Menjadi imam/pastor bukanlah cita-citaku waktu kecil. Ketika belum sekolah cita-cita saya sangat sederhana, menjadi kondektur mobil alias korone’ oto (tidak kerennyami kodong!). Tidak tahu mengapa pekerjaan itu menjadi begitu menarik buat saya. Mungkin karena dulu saya sering ikut ibu saya ke pasar dan lihat bagaimana para kondektur mobil itu bekerja. Mereka sangat cekatan mencari penumpang serta mengangkat barang-barang bawaan penumpangnya dan setelah sampai tujuan mereka mengumpulkan uang sewa dari para penumpang. Jadi selain kerjanya mulia dia juga banyak pegang uang (ternyata uang itu bukan miliknya).
Cita-cita saya untuk menjadi kondektur mobil kandas di rerumputan, eh... maksudnya di tengah jalan. Pasalnya sejak kelas satu Sekolah Dasar ayah saya punya usaha sampingan jual beli kerbau. Kerbau dibeli dari pasar hewan lalu dipelihara beberapa waktu lalu dijual kembali dan sayalah yang ditugaskan memeliharanya di rumah. Waktu peliharaannya tidak terlalu lama namun berganti terus sehingga status saya waktu kecil selain sebagai anak sekolah juga sebagai pangkambi’ tedong alias gembala kerbau. Pekerjaan di rumah sebagai tukang gembala kerbau hampir berlangsung terus sampai menjelang saya masuk seminari di Makassar. Saya tertarik masuk seminari karena terkesan dengan anak-anak seminari setiap kali mereka pulang liburan ke paroki saya dan menampilkan banyak acara di gereja. Saya merasa mereka mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan rekan-rekan sebayanya yang lain yang tidak masuk seminari dan saya ingin menjadi bagian dari mereka. Yaaa... selain itu kalau masuk seminari pasti saya juga tidak akan menjadi penggembala kerbau lagi, hehe...
Akhirnya setelah tamat SMP saya bersama dengan rekan-rekan saya ikut tes seminari di Makale tanpa sepengetahuan orang tua pada waktu itu. Dari 16 orang yang ikut tes dari parokiku, 4 orang yang dinyatakan lulus. Saya baru menyampaikannya ke orangtua, setelah ada pengumuman dari seminari bahwa saya lulus, dan syukurlah mereka mengijinkan saya untuk pergi ke Makassar meskipun ayah sangat ragu dengan keputusan saya untuk masuk seminari di Makassar. Masalahnya, sejak saya kecil saya jarang sekali tinggal di luar rumah. Kemana pun pergi saya selalu ingin pulang ke rumah (anak mami kali yaaa??). Makanya ayah saya sangat tidak yakin kalau saya bisa bertahan tinggal dalam asrama. Dia katakan kepada saya kalau saya hanya bisa tinggal di sana paling lama 2 minggu lalu pulang ke rumah. Rupanya apa yang dipikirkan oleh ayah saya tidak seperti yang dikehendaki Tuhan. Memang saya sendiri juga pada waktu itu masih ragu apakah saya bisa atau tidak, namun mungkin itulah rencana Tuhan yang ingin memanggil saya untuk suatu tugas tertentu bagi-Nya.
Bersama dengan ke-50 rekan yang lain, saya mulai menjadi penghuni Sarang Gagak (sebutan untuk seminari menengah yang terletak di jl. Gagak Makassar) terhitung sejak 19 Juli 2000. Perjalanan hidup di Seminari Menengah di Makassar saya lalui dengan biasa saja meskipun di awal-awal masuk banyak rekan-rekan yang akhirnya kabur karena tidak biasa dengan kehidupan asrama. Banyak suka-duka kehidupan selama 4 tahun di seminari menengah namun karena bimbingan Tuhan saya bisa menjalani pendidikan di sana sampai tamat kelas III. Dari 50 orang yang masuk di kelas persiapan bawah (KPB) pada waktu itu, yang akhirnya lulus sampai kelas III tinggal 13 orang. Dari 13 orang tersebut, 4 di antaranya yang memilih untuk meneruskan pendidikan sebagai calon imam diosesan untuk Keuskupan Agung Makassar (KAMS) termasuk saya, 4 orang masuk ke CICM, 1 orang MSC dan 4 orang memilih untuk kuliah di luar.
