Rabu, 06 Januari 2016

Sampul Majalah Koinonia Volume 11 no. 1



SEKITAR JABATAN DAN FUNGSI VIKJEN/VIKEP DALAM GEREJA

Pendahuluan
              Berbeda dengan jabatan Vikaris Jenderal (Vikjen) yang sudah lama ada dalam struktur  pelayanan Gereja, jabatan Vikaris Episkopal (Vikep) baru ditetapkan oleh Konsili Vatikan II. Dekrit “Christus Dominus” tentang Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja, yang dikeluarkan pada 28 Oktober 1965, antara lain menyatakan: “Dalam Kuria Keuskupan fungsi utama ialah fungsi Vikaris Jenderal. Tetapi bilamana diperlukan untuk memimpin keuskupan dengan tepat guna, Uskup dapat mengangkat seorang atau beberapa orang Vikaris Episkopal, yakni: yang berdasarkan hukum, dalam bagian tertentu keuskupan, atau untuk jenis urusan-urusan yang tertentu, atau terhadap Umat beriman Ritus tertentu, mempunyai kuasa, yang menurut hukum umum ada pada Vikaris Jenderal” (CD,27; lih. juga CD,23 dan 26).

Sesungguhnya di tahun 1970-an, Keuskupan Agung Makassar telah mewujudkan amanat Konsili Vatikan II tersebut, dengan menetapkan wilayah Toraja dan Luwu sebagai satu kevikepan, dan sebagai Vikep ditunjuk P. Karl Noldus, CICM. Tetapi itu hanya berlangsung beberapa tahun (1970-1976), dan kemudian dihentikan. Dan selanjutnya dikembangkan sistem “regio” di seluruh       keuskupan. Adapun Ketua Regio fungsinya tidak lebih daripada koordinator pastoral di Regio bersangkutan.

Dalam Laporan “Ad Limina” ke Roma, 1996, antara lain saya menulis, karena luasnya wilayah keuskupan dan sulitnya komunikasi dan transportasi dari tempat yang satu ke tempat yang lain, kami sedang berpikir serius untuk meningkatkan status “Regio” menjadi Kevikepan secara tahap demi tahap, dan mengangkat seorang Vikep di wilayah yang   bersangkutan. Dalam laporan “Ad Limina”, 2002, sudah dapat dilaporkan bahwa pada 1 Maret 2002 sudah ditetapkan Kevikepan Kendari (Sultra),   dengan Vikep yang pertama RD Alex Maitimo. Selanjutnya, pada 1 November 2002 dibentuk Kevikepan Makassar, dan RD Alex Paat diangkat sebagai Vikep pertama. Kemudian, pada 1 September 2003 didirikan Kevikepan Luwu, dengan RD Frans Arring sebagai Vikep pertama. Tanggal 17 September 2007 Kevikepan Toraja dibentuk; RD Frans Arring dipindahkan dari Kevikepan Luwu, menjadi Vikep Toraja yang pertama. Sementara di Kevikepan Luwu, beliau digantikan oleh RP Christofel Sumarandak, MSC. Dan terakhir didirikanlah Kevikepan Sulbar pada 1 September 2010, dengan Vikep pertama RD Martinus Pasomba. Maka dalam Laporan “Ad Limina”, 2011, dapat dilaporkan bahwa di seluruh wilayah Keuskupan Agung Makassar telah rampung dibentuk lima Kevikepan.

Walaupun struktur Kevikepan telah berjalan lima sampai tiga belas tahun dalam Keuskupan kita, harus diakui sistem tersebut pada umumnya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Tentu terdapat macam-macam sebab, mengapa sistem tersebut belum dapat berfungsi penuh. Namun, barangkali salah satu sebab utama, ialah masih minimnya pemahaman baik di kalangan para imam sendiri maupun di kalangan umat pada umumnya tentang jabatan dan fungsi Vikep. Itulah sebabnya rubrik “Dari Meja Uskup Agung” dalam KOINONIA kita kali ini menurunkan tema tersebut. Tetapi ruang terbatas yang tersedia tidak memungkinkan menyajikan suatu ulasan yang lengkap. Di bawah ini kita akan berpusat pada wewenang Vikep, dan karenanya juga pada wewenang Vikjen. Ini disebabkan karena Kitab Hukum Kanonik (Gereja) merumuskannya dalam dua kanon yang sama (479-480).

Wewenang Vikjen / Vikep
Kanon 479 - §1. Berdasarkan jabatan, Vikaris Jenderal memiliki di seluruh keuskupan kuasa eksekutif yang menurut hukum merupakan milik Uskup, yakni kuasa untuk melakukan semua perbuatan administratif, tetapi dikecualikan hal-hal yang direservasi Uskup bagi dirinya atau yang menurut hukum membutuhkan mandat khusus dari Uskup.

§2. Vikaris Episkopal menurut hukum sendiri memiliki kuasa yang disebut dalam §1, tetapi terbatas pada bagian wilayah yang tertentu atau jenis urusan tertentu atau kaum beriman ritus tertentu atau kelompok tertentu untuk mana ia diangkat, dan dikecualikan hal-hal yang direservasi Uskup bagi dirinya atau bagi Vikaris Jenderal, atau yang menurut hukum memerlukan mandat khusus dari Uskup.

§3. Dalam lingkup wewenangnya, Vikaris Jenderal dan Vikaris Episkopal juga mempunyai kewenangan-kewenangan habitual yang diberikan Takhta Apostolik kepada Uskup; demikian juga pelaksanaan reskrip, kecuali jika tegas ditentukan lain atau untuk pelaksanaan reskrip itu Uskup diosesan dipilih karena pribadinya.

Kanon 480 -  Vikaris Jenderal dan Vikaris Episkopal harus melaporkan urusan-urusan penting baik yang akan dijalankan maupun yang telah dilakukan kepada Uskup diosesan, dan janganlah mereka pernah bertindak melawan kehendak dan maksud Uskup diosesan.

Komentar

Vikaris Jenderal (Vikjen)
Kuasa Vikjen disebut kuasa ordinaria (biasa) karena berdasarkan hukum universal wewenang tersebut melekat pada jabatannya; sekaligus juga bersifat perwakilan/delegasi, karena ia menjalankannya atas nama Uskup diosesan yang memiliki kuasa ordinaria dan khas kepemimpinan (kan. 131). Sementara Vikjen mendapatkan wewenang untuk seluruh keuskupan, dia tidak memiliki kuasa lengkap kepemimpinan, karena wewenangnya terbatas pada bidang eksekutif. Dia bukan legislator dan juga kuasa legislatif tidak dapat didelegasikan kepadanya oleh Uskup diosesan. Jadi, dia tidak memiliki otoritas mengeluarkan undang-undang atau bahkan dekrit-dekrit umum yang menyerupai undang-undang (kan. 30). Namun, ia dapat mengeluarkan dekrit-dekrit umum eksekutif, “yaitu yang menentukan dengan lebih tepat cara-cara yang harus dipakai dalam menerapkan undang-undang atau yang mendesak pelaksanaannya, dalam batas kewenangannya” (kan. 31). Selanjutnya, Vikjen juga tidak berwenang melaksanakan kuasa yudisial. Kuasa yudisial dikhususkan bagi Uskup diosesan dan ofisial­-nya (Vikaris Yudisialis, disingkat Vikyud). Vikyud membentuk satu tribunal dengan Uskup diosesan; Vikyud sama sekali tidak boleh dijabat sekaligus oleh Vikjen (kan. 1420 §1).

Dalam menjalankan kuasa eksekutif ordinaria kepemimpinan, Vikjen terikat norma-norma umum yang terdapat dalam kanon-kanon 136-144. Seorang Vikjen harus mempelajari norma-norma tersebut dengan teliti pada awal masa baktinya. Secara khusus dia harus memperhatikan aturan-aturan yang berkenaan dengan orang-orang yang dibawahi olehnya (kan. 136), haknya untuk mendelegasikan “baik untuk satu tindakan saja maupun secara umum (ad universitatem casuum)” (kan. 137), dan haknya untuk menafsirkan kuasa eksekutifnya secara luas  (kan. 138).

Menurut ketentuan hukum, kuasa eksekutif Vikjen itu sungguh luas. Tetapi tidak seluas wewenang Uskup diosesan, karena Uskup diosesan dapat mereservasi tindakan-tindakan administratif tertentu bagi dirinya sendiri atau hukum sendiri dapat melarang Vikjen, untuk bertindak dalam hal-hal tertentu tanpa mandat khusus Uskup diosesan sendiri. Dalam Kitab Hukum Kanonik lama (1917), persyaratan mandat khusus oleh hukum universal menimbulkan sedikit kekacauan. Dua puluh tiga kanon secara eksplisit menuntut mandat khusus untuk memungkinkan Vikjen bertindak. Namun, kanon-kanon lain, walau tidak secara eksplisit menuntut mandat khusus, menyangkut hal-hal serius yang sebenarnya lebih tepat direservasi bagi Uskup diosesan. Ini menyebabkan para komentator menyimpulkan bahwa rujukan-rujukan eksplisit pada sebuah mandat khusus dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 tidaklah meliputi segala sesuatu; ia hanya menampilkan sebuah daftar petunjuk terbatas. Pendekatan berkisar pada apa yang dapat dan tidak dapat dibuat oleh Vikjen berdasarkan kuasa ordinaria. Kitab Hukum Kanonik baru (1983) berusaha      menyingkirkan kekacauan ini dengan menggunakan kosa kata yang lebih saksama. Walaupun Uskup diosesan dan Vikjen keduanya adalah “Ordinaris wilayah”, setiap kanon yang menggunakan kosa kata “Uskup diosesan” berlaku hanya (dumtaxat) bagi Uskup diosesan dan tidak bagi Vikjen dan Vikep, kecuali jika Vikjen/Vikep telah menerima mandat khusus untuk bertindak (kan. 134 §3). Jika sebuah kanon menggunakan ungkapan “Ordinaris wilayah”, maka Vikjen memiliki otoritas untuk bertindak juga tanpa suatu mandat khusus.

Sebuah contoh dari pembedaan tersebut dapat dilihat pada kan. 87: Uskup diosesan “dapat memberi dispensasi dari undang-undang disipliner baik universal maupun partikular” yang tidak direservasi bagi Takhta Apostolik (§1); setiap Ordinaris (baik Uskup diosesan maupun Vikjen) dapat memberi dispensasi dari undang-undang yang sama dan juga yang direservasi bagi Takhta Apostolik (kecuali hukum selibat) apabila rekursus ke Roma sulit dan ada bahaya kerugian besar kalau tertunda (§2). Dalam keadaan normal (tidak ada kesulitan atau kerugian besar), Vikjen dapat memberi dispensasi hanya dari undang-undang diosesan dan dari undang-undang yang dikeluarkan oleh konsili propinsi atau regional atau oleh Konferensi Waligereja (kan. 88), tidak dari undang-undang disipliner universal. Jika Uskup diosesan menginginkan Vikjen dapat memberi dispensasi dari undang-undang disipliner umum dalam keadaan normal, dia harus memberi kepada Vikjen mandat khusus untuk berbuat demikian.   


Vikaris Episkopalis (Vikep)
Di sini komentar tentang Vikep dapat sangat singkat karena otoritasnya sama dengan Vikjen, sebagaimana sudah diuraikan di atas. Hanya saja skop atau lingkup yurisdiksi Vikep ditetapkan lebih terbatas pada: (1) bagian wilayah yang tertentu, atau (2) jenis urusan tertentu, atau (3) kaum beriman ritus tertentu, atau (4) kelompok tertentu. Sampai sekarang di Keuskupan Agung Makassar hanya terdapat Vikep jenis pertama, yaitu untuk wilayah tertentu yang disebut Kevikepan. Vikep adalah Ordinaris wilayah (kan. 134  §1), dan membutuhkan mandat khusus apabila hukum universal menggunakan ungkapan “Uskup diosesan”. Satu perbedaan lain antara Vikjen dan Vikep ialah fakta bahwa Uskup diosesan dapat membatasi wewenang kepemimpinan Vikep dengan mereservasi sejumlah tindakan tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk Vikjen, sementara kuasa Vikjen dapat dibatasi oleh reservasi Uskup diosesan untuk tindakan-tindakan sedemikian bagi dirinya sendiri, tidak untuk seorang lain.  

Tentang Kewenangan Habitual dan Reskrip
Ayat 3 kan. 479 berbicara mengenai kewenangan habitual (facultas habitualis) dan reskrip. Kewenangan (facultas) adalah suatu pemberian oleh otoritas lebih tinggi yang memungkinkan seorang bawahan bertindak sedemikian bahwa tanpa pemberian tersebut si penerima tidak berwenang untuk bertindak. Facultas habitual tidak terbatas pada suatu jangka waktu yang singkat atau pada sejumlah tertentu kasus. Karena kewenangan habitual diandaikan bersinggungan dengan jabatan, maka analog dengan kuasa ordinaria kepemimpinan. Sedangkan reskrip ialah suatu tindakan administratif yang dibuat secara tertulis oleh kuasa eksekutif yang berwenang; dan yang dari hakekatnya, memberi suatu privilegi, dispensasi atau kemurahan lain atas permohonan seseorang (kan. 59 §1).

Serupa dengan kan. 66 dan 368 Kitab Hukum Kanonik 1917, ayat 3 kan. 479 ini menyatakan bahwa, secara umum Vikjen dan Vikep memperoleh semua kewenangan habitual yang diberikan kepada Uskup diosesan dan boleh mengeksekusi semua reskrip apostolik, “kecuali jika tegas ditentukan lain atau untuk pelaksanaan reskrip itu Uskup diosesan dipilih karena pribadinya” (industria personae). Harus dicatat bahwa kan. 134 berlaku hanya untuk Kitab Hukum Kanonik dan tidak mempengaruhi dokumen-dokumen selanjutnya yang memberi kewenangan-kewenangan habitual sedemikian. Jika kewenangan habitual diberikan kepada “Uskup diosesan”, dengan sendirinya juga diterima oleh Vikjen dan Vikep. Manakala sebuah dokumen Takhta Suci menghendaki membatasi kewenangan khusus kepada para Uskup saja, ia harus menegaskan fakta ini secara eksplisit (misalnya dengan ungkapan seperti exclusis vicariis generalibus et episcopalibus); jika tidak demikian, norma yang terdapat dalam ayat 3 ini akan berlaku dan tidak akan diperlukan mandat khusus bagi Vikjen dan Vikep untuk menjalankan kewenangan itu.

Akhirnya, perlu dicatat bahwa, kendati kanon-kanon, dengan menggunakan ungkapan “Uskup diosesan”, menuntut mandat khusus bagi Vikjen dan Vikep untuk bertindak, Uskup diosesan dapat memberikan mandat sedemikian dalam Surat Pengangkatan tanpa menentukan setiap kanon yang memberlakukannya. Uskup diosesan dapat memberi mandat “untuk semua hal yang di dalamnya dituntut oleh hukum universal” dan selanjutnya mereservasi setiap hal khusus untuk dirinya jika ia menghendakinya.

Hubungan Vikjen dan Vikep dengan Uskup Diosesan
Kan. 480 berbicara mengenai relasi antara Vikjen/Vikep dan Uskup diosesan. Vikjen dan Vikep memiliki wewenang yang luas, namun itu harus dipahami dalam terang relasi mereka dengan Uskup diosesan. Norma ini sangat serupa dengan kan. 369 dari Kitab Hukum Kanonik 1917, dan ini didasarkan pada perlunya koordinasi erat antara Uskup diosesan dan Vikjen/Vikep. Vikjen dan Vikep mengambil bagian dalam tanggungjawab (sollicitudo) Uskup. Tetapi mereka tidak “melipatgandakan” Uskup diosesan, juga tidak berpartisipasi dalam semacam kepemimpinan kolegial keuskupan. Mereka secara langsung bertanggungjawab kepada Uskup diosesan, dan harus melaporkan urusan-urusan penting baik yang akan dilaksanakan maupun yang telah dilakukan kepada-nya. Jika Uskup diosesan telah menolak suatu kemurahan, maka Vikjen dan Vikep – entah diberitahu tentang penolakan itu atau tidak–  tidak dapat memberikan kemurahan tersebut secara sah (kan. 65 §3). Vikjen dan Vikep tidak pernah boleh bertindak melawan kehendak dan maksud Uskup diosesan. Dan agar ketentuan ini dapat berjalan dengan sendirinya secara organisatoris, saya selaku Uskup diosesan menetapkan bahwa Vikjen dan para Vikep ex officio menjadi anggota Dewan Konsultores diosesan.

Penutup
Di Sinode diosesan 2012 diteguhkan tekad untuk menindaklanjuti hasil Sinode tersebut secara berkelanjutan. Di Sinode itu berhasil ditemukan dan dirumuskan visi, misi dan strategi Keuskupan Agung Makassar; sementara dua tahap berikutnya, yaitu program dan aksi, dipercayakan ke masing-masing Kevikepan/Paroki untuk menindak-lanjutinya. Tetapi, sebagaimana sudah dikemukakan dalam Pendahuluan di depan, pada umumnya struktur Kevikepan belum berfungsi dengan baik. Kalau demikian, memang dapat dipahami bahwa tindak-lanjut hasil Sinode pada tahap program dan aksi dengan sendirinya tersendat. Sebuah contoh konkret, program pendataan umat yang berorientasi pada penyusunan program pastoral tepat-guna di setiap Paroki harus rampung sebelum akhir 2014. Kini tahun 2015 sudah hampir berakhir, dan faktanya masih ada sejumlah Paroki yang belum menuntaskan program tersebut!

Kalau benarlah sinyalemen bahwa di kalangan para imam pemahaman tentang jabatan dan fungsi Vikep masih minim, itu sungguh memprihatinkan. Para imam     mengambil bagian dalam tri-fungsi Kristus, yaitu: mewartakan/mengajar (nabi/guru), menguduskan (imam), dan menggembalakan (pastor). Maka kalau umat belum memahami apa itu jabatan dan fungsi Vikjen/Vikep, adalah tugas kita para imam untuk mengajar mereka tentang itu. Tetapi bagaimana kalau kita sendiri juga belum memahaminya? Jelaslah kita terlebih dahulu harus mempelajarinya! Kita tidak dapat berdalih, bahwa di masa pendidikan dulu kita tidak mendapatkan bahan itu. Kita tidak boleh lupa, bahwa sebagai imam kita telah lulus dari lembaga Pendidikan Tinggi. Kita adalah orang terdidik, sarjana. Salah satu ciri utama dari sarjana ialah bersikap ilmiah, selalu berupaya mencari kebenaran obyektif. Karena itu seorang terdidik/sarjana adalah seorang yang harus belajar terus sepanjang hidupnya.

Dengan demikian, gerakan “Revolusi Mental” yang dicanangkan Presiden Jokowi pertama-tama relevan untuk kita para imam. Kitalah yang pertama-tama harus merubah dan membaharui diri. Dan transformasi diri dalam bidang iman selalu diawali dengan pertobatan. Dan bukankah Masa Adven adalah masa pertobatan? Selamat menjalani Masa Adven, masa pertobatan.
Semoga sukses. Tuhan memberkati!


Makassar, Minggu I Adven, 29 November 2015 

+ John Liku-Ada’


Sumber:
1. The Code of Canon Law; a Text and Commentary, ed. by James A. Coriden, et al., (Paulist Press, New York/Mahwah, 1985).
2. Mons. Pio Vito PINTO, ed., Commento al Codice di Diritto Canonico, (Urbaniana University Press, Roma, 1985).

Agenda Bapa Uskup: Desember 2015 - Februari 2016

Desember 2015
Tgl.      Acara
01-03   Acara Pesta Emas Paroki Messawa
05         Pelayanan Sakramen Pernikahan
06         Misa Minggu di Katedral
08         Hari Imam
09         Kunjungan Direktur “One Asia (UK) Ltd.”
10          Pertemuan dengan Pimpinan Umum      HHK; HUT ke-40 Imamat P. Frans Ar ring
11 Wawancara YSI
12 Acara Pembagian Sembako Natal
13 Krisma di Sudiang
14 Rapat Gabungan Kuria – Yayasan Paulus
15 Hari Imam
16 Misa di Siti Miriam
17 Misa Komunitas
18 Misa dengan Frater HHK
19 Pertemuan dengan Depas Sorowako
20 Misa di Katedral
22 Doa Lintas Agama untuk Sulsel dan Kota Makassar
23 Misa di Siti Miriam
24 Misa Malam Natal
25 Natal
26 Open House
27 Launching Tempat Ziarah Keluarga Kudus di Toraja
28 Syukuran Pancawindu Imamat P. Frans Arring & 50 Tahun Perkawinan Kakak.
29 Kembali dari Toraja
30 Perayaan Natal Ekumenis
31 Tutup Tahun
  
Januari 2016
Tgl. Acara
01 Tahun Baru
02-04 Luar Kota
05 Hari Imam
06 Misa di Siti Miriam
07 Misa Komunitas
08 Misa dengan Frater HHK
10 Misa di Katedral
11 Misa dengan Frater HHK
12 Hari Imam
14-17 Pernas Catholic Family Ministry (CFM) di Surabaya
20-22 Rapat Presidium KWI
26 Hari Imam
27-28 Rapat Dewan Konsultor
29 Misa dengan Frater HHK
31 Misa di Katedral


Februari 2016
Tgl. Acara
01 Misa dengan Frater HHK
02 Hari Imam; HUT ke-24 Tahbisan Uskup
03 Misa di Siti Miriam
04 Seminar CU Mekar Kasih
05 Misa dengan Frater HHK
07 Misa di Katedral
08 Misa dengan Frater HHK
09 Hari Imam
10 Misa di Siti Miriam: Rabu Abu
11 Misa Komunitas
12 Misa dengan Frater HHK
14 Misa di Katedral
15 Misa dengan Frater HHK
16 Hari Imam
17 Misa di Siti Miriam
18 Misa Komunitas
19 Misa dengan Frater HHK
21 Misa di Katedral
22 Misa dengan Frater HHK
23 Hari Imam
24 Misa di Siti Miriam
25 Misa Komunitas
26 Misa dengan Frater HHK
28 Misa di Katedral
29 Misa dengan Frater HHK


Mutasi Personalia KAMS

P. Marselinus Lolo Tandung, Pr
Diangkat menjadi Pemimpin Rohani Kuria Kaum Muda Legio Maria.

P. Willibrordus Welle, Pr
Dilepaskan dari tugas sebagai Direktur Sentrum Pastoral Saluampak.

P. Stef Salenda’, Pr
Dilepaskan dari tugas sebagai Staf Kerasulan PSE KAMS-Caritas Makassar di Kevikepan Toraja dan Asisten Paroki “Santa Theresia” Rantepao.
Diangkat menjadi:
» Koordinator Tim Kerasulan PSE KAMS dan Caritas Makassar di Kevikepan Luwu.
» Koordinator Tim Penyelenggara Sentrum Saluampak.

P. Frans Ronda Tandipau, Pr
Dilepaskan dari tugas sebagai Direktur Pala’-Pala’ dan diangkat menjadi anggota Tim Penyelenggara Sentrum Saluampak.

P. Linus Oge, Pr
» Dilepaskan dari tugas sebagai Staf Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi KAMS dan Asisten Tetap Paroki “Santo Mikael” Labasa.
» Diangkat menjadi Sekretaris Eksekutif Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi KAMS, Komisi Aksi Puasa Pembangunan KAMS, Komisi Keadilan-Perdamaian KAMS dan Komisi Migran-Perantau KAMS.

P. Natanael Runtung, Pr
Diangkat menjadi Pastor Paroki “Santa Theresia” Rantepao.

P. Bartholomeus Sire’pen, Pr
Dilepaskan dari tugas sebagai Pastor Paroki “Roh Kudus” Unaaha dan diangkat menjadi Pastor Bantu Paroki “Santo Mikael” Labasa.

P. Simon Bata, SVD
Diangkat menjadi Pastor Paroki “Roh Kudus” Unaaha.

P. Suarma I Nyoman Marselinus, SVD
Diangkat menjadi Pastor Bantu Paroki “Roh Kudus” Unaaha.

P. Florianus Ahoinnai, CMF
Diangkat menjadi Pastor Bantu Paroki “Santo Mikael” Tobadak.

P. Antonius Dedian, MSC
Diangkat menjadi Pastor Bantu Paroki “Siti Maryam” Saluampak.


Kepengurusan Baru KWI

Ketua KWI                  : Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta
Wakil Ketua I              : Mgr. Leo Laba Ladjar OFM, Uskup Keuskupan Jayapura
Wakil Ketua II            : Mgr. Harjosusanto MSF, Uskup Agung Keuskupan Samarinda
Bendahara : Mgr. Silvester San, Uskup Keuskupan Denpasar
Sekretaris Jenderal : Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC, Uskup Keuskupan Bandung

Para anggota Presidium KWI
Wakil Provinsi Gerejawi (PG) Medan : Mgr. Martinus Dogma Situmorang OFMCap
Wakil PG Palembang : Mgr. Aloysius Sudarso SCJ
Wakil PG Makassar : Mgr. John Liku Ada’
Wakil PG Pontianak : Mgr. Giulio Menccucini CP
Wakil PG Kupang : Mgr. Dominikus Saku
Wakil PG Semarang : Mgr. Sutikno Wisaksono

Para Ketua Komisi
Komisi HAK : Mgr. Harun Yuwono
Komisi Misioner : Mgr. Edmund Woga CSsR
Komisi Kateketik : Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM
Komisi Kerawam : Mgr. Sensi Potokota
Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) : Mgr. Hilarion Datus Lega
Komisi Liturgi : Mgr. Piet Boddeng Timang
Komisi Pendidikan : Mgr. Martinus Dogma Situmorang OFMCap
Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE): Mgr. John Philips Saklil
Komisi Seminari : Mgr. Ludovicus Simanullang OFMCap
Komisi Kepemudaan : Mgr. Pius Riana Prabdi
Komisi Teologi : Mgr. AM Sutrisnaatmaka MSF
Komisi Keluarga : Mgr. Frans Kopong Kung
Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migran dan Perantau: Mgr. Dominikus Saku
Ketua Komisi Kepemudaan : Mgr. Pius Riana Prabdi

Ketua Urusan Keuangan : Mgr. Silvester San
Anggota : Mgr. Sutikno Wisasono, Mgr. Agustinus Agus
Ketua Dana Solidaritas Antar Keuskupan: Mgr. Sutikno Wisaksono
Delegatus Kitab Suci : Mgr. John Liku ‘Ada
Delegatus Karya Kesehatan : Mgr. Hubertus Leteng
Ketua Badan Kerjasama Bina Lanjut Imam Indonesia: Mgr. Aloysius Sudarso SCJ
Moderator Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan: Mgr. Nicolaus Adi MSC
Penghubung KOPTARI : Mgr. Aloysius Murwito OFM
Episkopal Karismatik : Mgr. Hilarius Moa Nurak SVD


Rangkuman Hasil Rapat Dewan Imam: Baruga Kare, 17-19 November 2015

Perayaan Ekaristi pembukaan Rapat Dewan Imam bertepatan dengan peringatan St. Elisabet dari Hongaria. Dalam   homilinya, Bapak Uskup mengajak para peserta Rapat Dewan Imam (RDI) untuk memusatkan permenungan pada tiga sosok utama yang ditampilkan dalam liturgi hari ini, yakni: Eleazar, Zakheus, dan Santa Elisabet dari Hongaria. Ketiga sosok ini hidup pada zaman yang berbeda. Eleazar hidup pada zaman pemberontakan Makabe sekitar tahun 140-an SM; Zakheus hidup pada zaman Yesus; dan Santa Elisabet hidup pada abad XIII M. Sekalipun mereka bertiga hidup pada zaman yang berbeda, tetapi ada satu benang merah yang menghubungan ketiga tokoh tersebut. Ketiganya adalah orang-orang yang mau dan siap sedia memberikan hidupnya untuk hal yang berguna bagi sesama berdasarkan keyakinan/iman mereka.
Eleazar, seorang saleh, setia pada agama dan imannya hingga akhir. Dia tidak gentar terhadap harga yang harus dibayar mahal untuk kesetiaannya. Walaupun sebagai manusia dia tentu mempunyai ketakutan terhadap siksaan yang harus dihadapinya. Tetapi dia toh tetap setia pada keyakinannya. Ada dua         keyakinan dasar yang dimiliki oleh Eleazar. Pertama, dia tidak ingin menjadi batu sandungan tetapi meninggalkan teladan yang luhur bagi kaum muda. Inilah yang biasa kita kenal dengan pertimbangan pastoral dalam pelayanan kita sebagai imam saat ini. Sebelum memutuskan sesuatu hendaknya kita selalu mempertimbangkan dampak pastoral hal yang akan diputuskan itu, agar pelaksanaannya tidak menjadi batu     sandungan bagi orang-orang di sekitar kita. Kedua, berkaitan dengan harga dirinya. Baginya sungguh merupakan kehinaan kalau pada usia tuanya ia tidak setia pada keyakinan dan hukum agamanya. Mari kita menyadari bahwa unsur ini sepertinya telah kabur sekali di kalangan kita manusia modern. Misalnya dalam kalangan elit politik, jika benar berita yang ditampilkan oleh media massa, bahwa ketua DPR demi            kepentingan pribadi mengatasnamakan Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapatkan saham di PT Freeport, maka dia sungguh tidak memiliki harga diri. Oleh karena itu, teladan yang diberikan oleh Eleazar sungguh sangat mengena bagi kita saat ini. Apakah dalam hidup kita para imam dua pertimbangan itu juga menjadi tata laku kita? Landasan dari kedua pertimbangan itu adalah keyakinan iman, yaitu kesetiaan pada Tuhan yang diabdi. Inilah kesaksian Eleazar yang sangat relevan bagi kita saat ini.
Sosok Zakheus, seorang yang kaya, terhormat dan tentunya adalah orang yang terkemuka karena dia adalah seorang kepala         pemungut cukai. Dia pendek tetapi tidak peduli dengan hal itu. Dia ingin melihat Yesus dan keinginannya itu bersambut. Yesus pun melihat dia dan ingin menginap di rumahnya. Zakheus menerima Yesus dengan sukacita. Hal ini menggemakan Evangelii Gaudium yang kemudian menjadi tema SAGKI: “Keluarga Katolik: Sukacita Injil”, artinya menerima Injil dengan sukacita. Inilah contoh yang diberikan oleh Zakheus. Pertanyaannya, apakah kita menerima tugas pelayanan sebagai imam dengan penuh sukacita? Kita ketahui bahwa sukacita yang dialami Zakheus merubah hidupnya. Ia berdiri dan berkata Tuhan separuh dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin. Sukacita karena bisa berjumpa dengan Yesus atau menerima Injil membawa perubahan dalam tata laku seseorang. Sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat. Inilah efek dari sukacita Injil yang merubah 180 derajat arah hidup Zakheus. Itulah pesan dari sosok Zakheus dan menantang kita untuk menjadi saksi-saksi injil dalam hidup dan karya imamat.
Sosok Elisabet dari Hongaria, seorang yang memiliki kesempatan untuk menikmati hidup dengan kekayaan yang dimiliki, tetapi karena iman dan Injil, dia justru mengambil jalan yang bertentangan dengan itu. Dia mengabdikan hidupnya untuk menolong orang-orang miskin. Seseorang yang berhadapan dengan materi dalam hidupnya tidak menggunakan materi sebagai tujuan tetapi alat untuk mencapai tujuan.
Ketiga tokoh yang muncul dalam liturgi hari ini mempergunakan hidup mereka untuk hal yang berguna bagi hidup sesama. Eleazar sudah meninggal 22 abad yang lalu, tetapi namanya tetap dikenang hingga saat ini. Begitu juga dengan Zakheus yang hidup sekitar 20 abad yang lalu. Santa Elisabet yang hidup 7 atau 8 abad yang lalu, tetapi namanya tetap dikenang oleh Gereja. Itu semua karena mereka menggunakan hidupnya untuk pelayanan bagi sesama. Oleh karena itu, mari kita, dalam tugas pelayanan kita, mencontoh ketiga tokoh tersebut. Tuhan bantulah kami untuk dapat meneladani ketiga tokoh tersebut.

 

Tindak Lanjut Hasil Rapat Dewan Imam yang lalu

1. Gerbu: Para pastor paroki dihimbau agar tidak henti-hentinyanya mengingatkan umat untuk menjalankan Gerbu. Tampaknya himbauan ini belum atau kurang dilaksanakan, karena hanya beberapa paroki tertentu saja yang menyetor dana Gerbu. Dari segi penggunaannya, hampir semua kevikepan sudah menggunakan dana ini. Pada umumnya penggunaan selama ini adalah untuk membiayai kegiatan orang muda, sekami, dan pendataan. Saldo dana Gerbu saat ini sekitar 90 juta. Sudah perlu mengadakan evaluasi tentang gerakan ini. Dari evaluasi itu dapat kita bicarakan tentang kelanjutannya, apakah masih dibutuhkan atau tidak. Gerakan Seribu diadakan dengan maksud untuk membiayai gerakan tindak lanjut hasil sinode 2012. Apakah minat yang kurang untuk menjalankan gerakan ini sangat erat hubungannya dengan tidak jalannya gerakan tindak lanjut hasil sinode? Program yang sedang kita laksanakan saat ini dan sudah 2 tahun belum tuntas adalah program pendataan umat. Program ini dianggap sebagai sebuah program strategis, yang akan menjadi pangkal pelaksanaan program lainnya. Karena para peserta rapat Dewan Imam belum siap untuk mengadakan evaluasi ini, maka evaluasi akan dijadikan agenda dalam rapat Dewan Imam pada bulan Mei 2016. Dalam evaluasi itu juga diusulkan supaya wakil umat dihadirkan.
2. Berkaitan dengan evaluasi gerakan tindak lanjut hasil sinode, diusulkanlah untuk mengadakan pertemuan para imam untuk membangun komitmen bersama dan membicarakan hal-hal lain sehubungan dengan hidup bersama dan pelaksanaan tugas kita. Hal ini penting, agar para imam tidak jalan sendiri-sendiri. Sebagai perbandingan, pertemuan serupa diadakan oleh imam-imam CICM tiga tahun sekali untuk membicarakan topik-topik yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Pertemuan tersebut dipersiapkan oleh sebuah tim. Oleh karena itu akan lebih baik kalau pertemuan yang kita rencanakan juga dipersiapkan oleh sebuah tim.
3. Pedoman Kesejahteraan Imam Diosesan: Kesulitan yang dihadapi oleh paroki tertentu hendaknya dibicarakan dengan pihak     keuskupan untuk mencari jalan keluar. Penempatan paroki dalam kategori yang dianggap salah (sesuai dengan pembicaraan dalam rapat Dewan Imam yang lalu) perlu diperbaiki. Hal ini hendaknya dinyatakan dengan SK. Ditegaskan lagi dalam kaitan dengan kesehatan, supaya para imam mengurus keanggotaan dalam BPJS.

Pokok-pokok pembicaraan:

Hasil Pendataan Umat

1. Kevikepan Toraja

Pendataan umat sudah selesai di semua paroki dalam Kevikepan Toraja. Secara tertulis disampaikan beberapa data yang penting. Jumlah umat se-Kevikepan Toraja adalah 14.780 KK atau 64.456 jiwa. Program berikut yang akan dilaksanakan adalah Program Analisa Data. Setelah itu masing-masing paroki akan membuat program berdasarkan kondisi khususnya. Kondisi yang sama akan disikapi dengan program pada tingkat kevikepan. Salah satu contoh program sebagai tanggapan atas data adalah yang dibuat di Paroki Minanga: suatu gerakan yang diberi nama “Remaja Hebat”.
Beberapa hal yang penting sebagai kesimpulan dari data adalah:
1) Perbandingan jumlah imam yang melayani dan umat yang dilayani sangat tidak seimbang. Seorang imam di Kevikepan Toraja melayani 3.000 – 8.000 jiwa. Maka para imam harus bisa memberdayakan petugas pastoral awam agar pelayanan pastoral dapat terlaksana dengan baik.
2) Dari segi usia: usia Sekami merupakan jumlah yang terbesar (24,3%), MAKA perlu    merancang pendidikan anak usia dini yang sungguh terencana.
3) Dalam bidang pekerjaan: pada umumnya umat Toraja adalah pekerja yang tidak terampil dan terdidik. Oleh karena itu perlu program pemberdayaan umat, khsusnya dalam bidang pertanian dan keterampilan khusus.
4) Jumlah umat baptisan dewasa dan pindahan dari gereja lain mencapai 14,3%. Perlu katekese lanjutan.
5) Jumlah umat yang belum menerima Sakramen Krisma cukup besar.
6) Jumlah umat yang hanya menikah adat tanpa menerima sakramen Perkawinan mencapai 2.632 (6,3%). Hal ini pula membutuhkan pelayanan khusus.
7) Partisipasi umat dalam keterlibatan sosial  sangat kurang.
8) Juga jumlah umat Katolik yang pindah ke Kristen lain cukup banyak (1.248 orang). Perlu diwaspadai dan dianalisa. Apa yang perlu dilakukan atau diubah?

2. Kevikepan Sulbar

Semua paroki dalam Kevikepan Sulbar juga sudah menyelesaikan pendataannya. Data yang diperoleh sungguh dirasa berguna dan membantu dalam pastoral. Data-data tersebut membantu untuk memberikan gambaran situasi konkrit keadaan lapangan/medan pelayanan kita (jumlah umat, situasi umat, permasalahan yang dihadapi, dll.). Disadari bahwa data yang diperoleh belumlah 100%, tetapi kenyataan itu menunjukkan bahwa kita membutuhkan proses yang lebih panjang dan kesabaran di dalam proses itu. Dibutuhkan kesiapsediaan untuk mengupdate data dan dukungan kerja sama umat untuk memberikan data. Faktor dana juga merupakan unsur yang penting dalam proses ini.
Jumlah umat Kevikepan Sulbar berdasarkan hasil pendataan adalah 4.210 KK atau 17.095 jiwa. Dari situ tampak bahwa mayoritas paroki di Sulbar adalah paroki kecil. Hasil ini menunjukkan kenyataan yang berbeda dari data yang ada pada pemerintah.
Beberapa hal penting sebagai kesimpulan dari data:
1) Gereja Sulbar berbentuk piramida, mengerucut. Orang tua sangat sedikit jumlahnya dibandingkan dengan orang muda. Dengan demikian gambaran gereja Sulbar adalah Gereja masa depan.
2) Dari segi kemampuan ekonomi: jumlah umat yang bisa membantu jauh lebih sedikit          dibanding yang membutuhkan bantuan. Sekalipun jumlah umat yang bisa mandiri lumayan banyak. Peluang yang dilihat adalah adanya tiga CU di wilayah Sulbar, yakni di Messawa, di Tobadak, dan di Baras. Lembaga pemberdayaan ini dipandang sungguh dapat membantu untuk meningkatkan mutu hidup umat dari segi ekonomi, karena lembaga pemberdayaan dapat membantu umat dalam menemukan potensi ekonomi mereka demi peningkatan mutu hidup.
3) Kebanyakan umat Sulbar adalah tenaga kerja tidak terampil. Kebanyakan mereka adalah  petani, entah karena bakat, keturunan, atau pun keadaan.
4) Pendidikan: dari 17.095 jiwa, hanya 699 orang yang sarjana. Dari situ juga tampak bahwa kebanyakan umat berpendidikan rendah.
5) Dalam hal penghayatan sakramen: masih   banyak perkawinan adat. Belum diketahui apa penyebabnya secara sungguh, karena memang kita baru tahap membaca data. Mungkin pada tahap berikutnya, setelah menganalisa data, baru dapat diketahui.
Langkah selanjutnya yang akan dilaksanakan adalah pembacaan dan analisa data per paroki. Hal ini akan dilaksanakan dalam Bulan Maret 2015 di Mamuju dengan mengundang Rm Purwanto.

3. Kevikepan Sultra

Dari tujuh paroki di Kevikepan Sultra, ada empat paroki yang sudah selesai mengadakan pendataan umat: Kolaka, Mandonga, Raha, dan Bau-Bau. Paroki Labasa juga sudah mengadakan pendataan dalam arti pengumpulan data dari umat, tetapi belum menginputnya ke dalam program, sehingga datanya belum dapat dipresentasikan. Dua paroki yang lain belum memberikan laporan perkembangannya. Data yang sudah diterima adalah: Dari Paroki Kolaka: Jumlah kepala keluarga sebelum dikurangi tiga stasi yang digabungkan ke Paroki Unaaha adalah 593 atau 2.208 jiwa. Setelah dikurangi jumlah umat yang stasinya bergabung ke Unaha itu jumlah KK berkurang menjadi 462 atau 1.717 jiwa.  Data dari Paroki Mandonga: 872 KK atau 3.493 jiwa. Data Paroki Raha: 319 KK atau 1.296 jiwa. Paroki Bau-Bau memiliki sebanyak 206 KK atau 735 jiwa. Belum ada usaha untuk menarik kesimpulan, karena masih ada 3 paroki lain yang belum memasukkan datanya. P. Simon Tunreng juga memberikan informasi bahwa ada beberapa stasi yang selama ini dilayani oleh Paroki Soroako telah dialihkan ke Paroki Kolaka, karena secara pemerintahan ketiga stasi tersebut masuk dalam Kabupaten Kolaka Utara. Ketiga stasi itu adalah Kayu Tanduk, Korompolo, Rende-Rende dan Porehu. Data dari stasi-stasi tersebut sudah dimasukkan dalam data Paroki Kolaka (13 KK)

4. Kevikepan Luwu

Dari 8 paroki yang ada dalam Kevikepan Luwu, sudah ada 6 paroki yang telah memasukkan datanya, tetapi satu paroki yakni Rantetiku belum menginput ke dalam program. Menurut berita, Paroki Mangkutana mengalami kesulitan dalam input data. Data-data yang sudah ada adalah: Paroki Palopo memiliki 497 KK atau 2.013 jiwa, Paroki Soroako 708 KK atau 3.010 jiwa, Paroki Rantetiku 443 KK atau 1.863 jiwa, Paroki Bone-bone 298 KK atau 1.209 jiwa, dan Paroki Lamasi 528 KK atau 2.098 jiwa. Tiga paroki yang lain belum dapat dilaporkan datanya. Semoga akhir tahun ini sudah bisa selesai.

5. Kevikepan Makassar

Dari 13 paroki yang ada dalam Kevikepan Makassar, lima paroki sudah melaksanakan program pendataannya: Mamajang, Mariso, Soppeng, Gotong-Gotong dan Sungguminasa. Hanya saja data dari Paroki Gotong-Gotong dan Paroki Sungguminasa  belum bisa terbaca. Tawaran bantuan tenaga pendataan dari Seminari Petrus Claver dan dari Seminari CICM tidak ada yang memanfaatkan. Jadi tampaknya tidak ada masalah tenaga pendataan, namun data yang diharapkan belum bisa dikumpulkan. Rencana merangkum data akan dilaksanakan pada Bulan Januari dengan menghadirkan Rm Purwanto. Mudah-mudahan semua paroki sudah selesai mengumpulkan datanya dalam tahun ini.
Untuk mengatasi masalah tertunda-tundanya batas akhir penyelesaian program pendataan, diusulkan untuk menurunkan tim demi membantu paroki yang belum selesai. Kalau perlu dengan membayar tenaga bantuan. Dana Gerbu masih bisa mencukupi untuk menyelesaikan program ini. Batas akhir penyelesaian program ini adalah Bulan Desember 2015. Paroki yang tidak melaksanakannya akan ditinggalkan.

Oleh-Oleh dari SAGKI

SAGKI kali ini mengambil tema: „Keluarga Katolik: Sukacita Injil, Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang majemuk“, dilaksanakan di Via Renata – Cimacan, pada tanggal 2-6 November 2015.
SAGKI diikuti oleh 569 Peserta yang terdiri dari Uskup, imam, biarawan-biarawati, perwakilan umat dari 37 Keuskupan, perwakilan TNI, dan Kelompok Kategorial. Alur yang diikuti selama pelaksanaan SAGKI ini adalah: Kesaksian beberapa keluarga tentang buah-buah sukacita Injil dalam keluarga dan tantangan keluarga ketika memperjuangkan sukacita Injil. Pengalaman tersebut diteguhkan oleh para ahli. Peserta kemudian mendiskusikan bahan tersebut dalam 17 kelompok dari segi spiritual, relasional, dan sosial. Hasil diskusi tersebut dipresentasikan dalam pleno, dan akhirnya dipersembahkan   dengan penuh syukur dalam Perayaan Ekaristi.
Beberapa pokok pikiran para pakar:
1) Romo Paulinus Yan Olla MSF:
a. Perlu pertobatan pastoral para pengambil keputusan, berkaitan dengan pelayanan keluarga-keluarga (EG 25). Apa yang dibicarakan dalam SAGKI, tidak ada gunanya kalau pastor paroki tidak mendukung Komisi Keluarga.
b. Pastoral gereja haruslah menampakkan wajah Allah yang berbelaskasih dan membawa kegembiraan kepada mereka yang berada di pinggiran kemanusiaan. Para gembala haruslah berbau domba, bukan menjadi “pabean” yang mengontrol rahmat Allah.
c. Menentukan prioritas tindakan, tanpa kehilangan visi pastoral keluarga yang integral.
2) Prof Irwanto dari Unika Atma Jaya:
a. Perceraian paling banyak terjadi pada pasangan yang baru menikah tiga tahun pertama, atau, 30 tahun sesudah nikah, ketika anak-anak sudah beranjak menjadi dewasa. Konflik yang dulu ditahan karena ada anak, kini meretas muncul ke permukaan.
b. Hal lain yang perlu diperhatikan oleh Gereja adalah masalah pendataan. Penting mengembangkan Pastoral Berbasis Data.

Poin-poin hasil SAGKI 2015:
1) Buah-buah sukacita injil dalam keluarga
a. Perkawinan Katolik sebagai sakramen: tanda kehadiran Allah Tritunggal dalam kehidupan berkeluarga.
b. Keluarga Katolik yang bercermin pada Keluarga Kudus Nazaret adalah ladang sukacita Injil yang paling subur, tempat Allah menabur, menyemai, dan mengembangkan benih-benih sukacita Injil.
c. Sukacita keluarga dialami secara spiritual, relasional, dan sosial. Sukacita yang dinikmati di dalam keluarga menjadi kekuatan untuk mengasihi Allah dan sesama melalui pelayanan di Gereja dan masyarakat
2) Tantangan Keluarga dalam Memperjuangkan Sukacita Injil
a. Tantangan dan kelemahan: kesulitan ekonomi, situasi sosial, budaya, agama dan kepercayaan yang tidak selaras dengan nilai-nilai perkawinan, hidup sebagai keluarga migran atau rantau, perkembangan media informasi, pemujaan kebebasan serta kenikmatan.
b. Kelemahan: kekurangdewasaan pribadi dan kepicikan wawasan, penyakit dan meninggalnya pasangan, ketidakmampuan untuk hidup bersama karena perbedaan agama dan budaya, hidup dalam perkawinan yang tidak sah, ketidaksetiaan dalam perkawinan, perpisahan yang tak terelakkan.
c. Tantangan dan kesulitan dapat membawa keluarga pada krisis iman yang merintangi, membatasi, dan bahkan menghalangi keluarga untuk setia kepada iman dan terus menghidupi nilai luhur perkawinan.
3) Di Tengah Pergumulan Keluarga Katolik diundang untuk:
a. Datang penuh kerendahan hati untuk dikuduskan oleh Allah yang berbelas kasih yang melampaui kelemahan dan kedosaan manusia.
b. Tetap setia mencari kehendak Allah melalui Doa dan Sabda Allah
c. Mengutamakan pengampunan dan      peneguhan di antara anggota keluarga
d. Pergi menjumpai pribadi atau komunitas umat beriman yang mampu membagikan harapan
4) Poin-Poin Gerak Bersama:
a. Gereja dipanggil untuk menunjukkan wajah Allah yang murah hati dan berbelas kasih melalui pelayanan, terutama kepada mereka yang lemah, rapuh, terluka, dan menderita.
b. Demi menggiatkan pastoral keluarga yang berbelas kasih dan penuh kerahiman, Gereja dipanggil melakukan pertobatan pastoral secara menyeluruh. Pertobatan dimulai dari pelayan-pelayan pastoral yang berkarya dalam pelbagai lembaga          pelayanan
c. Pedoman Pastoral Keluarga KWI yang diterbitkan tahun 2010 harus diperhatikan dan dilaksanakan
d. Reksa pastoral keluarga terpadu dan berjenjang mulai dari persiapan perkawinan sampai pada pendampingan keluarga pasca nikah, termasuk pertolongan pada keluarga dalam situasi khusus harus dibentuk dan dihidupkan kembali;
e. Katekese keluarga harus dikembangkan
f. Kebijakan dan koordinasi perangkat pastoral keluarga baik di tingkat KWI, regio, keuskupan, maupun paroki harus ditegaskan dan disosialisasikan.
g. Keuskupan-keuskupan se-Indonesia harus bekerjasama dan solider dalam sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keuangan
h. Pelayanan perangkat pastoral seperti Komisi Keluarga dan Tribunal Gerejawi harus mendapat perhatian dan diberdayakan
i. Lembaga dan pelayan pastoral keluarga, termasuk kelompok-kelompok kategorial dan pemerhati keluarga serta para ahli harus diikutsertakan
j. Komunitas basis keluarga dan institusi pendidikan katolik harus dilibatkan
k. Ekonomi keluarga harus ditingkatkan melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan
l. Data-data yang berkaitan dengan           kepentingan pastoral keluarga harus dimanfaatkan
m. Lembaga Hidup Bakti harus diikut-sertakan dalam pastoral keluarga dengan tetap  menghormati kekhasan karismanya.
Komisi Keluarga KAMS menghimbau agar masing-masing Kevikepan melengkapi perangkat pelayanan pastoral keluarga ini. Ada   program dari Komisi Keluarga untuk mengundang para tenaga pastoral dari kevikepan-kevikepan dan paroki-paroki untuk dilatih dalam rangka menindaklanjuti seruan SAGKI ini. Pelatihan akan dilaksanakan dalam bentuk ToT (Training on Trainers). Mohon kerja sama dari paroki-paroki dan kevikepan-kevikepan untuk menanggapi undangan Komisi Keluarga.
Pendanaan: ada dana yang disiapkan oleh KWI, yang bisa dimohon oleh keuskupan-keuskupan yang diperuntukkan pelatihan-pelatihan animasi komisi keluarga.
Diusulkan pula kalau bisa Komisi Keluarga dengan seijin para Vikep dapat langsung ke paroki-paroki, karena ternyata sistem ToT selama ini dianggap gagal. Masalah terletak pada tidak adanya tim kevikepan. Kalaupun ada tim kevikepan dianggap tidak berdaya karena tidak memiliki massa langsung.

Informasi dari Sidang KWI: tentang pengurus baru KWI dapat dilihat pada bagian tersendiri dalam ”Koinonia” (halaman 21, red.).

Kesehatan Imam

Persoalan pokok yang dibahas pada bagian ini adalah persoalan sekitar yang merawat para imam bilamana sakit. Soal pembayaran sudah jelas: setiap orang yang ditahbiskan untuk Gereja menjadi tanggungan Gereja. Oleh karena itu para imam sejak tahbisannya (sejak tahbisan diakonat) menjadi tanggungan Gereja. Para imam juga sudah dihimbau agar menjadi anggota BPJS. Masalahnya adalah bila ada imam yang sakit, siapa yang akan merawatnya? Dikembalikan ke keluarga dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas. Bukankah keluarga pada saat tahbisan diakon sudah menyerahkan anaknya kepada Gereja?
Ada beberapa pokok penting yang dibicarakan menyangkut kesehatan imam:
1) Soal siapa yang akan merawat imam yang sakit, merupakan soal yang sulit, karena hal ini menyangkut kepercayaan dan kenyamanan. Belum tentu orang yang kita gaji dan khususkan sebagai perawat imam yang sakit, dapat menjalankan tugas tersebut dengan baik dan dapat menimbulkan rasa percaya dan nyaman bagi imam yang sakit. Peranan keluarga tetap penting. Anggota keluarga dapat dilibatkan. 
2) Perhatian para imam satu terhadap yang lain pun perlu ditingkatkan. Hendaknya para imam lebih sering saling mengunjungi untuk saling memperhatikan. Bila ada rekan imam yang sakit agar kita rekan imamlah yang lebih dahulu memperhatikannya.
3) Penanganan imam yang sakit: para imam hendaknya menyampaikan kondisinya bilamana sakit kepada Vikep (tingkat kevikepan) dan kepada Ekonom Keuskupan (tingkat keuskupan). Segala tindakan pun hendaknya terlebih dahulu dikonsultasikan dengan Vikep atau Ekonom Keuskupan. Jangan sampai masing-masing imam atau atas pengaruh pihak lain mengambil tindakan sendiri-sendiri.
4) Di dalam diskusi diusulkan supaya pada pertemuan para imam dihadirkan pakar kesehatan untuk memberikan pemahaman khusus tentang pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan.
5) Penyediaan fasilitas sarana karya juga hendaknya diperhatikan, agar para imam dapat awet dalam berkarya. Jangan sampai tenaga banyak terserap oleh medan yang sulit tetapi tidak ditunjang oleh sarana (khususnya sarana kendaraan) yang sesuai.
6) Hendaknya para imam mengadakan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Kondisi kesehatan hendaknya menjadi bahan                pertimbangan dalam pemberian tugas.
7) Pedoman Kesejahteraan imam bab 3 pasal 11: hendaknya para imam mengusahakan pola hidup sehat dengan olahraga rutin.  Dalam diskusi bahkan ditambahkan: bukan hanya memperhatikan kesehatan badan, tetapi juga hati dan pikiran. Hati dan pikiran yang sehat akan berpengaruh juga pada kesehatan badan.
8) Kesehatan itu bagian dari kesejahteraan. Orang sehat karena sejahtera, fisiknya sehat, jiwanya tenang. Maka diusulkan supaya uang pensiun juga dapat dinikmati oleh yang sudah pensiun, sekurang-kurangnya sebagian.
9) Para imam yang sudah jompo, tetapi yang masih bisa mengurus diri sendiri dan masih bisa membantu memimpin Perayaan Ekaristi atau mendengar pengakuan dosa, hendaknya ditempatkan di salah satu paroki untuk membantu, agar tetap masih merasa dibutuhkan.
10) Pastoran Vianney perlu dilengkapi dengan peralatan yang memadai dan tenaga yang tepat supaya bisa menjadi tempat perawatan imam yang sakit atau menjadi tempat istirahat bagi rekan imam yang baru sembuh dari sakitnya.

Presentasi Paroki Katedral

Gereja Katedral merupakan gereja induk di dalam keuskupan ini, sehingga pembangunannya juga sedikit berbeda dengan gedung-gedung gereja lainnya. Gereja Katedral pada prinsipnya merupakan tahta uskup, dan karena itu merupakan gereja uskup. Perubahan dan penataannya haruslah senantiasa dikonsultasikan dengan uskup sebagai “pastor paroki yang sesungguhnya” dari Gereja Katedral.
Oleh karena ada rencana      pengembangan gedung gereja, maka pastor Paroki Katedral, P. Wilhelmus Tulak, diundang untuk   menyampaikan di depan Rapat Dewan Imam usaha pengembangan dan perluasan Gedung Gereja Katedral Makassar. Pemaparan ini bertujuan untuk mendapatkan pertimbangan Dewan Imam. Isi paparannya diungkapkan dalam bentuk tertulis, dan diberi judul: “Gonjang Ganjing Wacana Pengembangan dan Perluasan Gereja Katedral Makassar” .Pada intinya Pastor Wilhelm menyampaikan tentang rencana Depas Katedral untuk memperluas gedung gereja yang ada, karena dianggap sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan umat. Rencana ini sudah digulirkan sejak tahun 2012 dan sudah dikonsultasikan dengan pihak Keuskupan. Rencana ini juga pernah dikomunikasikan dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang pernah menangani bangunan-bangunan warisan budaya, mengingat gedung Gereja Katedral terdaftar sebagai salah satu bangunan cagar budaya. Komunikasi juga sudah dijalin dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang sejak tahun 2012 menangani benda-benda cagar budaya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun telah menugaskan Badan Pelestarian Cagar Budaya Makassar untuk mengadakan pengkajian teknis atas        bangunan Gereja Katedral. Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) juga sudah mengadakan pengkajian atas bangunan yang ada. Permasalahan muncul karena adanya gerakan kontra atas rencana ini. Gerakan kontra ini muncul di kalangan umat asal Katedral dan orang-orang lain yang menamakan diri Kelompok Pencinta Bangunan Tua. Gerakan kontra ini bahkan disebarkan melalui media sosial untuk mendapatkan dukungan.
Kemudian dibacakan beberapa opsi pengembangan dan perluasan gedung Gereja Katedral yang dipikirkan:
1) Membangun di atas bangunan yang ada, dengan menyisakan ruang gereja sampai 5 meter di atas lantai gereja saat ini. Ukuran dan volume gereja yang dapat dihasilkan adalah 28x40M = 1.120m2.
2) Membangun seperti pada no 1 tetapi dengan tetap mempertahankan tampak depan dan menyisakan ruang gereja tua hingga 7 meter di atas lantai gereja saat ini. Ukuran dan    volume ruang yang dapat dihasilkan adalah 28x36m = 1.008m2.
3) Menambah ruang sebesar 8x20 m di samping kiri dan kanan gedung gereja saat ini dan menaikkan atap dan plafon sayap gereja tua. Volume ruang yang diperoleh adalah 1.000m2.
4) Perluasan gedung dengan memperpanjang gedung yang ada hingga mencapai pagar pemisah dengan keuskupan. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah panjang gedung gereja hingga 15m. volume ruang yang diperoleh setelah penambahan ini adalah 630m2.
5) Membangun gedung gereja yang baru di samping gedung yang ada, dengan menghilangkan kompleks pastoran dan sebagian bangunan keuskupan dengan ukuran 28x40m = 1.120m2.
Rencana ini bermula dari ide Dewan Pastoral Katedral yang sudah dikonsultasikan sebelumnya dengan Bapak Uskup. Pada prinsipnya uskup menyetujui rencana ini, karena menganggap bahwa gedung gereja saat ini terlalu kecil untuk sebuah gereja katedral. Gereja Katedral seharusnya menjadi induk gereja-gereja lainnya di dalam keuskupan dan seharusnya juga menjadi tempat penyelenggaraan perayaan-perayaan agung yang melibatkan uskup sebagai selebran. Tetapi kenyataannya gedung Gereja Katedral Makassar merupakan gedung gereja yang mungil. Hal ini dapat dipahami, karena pada mulanya gedung yang ada dibangun sebagai sebuah gedung gereja stasi, tempat persinggahan pastor-pastor Jesuit dari Jakarta atau Surabaya, yang melayani  Nusa Tenggara dan seluruh Sulawesi.
Karena gedung Gereja Katedral terdaftar sebagai salah satu bangunan cagar budaya, kita perlu mengikuti suatu prosedur yang ditetapkan pemerintah menyangkut bangunan cagar budaya. Oleh karena itu  hal yang dibuat selama ini barulah sebatas mencari kemungkinan akan perubahan atas gedung tersebut. Karena itulah gagasan ini dibiarkan tertutup, belum dibicarakan terbuka. Sayanglah bahwa bahkan pihak-pihak lain sudah mulai membicarakannya secara terbuka, bahkan membicarakannya lewat media sosial.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar memberikan pertimbangan sbb.:
1) Pengembangan Gereja Katedral harus didasarkan pada peraturan perundangan dan kaidah ilmiah yang terkait dengan pelestarian Cagar Budaya.
2) Rencana pengembangan Gereja Katedral yang diajukan oleh pihak Keuskupan harus terlebih dahulu dilengkapi dengan hasil studi kelayakan yang meliputi: kelayakan tekis, kelayakan administrasi dan kelayakan akademis.
3) Desain rencana bangunan baru sesuai yang diajukan dapat didirikan di lokasi lain atau ditempatkan di sisi selatan bangunan gereja dengan tetap memperhatikan keserasian dan keselarasan tata ruang Kawasan Cagar Budaya.
4) Apabila kedua rencana penempatan bangunan baru sebagaimana disebutkan pada point 3 tidak dapat dilakukan, maka dimungkinkan untuk mendirikan bangunan baru di atas bangunan gereja saat ini dengan ketentuan tidak mengganggu keutuhan dan keaslian bangunan Gereja Katedral dengan tetap memperlihatkan muka bangunan.
5) Terkait dengan rekomendasi pada point 4, maka seluruh proses pembangunan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya harus didasarkan pada hasil studi teknis yang telah dilakukan serta wajib melibatkan tenaga ahli Cagar Budaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 11 2010 Tentang Cagar Budaya

Sidang Dewan Imam mendukung sepenuhnya gagasan pengembangan dan perluasan Gedung Gereja Katedral dalam kerangka undang-undang yang berlaku. Secara obyektif disadari bahwa gedung Gereja Katedral Makassar yang ada sangatlah kecil dan tidak memadai untuk mengemban fungsinya sebagai Gereja Katedral dari sebuah Keuskupan Agung. Memang mustahillah untuk memuaskan keinginan semua orang dan tidaklah mungkin untuk menunggu hingga semua orang memiliki pikiran yang sama, tetapi gagasan dan usaha ini perlu disosialisasikan dengan baik seraya mengajak pihak-pihak yang kontra untuk berpikir secara obyektif demi kepentingan ibadat ilahi dan kebutuhan umat. Kita tidak boleh membiarkan gedung yang ada hancur dahulu baru kita membangunnya lagi. Bangunan yang ada justru ingin diintegrasikan ke dalam bangunan besar yang direncanakan.

Kriteria Pemekaran Paroki

Tim yang dibentuk sebelumnya mengungkapkan hasil kerjanya. Pendasaran ekklesiologis tentang pemaparan ini dapat kita temukan dalam dokumen Konsili Vatikan II, dalam LG, AA, CD, maupun dalam KHK ’83. berikut ini beberapa hal yang dapat dijadikan kriteria pemekaran sebuah paroki:
1) Sejak pembentukan stasi, sudah diantisipasi bahwa suatu saat stasi itu akan menjadi sebuah paroki yang baru
2) Tahapan untuk menjadi paroki adalah suatu stasi ditingkatkan statusnya menjadi paroki administratif, yakni dengan mempersiapkan tata kelola administrasi, khususnya buku-buku induk sesuai yang dituntut dalam KHK 1983
3) Tahapan berikut adalah menjadi quasi paroki dengan fokus perhatian pada       penyiapan sarana prasarana pastoral (gedung gereja yang representatif, pastoran, fasilitas katekese/pembinaan, fasilitas rapat) dan tata kelola aset dan keuangan
4) Setelah itu barulah dapat ditetapkan sebagai paroki definitif.
i. Untuk itu perlulah memperhatikan faktor internal gerejawi: efek pemekaran itu terhadap paroki induk, bagaimana perencanaan dalam keseluruhan kevikepan dan keuskupan; serta faktor eksternal gerejawi: usaha menghadirkan gereja di wilayah/daerah tersebut.
ii. Setelah penetapan sebuah paroki, hendaknya dibuat supervisi secara berkala (misalnya 3 tahun sekali), yang meliputi 3 aspek besar: 1) efisiensi penggembalaan (perencanaan dan hubungan para tenaga pastoral), 2) tata kelola administrasi, 3) tata kelola harta benda / keuangan.
Selain itu Vikep Makassar mengungkapkan apa yang dibicarakan dalam rapat kevikepan tanggal 5 Mei 2015 tentang syarat pemekaran paroki:
Tujuan:
1) Mendekatkan pelayanan penggembalaan kepada umat
2) Menghadirkan Gereja dan karyanya secara penuh di tempat yang baru
3) Mempercepat kemajuan umat di suatu tempat
Untuk mendukung tujuan ini dibutuhkan:
1) Ketersediaan tenaga imam dan SDM tenaga-tenaga awam yang ada di wilayah tersebut.
2) Gedung gereja, pastoran dan peralatan ibadat yang memadai. Kelayakan bangunan perlu mengikuti standar tertentu yang ditetapkan keuskupan (penting ada gambar dan anggaran dalam pembanguan baru) agar pembangunan tidak hanya mengikuti selera saja.
3) Jumlah umat yang memadai dan jarak dari pusat paroki (meskipun dua hal ini sangat relatif, sesuai dengan kondisi konkrit lapangan). Diberikan ancang-ancang perbandingan jumlah rata-rata yang dilayani oleh 1 orang imam adalah 3.000 jiwa.
4) Kemampuan finansial untuk bisa menghidupi gembalanya.
5) Hendaknya juga ditetapkan batas yang jelas agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Juga letak geografis berdasarkan pembagian wilayah pemerintahan hendaknya menjadi pertimbangan pemekaran.
6) Pemisahan administrasi sudah harus mulai sejak dini, khususnya menyangkut pencatatan baptisan dan penerimaan sakramen-sakramen lainnya.
Usulan pemekaran hendaknya diajukan oleh paroki induk dalam bentuk proposal yang memuat kesiapan yang sudah ada. Proposal ini hendaknya dibicarakan pada tingkat kevikepan. Kevikepan haruslah memberikan dukungan dan persetujuan dalam bentuk suatu rekomendasi (tertulis). Proposal yang demikian itulah yang hendaknya diajukan ke tingkat Keuskupan, yang akan dibawa ke Rapat Dewan Imam untuk dibahas. Rapat Dewan Imam akan memberikan rekomendasi pengesahan pemekaran dalam salah satu tahap yang ada.

Batas Paroki Kare – Paroki Mandai

Hendaknya dibuat SK penetapan batas kedua paroki ini. Paroki Mandai meliputi Stasi Pangkep, Stasi Maros, Stasi Kariango, Stasi Laikang, Stasi Mandai, dan Sudiang sebagai pusat paroki dan meliputi wilayah sampai Bulurokeng – Badoka – Kantor Polda. Dengan demikian Paroki Sudiang meliputi rukun-rukun: JMJ, St. Yakobus, Bunda Maria, Mater Doloras, Caritas, St. Catarina, St. Agnes, St. Benediktus, dan Hati Kudus1.
Paroki Kare meliputi rukun-rukun di perbatasan dengan Paroki Sudiang: Bintang Timur, Hati Kudus2, Monika, Angela.
SK yang akan diterbitkan menyangkut batas paroki adalah:
1) Pemindahan pusat paroki dari Mandai ke Sudiang
2) Penetapan batas Paroki Kare dan Paroki Sudiang
3) Penetapan batas yang baru antara Paroki Unaaha dan Paroki Kolaka, dengan memindahkan 3 stasi dari Kolaka ke Unaaha.
Mengenai pemekaran ke daerah-daerah pengembangan hunian baru di Kevikepan Makassar akan dipikirkan, direncanakan dan dibiayai bersama-sama.

Informasi mengenai tarekat baru di KAMS

Imam-imam dari tarekat CMF dan SVD telah ikut berkarya di keuskupan kita. Tiga orang imam CMF sudah datang sejak bulan Juni, dan mulai berkarya di Paroki Tobadak, sedangkan seorang imam SVD sudah mulai berkarya di Paroki Unaaha sejak bulan Oktober. Seorang imam SVD akan segera datang dan menemani rekannya berkarya di Paroki Unaaha. Selain tarekat imam, juga ada beberapa tarekat suster baru, yang sudah ada: SFIC (Toraja), MC (Mamuju), FMM (Bau-Bau), Claretian (Kendari). Kontrak dengan tarekat-tarekat ini akan dibuat dalam waktu dekat.

Presentasi Paroki Mariso

Pastor Leo Paliling sebagai pastor paroki hadir untuk mempresentasikan rencana Paroki Mariso. Jumlah umat Paroki Mariso menurut pendataan umat tahun 2014 adalah 1.319kk atau 5.173 jiwa. Dalam program jangka panjang, Paroki Mariso berencana untuk memekarkan diri menjadi 3 paroki, yakni memekarkan Wilayah Tanjung Bunga dan Wilayah sekitar Jl Dg. Tata masing-masing menjadi paroki tersendiri.
Saat ini Wilayah Tanjung Bunga sedang menata diri menuju kemandirian tersebut. Sudah sejak beberapa lama wilayah ini sudah ditingkatkan statusnya dari sebuah wilayah dalam paroki menjadi Stasi Tanjung Bunga, di mana setiap minggu sudah dilaksanakan Perayaan Ekaristi, yang dihadiri oleh cukup banyak umat. Stasi ini meliputi 5 buah rukun dengan 185kk dan 717 jiwa, namun pertumbuhan umat cukup cepat. Banyak pemukinam baru yang muncul ke arah daerah Barombong (Takalar), sehingga kemungkinan umatnya akan bertambah dalam jumlah yang besar. Memang batas dengan Paroki Sungguminasa hendaknya ditetapkan di dalam pembicaraan bersama, mengingat mobilitas umat Barombong dan sekitarnya lebih mudah ke arah Tanjung Bunga daripada ke Sungguminasa.  Aktivitas umat di stasi ini dinilai cukup baik. Dari segi ekonomi pun hampir seluruhnya mampu, bahkan mapan dan bisa membantu. Jumlah kolekte per minggu sudah bisa mencapai 5-6juta.
Pembangunan gedung gereja hampir selesai. Gedung dibangun di atas tanah seluas 1000m2, dan terdiri dari 5 lantai: basement dipersiapkan untuk parkiran dan kantor paroki, lantai I adalah ruang gereja, lantai II adalah balkon gereja, lantai III adalah ruang pertemuan dan lantai IV adalah pastoran. Untuk menjangkau setiap lantai ini, selain melalui tangga, juga akan disiapkan lift. Saat ini umat sedang mencicil tanah di samping bangunan gereja yang ada dengan besaran cicilan Rp 30juta selama 60 bulan. Cicilan ini disanggupi dibayar oleh satu orang. Selain itu seorang anggota umat juga meminjamkan tanahnya untuk keperluan parkir umat yang datang beribadat. Letaknya juga persis di samping gedung gereja. 

Sejarah Tanah Stasi Tanjung Bunga
Pada tahun 1990-an ada beberapa orang umat Katolik yang berperan dalam perusahaan GMTDC. Mereka menawarkan kepada Gereja Katolik untuk membeli tanah dalam lingkungan perumahan yang dibangun di daerah Tanjung Bunga. Sebagai langkah awal, mereka menyumbangkan tanah yang saat ini ditempati oleh gereja. Tetapi karena kala itu Gereja tidak memiliki uang yang memadai, sehingga kita tidak mampu untuk membeli tanah di sana. Jadi tanah gereja yang ada saat ini adalah sumbangan dari sekelompok umat tersebut. Nama jalan yang saat ini tepat berada di belakang gedung gereja adalah nama yang diberikan oleh Bapak Uskup: Jl. Gunung Kandora, yang dalam mitologi orang Toraja merupakan tempat turunnya Tomanurun dari langit. Tomanurun ini menjadi nenek moyang para pemimpin suku-suku di Sulawesi Selatan, sehingga menjadi lambang kesatuan etnis Sulawesi Selatan.
Dalam pembangunan gedung gereja Tanjung Bunga, juga sempat muncul gangguan. Pada saat pemasangan tiang pancang, ada kelompok orang yang mengadakan demo untuk menentang pembangunan tempat ibadat, tetapi ternyata mereka bukanlah orang dari lingkungan sekitar. Mereka tinggal agak jauh dari tempat itu. Karena demo itu, pembangunan sempat dihentikan. Tetapi setelah beberapa orang umat mengadakan pendekatan pribadi kepada orang-orang yang demo itu, pembangunan dapat dilanjutkan lagi.

Presentasi dari Paroki Messawa
Tiga orang pastor yang bertugas di Paroki Messawa hadir untuk memaparkan persiapan mereka menyangkut usaha pemekaran Wilayah Suppiran menjadi sebuah paroki mandiri. Seperti halnya Paroki Mariso, Paroki Messawa pun merencanakan pemekaran menjadi 3 paroki: pemekaran Wilayah Mappak-Simbuang dan Wilayah Suppiran masing-masing menjadi paroki mandiri.
Langkah konkrit ke arah pemekaran Wilayah Suppiran:
Dalam Rapat Dewan Imam bulan Mei 2015 Vikep Sulbar sudah mengusulkan pemekaran Wilayah ini dengan presentasi data umat hasil sensus terakhir. Dari situ tampak bahwa jumlah umat di Wilayah Suppiran membentuk hampir sepertiga dari seluruh umat Paroki Messawa. Pada tanggal 27 September 2015 diadakan pertemuan seluruh pengurus stasi se-wilayah Suppiran bersama Parochus Messawa bertempat di Pitti’, sebagai pusat wilayah untuk mengadakan konsolidasi tekad demi sebuah paroki yang mandiri. Pada tanggal 15 Oktober 2015, diadakan ‘kombongan’ di Aula Paroki Messawa, guna mempertegas alasan mengenai pemekaran paroki.
Alasan-alasan yang terungkap:
1) Jarak dari pusat Paroki Messawa ke wilayah ini cukup jauh, sehingga menyulitkan    pelayanan yang intensif. Pemekaran dimaksudkan untuk mendekatkan pelayan kepada umat di wilayah ini. Sebagai gambaran diberikan perbandingan jarak: Messawa – Pitti’: 27 km; Pitti’: 0 km; Randanan – Messawa: 22 km; Randanan – Pitti’: 5 km; Andawang – Messawa: 29 km; Andawang – Pitti’: 2 km; Pangembang – Messawa: 32 km; Pangembang – Pitti’: 5 km; Potton – Messawa: 38 km; Potton – Pitti’: 11 km; Bau – Messawa: 31 km; Bau – Pitti’: 4 km; Palimbongan – Messawa: 40 km ; Palimbongan – Pitti’: 13 km; Salu – Mesawa: 54 km; Salu – Pitti’: 27 km; Makula’ – Messawa: 51 km; Makula’ – Pitti’: 24; Pasang Lambe’ – Messawa: 43 km; Pasang Lambe’ – Pitti’: 16 km; Biambang – Messawa: 40 km; Biambang – Pitti’: 13 km; Silu’ – Messawa: 39 km; Silu’ – Pitti’: 12 km; Karomba – Messawa: 35 km; Karomba – Pitti’: 8 km; Sitodo’ – Messawa: 34 km; Sitodo’ – Pitti’: 7 km; Sabura’ – Messawa: 25 km; Sabura’ – Pitti’: 12 km; Ato’ Arrang – Messawa: 28 km; Ato’ Arrang – Pitti’: 15 km; Silawa – Messawa: 27 km; Silawa – Pitti’: 4 km; Garappa’ – Messawa: 38 km; Garappa’ – Pitti’: 11 km. Jadi ada 18 Stasi yang akan masuk ke dalam wilayah paroki baru ini, yang bila pusatnya ditempatkan di Pitti’, maka jarak-jarak dapat diperpendek.
2) Dari segi pemerintahan, ke-18 Stasi ini termasuk ke dalam 3 desa, yakni Desa Suppiran (meliputi 7 Stasi: Randanan, Pitti’, Andawang, Pangembang, Potton, Bau, Sitodo’ dan satu persiapan Stasi Silawa), Desa Sali-Sali (meliputi lima Stasi: Silu’, Sabura’, Biambang, Ato’ Arrang dan persiapan Stasi Karomba), Desa Mesakada (meliputi empat Stasi: Pasang Lambe’, Makula’, Salu, Palimbongan dengan satu persiapan Stasi Garappa’). Ketiga desa ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Pinrang. Pemekaran wilayah ini juga akan memudahkan kontak dengan pemerintah.
3) Umat Katolik di Suppiran dari segi jumlah cukup banyak, tetapi di dalam hidup kemasyarakatan kurang diperhatikan, bahkan dianggap sebagai golongan minoritas. Hal ini disebabkan oleh kekurangpercayaan diri, karena tidak adanya pemimpin yang dianggap bisa menyuarakan. Dalam hal dialog dengan umat beragama lain dan dengan pemerintah, umat katolik tidak terwakili, karena tiadanya pemimpin yang bisa bersuara atas nama gereja.
Masih banyak alasan lain yang diungkapkan, yang pada intinya ingin mendekatkan pelayan kepada umat yang dilayani, demi intensivikasi pelayanan, percepatan perkembangan umat dan demi menggalang persatuan di kalangan umat.

Penilaian Usulan Paroki Mariso

Data-data yang terungkap: segi sarana prasarana sudah sangat memadai: ada gedung gereja, ada pastoran, ada ruang pertemuan, ada kelengkapan administrasi paroki. SDM dan aktivitas menggereja umat dinilai sangat bagus. Kemampuan ekonomi umat juga sangat memadai. Jumlah umat 185kk dengan 717 jiwa.
  
Kesimpulan Sidang Dewan Imam:
Stasi St. Albertus Agung Tanjung Bunga bisa ditingkatkan statusnya menjadi Quasi Paroki, yaitu persiapan tahap akhir sebelum ditetapkan menjadi paroki definitif. Alasan: jumlah umat masih terlalu kecil untuk mendapatkan seorang imam (KAMS masih kekurangan imam, 2 paroki juga masih lowong: Bone-Bone dan Lamasi) dan fasilitas belum selesai. Oleh karena itu pelayanan masih tetap diatur oleh paroki induk (Mariso). Fasilitas yang ada supaya diselesaikan dan batas dengan Paroki Sungguminasa supaya diperjelas.

Penilaian Usulan Paroki Messawa

Data-data yang terungkap: gedung gereja dan pastoran di calon pusat paroki sudah ada, tetapi masih sangat sederhana. Wilayah Suppiran membentuk satu kesatuan yang terdiri dari 3 desa yang berdekatan dan 18 stasi (termasuk 3 persiapan stasi). Keseluruhan wilayah ini terbedakan dari stasi-stasi lain dalam Paroki Messawa, karena terletak dalam satu kabupaten yang lain, yakni Kabupaten Pinrang. Jumlah umat di wilayah ini adalah 745kk dengan 2.803 jiwa (bdk. Keseluruhan Paroki Messawa: 1.924kk dengan 7.753 jiwa). Kemampuan ekonomi umat dinilai cukup baik, sehingga dianggap mampu untuk menghidupi gembalanya. Kemungkinan pengembangan umat masih sangat besar, karena masih banyaknya penganut agama asli di tempat ini. Tantangan yang dihadapi oleh umat menjadi sangat besar akhir-akhir ini dengan terbukanya daerah ini berkat kehadiran jalan rintisan yang sudah dapat dilalui oleh kendaraan roda empat.

Kesimpulan Sidang Dewan Imam
Mengingat saat ini KAMS masih kekurangan tenaga imam, masih ada 2 paroki yang tidak memiliki imam, mengingat akhir-akhir ini ada beberapa imam yang sakit, maka Dewan Imam menyetujui pemberian status Quasi Paroki kepada Wilayah Pitti’ sambil mendorong agar Paroki Messawa membantu mempersiapkan segala sarana prasarana, khususnya pastoran, agar cukup memadai untuk ditinggali oleh pastor bila sudah tersedia tenaga full timer untuk itu, bila suatu saat Pitti’ menjadi paroki definitif. Pelayanan akan tetap diatur dari Paroki Messawa, dengan mengkhususkan seorang imam untuk memperhatikan secara khusus (Quasi Paroki) Pitti’.

Pembicaraan tentang Unio

Ada sharing pengalaman dari 2 orang rekan imam yang mengikuti pertemuan Unio di Klender beberapa waktu yang lalu. Ketika mereka diminta untuk sharing pengalaman kegiatan Unio keuskupan, mereka tidak dapat berbicara, karena mereka tidak mengetahui kegiatan Unio, dan tidak pernah diundang untuk mengikuti kegiatan Unio Makassar. Unio lain sangat bersemangat menceriterakan kegiatan mereka sementara kita tidak ada kegiatan sama sekali.
Unio merupakan wadah pemersatu, sehingga seharusnya lebih proaktif dalam        menghimpun para imam dan menjadikan dirinya sebagai rumah bersama untuk menyatukan langkah dan memelopori ongoing formation dan aktivitas untuk saling memperkembangkan diri.
Salah satu saran yang diajukan adalah misalnya bersyukur bersama pada bulan Agustus, mengingat begitu banyak imam yang ditahbiskan dalam bulan itu. Itu adalah salah satu kesempatan untuk berkumpul. Unio di keuskupan lain selalu mengadakan pertemuan dalam jangka waktu tertentu, tetapi minimal sekali setahun.
Masalah kita, Unio Makassar, sekarang ini adalah pengurus. Masa kepengurusan itu  umumnya tiga tahun, atau setiap tiga tahun harus diperbaharui dengan cara mengadakan pemilihan pengurus baru. Pengurus yang ada terpilih pada tahun 2008, dan satu-satunya pertemuan yang dilaksanakan adalah pertemuan setelah tahbisan di Palopo (tahun 2012). Jadi sudah saatnya untuk memperbaharui pengurus. Kita bisa menyerukan kepada pengurus yang ada supaya mengadakan pemilihan pengurus yang baru.
Ada pula keprihatinan tentang menipisnya semangat kebersamaan di kalangan para imam beberapa tahun terakhir. Tidak ada lagi kegiatan ongoing formation, bahkan pertemuan imam-imam muda akhir-akhir ini pun dinilai sudah kehilangan rohnya, tidak lagi dirasakan sebagai pemberi semangat. Unio hendaknya diaktifkan, dan sebaiknya memusatkan perhatian pada ongoing formation, khususnya untuk imam-imam muda, agar tetap fokus pada tugas perutusan (menghindari pembiasan). Peserta Rapat Dewan Imam menunjuk P. Paulus Tongli untuk menghubungi pengurus Unio dan mendesak untuk mengaktifkan diri bila pengurus belum diperbaharui.

Pemaparan Keuangan
Vikjen sebagai ketua Dewan Keuangan mengawali bagian ini dengan mengungkapkan bahwa kolekte sebagai pemasukan utama keuskupan kita tidak lancar penyetorannya. Laporan keuangan keuskupan untuk tahun ini pun sudah menunjukkan kondisi defisit. Oleh karena itu sangat diharapkan agar paroki-paroki tertib dan teratur dalam menyetor kolektenya: kolekte minggu I disetor 100% ke keuskupan, kolekte minggu-minggu lainnya disetor sesuai persentasi yang berlaku. 
Aturan-aturan yang menyangkut     keuangan, yang sudah diberlakukan selama ini tetap berlaku, yang hendaknya dilaksanakan oleh setiap pastor paroki.
Untuk mengontrol pelaksanaan aturan-aturan yang ada, Rapat Dewan Imam merekomendasikan untuk membentuk sebuah tim supervisi. Tim ini hendaknya mengunjungi paroki-paroki setiap jangka waktu tertentu untuk     mengontrol pelaksanaan dan mengingatkan kesepakatan-kesepakatan bersama menyangkut program pastoral, administrasi, keuangan dan pengelolaan asset. Uskup atau Dewan keuangan pun didesak untuk menegur paroki-paroki yang dianggap lalai, atau tidak mengikuti aturan yang ada. Hal ini merupakan tanggung jawab para pastor paroki. Kelalaian pelaksanaan tugas tugas pastor paroki diatur dalam kanon 1741.

Informasi tambahan:
» Indonesian Youth Day dilaksanakan tahun 2016 di Manado.
» Asian Youth Day dilaksanakan di Yogyakarta pada tahun 2017.
Untuk masing-masing kegiatan itu dibutuhkan partisipasi kita melalui kolekte khusus.
» Akan ada Pesan dari Sidang KWI untuk mensahkan dan mendukung hasil SAGKI 2015.
» Tahun Kerahiman Ilahi akan dimulai pada tanggal 8 Desember 2015 dan akan berlangsung hingga tanggal 20 November 2016. ***