Sebagian Panitia Pesta Emas Konstitusi Liturgi berfoto bersama. (dok)
|
Perayaan peringatan 50 tahun lahirnya Konstitusi Liturgi, Sacrosanctum Concilium, diadakan di Makassar, 15-17 Oktober 2013, bertempat di Gereja Katedral Makassar dan Hotel Aston. Kegiatan utama yang dilaksanakan dalam rangkaian acara selama tiga hari itu ialah selebrasi (ibadat dan Perayaan Ekaristi) dan refleksi (rangkaian seminar yang dihadiri oleh para pakar liturgi, utusan keuskupan dari seluruh Indonesia, para undangan, para pemerhati Liturgi dan umat Katolik). Tentunya ini merupakan peristiwa langka karena baru dirayakan sekali dalam 50 tahun. Dan Keuskupan Agung Makassar mendapat kehormatan menjadi tempat pelaksanaan perayaan ini. Tentu saja kita umat Katolik Keuskupan Agung Makassar bersyukur dan berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan oleh Panitia Nasional dari KWI, Jakarta untuk bisa mengambil bagian dalam kegiatan yang besar dan penting ini.
Perayaan ini pertama-tama adalah perayaan internal Gereja, menyangkut kepentingan umat beriman Katolik sendiri dan bukan perayaan atau pesta kemasyarakatan. Oleh karena itu kehadiran Duta Besar Vatikan untuk Indonesia dalam perayaan ini, merupakan kunjungan pastoral, kunjungan kegembalaan bagi umat katolik, bukan kunjungan umum kemasyarakatan. Perayaan ini skalanya besar karena menyangkut seluruh umat Katolik Indonesia, hanya keterbatasan tempat dan lain sebagainya, maka umat Katolik dari Keuskupan-Keuskupan lainnya diwakili oleh uskupnya bersama seluruh peserta yang mewakili umat keuskupannya.
Barangkali pertanyaan penting yang perlu diajukan ialah: mengapa 50 tahun Konstitusi Liturgi dirayakan? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu terlebih dulu kita mengetahui dan memahami bahwa Konstitusi Liturgi merupakan buah (hasil) pertama dari Konsili Vatikan II, yang dilaksanakan tahun 1962–1965. Konstitusi Liturgi yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II ini merupakan tonggak pembaharuan dalam pemahaman dan tatacara peribadatan umat Katolik yang berlaku universal. Sebelum Konsili Vatikan II sudah ada paham dan tatacara peribadatan Katolik yang berlaku universal. Namun karena Gereja ingin lebih menjawab kebutuhan umat manusia dalam mengikuti perkembangan zaman, Gereja melalui Konsili Vatikan II perlu melakukan pembaruan Liturgi, mengemukakan pandangan-pandangan baru tentang Liturgi, agar menjadi semakin jelas, apa itu hakekat Gereja yang sebenarnya.
Dengan pembaruan tersebut, Konsili bermaksud meningkatkan hidup yang semakin kristiani di antara umat beriman; memajukan apa saja yang dapat membantu persatuan semua orang beriman akan Yesus Kristus; mendorong dan mengusahakan pembaruan dan pengembangan Liturgi yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Pembaruan Liturgi yang dicanangkan oleh Konsili Vatikan II ini merupakan harapan dan dorongan yang menentukan bagi pembaruan seluruh bidang hidup Gereja, yang terutama berpusatkan pada Ekaristi dan pelayanan, serta lebih berdasarkan pada Sabda Allah (Injil Yesus Kristus) daripada aturan yuridis atau rubrik peribadatan.
Pembaruan pokok dan penting yang ditampilkan oleh Konstitusi Liturgi ini paling tidak tampak mencolok dalam dua hal. Pertama, oleh Konsitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium yaitu Sabda Allah sudah diberikan tempat yang istimewa (dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya), dipandang sama dengan sakramen sendiri, dan karena itu harus ditonjolkan. Dengan demikian umat yang merayakan Liturgi dapat memperoleh santapan Sabda Allah secara memadai. Kedua, adanya penegasan partisipasi aktif umat, participatio actuosa, dalam berliturgi. Artinya Gereja mencita-citakan suatu Liturgi yang dimengerti, dipahami dan dihayati umat secara sadar dan yang melibatkan umat secara penuh dan aktif.
Pembaruan dan cita-cita yang telah berhasil dilahirkan oleh Konsili Vatikan II 50 tahun yang lalu dan yang telah berhasil mendorong dan melahirkan banyak perubahan dan kemajuan dalam kehidupan Gereja selama 50 tahun ini, itulah yang disyukuri dan dirayakan dalam Perayaan Pesta Emas Sacrosanctum Concilium ini. Selain itu perayaan syukur ini, juga merupakan momentum yang sangat penting untuk mengadakan refleksi dan introspeksi atas Liturgi yang dilaksanakan sesudah 50 tahun Sacrosanctum Concilium, khususnya di Indonesia.
Tanggapan dan Harapan
Lahirnya pembaharuan Liturgi oleh Konsili Vatikan II telah mendapat tanggapan dan dilaksanakan dengan penuh semangat oleh Gereja di seluruh dunia. Juga di Indonesia pembaruan itu mendapat tanggapan dan telah melahirkan semangat dan kreatifitas yang tinggi dalam kehidupan Liturgi Gereja, di keuskupan-keuskupan dan dan paroki-paroki. Kalau diperhatikan baik-baik nampak sekali bahwa bagian terbesar dari hidup menggereja yang dilakukan atau disibuki oleh umat sehari-hari sepanjang tahun adalah Liturgi dengan pelbagai macam kegiatan peribadatan. Semakin banyak umat yang pergi ke Gereja pada Hari Minggu dan karena itu Gereja selalu penuh. Terlebih pada hari-hari Perayaan Besar seperti Natal dan Paskah atau pesta besar Gereja, Gereja tidak bisa lagi menampung umat yang datang berduyun-duyun, bahkan sekalipun jadwal perayaan misa telah ditambah menjadi lebih satu kali. Demikian juga pada hari-hari biasa yang bukan hari Minggu, banyak umat yang rajin dan setia mengikuti misa harian di Gereja, selain itu ada juga kegiatan doa kelompok, aneka devosi, pendalaman iman, kelompok Kitab Suci, Kerahiman Ilahi, Jalan Salib, dan lain sebagainya. Belum lagi kegiatan ibadat yang dilakukan di wilayah atau lingkungan, Ekaristi atau doa lingkungan setiap hari atau setiap minggu sepanjang tahun. Memang kelihatan sekali bahwa semangat hidup berliturgi di kalangan umat sangat tinggi, sesudah lahirnya Konstitusi Liturgi, Sacrosanctum Concilium, Konsili Vatikan II. Kegiatan ibadat merupakan kegiatan yang paling banyak menyedot perhatian dan waktu umat dibandingkan dengan kegiatan gerejani lainnya. Konon menurut sebuah survei dari seluruh kegiatan kehidupan mengereja umat Katolik: 60% untuk kegiatan Liturgi (ibadat/doa), 20% untuk kegiatan katekese, dan 20% sisa untuk semua kegiatan lainnya.
Dari satu pihak tentu saja hal itu menggembirakan, kegiatan Liturgi mendapatkan perhatian yang sangat signifikan. Namun dari lain pihak sangat perlu bahwa Gereja, umat beriman juga mengadakan refleksi dan evaluasi atas hidup dan kegiatan Liturgi yang sudah dilaksanakan selama ini, apakah hal tersebut sudah sesuai dan sejalan dengan maksud atau tujuan pembaruan yang dicita-citakan oleh Sacrosanctum Concilium, Konsili Vatikan II. Apakah kegiatan Liturgi umat/Gereja selama ini membantu umat untuk semakin beriman, semakin bersatu dengan Kristus, semakin bersatu sebagai orang beriman, dan semakin melayani sesuai semangat Injil? Karena bukankah tujuan utama dari perayaan Liturgi adalah meneguhkan iman, membangun persaudaraan (mempersatukan umat) dan menjiwai pelayanan? Jadi Liturgi, terlebih dalam arti sebagai sakramen, terutama Perayaan Ekaristi, bukanlah suatu aktivitas seremoni ibadat semata atau suatu kegiatan rutin bersama yang dipimpin oleh imam/pastor, melainkan suatu momentum perjumpaan pribadi seseorang dan umat bersama sebagai communio dengan Yesus Kristus, dengan Tuhan, dalam perayaan Liturgi di mana Sabda Tuhan didengarkan lewat bacaan Kitab Suci dan kehadiranNya dirasakan dan dialami secara sakramental (dalam tanda/simbol). Perjumpaan dengan Tuhan inilah yang menentukan dan mengubah segalanya pada diri orang beriman.
Tak ada salahnya bertanya secara kristis pada diri sendiri, introspeksi diri sendiri dalam hidup dan berkegiatan Liturgi kita. Karena boleh jadi, kegiatan Liturgi yang semarak dan ramai dilakukan, lebih dipahami dan dihayati sebagai kegiatan ritual keagamaan yang wajib dilakukan dan rutin dilaksanakan, merupakan suatu keharusan untuk dilakoni, demi ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan hidup duniawi? Liturgi tak terhindarkan hanya menjadi perayaan ritual rutin, otomatis, wajib, memberi rasa nyaman, menghapus dosa, dst., tanpa perlu pusing memahami atau mengerti apa sebetulnya yang terjadi dalam Liturgi? Mungkin juga kegiatan Liturgi dipahami dan dilihat sebagai tempat atau ajang untuk bersosialisasi, untuk aktualisasi diri, melayani (dalam arti meluangkan waktu untuk berkegiatan), bahkan tidak sedikit yang juga melihatnya sebagai kesempatan untuk tampil atau untuk berlatih tampil di depan orang banyak. Maka kalau demikian, Liturgi akan lebih dilihat sebagai kesibukan ritual sosial umat semata daripada memahaminya sebagai peristiwa perjumpaan dengan Tuhan sendiri?
Selain itu pelaksanaan ibadat/Liturgi yang wajib dan rutin, tanpa disadari bisa juga dipahami dan dihayati sebagai tindakan atau kegiatan suci dan saleh yang harus dilakukan setiap hari atau setiap minggu sepanjang tahun karena kegiatan tersebut memberikan kita citra, image, cap, label, atau brand sebagai orang baik, orang yang rajin beribadah, rajin berdoa, bukan orang buruk hati, bukan orang tidak baik, dst, untuk menempatkan diri kita sendiri dalam lingkungan dan tatanan sosial agar kita diterima, dipercaya dan diperlakukan oleh sesama dengan baik? Dengan demikian kegiatan Liturgi dan ibadat dimaksudkan untuk mendapatkan legitimasi legal dan formal atas kesalehan sosial seseorang dalam masyarakat sebagai orang takwa, orang beriman dan layak dipercaya dan diterima oleh sesama? Kegiatan ibadat/Liturgi dengan motivasi seperti itu memang lalu menjadi kewajiban, urusan dan kesibukan, namun lebih bermuatan kepentingan pribadi, kepentingan duniawi, gengsi, citra, nama baik, dst. Kalau demikian maka, kegiatan ibadat/Liturgi jauh dari cita-cita Sacrosanctum Concilium yaitu untuk meneguhkan iman (semakin bersatu dengan Tuhan), membangun persaudaraan dan menjiwai pelayanan kasih. Pemahaman dan motivasi yang keliru atau tidak benar terhadap Liturgi, inilah yang menyebabkan adanya gap (jurang) yang begitu lebar antara perilaku beribadat (liturgis) seseorang yang kelihatannya saleh, anggun, santun, dan tawakal dengan perilaku sosial kesehariannya yang faktual buruk, tidak baik dan tidak benar. Kegiatan Liturgis bisa lalu menjadi topeng bagi penampilan seseorang di tatanan sosial, karena mungkin saja orang itu pemarah, pendendam, membenci sesama, memusuhi orang lain, suka berbicara kotor, menipu, korupsi, dst?
Padahal sejatinya Liturgi menyadarkan dan mengajarkan perubahan, pertobatan, pengampunan serta meneguhkan iman dan pelayanan kasih. Yang dirayakan dalam Liturgi/Ibadat, terutama Ekaristi adalah karya agung pengampunan dan penebusan Allah untuk manusia. Maka merayakan Liturgi adalah menjumpai Allah sendiri yang adalah pembebas manusia dari segala dosa, kebusukan dan kematian, dalam Yesus Kristus Putera Allah, dan dibimbing oleh Roh Kudus, sehingga kita boleh mengambil bagian dalam kemuliaan Tuhan, dan itulah keselamatan. Jadi seharusnya, apa yang diterima umat dengan iman dan secara sakramental dalam perayaan Liturgi, nampak nyata dan memberikan dampak nyata dalam tingkah laku keseharian mereka. Apa yang telah diperoleh dalam Liturgi menjadi sumber kekuatan dan acuan untuk hidup di dunia, dalam keluarga dan dalam hidupnya di tengah masyarakat.
Karena itu, di tengah dunia yang terus menerus hiruk-pikuk dengan pelbagai perubahan duniawi, yang cenderung semakin materialistis, mengajarkan keserakahan dan menjauhi Tuhan, Liturgi/ibadat kita, seharusnya menjadi sumber pendidikan atau sekolah perubahan, dengan metodenya yang khas, “perayaan” (memuliakan Tuhan), dimana yang duniawi dan manusiawi dibuat menjadi surgawi dan ilahi, yang lemah dan takut dibuat menjadi kuat dan berani, yang terluka dan sakit dibuat menjadi sembuh dan sehat, yang terbelenggu dibuat menjadi bebas merdeka, yang bermusuhan dibuat menjadi berdamai, yang tercerai-berai dibuat menjadi bersatu, yang dikuasai roh jahat dibuat menjadi penuh Roh Kudus, yang berdosa dibuat menjadi kudus, dan yang biasa dibuat menjadi luar biasa. Itulah Harapan. Sometimes to know what is right, we need to see what is wrong. *** Penulis: RD. VICTOR PATABANG, Ketua Komisi Liturgi KAMS
Sumber:
Fr. Bede McGregor OP, The Eucharist and Evangelisation, dlm majalah The Voice of the Legion of Mary, Edisi 2013.
DR. Bernardus Boli Ujan, SVD, Liturgi Sebagai Sekolah Doa dan Sekolah Iman, Paper dalam Colloqium Liturgicum, ILSKI di Bandung, 13 -15 Juni 2013.
DR. Yap Fu Lan, Katekese Liturgis, Katekese Perayaan Iman, Paper dalam Colloqium Liturgicum, ILSKI di Bandung, 13 – 15 Juni 2013.
Mgr. DR. Ignatius Suharyo, Ekaristi, Kanisius,Yogyakarta, 2011
Bosco da Cunha O.Carm dan RD. Martasudjita, tentang Sacrosanctum Concilium, dalam LITURGI, Sumber dan Puncak Kehidupan, Vol.24, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar