Kamis, 27 Maret 2014

Gerakan Seribu dan Mukjizat Berbagi

Gerakan Seribu (Gerbu) KAMS sudah lewat satu semester. Dalam rapat bersama Uskup/Vikjen dan para Vikep, 28 Januari 2014, Tim Gerbu melaporkan baru 9 paroki yang menyetor: Katedral, Kare, Mariso, Assisi, Andalas, Mariso, Mamajang dan Bantaeng (Kevikepan Makassar) dan St.Mikael Palopo (Kevikepan Luwu). Meskipun reaksi paroki masih “suam-suam kuku” dan masih jauh dari estimasi awal, Tim Gerbu tetap optimis. Masalahnya hanya karena esensi Gerakan ini belum dipahami secara benar dan merata. Karena itu, gagasan yang melatari Gerakan ini harus dikomunikasikan. Baik gagasan dari penggagas awal – Frans Delu – maupun yang berkembang dalam rapat-rapat bersama sebelum di-launching secara resmi Agustus 2013.
Esensi Gerbu
Esensi dari Gerbu adalah “semangat berbagi dan berkorban” yang harus ditumbuhkan terus-menerus secara berkelanjutan, dalam konteks cita-cita Gereja Lokal yang Mandiri. Maka seyogianya tidak dibatasi 2 tahun, seperti halnya semangat syn-odos yang tidak boleh dibatasi 2 atau 5 tahun.  Ke depan, dana yang terkumpul pun tidak hanya untuk membiayai program-program implementasi sinode, melainkan juga untuk program strategis lainnya. Misalnya membiayai studi-lanjut kader-kader unggulan kita di berbagai bidang strategis, sebagai bagian dari upaya kita mewujudkan misi-dasar Gereja sebagai “garam” dan “terang”. Tugas-panggilan kita tidak hanya menjadi “garam” yang larut-menyatu dalam masyarakat/lingkungan, pekerjaan/studi, organisasi/komunitas kita dan memberi rasa, melainkan juga tampil menjadi “terang” dunia di berbagai bidang kehidupan. Bukan terang yang ditaruh di bawah gantang (tertutup, rendah-diri: mati!) melainkan “di atas kaki dian” (berani tampil di depan dan di atas, menjadi “pemimpin”). Itu hanya bisa terjadi kalau kita punya kader-kader yang unggul, menonjol dan berpengaruh di bidang politik, budaya, ekonomi, hukum, pendidikan, media massa, dst, yang kalau berbicara dari keahliannya dan didasari spiritualitas Katolik, bisa benar-benar menghadirkan Gereja yang membawa perubahan di tengah masyarakat.
Kunci dari Gerakan ini adalah kesadaran umat. Umat kita punya kemampuan dan kemauan, mereka pasti siap-sedia untuk mengeluarkan tidak hanya seribu rupiah, bahkan mungkin 5, 10, 50 bahkan 100 ribu, seperti yang di-sharing-kan Vikjen ketika masih menjadi Pastor paroki Kare. Bagaimana menggerakkan mereka untuk “memindahkan uang itu dari dompet mereka ke amplop Gerakan Seribu”, itulah seni yang harus kita pelajari. Pertama, “rohani” mereka harus disentuh dan dirawat: kita belajar dari Karismatik yang begitu mudah mengumpulkan uang karena hati dan rohani mereka disentuh. Siap-sedia mewujudkan Gereja sebagai persekutuan (koinonia) yang saling menyayangi (loving), saling peduli (caring) dan saling berbagi (sharing). Kedua, mereka harus tahu untuk apa mereka menyumbang, dan bahwa sumbangan mereka pasti sampai ke sasaran. Di sinilah pentingnya kredibilitas, tranparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya, sebagaimana digariskan Sinode. Mulai dari menjelaskan program-kerja dan manfaat-nya bagi Gereja/Umat, cara pengumpulan dan penyalurannya, hingga pertanggung-jawabannya secara terbuka dan berkala.  Penyimpangan sekecil apapun harus dicegah agar tidak tidak terulang berbagai praktek keliru di masa lalu yang membuat umat kecewa, apriori bahkan apatis. Tim Gerbu sudah membuat laporan semester pertama medio Februari 2014. Ke depan, laporan akan dibuat per triwulan dan bisa diakses oleh umat setiap saat.
Mukjizat Berbagi
Mari kita belajar dari Kisah Yesus memberi makan 5000 laki-laki dalam Lk 9:10-17. Kisah ini  sering disebut “perbanyakan roti”, karena perhatian kita lebih tertarik pada roti (makanan) daripada manusia. Setiap kali membaca perikop ini, saya justru tidak peduli dengan lima roti dan dua ikan yang “disulap” Yesus menjadi ribuan. Imajinasi kita justru harus tertuju pada seni pengorgnisasian dan pengubahan Yesus atas ribuan pengikutNya yang “harus diberi makan”. Tepatnya “saling memberi makan”. Pada zaman itu orang-orang Yahudi (dan Timur Tengah umumnya) punya kebiasaan membawa bekal kalau mau bepergian untuk jarak yang cukup jauh. Biasanya roti dan ikan yang sudah diawetkan supaya bisa bertahan. Tapi dari sekian ribu orang yang mengikuti Yesus, pastilah tidak semua membawa bekal, karena sebagian berasal dari kampung sekitar yang secara spontan bergabung dengan gerakan massa untuk menyaksikan mukjizat Yesus. Ketika tiba waktu makan, ke-12 murid berniat membubarkan massa untuk “cari makan sendiri-sendiri”. Tetapi Yesus mencegah niat lepas tanggungjawab itu: “Kamu harus memberi mereka makan!” Di sinilah Yesus mulai meng-organize dan mengubah kebiasaan para pengikutnya. Para murid ditugaskan membagi massa besar itu ke dalam kelompok-kelompok kecil 50 orang. Yang tidak ditulis oleh penginjil Lukas, tapi dapat kita bayangkan: 50 anggota kelompok itu mestinya terdiri dari mereka yang bawa bekal dan mereka yang tidak punya bekal. Langkah selanjutnya, Yesus mengajak para pengikut itu mensyukuri apa yang ada, yakni bekal lima roti dua ikan, karena semangat berbagi hanya bisa muncul dari hati yang tahu bersyukur. Kemudian “Ia menengadah ke langit, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-muridnya supaya dibagikan kepada orang banyak” (Lk 9:16). Kalimat ini mengingatkan kita pada kalimat konsekrasi, karena pesan-pewartaan perikop ini memang Ekaristi. Semua yang hadir makan sampai kenyang, bahkan tersisa 12 bakul. Angka simbolis 12 mengingatkan 12 suku Israel dan 12 rasul.
Singkat kaji: rasa syukur dan sikap berbagi menghasilkan kelimpahan. Seandainya kita disuruh pilih mukjizat “Yesus memperbanyak roti, atau Yesus mengubah manusia?” Pilihan kita pasti mengubah manusia, karena justru itulah yang paling sulit! Pada masa kini, teknologi serba canggih bisa melipatgandakan produksi pangan. Tetapi selama sikap manusia tetap serakah dan cenderung “makan sendiri”, jurang si kaya dan si miskin tidak akan pernah terjembatani. Maka mukjizat lebih hebat dari perikop ini adalah keberhasilan Yesus mengubah pengikutnya dari kecenderungan dan kebiasaan “makan sendiri” ke “kesiapsediaan berbagi”. Hasilnya adalah semua makan kenyang, berkecukupan bahkan berkelimpahan. Inilah pesan pewartaan dan perubahan yang diharapkan dari setiap Perayaan Ekaristi. Inilah juga esensi dari Gerakan Seribu. Maka tantangan bagi para Imam yang memimpin Ekaristi dan semua pemimpin umat: bagaimana menyentuh hati seluruh umat untuk meneruskan “mukjizat berbagi” itu terutama melalui Gerakan Seribu? Kita yakin, kalau ini benar-benar Gerakan seluruh umat, anak-anak sampai kakek-nenek, yang paling miskin hingga yang paling kaya, bruder-Suster,  seminaris-Pastor sampai Uskup, akan terjadi banyak mukjizat dalam Gereja kita ke depan. Maka, kalau masih ada pihak tertentu yang mempersoalkan Gerakan Seribu, sulit masuk di akal sehat - apalagi hati Kristiani kita. *** Penulis: Philips Tangdilintin

Tidak ada komentar: