Pada 13 Mei 1985, putera sulung sebagai buah kasih dari pasangan Yan Lebo (ayah) yang berdarah Mamasa dan Stella Mogot (ibu) yang berdarah Manado dilahirkan di Polewali, Sulawesi Barat. Putera tersebut kemudian diberi nama Anthonius Michael dengan sapaan akrabnya Anthon. Itulah sejarah awal hidupku. Desa Tamalantik, yang terletak di Kabupaten Mamasa menjadi tempat saya bertumbuh mulai ketika saya menjalani masa kanak-kanak sampai ketika saya menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Neg. 30 Tamalantik. Kemudian saya memilih untuk pergi ke Polewali untuk melanjutkan pendidikan di SMP Neg. 3 Polewali dan setelah itu melanjutkan SMU Neg. 1 Polewali.
Setelah lulus SMU pada tahun 2003, saya memutuskan untuk masuk Seminari Petrus Claver Makassar melalui tahap Kelas Persiapan Atas (KPA). Pada mulanya, saya sungguh tidak mengetahui seminari itu sekolah apa. Bahkan saya tidak mengenal sosok pastor itu seperti apa. Maklumlah sebagai umat di stasi Tamalantik yang jauh dari paroki, perjumpaan dengan pastor adalah pengalaman yang sangat langka. Perjumpaan tersebut hanya terjadi pada saat perayaan natal dan paskah saja. Maka tidak heranlah jika yang hanya saya ketahui dari sosok pastor adalah orang yang tidak menikah, galak, dan hanya sedikit yang berminat untuk menjadi pastor. Selama menjalani masa SMP di Polewali, saya juga sangat jarang pergi ke gereja. Di sekolah pun, saya tidak mengikuti pelajaran agama katolik karena saya lebih memilih mengikuti pelajaran agama protestan. Sebenarnya Opa dan Oma saya selalu berusaha mengajak saya ke gereja katolik. Namun saya menolaknya karena ada pengalaman traumatik yang sulit saya lupakan. Pernah sekali saya mengikuti misa di gereja namun tiba-tiba seorang umat memarahi saya entah apa alasannya. Mulai saat itulah saya jarang pergi gereja.
Gambaran sosok seorang pastor mulai menjadi jelas bagiku setelah duduk di bangku SMA. Waktu itu, saya bertemu dengan teman-teman yang beragama katolik dan kami diwajibkan untuk mengikuti pelajaran agama katolik di gereja. Saat itulah saya mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan gerejani seperti misdinar dan mudika (OMK). Pada masa-masa ini, saya mulai mengenal bagaimana sosok seorang pastor yang sesungguhnya. Bahkan perlahan-lahan, saya mulai termotivasi untuk menjadi seorang imam. Maka suatu hari ketika Pastor Felix Layadi, Pr, (Pastor paroki Polewali saat itu) bertanya kepada kami di sakristi setelah perayaan ekaristi “Apakah ada yang ingin masuk seminari?” Segera spontan saya bersama seorang mengangkat tangan sebagai tanda kemauan. Beliau menanyakan hal itu karena pengumuman seleksi masuk Seminari sudah disampaikan beberapa minggu sebelumnya namun belum seorang pun yang datang mendaftar. Keesokan harinya Pastor Felix meminjamkan kami sepeda motor untuk mengikuti tes Seminari di Messawa. Satu bulan kemudian, kami mendapatkan berita bahwa kami lulus. Namun yang berangkat ke Seminari hanya saya sendiri karena teman yang lain akhirnya mengundurkan diri. Ada berbagai macam tantangan yang saya hadapi ketika menjalani hidup di seminari antara lain hidup disiplin, pergaulan dengan para seminaris dan lain sebagainya. Namun saya bersyukur dapat menghadapi semuanya itu dengan penuh kegembiraan.
Setelah mengalami proses selama kurang lebih setahun di Seminari Menengah, tahun 2004 saya melanjutkan pendidikan Tahun Orientasi Rohani (TOR) di Taman Tunas, Daya, Makassar. Tahun 2005 saya bersama ketujuh rekan frater melanjutkan jenjang pendidikan ke Seminari Tinggi Anging Mammiri Yogyakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan kuliah filsafat dengan perjuangan dan kerja keras selama empat tahun (2005-2009), saya diperkenankan melanjutkan ke jenjang Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Clemens, Mandonga – Kendari, Sulawesi Tenggara. Setelah setahun mengalami hidup bersama di tengah-tengah umat, pada tahun 2010 saya kembali ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan Teologi sampai pada jenjang Magister Teologi sambil menjalani masa diakonat di Seminarium Anging Mammiri.
Menjelang penerimaan sakramen imamat, saya memilih Motto penggilan, “Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya” (1 Kor 9:24). Kehidupan ini layaknya sebuah pertandingan lari yang diikuti oleh puluhan, ratusan bahkan ribuan orang. Jika dinalar secara logis, dalam pertandingan lari yang diikuti oleh banyak orang, jika sudah ada satu pemenang, maka pelari lainnya seharusnya tidak wajib terus berlari sampai garis finish. Sebab meskipun sampai garis finish, mereka tidak akan mendapatkan hadiah. Namun karena ini adalah sebuah pertandingan, maka seorang pelari akan terus berlari sampai mencapai garis finish meskipun bukan juara pertama. Motivasi pelari ini jauh dari hanya sekedar juara tetapi bagaimana berusaha mencapai garis finish.
Demikian pula cara saya memaknai kehidupan ini. Saya berlari dalam kehidupan ini. Saya menyadari bahwa saya mungkin tidak dapat menjadi juara dalam pertandingan itu, karena berbagai keterbatasanku. Namun saya harus tetap berlari sampai garis finish. Dengan kata lain meskipun saya “kalah” saya selalu berusaha berjuang untuk mencapai garis finish meskipun bukan sebagai pemenang utama. Garis finish itu adalah kebahagiaan abadi bersama Tuhan.
Sebagaimana seorang pelari membutuhkan dukungan dari orang lain, demikian juga saya membutuhkan dukungan dari banyak orang. Saya bersyukur karena kehadiran orang-orang terdekat dalam hidupku, orangtua dan saudara-saudariku. Mereka selalu menjadi orang pertama yang memberikan dukungan dalam setiap keputusanku. Demikian juga dukungan dari semua umat beriman. Masing-masing orang mengambil bagian dengan caranya masing-masing. Saya mensyukuri semua bentuk dukungan yang saya terima dalam proses pertandingan itu sambil mendoakan mereka agar semakin teguh dalam iman, harapan dan kasih. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar