Kamis, 10 September 2015

Dari Meja Uskup Agung: ROH KUDUS SUMBER PEMBARUAN KELUARGA


Dari Konvenas XIII Karismatik ke SAGKI 2015
              Dari tanggal 18-21 Juni 2015 yang lalu berlangsung Konvensi Nasional XIII Pembaharuan Karismatik Katolik Indonesia di Makassar. Tema Konvenas tersebut adalah “Janganlah Padamkan Roh” (1Tes. 5:19). Panitia mengharapkan Konvenas ini “dapat menjadi sebuah wadah pembinaan, pengayaan dan     penyatuan kembali visi misi Pembaharuan Karismatik Katolik di Indonesia agar sejalan dengan visi misi Gereja Katolik di Indonesia” (Surat Pengurus BPN PKKI, No.: 019A/OUT/IX/14/BPN PKK, tertanggal 22 September 2014, perihal “Konvenas XIII”). Dalam homili pada Misa Pembukaan, saya mengatakan, “Saya menekankan bagian akhir itu: agar visi misi PKKI sejalan dengan visi misi Gereja Katolik di Indonesia”. Saya mengingatkan, tema Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) yang akan berlangsung 2-6 November 2015 yang akan datang, ialah “Keluarga Katolik: Sukacita Injil; Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang majemuk”.

Mengapa dipilih tema sekitar KELUARGA? Ini khususnya sebagai tanggapan positif Gereja Katolik Indonesia terhadap salah satu fokus keprihatinan dan perhatian pastoral Paus Fransiskus. Bagi Paus Fransiskus, begitu penting dan urgennya masalah sekitar keluarga, sehingga beliau memutuskan mengadakan dua Sinode para Uskup berturut-turut dengan tema yang sama: KELUARGA. Yang pertama adalah Sinode Luar Biasa para Uskup yang telah berlangsung 5-19 Oktober 2014, dan yang kedua adalah Sinode Biasa para Uskup yang akan berlangsung 4-25 Oktober 2015. Tampaknya Paus Fransiskus mempunyai keyakinan yang sama dengan Paus Yohannes Paulus II. Paus Yohannes Paulus II, yang sekarang sudah Santo, pernah menegaskan: “Jika keluarga-keluarga Katolik baik, maka Gereja akan baik”. Keyakinan ini sangat sejalan dengan dalil sosiologis, yang memandang keluarga sebagai sel masyarakat; kalau sel itu sehat, maka masyarakat akan sehat. Barangkali kita masih ingat, Pesan Natal Bersama KWI-PGI 2014 juga mengambil tema sekitar keluarga: “Menemukan Allah dalam Keluarga”. Inipun juga sebagai tanggapan positif terhadap keprihatinan pastoral Sri Paus tersebut.

Sesungguhnya Gerakan Karismatik Katolik dapat berperan sebagai ujung tombak dalam menanggapi keprihatinan pastoral Sri Paus tentang keluarga, agar setiap keluarga Katolik dapat mengalami “baptisan dalam Roh”. Sebagai langkah pertama untuk itu, dalam homili yang sama di Misa Pembukaan Konvenas itu saya mengajak agar setiap hari selama Konvenas berlangsung para peserta mendoakan “Doa Persiapan Menyambut SAGKI Tahun 2015”.

Konsili Vatikan II: Roh Kudus Memperbaharui Gereja
Pada tanggal 25 Januari 1959, tidak lama sesudah terpilih menjadi Paus, Paus John XXIII mengejutkan umat Katolik sedunia dengan maklumat beliau akan mengundang Konsili ekumenis. Hari itu Gereja merayakan Pesta Bertobatnya St. Paulus! Baik Paus Pius XI maupun penggantinya, Paus Pius XII, pernah berpikir membuka kembali Konsili Vatikan I (1869-1870), yang terpaksa dihentikan karena pecah perang antara Perancis dan Prusia (Jerman). Tetapi yang dimaksudkan Paus Yohanes XXIII bukan sekedar melanjutkan Vatikan I, melainkan Konsili yang baru sama sekali. Diceritakan, setelah maklumat itu, bermalam-malam Paus gelisah, tidak bisa tidur. Suatu malam beliau bangun dan sambil terduduk di pinggir ranjang, beliau berkata kepada dirinya: “Roncalli, mengapa engkau gelisah? Konsili itu bukan urusanmu! Itu urusan Roh Kudus!” Dan sesudah itu beliau dapat tidur nyenyak. 

Dalam Konstitusi Apostolik Humanae Vitae, yang mengundangkan penyelenggaraan Vatikan II, dan dikeluarkan beliau pada 25 Desember 1961, beliau memanjatkan doa, semoga Konsili Vatikan II menjadi suatu Pentakosta baru. Saya kutipkan perikop itu: “Semoga terulang demikian dalam keluarga-keluarga Kristiani itu adegan para Rasul yang terkumpul bersama di Yerusalem setelah Yesus naik ke surga, ketika Gereja yang baru lahir itu bersatu padu dalam communio pikiran dan doa bersama Petrus dan sekeliling Petrus, gembala anak-anak domba dan domba-domba. Dan semoga Roh Ilahi    berkenan menjawab dengan cara yang sungguh-sungguh meneguhkan doa ini yang dipanjatkan setiap hari kepada Dia dari segala penjuru dunia: ‘Perbaharuilah keajaiban-keajaiban-Mu pada zaman kami ini, sebagai suatu Pentakosta baru, dan berilah agar dalam Gereja kudus, sambil bertekun dalam doa bersama dan terus-menerus, bersama dengan Maria, bunda Yesus, dan juga di bawah bimbingan Sto. Petrus, semoga berkembanglah kerajaan Penyelamat Ilahi, kerajaan kebenaran dan keadilan, kerajaan kasih dan damai. Amin’“.

Dan ternyatalah doa itu terkabulkan. Sejarah membuktikan bahwa Konsili Vatikan II adalah Konsili Roh Kudus, yang membawa pembaharuan sangat luas dan mendasar dalam Gereja. Gereja pra-Vatikan II        mengambil sikap tertutup terhadap perkembangan zaman. Sejak datangnya zaman modern, khususnya sejak Zaman Pencerahan (mulai abad ke-18), dunia telah menjadi semakin aktif dan semakin tak tergantung pada Gereja. Pelbagai disiplin ilmu satu demi satu melepaskan diri dari kontrol Gereja dan umumnya diuntungkan dengan emansipasi ini. Dalam dunia yang semakin tersekularisir pada zaman kita, kesenian dan ilmu pengetahuan, industri dan pemerintah terus mengembangkan bentuk-bentuknya sendiri menurut logikanya masing-masing. Gereja menasehati dunia, tetapi dunia merasa memiliki hak sah untuk tidak peduli. Ia     merencanakan teknik dan metodenya sendiri, tanpa mengharapkan bantuan dari otoritas Gereja. Khususnya sejak pertengahan abad ke-19, Gereja terus-menerus mengingatkan bahwa dunia sedang terjerumus ke dalam kesulitan-kesulitan serius dengan upayanya mengembangkan diri tanpa peduli terhadap peraturan Gereja. Tetapi peringatan itu dianggap sebagai angin lalu oleh dunia. Pada pihaknya, Gereja semakin menyibukkan diri dengan urusan-urusan internalnya sendiri. Sebagai akibatnya, Gereja semakin terasing dari        peradaban modern, sedemikian rupa sampai komunikasi dengan dunia menjadi teramat sulit. Hal ini telah membawa dampak sangat negatif bagi Gereja sendiri, berupa    kehilangan anggota-anggota, kehilangan daya hidup, dan kehilangan pengaruh. Bahasa dan struktur-struktur Gereja tak bersesuaian dengan perkembangan budaya manusia pada umumnya.

Menghadapi situasi mencemaskan seperti ini, Roh Kudus turun tangan lewat Konsili Vatikan II. Diceritakan pada awal-awal kepemimpinannya, Paus Yohanes XXIII, sebagai aksi simbolis, menyuruh membuka lebar-lebar pintu dan jendela-jendela gereja; dengan demikian kita yang ada di dalam Gereja dapat dengan leluasa melihat ke luar, ke dalam dunia, dan angin segar dapat berembus ke dalam Gereja: “Dobbiamo spalancare la porta e le finestre della Chiesa al mondo!” Itulah AGGIORNAMENTO, pembaharuan, penyesuaian     dengan zaman!

Hembusan Roh Ilahi dalam Vatikan II menghasilkan 16 dokumen teramat penting (4 konstitusi, 9 dekrit dan 3 deklarasi) yang menjadi landasan dan pedoman arah pembaharuan dari Gereja sesudah Konsili itu.

Dari Konsili Vatikan II Ke Gerakan Karismatik Katolik
Konsili Vatikan II ditutup tahun 1965. Tetapi hembusan api pembaharuan dari Roh Kudus tidak berhenti dengan selesainya Konsili. Roh Kudus melanjutkan berembus sampai ke akar rumput dalam Gereja: umat Katolik basis. Sulut api pembaharuan ini berawal dari lingkungan Univ. Katolik Duquesne, Pittsburgh, AS, di musim gugur 1966, setahun setelah Konsili ditutup. “Keyakinan bahwa Allah akan bertindak  dengan kuasa pada zaman kita”, demikian ditulis Kevin & Dorothy Ranaghan dalam buku mereka yang diterbitkan tahun 1969 berjudul Catholic Pentecostals, “mulai bagai sulutan bunga api di Pittsburgh, Pennsylvania di musim gugur 1966, dan berkat kuasa Roh Kudus menjadi bagai amukan nyala api; dari timur sampai ke barat terus menyebarkan warta bahwa Allah sungguh hidup, bahwa Yesus hidup dan berkeliling sambil berbicara kepada kita, bahwa Dia setia pada janji-janji-Nya, bahwa Ia sungguh Imanuel-Allah beserta kita! Kisah yang kami ceritakan di sini, ialah bahwa dari bara api masa lampau Kristiani kita saksikan kini menjadi kobaran nyala api suatu Pentakosta baru” (Ibid.: 4-5). Itulah Gerakan Karismatik Katolik!

Sepuluh tahun kemudian Gerakan Karismatik Katolik mulai masuk ke Indonesia. Tahun 1976, Mgr. Leo Soekoto SJ, Uskup Agung Jakarta, mengundang RP O’Brien SJ dari Bangkok dan RP Herbert Schneider SJ dari Manila untuk memulai pengenalan Pembaharuan Karismatik Katolik di Indonesia. Jadi tahun ini usia Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik di Indonesia sudah mencapai 39 tahun. Suatu usia yang cukup panjang. Dan saya yakin, sekian   banyak saudari-saudara se-iman yang aktif dalam gerakan ini dapat memberi kesaksian mengesan, bagaimana mereka telah      mengalami “baptisan dalam Roh”, bagaimana hidup mereka telah diubah dan diperbaharui dalam Roh Kudus!

Utuslah Roh-Mu, dan Jadi Baru Hidup Keluarga
Apabila kita memahami situasi nyata keluarga pada dewasa ini, maka kita akan mengerti keprihatinan mendalam Sri Paus atas masalah pelik ini. Sambil mengakui aspek-aspek positif  situasi keluarga dewasa ini, Anjuran Apostolik Familiaris Consortio dari Paus Yohannes Paulus II (1981) mensinyalir “ada tanda-tanda merosotnya berbagai nilai yang mendasar: salah pengertian teoritis maupun praktis tentang tidak saling tergantungnya suami-isteri; salah paham yang serius mengenai hubungan kewibawaan antara orangtua dan anak-anak; kesukaran-kesukaran konkret yang dialami oleh keluarga sendiri dalam menyalurkan nilai-nilai; makin banyaknya perceraian; malapetaka pengguguran; makin kerapnya sterilisasi; tumbuhnya mentalitas yang jelas-jelas kontraseptik” (FC,6); dan isu perkawinan sejenis yang merebak dan tampaknya semakin menguat di negara maju tertentu.

Tentu dalam rubrik “Dari Meja Uskup Agung” dengan ruang terbatas tak mungkinlah menjelaskan secara memadai setiap gejala pokok tersebut.        Menyangkut hubungan suami-isteri, tak terpungkiri arus emansipasi antara perempuan dan laki-laki membawa pengaruh besar dalam hidup keluarga. Citra tradisional keluarga, di mana suami menempati posisi menentukan sebagai ‘kepala keluarga’, sedang mengalami perubahan. Di masa transisi seperti ini mudah timbul banyak ekses. Ada suami yang belum siap menerima perubahan ini, dan bersiteguh berpegang pada privilise lama. Di lain pihak, isteri yang semakin sadar akan martabatnya yang sederajat dengan pria dan makin mandiri (-banyak isteri yang sudah terdidik, mempunyai pekerjaan dan ikut menunjang kebutuhan hidup keluarga-), menghendaki diperlakukan sebagai partner sederajat. Situasi seperti ini gampang melahirkan konflik yang berujung pada kekerasan dalam keluarga. Malahan isu perselingkuhan, WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria Idaman Lain), tidak jarang akarnya ialah masalah ketidakharmonisan hubungan suami-isteri dalam keluarga.

Masalah dalam hubungan orangtua-anak yang seringkali diungkapkan sebagai gap antar generasi, merupakan tantangan berat lainnya dalam keluarga. Di masyarakat di mana kebebasan dan hak azasi manusia (HAM) disanjung dan menjadi paradigma, wibawa tradisional orangtua atas anak menjadi sasaran gugatan si anak. Ketika orangtua tidak mampu menanggapi gugatan tersebut secara bijaksana, timbul kesulitan besar. Orangtua seringkali mempunyai keyakinan bahwa mereka lebih tahu apa yang dibutuhkan anak mereka daripada si anak sendiri. Mereka bekerja keras mencari uang untuk membiayai sekolah dan kebutuhan lain anak-anak mereka. Sementara itu anak-anak terbiarkan mengurus dirinya sendiri, dan merasa tak mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Padahal anak-anak sendiri tidak jarang lebih membutuhkan perhatian orangtua, ketimbang kebutuhan materiil.

Pendidikan nilai dalam keluarga juga menjadi muskil. Kehadiran TV serta alat-alat serba canggih lainnya menjadi salah satu penyebabnya. Berapa banyak keluarga yang berani secara tegas membatasi waktu menonton TV di rumah, sehingga tetap tersedia cukup waktu untuk berkumpul bersama dan berkomunikasi sebagai satu komunitas keluarga? Gejala yang ada ialah bahkan makan bersamapun sudah sulit terwujud. Masing-masing ambil makanannya, lalu duduk di depan TV sambil makan. Dalam situasi seperti ini, lama kelamaan rumah berubah menjadi sekedar tempat ‘menginap’ setiap anggota keluarga, dan bukan lagi sebagai pusat hidup komunitas keluarga. Maka ini jelas merupakan tembakan mematikan langsung ke jantung keluarga sebagai ‘sekolah pertama dan utama’. Lalu, apakah tayangan-tayangan di TV itu dapat diharapkan menyalurkan nilai-nilai manusiawi (dan kristiani)? Pertanyaan penting sesungguhnya ialah, tayangan-tayangan mana yang paling banyak ditonton dalam keluarga-keluarga? Bukankah tayangan-tayangan yang berciri hiburan, sehingga semakin memupuk mentalitas hedonistis?  Bahkan keretakan dalam keluarga, khususnya di     kalangan para selebriti, karena isu perselingkuhan misalnya, dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi hiburan dalam tayangan yang disebut infotainment. Kita dihibur    dengan penderitaan sesama kita! Kita belum menyinggung unsur-unsur menonjol lainnya dalam tayangan-tayangan TV, seperti kekerasan, eksploitasi seks, berita korupsi, mafia peradilan, penipuan, dst. Semua itu menjadi tantangan berat bagi keluarga untuk tetap dapat berperan sebagai sekolah pertama dan utama bagi anak-anak yang sedang bertumbuh. Di tengah situasi seperti ini bagaimana dapat menyalurkan kepada mereka nilai-nilai kemanusiaan, seperti kasih, solidaritas, keadilan, kejujuran, tanggungjawab!
Meningkatnya angka perceraian adalah masalah lain yang tidak kurang mengkhawatirkan. Dan tampaknya keluarga Katolik juga tidaklah kebal terhadap masalah ini. Tahun 2007 Komisi Keluarga KWI     mengadakan survei di beberapa keuskupan. Hasilnya, antara lain ditemukan hanya 68% pasutri yang mengatakan bahwa harapannya membentuk keluarga terpenuhi. Berarti ada 32% keluarga Katolik (hampir sepertiga, hampir 1 di antara 3!) sedang bermasalah. Barangkali penemuan ini menjelaskan gejala makin banyaknya kasus perkawinan yang sampai ke Tribunal Keuskupan.

Penghargaan terhadap kehidupan pun sangat merosot. Dunia kita tampaknya sedang dilanda apa yang oleh mendiang Paus Yohannes Paulus II disebut ‘budaya kematian’. Di negeri kita ini saja, sebagaimana sudah seringkali diberitakan, terjadi pengguguran tidak kurang dari 2.500.000 setiap tahun. Janin dan bayi-bayi tak berdosa yang harus dilindungi justru dibunuh oleh ibu kandungnya sendiri. Dari segi moral, kejahatan ini jauh lebih besar daripada membunuh seseorang yang sudah mampu membela dirinya sendiri. Wilayah ‘budaya kematian’ meliputi pula mentalitas penolakan terhadap datangnya kehidupan baru, seperti yang terungkap dalam maraknya sterilisasi dan tindakan kontraseptif. Semua ini    menyiratkan citra egoisme manusia modern.

Egoisme ini secara paling jelas mencuat dalam isu perkawinan sejenis yang merebak dan tampaknya semakin menguat di sejumlah negara maju, dan bukan tidak mungkin akan semakin menyebar ke lebih banyak negara. Kiranya tidaklah mungkin bahwa akhirnya semua manusia mengikuti praktek perkawinan melawan kodrat ini. Sebab kalau demikian, itu akan menjadi lonceng kematian sejarah umat manusia di muka bumi ini. Yang lebih berbahaya ialah mentalitas egoisme yang mendasari praktek itu. Egoisme membuat pasangan perkawinan sejenis tak ingin direpotkan untuk melahirkan dan memelihara anak. Kalaupun akhirnya mereka toh ingin memiliki anak, mereka akan berupaya mengangkat atau membeli anak dari orang lain. Maka upaya mereka selanjutnya ialah memperjuangkan legalisasi jual-beli atau perdagangan anak. Ketika manusia dapat diperjual-belikan secara legal, apa lebihnya lagi manusia dari barang-barang dagangan lainnya?

Kecuali semua itu, Familiaris Consortio menambahkan: “Layak pula diperhatikan kenyataan, bahwa di negara-negara ‘Dunia Ketiga’ keluarga-keluarga sering tidak mempunyai upaya-upaya yang sungguh dibutuhkan untuk mempertahankan hidup, misalnya: nafkah, pekerjaan, perumahan dan obat-obatan, serta kebebasan-kebebasan yang elementer sekali” (FM,6). Singkatnya, di ‘Dunia Ketiga’, termasuk Indonesia,       kemiskinan masih tetap mendera sekian     banyak keluarga. Indonesia, ironi sebuah negeri nan subur dan kaya sumber daya alam, tetapi yang sebagian besar rakyatnya masih menderita kemiskinan, akibat    ketidakadilan sosial yang di-tulangpunggungi hantu raksasa bernama ‘korupsi’.

Menyadari kondisi berat keluarga pada dewasa ini sebagaimana tergambarkan di atas, kita bisa merinding. Namun, kita adalah manusia beriman kristiani. Kita tidak pernah boleh melupakan sabda Kristus ini: “Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil (Luk. 12:32), “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Kristus menyertai Gereja-Nya lewat Roh-Nya. Maka kita perlu terus-menerus mengulangi memanjatkan doa Paus Yohanes XXIII dalam menyongsong Konsili Vatikan II untuk lembaga KELUARGA: “Perbaharuilah keajaiban-keajaiban-Mu pada zaman kami ini, sebagai suatu Pentakosta baru, dan berilah agar dalam Gereja kudus, khususnya pada wujudnya yang paling basis: Gereja Rumah Tangga (Ecclesia domestica), sambil bertekun dalam doa bersama dan terus-menerus, bersama dengan Maria, bunda Yesus …semoga berkembanglah kerajaan Penyelamat Ilahi, kerajaan kebenaran dan keadilan, kerajaan kasih dan damai. Amin“.

Makassar, 20 Agustus 2015

+John Liku-Ada’

Tidak ada komentar: