Dulu saya bercita-cita menjadi tentara atau polisi atau pilot. Saya bercita-cita demikian karena tentara atau polisi itu ditakuti orang, punya senjata dan bisa menembak apa saja (pikiran saya pada waktu itu), punya kendaraan perang, membawa senjata ke mana saja, bisa berperang, dan kelihatan gagah berani dengan seragamnya. Maka ketika melihat tentara atau polisi, saya senang dan bangga sambil berfantasi telah menjadi tentara atau polisi. Demikian halnya ketika melihat pilot dalam film-film dengan seragam dan kacamata serta ketikan menerbangkan pesawat dengan manuver-manuver yang luar biasa, menimbulkan kekaguman dan niat ingin seperti mereka. Namun seiring perjalanan waktu, ternyata cita-cita itu tetap tergantung di langit tinggi.
Perjalanan hidup saya menjadi imam berawal dari proses tes masuk Seminari (tahun 2000). Pada saat ditanya, dalam tes wawancara, “mengapa ingin masuk Seminari?” saya menjawab “karena saya ingin jadi pastor”, harapannya supaya lulus masuk Seminari. Karena jika saya jawab ingin jadi tentara/polisi/pilot, pasti saya tidak akan lulus dan mungkin akan dikomentari salah “jurusan” serta mendapat omelan dari orang tua dan Om saya (seorang pastor) yang mendorong saya supaya masuk Seminari. Alhasil saya dinyatakan lulus, padahal dari enam orang yang mengikuti tes untuk KPB (Kelas Persiapan Bawah), ada tiga orang yang diperkirakan akan lulus dan saya adalah salah satu orang yang tidak termasuk dari ketiga orang tersebut. Namun, pada waktu itu saya merasa bahwa Tuhan punya suatu rencana pada saya.
Minggu awal di Seminari merupakan “minggu penderitaan”. Saya merasa sunyi walaupun banyak orang dan merasa malu; makan hanya sedikit karena malu-malu, padahal kalau di rumah makan banyak; bicara seperlunya karena malu-malu; tidak bisa main dan kejar layangan; tidak bisa mancing lendong di sawah karena tidak ada sawah dan tidak bisa duduk di dekker kalau sore; tiap hari bangun subuh, doa dan misa, belajar dan opera (kerja: menyapu, mengepel, membersihkan kebun/kelas/WC-KM, dll.). Hal yang jarang saya lakukan sebelumnya. Saat-saat itu adalah saat yang sulit bagi saya menjalani dan mengikuti irama hidup di Seminari. Semua serba diatur dari bangun pagi sampai bangun pagi hari berikutnya. Terus menerus setiap hari, minggu, bulan dan tahun. Kadang-kadang membosankan, namun menyenangkan jika dinikmati.
Seiring perjalanan waktu, muncul pertanyaan pokok dalam diri saya: “Apakah sungguh saya ingin menjadi imam?” Ketika melihat teman-teman saya yang berada di luar Seminari dan melihat kehidupan real di luar tembok Seminari, saya mempunyai keinginan lain yakni berjuang hidup seperti yang dialami oleh mereka yang berada di luar tembok Seminari. Saya mempunyai keinginan bekerja dan mempunyai penghasilan yang cukup untuk diri saya dan orangtua serta saudara-saudara saya. Namun, kecintaan saya pada Seminari dan bahagia menjadi seminaris serta dorongan untuk melanjutkan perjuangan sebagai seminaris begitu besar sampai saya akhirnya menyelesaikan studi saya di Seminari Petrus Claver Makassar.
Saya mengalami bahwa Tuhan begitu baik sepanjang hidup saya dan Ia memberikan segala yang menjadi kebutuhan saya untuk suatu tujuan tertentu. Saya tidak bisa menyelesaikan perjalanan hidup dan studi di Seminari kalau bukan karena penyertaan dan kehendak-Nya. Begitu besar kasih karunia-Nya kepada saya yang setiap saat saya rasakan dan yang tidak dapat dibandingkan dan dinilai dengan apa pun. Oleh karena itu, saya mensyukuri semua itu. Saya “membalas” kasih karunia-Nya (ungkapan syukur) dengan panggilan hidup untuk menjadi imam, yang telah saya mulai sejak tahun 2000. Saya tidak menjadi tentara atau polisi, tetapi saya menjadi “tentara” dan “polisi” sabda-Nya. Saya juga tidak menjadi pilot, tetapi saya menjadi “pilot” Gereja-Nya. Saya bersyukur kepada-Nya karena Ia yang telah menuntun dan menguatkan saya dan menganggap saya setia dan mempercayakan kepada saya suatu karya pelayanan (bdk. 1 Tim 1:12).
Hal itulah yang memotivasi saya untuk tetap setia pada jalur imamat dan tetap bersemangat. Saya menganggap panggilan hidup yang saya jalani adalah ungkapan syukur saya kepada-Nya. Jika Ia menganggap saya layak mengambil bagian dalam karya pelayanan-Nya maka saya menerima karya pelayanan ini. Panggilan yang saya jalani ini bukanlah tugas atau pekerjaan yang dibebankan oleh “pihak lain” kepada saya. Panggilan ini adalah pilihan dan kehendak bebas saya dan jawaban saya atas panggilan-Nya. Oleh karena itu, saya bahagia menjalaninya. Dia memanggil saya dan saya menjawab panggilan-Nya. Yang mendorong sekaligus menguatkan saya dalam panggilan ini bukan pertama-tama orang-orang yang ada di sekitar saya, tetapi Ia yang telah memberikan kasih karunia-Nya dan saya yang mensyukuri kasih karunia tersebut. Saya bersyukur kepada Dia yang telah memanggil dan mengaruniakan rahmat-Nya pada saya dan menerima pelayanan sekarang ini dan kelak yang Ia percayakan kepada saya. Dan dalam semua itu, Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil (Yoh 3:30).
Jadi imam itu relatif mudah, tetapi menjadi seorang imam yang baik (menjadi teladan bagi semua orang) itu tidak mudah. Tetapi karena Ia yang memanggil dan mengaruniakan rahmat-Nya, maka segala tantangan dan kesulitan pasti selalu berada dalam pengetahuan-Nya dan karenanya saya yakin bahwa saya mampu menjalani semuanya dalam Dia. Segala konsekuensi dari pilihan hidup ini saya terima dalam Dia yang memberikan kekuatan kepada saya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar