Kamis, 27 Maret 2014

Kasih Tuhan Seperti Sungai


Lagu rohani berjudul Kasih-Nya Seperti Sungai, yang dikenal di kalangan sebagian umat Katolik, diilhami oleh Kitab Nabi Yesaya (Yes.66:12) yang bunyinya sebagai berikut :
“Sesungguhnya, Aku mengalirkan kepadanya
keselamatan seperti sungai,
dan kekayaan bangsa-bangsa seperti
batang air yang membanjir,
kamu akan menyusu, akan digendong,
akan dibelai-belai di pangkuan.“

Ketika Redaksi meminta saya untuk menuliskan dalam ruang ini bagaimana saya memandang pengalaman akan kasih Allah selama 40 tahun menjalani hidup imamat, gambaran sungai itu muncul begitu saja dalam benak saya.
Malakiri, desa kelahiran saya, tempat saya melewatkan 12 tahun pertama hidup saya, diapit oleh dua sungai. Di sebelah Barat ada Sungai Sa’dan yang mengalir dari hulu sampai ke Selat Makassar bermuara dekat kota Pinrang. Kabupaten Pinrang adalah salah satu sentra beras di Sulawesi Selatan. Tanahnya subur antara lain berkat adanya pengairan bendungan Sungai Sa’dan yang sudah ada sebelum zaman kemerdekaan dan masih berfungsi baik sampai hari ini. Di sebelah Utara ada Sungai Balusu, anak Sungai Sa’dan yang bergabung ke Sungai Sa’dan di sebelah Barat Laut desa.
Untuk menjangkau dunia yang “lebih luas“ seperti pasar atau kota, penduduk Malakiri harus menyeberangi kedua sungai itu. Pada waktu itu belum terpasang jembatan beton di atas kedua sungai itu. Jembatan bambu yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat seringkali lapuk atau dihanyutkan oleh batang air yang membanjir.
Selama musim kering air sungai sangat terbatas bahkan sampai mengering. Sebaliknya pada musim hujan airnya melimpah dan arusnya deras. Pada usia 10 tahun, saat saya duduk di kelas IV, saya nyaris menjadi korban banjir Sungai Sa’dan itu. Kisahnya sebagai berikut: Sekolah Rakyat (SR) Katolik Malakiri tempat saya belajar terletak di tepi sebelah Timur Sungai Sa’dan. Setiap kali air sungai luber dari hulu turut terbawa arus, bukan saja sampah atau batu-batuan melainkan juga kayu-kayuan, balok, batang, dahan, ranting pohon yang tumbang.
Pada suatu pagi guru kelas memerintahkan kami siswa-siswa pria untuk “mengail“ kayu-kayuan itu dari sungai. Sedemikian asyiknya kami beramai-ramai “memancing“ kayu sampai tanpa sadar kami menjauh dari tepi dan makin masuk ke tengah. Kawan-kawan saya berhasil kembali ke tepi sementara saya yang badannya paling kecil semakin terseret arus ke hilir. Dalam kepanikan menggapai-gapai minta tolong, saya berhasil meraih sebuah balok yang lewat. Saya bergelayut pada balok itu, berhasil menepi dan selamat.
Berbeda dengan banyak kisah panggilan yang pernah kita dengar atau baca, panggilan imamat saya mengalir begitu saja dan secara manusiawi serba  “kebetulan“.  Saya bersama 2 teman adalah yang terkecil (termuda) di kelas VI dan dianjurkan tidak melamar masuk ke Seminari di Makassar (320 km sebelah Barat Daya Malakiri). Dari 3 orang itu, 2 orang diterima sesudah setahun di seminari, dan sesudah setahun kawan saya yang satu itu mengundurkan diri. Tinggalah saya satu-satunya siswa asal Malakiri yang masih bertahan. Kebetulan saya berhasil melewati pendidikan Seminari Menengah tanpa banyak kesulitan.
Menjelang tamat di Seminari Menengah masalah muncul. Selanjutnya ke mana? Lanjut ke Seminari Tinggi atau berhenti dan mencari kerja untuk membantu ekonomi ibu tercinta?
Kebetulan Rektor alm. Pater Albert Raskin, CICM, sosok yang sangat saya kagumi dan banggakan sangat mendorong saya untuk lanjut ke Seminari Tinggi. “Menurut hematku, kau dipanggil menjadi imam”, demikian berkali-kali beliau meyakinkan saya.
“Saya mau secepatnya bekerja untuk sekedar menyenangkan ibuku yang sudah menjanda ditinggal bapak yang terlalu cepat dipanggil Tuhan“, itulah keberatan saya.
“Kalau Tuhan betul memanggilmu sebagai imam, ia akan mengurus ibu dan saudara-saudaramu secara jauh lebih baik dari yang dapat kaulakukan”, begitu beliau membesarkan hatiku.
Selama tujuh tahun di Seminari Tinggi termasuk 1 Tahun Orientasi Pastoral (TOP) saya tidak mengalami kesulitan berarti dalam hal studi, tetapi saya tahu ibu tidak pernah rela dan tidak siap merestui saya menjadi imam. Ada saja upaya untuk “menarik“ saya ke luar dari seminari. Keluarga besar yang kebanyakan juga bukan Katolik menyangsikan apakah saya serius mau menjadi Imam. Pandangan umum masyarakat meragukan, apakah imamat yang selibat itu cocok untuk orang Toraja. Karena calon-calon sebelumnya selalu gagal mencapai tahbisan imamat. Ada seorang yang sempat ditahbiskan tahun 1962 tetapi pada tahun 1970 saat saya mulai belajar teologi di Seminari Tinggi ia mengundurkan diri sebagai imam dan sampai saat ini hidup berkeluarga sebagai awam yang baik.
 Suasana seperti itu sempat menjadikan saya ragu, benarkah saya diarahkan Tuhan kepada imamat? Apakah saya bertahan? Sekali lagi, Rektor dan para pembimbing saya di Seminari tinggi meyakinkan saya bahwa imamat adalah jalan terbaik bagiku. Maka saya coba menghibur diri, “Biarlah saya coba saja. Kalau bisa bertahan, puji Tuhan, kalau tak mampu, ya berhenti”.
Sesudah pergumulan itu, akhirnya pada 13 Januari 1974 bersama dengan rekan saya alm. P. Urbanus Tongli saya ditahbiskan imam di Makale, ibukota Kabupaten Tana Toraja. Tahbisan imam pertama di Tana Toraja. Saya adalah imam Katolik pertama dari daerah Rantepao yang sekarang dimekarkan menjadi Kabupaten Toraja Utara. (Rekan dan sahabat saya P. Matheus Bakolu sudah ditahbiskan imam pada 13 Desember 1973 di tanah kelahirannya Lolibu, pulau Muna).
Perjalanan imamat selama 40 tahun itu mengalir begitu saja seperti mengalirnya Sungai Sa’dan. Kadang airnya keruh bahkan luber dan deras arusnya. Kadang hampir kering, jernih, bening. Jalannya berliku-liku tetapi akhirnya bermuara ke laut juga. Kendati airnya kadang berkurang, mata air di hulu yang bergabung menjadi aliran-aliran kecil tetap menyediakan air, sumber berkat untuk semua orang di sepanjang aliran sungai itu, untuk pengairan sawah dan kebun sayur mayur, memandikan ternak, tempat memancing atau menjala ikan dan banyak berkat lainnya.
Pada saat aliran itu menjadi banjir besar yang menghanyutkan apa saja, ada saja pegangan yang secara tak terduga menawarkan diri sehingga saya tidak ikut hanyut dalam arus masalah. Untuk setiap persoalan selalu ada solusi dan karenanya menjadi indah pada waktunya.
Tidak jarang saat mendapat suatu tugas baru, saya tergoda untuk bertanya, “Mengapa saya?“ Pertanyaan yang seringkali muncul sejak saya di Seminari kembali lagi, “Apakah saya mampu?” Setiap kali tergiang pula janji Tuhan kepada Rasul Paulus, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna“ (2 Kor 12:9).
Terima kasih kepada Tuhan, sumber dan muara kasih sejati yang memilih saya menjadi pelayan umatNya dan tetap mendampingi saya seraya menjulurkan “balok pegangan“ saat saya hanyut.

Terima kasih kepada semua orang yang mendampingi saya dalam perjalanan menuju imamat (banyak dari antara mereka telah almarhum, RIP).

Terima kasih kepada siapa saja yang menemani saya menempuh perjalanan imamat selama 40 tahun dan memampukan saya untuk mencoba setia menghayati janji-janji imamatKu.

Terima kasih kepada umat Keuskupan Banjarmasin yang menjadikan peringatan 40 tahun tahbisan ini meriah, mengesankan dan tidak mudah dilupakan.

“Omnia possum in Eo qui me confortat” (Filipi 4:13)
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia
yang memberi kekuatan kepadaku

(Penulis: Mgr. Petrus Timang Boddeng, Uskup Keuskupan Banjarmasin)

Tidak ada komentar: