Bersama (dari kiri ke kanan) Br. Hector CICM, P. Anton Pras CICM, P. Jessie CICM (Rektor ke-6 SLU), P. Macwayne CICM dalam upacara wisuda, 25 Juni 2015 |
Beberapa waktu yang lalu saya menerima permintaan dari redaksi Koinonia untuk menulis sebuah sharing menyangkut studi saya selama lima tahun di Filipina. Setelah cukup lama mencoba menemukan judul yang tepat untuk sharing ini, akhirnya saya memutuskan mengambil penggalan lirik lagu berjudul “Journey” milik penyanyi legendaris Filipina, Lea Salonga. Menurut saya, penggalan lirik lagu ini mewakili pengalaman saya selama menempuh studi di Saint Louis University, Baguio City-Philippines (SLU). Menjadi seorang Louisan (sebutan untuk seorang siswa/mahasiswa yang pernah atau sedang menempuh pendidikan di SLU) adalah sebuah pengalaman yang luar biasa dan sangat berharga. Mencoba untuk melewatkan dan menghapus pengalaman ini merupakan sebuah kesalahan besar. Tentu saja tidak akan mungkin bagi saya untuk mengurai seluruh pengalaman berharga tersebut dalam tulisan singkat ini. Tetapi saya berharap semoga hal-hal kecil yang saya bagikan ini bisa memberi gambaran betapa berharganya perjalanan studi lanjut di SLU, paling kurang bagi saya yang pernah mengalaminya. Oleh karena itu, sharing saya kali ini akan menjadi sebuah tulisan yang bersifat sangat personal yang bertolak dari pengalaman dan refleksi pribadi saya selama studi lanjut.
Sebagai informasi awal, saya memberikan beberapa catatan kecil mengenai universitas tempat saya menempuh studi lanjut selama kurun waktu April 2010 s.d. Juni 2015. Saint Louis University (SLU) merupakan salah satu dari enam universitas/sekolah milik kongregasi CICM Provinsi Filipina. SLU didirikan pada tahun 1911 oleh Pastor Séraphin Devesse, CICM yang memulai misi pendidikannya melalui pembangunan sebuah sekolah dasar - St. Patrick School - yang menjadi cikal bakal univeristas ini. Setelah berjalan lebih dari 100 tahun, SLU menjadi universitas besar dan terkemuka di bagian utara Filipina dan memiliki siswa/mahasiswa dari tingkat pendidikan dasar, menengah, dan tinggi sebanyak kurang lebih 35.000 orang. Ada tiga orang imam diosesan dari Keuskupan Agung Makasar yang sudah dan sementara menempuh pendidikan di SLU berkat beasiswa yang diberikan oleh pihak SLU/CICM, yaitu: Pastor Stefanus Chandra (MS in Guidance and Counseling), saya sendiri-Pastor Carolus Patampang (MA/Ph. D in Educational Management), dan Pastor John Rante Galla’ (sementara mengambil MS in Pschology).
Ada sebuah pertanyaan sederhana tetapi penting untuk dijawab timbul dalam diri saya di akhir masa penulisan disertasi: “Apa yang saya dapatkan selama studi dan sekaligus menjadi kontribusi bagi Keuskupan Agung Makassar yang sudah mengirim saya studi?” Jawaban atas pertanyaan itulah yang ingin saya sharingkan dalam tulisan ini. Ada dua alasan yang membuat saya berani mengatakan “what a journey it has been” terhadap perjalanan studi lanjut saya. Pertama, studi lanjut ini merupakan bagian dari ongoing formation program dan studi lanjut ini membantu saya untuk melihat sebuah perjalanan sejarah dalam perspektif kekinian.
Ongoing Formation bagi Seorang Imam
“Apakah Pastor akan memimpin sebuah sekolah setelah selesai studi di Saint Louis University?” pertanyaan ini diutarakan oleh semua guru Bahasa Inggris ketika saya mengambil kursus bahasa di SLU. Terus terang saat itu saya bingung menjawabnya. Alasan saya sangat jelas, saya tidak pernah bermimpi untuk masuk dalam dunia sekolah. Sambil bergurau saya menjawab, “Seandainya saya tahu bahwa setelah selesai studi saya harus memimpin sebuah sekolah, saya tidak akan datang ke SLU.” Mereka tertawa mendengar jawaban tersebut. Namun, secara jujur saya harus mengakui bahwa sampai pada bulan-bulan awal studi saya untuk program MA in Educational Management, pertanyaan itu masih sering terdengar dan bahkan mulai muncul kembali menjelang selesainya program Ph.D in Educational Management.
Akan tetapi, saya melihat sesuatu yang lebih penting untuk dibahas daripada sekedar menjawab pertanyaan tersebut. Secara pribadi, sebagai seorang imam, saya melihat pengalaman studi di SLU sebagai bagian dari ongoing formation program. Saya memahami ongoing formation program lebih pada suatu kesempatan kepada seorang imam untuk memperkuat konsep hidup imamatnya melalui proses konfrontasi antara pengalaman hidupnya dengan konsep yang ditemuinya selama mengikuti program. Konfrontasi ini bisa saja membawa pencerahan atau sebaliknya menimbulkan kebingungan bagi sang imam. Menurut saya, hal yang paling esensial dalam konfrontasi ini adalah entah dalam kegembiraan ataupun dalam kebingungan itu adalah sang imam akan disegarkan dan semakin mantap menatap hidup imamatnya.
Demikian halnya dengan studi lanjut saya. Tugas ini membantu saya untuk menemukan, merefleksikan, dan memahami konsep-konsep yang ditawarkan, dibagikan, dan didiskusikan selama program pasca sarjana di SLU. Konsep-konsep ini tidak hanya membawa entusiasme baru tetapi juga kadang saya terperangkap dalam kebingungan. Hari-hari pertama saya di bangku kuliah adalah masa yang aneh bagi saya. Bukan sekedar karena metode perkuliahan dan bahasa pengantar yang dipakai, tetapi juga karena saya menemukan bahwa ada dua orang teman kelas saya – salah satunya kemudian menjadi teman baik saya – adalah orang yang mengalami keterbatasan pada penglihatan mereka. Mereka buta sejak lahir. Saya kaget dan tidak percaya mendapatkan kenyataan ini. Saya tidak pernah membayangkan duduk berdampingan dan berdiskusi dengan mereka. Selain itu, sulit bagi saya untuk menerima bahwa rekan-rekan saya ini ini akan mengambil program pasca sarjana dan aktif terlibat dalam proses perkuliahan. Ternyata saya salah besar. Sayalah yang harus belajar dari mereka dan pada saat yang bersamaan merekalah yang mampu membuka pemahaman saya menyangkut semangat yang didengung-dengungkan selama ini bahwa pendidikan itu adalah hak setiap manusia tanpa harus memandang keterbatasan sosial-budaya, politik, bahasa, ras, termasuk keterbatasan fisik. Mereka menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk “beradu-pintar” dan berargumentasi di dunia akademik. Mereka adalah orang-orang yang luar biasa bahkan menjadi dosen pengajar dan diundang menjadi pembicara dan motivator di berbagai tempat.
Saya memaknai pengalaman ini sebagai bagian dari ongoing formation program yang sangat bermanfaat. Pengalaman ini tidak hanya menjadi titik awal berpijak untuk memahami inklusivisme dalam dunia pendidikan, tetapi juga membantu saya merenungkan alasan panggilan pelayanan bagi setiap imam. Ketika masyarakat memandang mereka yang terbatas secara fisik dan mental sebagai kelompok yang tidak berguna dan terpinggirkan, seorang imam dipanggil untuk menemukan, meyakinkan dirinya, orang lain, termasuk Gereja yang dilayaninya untuk menerima bahwa orang-orang tersebut memiliki suatu yang patut dibanggakan dan diteladani. Pengalaman ini membantu saya untuk secara jujur menemukan titik lemah dalam pelayanan saya secara sebagai imam (dan mungkin juga rekan imam lain, semoga tidak). Pengalaman ini menjadi sebuah contoh yang mendasari keberanian saya untuk mengatakan bahwa studi lanjut adalah bagian dari ongoing formation program. Dalam proses studi inilah saya berhasil menemukan sesuatu yang memperkaya diri saya. Saya tidak hanya menemukan kegembiraan karena konsep-konsep baru yang saya temukan dalam perkuliahan tetapi juga bergumul dalam kebingungan yang pada akhirnya membantu untuk mengubah cara pandang saya yang lama.
Bersama (dari kiri ke kanan)
Dr. Tess, Dr. Elliamil, P. Jessie CICM (Rektor ke-6 SLU), Dr. Shin, Dr. Tio,
Dr. Soliba setelah ujian disertasi 25 Mei 2015
|
Beberapa saat setelah saya tiba di Baguio City, dalam misa pembukaan tahun ajaran 2010/2011, Pastor Jessie M. Hechanova, CICM – Rektor Saint Louis University-Baguio City dan yang sekaligus memberi beasiswa memperkenalkan saya sebagai “adopted CICM”. Para pastor CICM yang hadir dalam misa tersebut, para dosen dan mahasiswa tertawa mendengar istilah tersebut disematkan pada diri saya. Sejak saat itu pula, dalam setiap undangan yang diberikan, nama saya akan mendapatkan tambahan CICM, bahkan ada beberapa orang teman yang berpikir bahwa saya adalah sungguh-sungguh pastor CICM. Sebenarnya, cara Pater Jessie memperkenalkan saya kepada audiens merupakan bentuk penerimaan yang tulus dan ingin mengatakan bahwa saya adalah bagian integral keluarga besar SLU dan rumah CICM di mana saya berdiam selama studi lanjut. Lebih jauh lagi, di balik penerimaan ini, ada suatu nilai yang menurut saya penting untuk saya bagikan dalam tulisan ini, yakni perjalanan studi di SLU membantu saya untuk menghidupi sejarah dalam perspektif kekinian. Hal menarik dalam perjalanan hidup imamat saya sejak ditahbiskan pada tahun 2003 adalah komunitas CICM di SLU merupakan rumah yang paling lama saya tinggali sejak tahbisan saya. Selama ini, saya berdiam di salah satu paroki, pastoran, atau komunitas (Sangalla’, Pangli, Rantepao, Wisma UNIO, dan Katedral Makassar) hanya dalam rentang waktu antara 6 bulan sampai 2 tahun. Selama lima tahun tinggal sebagai mahasiswa dan “adopted CICM” di SLU, saya mengalami penerimaan yang luar biasa baik. Saya tidak dianggap sebagai seorang tamu, tetapi menjadi konfrater para pastor-bruder CICM yang bertugas di SLU.
Pengalaman tinggal bersama dengan para pastor-bruder CICM di SLU, pada dasarnya, tidak hanya membantu saya menghayati semangat hidup berkomunitas, tetapi juga membuka mata saya untuk menyadari bagaimana Gereja Lokal KAMS dibangun. Setiap kali mendengarkan cerita tentang pengalaman menjadi misionaris yang melayani di Belgia, Kamerun, Kongo, Hongkong, Filipina, negara-negara lain, saya membayangkan pengalaman yang sama terjadi ketika Gereja Lokal KAMS mulai dirintis, khususnya oleh para misionaris CICM yang merambah sampai ke wilayah-wilayah yang terpencil di Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara. Informasi mengenai Gereja Lokal KAMS yang selama ini hanya bisa saya dapatkan lewat beberapa literatur menjadi hidup lewat cerita misi yang saya dengarkan dari para pastor-bruder CICM di SLU, termasuk para misionaris tua yang sering saya temui di Baguio City (salah satu dari misionaris tersebut, Fr. Rafael Rosario, CICM pernah bertugas di Toraja). Tentu saja, para tokoh yang berperan dalam kisah misionaris tersebut dan detail kisahnya sangat berbeda. Namun ada satu hal pokok yang persis sama: para tokoh dan peristiwa misi yang diceritakan berdasar pada semangat “to serve with a missionary heart”. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, saya sungguh yakin bahwa semangat inilah yang membuat Gereja Lokal KAMS menjadi besar seperti saat ini. Para misionaris dan kaum awam yang bekerja sama ketika membangun Gereja Lokal KAMS bekerja sepenuh hati karena mereka sadar bahwa bukan kepentingan merekalah yang terlayani, melainkan kepentingan Gereja. Bahkan, saya masih tetap percaya bahwa semangat seperti ini yang hendaknya tetap menjadi semangat dasar dalam setiap bentuk pelayanan di Gereja Lokal KAMS. Tanpa bermaksud menggurui mereka yang sudah terlibat secara aktif dan yang akan melibatkan diri secara tulus dalam pelayanan di KAMS, saya ingin mengatakan bahwa apapun bentuk pelayanan yang sudah, sementara, dan akan dilakukan hendaknya ditempatkan dalam konteks “to serve with a missionary heart” sehingga sejarah dibangunnya keuskupan ini dapat dibaca dan dirasakan dalam perspektif kekinian dan mengarahkan semangat pelayanan sesuai dengan cita-cita awal berdirinya Gereja Lokal KAMS.
Jika saya harus memberikan kesimpulan untuk sharing ini, saya akan mengatakan bahwa tugas studi lanjut ini saya pandang bukan sebagai sesuatu yang istimewa. Sebagaimana dengan tugas-tugas lainnya di KAMS, tugas studi lanjut saya mengerti sebagai sebuah langkah kecil yang harus berjalan seirama dengan tugas rekan-rekan imam di paroki atau bidang kategorial lainnya. Tentu saja selalu ada harapan untuk setiap tugas yang diberikan kepada seorang imam. Demikian halnya ada sesuatu yang diharapkan kepada saya untuk bisa dibagikan kepada Gereja Lokal KAMS setelah menyelesaikan seluruh perjalanan studi lanjut Saya merasa gembira karena (semoga) harapan itu bisa terwujud dalam sebuah bentuk pelayanan kategorial yang kecil namun menjadi penting bagi perjalanan Gereja Lokal KAMS, yaitu di Seminari Menengah St. Petrus Claver, khususnya Tahun Retorika. Saya berharap ketika suatu saat saya mengakhiri tugas yang saya tekuni saat ini, saya juga berani mengatakan “what a journey it has been”. *** (Penulis: Pastor Carolus Patampang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar