masalah-masalah mendesak.

30 Agustus
Yayasan Sentosa Ibu mengadakan pertemuan di Wisma CICM Jl. Pelanduk untuk membahas hal-hal penting.

Komunitas Jeduthun Salvation Ministry mengadakan doa malam yang dipimpin oleh Bapak dan Ibu Hendjaya dari Surabaya. Ibu Jane Hendjaya menjelaskan dengan cara penuh humor cara untuk berdoa dan memuliakan Tuhan. Sekitar 125 anggota komunitas berkumpul bersama di gedung SLTP Katolik Rajawali yang baru direnovasi.***