Kamis, 21 Desember 2017

“FIRMAN ITU TELAH MENJADI MANUSIA” (Yoh.1:14) Sebuah Penjelasan kepada Saudara/i Muslim


Pendahuluan
          Natal sudah di ambang pintu lagi! Dengan Natal kita merayakan peristiwa misteri: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah … Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh. 1:1.14). Dalam teologi, ini disebut inkarnasi (menjelma menjadi manusia). Misteri besar ini sungguh tidak mudah masuk akal manusia. Bahkan dijadikan bahan olok-olok oleh Habib Rizieq (dari FPI) dan para Wahabi: “Kalau Tuhan beranak, lalu siapa bidannya?”. Sementara itu mubalig besar DR. Zakir Naik menantang ditunjukkan satu ayat saja dalam Kitab Suci Kristen, di mana Yesus menyebut diri Allah! Olok-olok dan tantangan itu dilatarbelakangi oleh pertanyaan-pertanyaan mendasar dari pihak Islam tentang keilahian Yesus: (1) Yesus dianggap sebagai nabi besar yang lahir tanpa ayah dan pembuat mukjizat. Apakah semuanya itu dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa Yesus adalah Allah?; (2) Bagaimana mungkin seorang manusia dapat sekaligus Allah?; (3) Bagaimana mungkin Allah bisa membiarkan nabi-Nya mati di kayu salib? Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah bisa menderita dan mati?; (4) Yesus adalah satu dari rentetan para nabi. Bagaimana mungkin Dia bisa lebih besar dari Muhammad, nabi terakhir?

I.       AJARAN KRISTEN

1.     Dari Karya Yesus di Dunia hingga Iman akan Paskah
Menurut hasil studi eksegese mutakhir, apapun misteri yang menyelimuti kelahiran dan masa bayinya, Yesus dilahirkan dan bertumbuh sebagaimana setiap manusia. Secara perlahan-lahan Dia menemukan kehendak Allah mengenai diri-Nya. Dengan meninggalkan keluarga dan kampung halamannya di Nazaret, Ia mengalami, pada saat dibaptis oleh Yohanes, bahwa Ia diutus oleh Roh Allah sebagai seorang nabi; nabi yang mewartakan Kerajaan Allah, dalam garis hamba sebagaimana dijelaskan dalam Yes. 49-55. Ia mengajar dengan ototritas dan membuat mukjizat-mukjizat, terutama penyembuhan dari penyakit-penyakit. Setelah mengalami periode sukses, Yesus memasuki suatu masa kebebasan dalam menafsirkan hukum dan sekaligus menciptakan permusuhan dari pemimpin-pemimpin agama Yahudi. Selanjutnya Ia ditinggalkan banyak orang, terkecuali sekelompok murid yang setia. Dia pun sudah mendapat firasat bahwa akhir hidup-Nya sudah dekat. Dia akan menjadi “korban untuk banyak orang”. Ia akan wafat, bukan melalui cara sebagaimana lazimnya dalam hukum Yahudi, melainkan disalib menurut hukum Romawi. Di malam pencobaan iman-Nya, Ia bersiteguh pada iman dan kepercayaan-Nya kepada Allah yang akan membangkitkan Dia dari alam maut. Sesungguhnya tidak ada gelar dalam bahasa manusia yang dianggap layak untuk diberikan kepada Yesus dengan kompleksitas pengalaman yang demikian luar biasa. “Mesias” adalah gelar yang sangat berbau politik, sementara gelar “Putera Allah” melekat erat dengan nuansa “Yang Terkasih, yang dipilih oleh Allah” (bdk. Mat. 5:9). “Anak manusia” merujuk pada penampakan dalam Kitab Daniel (bab 7). Dia merasa Dialah nabi akhir zaman dalam garis hamba dari Yesaya. Dan Dia hidup dalam suatu relasi unik dengan Allah, yang Dia sebut Bapa-Ku dan bahkan Abba (Papa), sesuatu yang tak seorang Yahudi pun akan berani membuatnya.

Setelah kematian-Nya, para murid-Nya mengalami secara jasmani bahwa Ia hadir dan hidup, yang berarti Dia telah bangkit. Digerakkan oleh kekuatan Roh, para murid mewartakan bahwa Yesus adalah “Penebus” (kemenangan-Nya atas maut membawa keselamatan) dan “Tuhan” (dalam bahasa Alkitab berarti Allah). Demikianlah, kebangkitan, berkat kekuatan Roh, mengungkapkan siapa sesungguhnya Yesus ini, yang dengan-Nya mereka telah hidup selama tiga tahun tanpa mengetahui jati diri-Nya yang sesungguhnya. Mereka membaca ulang dalam terang iman sesudah kebangkitan ini peristiwa-peristiwa yang mereka telah alami bersama Dia, dan mengatakan kepada para pendengar apa yang harus mereka percaya tentang Dia. Karena itu Injil-Injil, saksi-saksi pewartaan Kristen pertama, sejumlah kata-kata dan tindakan Yesus yang paling berarti, ditafsirkan ulang dalam terang iman Paskah; begitu pula dengan Injil masa kanak-kanak, adegan pembaptisan, transfugurasi, dst.

Tetapi para rasul, sekurang-kurangnya beberapa dari mereka, juga giat merenungkan dan merumuskan pokok-pokok iman Kristen tentang Yesus. Karya-karya Sto. Paulus merupakan tulisan yang tertua dari Perjanjian Baru. Dalam surat-suratnya kepada jemaat di Kolose dan di Efesus, Paulus menggambarkan Yesus Kristus yang ada dari kekal sebelum segala sesuatu diciptakan (Kol. 1:12-20; Ef. 1:3-10). Sto. Yohanes dalam prolog Injilnya (1:1-18) menggambarkan Yesus Kristus sebagai Sabda yang bersama-sama dengan Allah dari kekal dan adalah Allah sendiri, kemudian menjelma menjadi manusia, Putera Kekal Bapa, pewahyu sempurna wajah Allah. Sejalan dengan ini, Syahadat-Syahadat merumuskan secara lebih persis iman Kristen yang satu dan sama, dan Konsili-Konsili pertama mendefinisikan pribadi dan kodrat Yesus, sungguh Allah dan sungguh manusia, melawan ajaran-ajaran sesat yang terus-menerus bermunculan.

Demikianlah, iman Kristen akan keilahian Yesus bertitiktolak dari pengalaman para murid pada kehadiran Yesus yang bangkit dan hidup; dan bukan pada apakah Yesus pernah mengatakan bahwa Dia adalah Allah, sebagaimana disyaratkan Zakir Naik. Patut dicatat, bahkan setelah pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias, Dia melarang murid-murid-Nya memberitahukan kepada siapapun bahwa Ia Mesias (Mat. 16:20 par.). Larangan Yesus ini tampaknya untuk mencegah salah paham di tengah masyarakat, karena pada masa itu gelar Mesias terlalu bernuansa politik.

2.     Perumusan Dogmatis
Iman Kristen, pada hakekatnya, ialah percaya bahwa pribadi yang secara historis hidup di bawah nama Yesus, nabi Galilea, adalah Putera Allah, yang dilahirkan dari kekal oleh Allah Bapa di dalam kasih Roh Kudus. Oleh karena itu, Ia “dalam kodat-Nya ilahi” dan bahwa Dia mengambil kodrat manusia, sama dengan kita dalam segala hal, kecuali bahwa Ia tidak berdosa (lih. Ibr. 4:15). Konsili Kalsedon (451 AD) merumuskan bahwa dua kodrat dalam Yesus bereksistensi “tanpa pembauran, tanpa perubahan, dan tanpa pemisahan. Perbedaan kedua kodrat itu sama sekali tidak dikurangi oleh kesatuan keduanya; sebaliknya, sifat-sifat khas masing-masing dilindungi dan dipersatukan dalam satu pribadi dan satu hypostasis” (Denz. 148). Penolakan resmi terhadap “pembauran” dua kodrat ini memungkinkan respek yang selayaknya pada transendensi Allah dalam hubungan dengan makhluk, sementara misteri kesatuan dua kodrat dalam satu pribadi tetap utuh.

Sehubungan dengan maksud tulisan ini, apa yang perlu digaris-bawahi ialah bahwa mengakui Yesus sebagai Putera Abadi Allah yang menjadi manusia adalah inti iman Kristen, yang didasarkan pada iman para rasul; adalah berkat visi iman mereka, di mana Injil-Injil dan Perjanjian Baru secara keseluruhan adalah saksi-saksi, sehingga kita berjumpa dengan pribadi historis Yesus, dan adalah berkat dorongan Roh sehingga kita dapat berkata “Yesus adalah Tuhan” (1 Kor. 12:3). Oleh karena pengakuan iman Kristen akan Yesus merupakan jawaban iman, ia tidak bisa dituntut dari orang lain yang tidak memiliki iman yang sama. Kita harus menerima kemungkinan bahwa kita akan diberi penjelasan yang lain sama sekali: penjelasan Marxisme, penjelasan Brhmo Samāj (gerakan reformasi Hindu di abad ke-19), sebuah penjelasan Muslim atau penjelasan Yahudi, dsb. Di sini berlaku dua syarat: pertama, respek terhadap tuntutan-tuntutan kritik historis dan literer. Hal ini sangat dituntut untuk menunjang penelitian ilmiah yang mendalam dan menghindari paparan yang bersifat poetis; kedua, mengakui bahwa penjelasan Kristen juga merupakan sebuah penjelasan yang mungkin, walaupun seorang penulis dari latar belakang yang tidak seiman atau sealiran.

II.     PENJELASAN KRISTEN
Kini tibalah saatnya kita menanggapi secara keseluruhan ke-4 pertanyaan dasar pihak Muslim, sebagaimana dicatat di depan. Misteri keilahian Yesus dan Inkarnasi-Nya merupakan inti iman Kristen, dan memang jauh berbeda dengan iman Islam. Karena itu sangat sulit dikemukakan kepada seorang Muslim. Mendahului setiap penjelasan, kiranya sangat pentinglah menekankannya sebagai suatu misteri iman Kristen dan menghindari setiap argumentasi yang berupaya meyakinkan mitra bicara. Jika mitra Muslim menempatkan diri atas dasar rasional dan dialektik ini, seseorang harus menghindari diskusi itu. Secara historis, polemik-polemik Muslim-Kristen dan pengalaman-pengalaman mutakhir membuktikan bahwa corak debat seperti itu sama sekali tak ada manfaatnya, selain merugikan. Pada lain pihak, jika saudara Muslim bertanya kepada kita tentang apa yang kita imani tentang Yesus karena ia ingin mendapatkan informasi tentang iman kita, maka hendaknya kita menempuh langkah sebagai berikut:
1.     Ceritakan kepadanya seluruh perjalanan historis Yesus, sambil menekankan keaslian tingkah laku dan pesan-Nya, pertanyaan-pertanyaan yang muncul, jawaban-jawaban yang diberikan oleh kebangkitan-Nya, tetapi sekaligus juga memperhatikan ambang iman Kristen yang sendiri membuat mungkin mengakui Dia sebagai Penyelemat dan Tuhan.
2.     Mengoreksi penafsiran-penafsiran keliru mengenai iman Kristen. Bagi kita, iman akan Inkarnasi bukanlah pengilahian (ta’lil) seorang manusia, melainkan Sabda Kekal Allah “yang menjadi manusia”. Transendensi mutlak Allah tetap dihormati dengan tidak berbaurnya dua kodrat (kodrat ilahi dan kodrat manusia). Dan bila berbicara mengenai kodrat ilahi, jangan menggunakan kata tabîca dalam bahasa Arab; kata ini selalu berarti kodrat tercipta, dan tabîca ilâhiyya adalah ungkapan yang kontradiktoris; pakailah dât atau haqiqa.
Gagasan Putera Allah tidak mempunyai nuansa biologis (Allah mempunyai Anak biologis) dan murni menunjuk pada asal usul Yesus dari Allah.
3.     Sebuah perbandingan yang sudah digunakan sejak awal oleh orang-orang Kristen Arab (tetapi dengan nuansa polemik) dapat diajukan dengan suasana dan semangat yang jauh berbeda dengan polemik: Tidak dapatkah kita menjelaskan iman kita kepada seorang mitra bicara Muslim dalam bahasa dan paham-paham keagamaan yang penuh makna baginya? Itulah perbandingan antara Qur’ân dan Inkarnasi. Banyak Muslim terpelajar menyetujui, seperti sudah dikatakan salah seorang dari mereka, bahwa “bagi kaum Muslim Qur’ân menduduki tempat sentral sebagaimana Yesus bagi kaum Kristen” (Md. Talbi). Orang Muslim percaya bahwa Sabda Allah (kalâm Allâh) adalah kekal dalam Allah (kalâm nafsi) dan bahkan identik dengan esensi-Nya (menurut beberapa teolog), dan bahwa itu diwahyukan dalam bentuk Kitab Suci (Sâra kitâban : Qur’ân) yang ditulis dan dibacakan (kalâm lafzî). Orang Kristen percaya bahwa Yesus adalah Sabda Allah, dan sebagai demikian Dia kekal dalam Allah dan sendiri adalah Allah. Sabda Kekal ini menjadi bukan sebuah Kitab Suci, melainkan manusia (sâra  insânan), karena bagi kita Yesus adalah wahyu sempurna Allah dalam sejarah umat manusia.
Dan adalah penting untuk selalu menarik perhatian pada misteri (gayb) Kehendak Allah Yang Maha Kuasa dalam rencana-Nya bagi dunia.
4.     Tertinggallah dua pertanyaan terakhir yang perlu ditanggapi/dijelaskan: Bagaimana mungkin seorang Allah menderita dan mati? Dan, apakah Yesus lebih besar dari Muhammad, nabi terakhir? Pada tempat pertama harus ditekankan, bahwa menurut iman Kristen yang menderita dan mati ialah “Allah yang menjelma menjadi manusia” (Inkarnasi). Selanjutnya, fakta penderitaan dan kematian Yesus harus dilihat dari dua pihak: pihak manusia (yang menjatuhkan hukuman tidak adil), dan pihak Yesus sendiri. Dari pihak manusia, sejak awal mula sejarahnya manusia sudah (cenderung) berdosa. Hakekat dosa adalah penolakan terhadap Allah. Puncak suatu penolakan ialah melenyapkan pribadi yang ditolak: pembunuhan Yesus.
Yesus menerima dengan rela hukuman mati disalib itu sebagai ungkapan ketakwaan-Nya yang total kepada Allah, Bapa-Nya, dan sekaligus sebagai perwujudan cinta-Nya yang tanpa batas kepada manusia. Di taman Getsemani Ia berdoa: “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini daripada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki” (Mrk. 14:36 par.). Selanjutnya, tujuan Inkarnasi dirumuskan dengan kata-kata berikut: “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putera-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Dan Yesus sendiri memaknainya dengan kata-kata: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Inilah misteri kasih sejati dan sempurna dan hanya Allah yang mampu mewujudkannya. Kendati ditolak, Allah tidak membatalkan kasih-Nya kepada manusia. Sebab KASIH adalah salah satu sifat hakiki Allah: “Allah adalah kasih” (1. Yoh. 4:8.16). Yesus mengubah hukum lama, yang berbunyi: “Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu” (Mat. 5:43; Im. 19:18). Dengan kewibawaan penuh Dia menegaskan: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:44). Dan itu dilaksanakan oleh-Nya ketika Ia digantung musuh-musuh-Nya di atas salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka” (Luk. 23:34).

Dan akhirnya, iman Kristen mengakui bahwa Yesus dari Nazaret, Tuhan yang disalibkan dan bangkit kembali, adalah wahyu terakhir dan sempurna dari Allah dalam sejarah manusia.

III.  PENJELASAN AISHA NURRAMDHANI, AKTIVIS MUSLIMAT NU
Sungguh mengesan dan mengharukan bahwa olok-olok Habib Rizieq dari FPI, “Tuhan Kok Beranak???”, tidak dijawab oleh seorang Kristen melainkan oleh seorang aktivis Muslimat NU, Aisha Nurramdhani, yang dimuat di infomenia.net, Rabu, 28 Desember 2016. Penjelasan yang diberikan Ibu Aisha Nurramdhani tak hanya akan bermanfaat bagi umat Muslim dalam memahami secara benar ajaran iman Kristiani, melainkan juga bagi umat Kristiani sendiri. Kita patut mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada beliau.

Pada awal Nurramdhani antara lain menulis: “Pernyataan Habib Rizieq kemarin saya nilai tidak berbobot. Bobotnya tidak lebih dari kebanyakan salah paham Muslim-Muslim yang belum pernah belajar perbandingan agama sebelumnya. Muslim yang sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan. Dia masuk ke dalam, menyentuh dasar, tapi kualitasnya hanya setara dengan pertanyaan anak sekolah minggu/santri kecil. Muslimah seperti saya saja yang suka belajar agama bisa menjelaskannya dengan mudah”.

Selanjutnya, beliau memulai dengan pertanyaan, “Siapa sih Yesus itu?” Pertama-tama, kita harus mengerti terlebih dahulu posisi Yesus di mata Kristiani. Ya, lepas dahulu kacamata Islam kita yang penuh dengan doktrin dan ayat-ayat Qur’an tentang nabi Isa, agar dapat melihat dengan jelas perspektif Kristiani terhadap Yesus. (Lepasin perspektif Islamnya, bukan lepasin agama Islamnya yach). Bagi umat Kristen, Yesus adalah Tuhan yang berinkarnasi (=menjelma) menjadi manusia, bukan manusia yang diangkat menjadi Tuhan, seperti yang selama ini disalah-pahami umat Muslim. (Red.: Menurut perspektif Kristen, manusia tak mungkin jadi Tuhan. Tapi Tuhan Maha Kuasa, jadi Tuhan bisa menjelma menjadi apapun, termasuk menjadi manusia. Menyangkal bahwa Tuhan bisa menjelma menjadi manusia berarti menyangkal Kemahakuasaan Tuhan). Hal ini bukan tanpa dasar. Mereka melihat banyaknya nubuatan mengenai kedatangan Messiah, sang pembebas, Tuhan yang mengambil rupa manusia ini dari kitab Taurat, kitabnya para Yahudi. Kitab yang sama yang juga memuat cerita mengenai nabi Adam AS, nabi Ibrahim, dan nabi Musa AS.

Umat Islam mungkin akan sulit mengerti ajaran Kristen mengenai kodrat ganda Yesus: “sepenuhnya insani” (kamil bi al-masut), sekaligus “sepenuhnya ilahi” (kamil bi al-lahut) sebagai Kalimatullah. Agar mengerti, kita mungkin dapat membandingkannya dengan ajaran Islam sendiri mengenai kitab suci al-Qur’an al-Karim. Bagaimanapun, sebenarnya konsep dalam Kristen ini juga ada dalam Islam, dengan posisi Yesus dalam iman Kristen dibandingkan sejajar dengan posisi al-Qur’an dalam iman Islam. Perbandingannya bukan Yesus dengan nabi Muhammad. Karena dalam Islam, nabi Muhammad sekedar penerima Firman Allah, padahal dalam Kristen Firman-Nya adalah Yesus itu sendiri. Sebaliknya, posisi nabi Muhammad sejajar dengan Maria (Maryam) karena keduanya adalah “sarana turunnya Firman ke dunia” menurut keyakinan masing-masing. Secara teologis, keperawanan Siti Maryam juga paralel dengan kebuta-hurufan nabi Muhammad (Nabi al-Ummi). Karena fakta bahwa Maria tetap perawan dan nabi Muhammad buta huruf menegaskan kemurnian Firman Allah, tanpa intervensi atau campur tangan manusia. Jadi sebenarnya ada hubungan paralel antara keyakinan Kristen mengenai Firman Allah yang menjadi manusia dengan keyakinan Islam akan Kalam Allah yang kekal yang turun menjadi al-Qur’an atau nuzul al-Qur’an.

Kalau Yesus itu Tuhan/Firman Allah/Kalimatullah, kenapa Dia butuh makan? Kenapa Dia bisa mati? Salah satu hal yang menjadi olok-olok kepada kaum Nasrani adalah ketika orang awam membenturkan sifat ke-Tuhan-an Yesus dengan kodrat-Nya sebagai manusia. Rata-rata karena mereka tidak paham sifat “sepenuhnya insani” (kamil bi al-nasuf) dan “sepenuhnya ilahi” (kamil bi al-lahut) yang di atas. Yesus adalah 100% Allah (dalam kapasitas-Nya sebagai Firman Tuhan) namun juga 100% manusia (dalam fisik insani-Nya). Sama persis dengan Al-Qur’an yang 100% Kalimatullah dan 100% buku. Secara fisik mungkin buku tersebut dapat rusak, robek, atau bahkan terbakar sampai habis. Namun ketika Al-Qur’an rusak secara fisik, apakah artinya Firman Allah juga telah rusak? Tentu tidak. Yesus pun dalam rupa sebagai manusia tentu dapat mengalami kerusakan secara fisik, mengalami rasa sakit, lapar, mati (namun bangkit lagi). Tetapi kerusakan secara fisik tentu tidak berpengaruh apa-apa terhadap statusnya sebagai Firman Allah. Apalagi sampai hal-hal fisik ini dipandang sebagai bukti bahwa Yesus bukan Firman Allah.   

Konsep ‘dualisme’ Yesus (Kalimatullah - manusia) dan Qur’an (Kalimatullah – buku) ini juga bukanlah sebuah konsep yang dibuat-buat hingga terkesan unit bin antik, di mana suatu hal ternyata dapat memiliki 100% sifat A namun sekaligus juga memiliki 100% sifat B (sesuatu yang menjadi anggota sifat A dan B yang saling lepas). Dalam dunia ilmu pengetahuan, cahaya juga memiliki sifat 100% partikel namun secara bersamaan juga memiliki sifat 100%  gelombang. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa membenturkan segala hasil eksperimen yang menunjukkan bukti cahaya adalah partikel untuk menyangkal fakta bahwa cahaya juga merupakan gelombang. Begitupun sebaliknya. Hal ini karena memang tidak nyambung. Yang mau diuji apa, parameternya apa. Ibarat kita yang adalah 100% anak ibu, namun juga merupakan 100% anak ayah. Fakta bahwa hidung kita mirip ibu tidak lantas bisa dipertentangkan untuk menyangkal bahwa kita bukan anak ayah. Begitupun dengan fakta bahwa mata kita mirip ayah tidak dapat dijadikan bukti bahwa kita bukan anak ibu.

“Lantas waktu Yesus turun ke dunia siapa yang ngatur alam semesta?” Mengatur alam semesta tidak ada hubungannya dengan hadirnya Yesus di dunia. Kita umat Islam juga percaya bahwa Allah memiliki sifat omnipotent (maha kuasa) dan omnipresent (maha hadir). Begitupun dengan umat Kristiani. Saat kita percaya bahwa Allah sedang hadir menjawab doa kita sekarang, tentu tidak perlu menyangsikan kemampuan-Nya di mana pada saat yang bersamaan Ia juga bisa hadir di tengah-tengah saudara kita di belahan dunia lain. Bukankah Allah itu Maha Kuasa?

“Apa benar Yesus adalah anak biologis Tuhan?” Teman-teman harus paham bahwa umat Nasrani memiliki pemahaman yang sama dengan Islam, yakni bahwa Tuhan itu tidak beranak. Alkitab tidak mengajarkan Allah melakukan hubungan biologis dengan Maryam sehingga melahirkan allah baru, yakni Tuhan Yesus Kristus. Inilah pemahaman sebagian umat Muslim yang salah. Banyak dari mereka menganggap Tuhannya Nasrani itu ada 3: Tuhan Bapa, Tuhan Istri (Maryam), dan Tuhan Anak (Yesus). Mereka juga mempunyai pemahaman demikian, bahwa Yesus anak biologis Tuhan, sulit membedakan antara bahasa figuratif dan bahasa harafiah. Tapi anehnya, bila mendengar kalimat “Muhammad adalah kekasih Allah”, mereka tahu ungkapan tersebut hanya kiasan, sedangkan saat mendengar ungkapan “Anak Tuhan” mereka langsung mengartikannya secara harafiah. Kiranya kita mengerti bahwa Alkitab dan orang Nasrani manapun (bahkan bid’ah Nasrani paling melenceng seperti Saksi Yehova atau Mormon sekalipun) tidak ada yang mengajarkan Isa Al-Masih adalah hasil hubungan biologis antara Allah dan Siti Maryam!

“Kalau Yesus bukan anak biologis Tuhan, terus kenapa Dia disebut ‘Anak Tuhan’?” Anak Tuhan itu hanyalah istilah. Sama halnya dengan anak kunci atau anak tangga. Kunci dan tangga tidak melahirkan anak kunci dan anak tangga, bukan? Gelar “Anak Tuhan” disematkan kepada Yesus dalam kapasitasnya sebagai manusia. Patut dipahami oleh umat Islam bahwa istilah “anak Tuhan” tersebut tidak hanya terbatas untuk Yesus saja. Tiap individu umat Nasrani menyebut dirinya anak Tuhan. Oleh karena itu mereka memanggil Tuhan mereka dengan sebutan “Bapa”. Istilah anak dan Bapa ini digunakan untuk menunjukkan kedekatan umat Nasrani dengan Tuhannya. Layaknya seorang bapak yang memelihara, membimbing, melindungi, dan mendisiplinkan anaknya, begitu pula sikap Tuhan pada umat-Nya.

Akhirul Kalam, selamat memasuki Masa Adven untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya menyongsong perayaan Natal, saat Sang Sabda Allah ber-inkarnasi menjadi Imanuel, “yang berarti: Allah menyertai kita” (Mat. 1:23). Dengan demikian di malam Natal nanti, bersama dengan malaikat dan sejumlah besar bala tentara sorga, kita kembali berseru lantang tetapi syahdu: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14).

Kare, Minggu I Adven, 3-12-2017

+John Liku-Ada’


Sumber Bag. I-II:
1. CASPAR, Fr. Robert, et al.,Trying to Answer Questions, Pontificio Istituto di Studi Arabi e d’Islamistica (PISAI), (Rome, 1989).
2. TROLL, Christian W., Muslim Bertanya Kristen Menjawab, Alih bahasa oleh Markus Solo Kewuta, Kompas Gramedia, (Jakarta, 2013).
3. LIKU-ADA’, John, “Mencoba Memahami Misteri Allah Trtunggal”, KOINONIA 6/3 (2011): 2-6.