Keputusan saya untuk memilih menjadi imam pada waktu itu tidak lepas dari permenungan diri saya tentang perjalanan hidupku. Saya merasa bahwa Tuhan selama ini banyak menunjukkan cinta-Nya untuk saya lewat berbagai peristiwa dalam hidup saya. Maka kini ketika ada kesempatan untuk juga membagikan cinta Tuhan kepada sesama melalui pelayanan yang khusus, mengapa saya harus menolak. Selanjutnya mengapa saya memilih menjadi imam diosesan, ini juga tidak lepas dari pengalaman masa kecil saya yang cinta rumah sendiri. Saya berpikir mengapa saya harus pergi ke tempat lain untuk berkarya jika di tempat saya sendiri saya bisa dan boleh melakukan itu.
Akhirnya saat ini setelah melalui proses pembinaan yang cukup panjang dan karena kehendak Dia yang memanggil saya, saya memutuskan untuk menjadi imam-Nya. Sekarang juga baru saya sadar bahwa apa yang saya tinggalkan dulu yakni menjadi penggembala akhirnya kembali lagi. Hanya saja sekarang bukan lagi menjadi penggembala kerbau tetapi menjadi penggembala umat Tuhan. Di sini saya merenungkan, mungkinkah Tuhan memang telah mendidik dan mempersiapkan saya untuk pekerjaan ini. Tuhan ingin bahwa sebelum saya menjadi penggembala umat-Nya saya terlebih dahulu harus latihan menjadi penggembala kerbau. Menjadi penggembala kerbau itu gampang-gampang susah. Dibutuhkan ketekunan karena kalau malas, kerbaunya bisa mati kelaparan. Dibutuhkan kesabaran, karena kerbau itu biasa dikatakan binatang paling bodoh. Dibutuhkan pengorbanan karena harus mengorbankan banyak waktu untuk mengurus kerbau, waktu bermain, waktu belajar dan lain-lain, bahkan kadang-kadang kerbau lebih terurus daripada diri sendiri. Misalnya kerbaunya selalu dimandikan tiap hari tetapi orangnya belum tentu mandi atau paling tidak mandi bersama-sama kerbaunya. Juga jika dilihat dari untung ruginya, saya tidak pernah diberikan gaji oleh ayah saya sebagai upah seperti penggembala zaman sekarang di Toraja. Pokoknya tugas saya hanya memelihara saja. Kalau kerbaunya salah urus atau bahkan lepas dan pergi merusak sawah dan tanaman orang, sayalah yang dicaci-maki dan dimarahi oleh pemilik kebun atau sawah, bukan bapak saya, bukan kerbaunya. Akan tetapi jika kerbaunya dijual, hasilnya bukan urusan saya.
Intinya menjadi penggembala kerbau dulu ternyata telah mengajari saya tentang arti kata TANGGUNG JAWAB dan PENGORBANAN. Oleh karena itu, kalau dulu saya mungkin malu disebut sebagai penggembala, sekarang justru saya sangat bersyukur dan bangga pernah menjadi pengembala. Yesus pun dalam menjelaskan tentang tugas perutusan-Nya di dunia ini, menggambarkan diri sebagai seorang Gembala yang Baik (bdk. Yoh 10:1-11). Tentu saja saya belumlah seperti yang digambarkan oleh Yesus dalam Injil Yohanes itu. Masih begitu banyak kelemahan dan kekurangan yang ada dalam diri saya yang kadang-kadang membuat diri saya merasa tidak layak untuk menerima tugas perutusan ini. Apalagi di zaman sekarang begitu banyak tantangan untuk menjadi seorang imam dan hidup sebagai seorang imam.
Akan tetapi dalam iman saya kembali meneguhkan diri dan berani untuk menjawab pangilan-Nya menjadi seorang gembala di tengah-tengah umat-Nya. Itulah sebabnya motto yang saya angkat dalam tahbisanku ini saya kutip dari Surat Rasul Petrus yang berbunyi: “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7). Yaaa... memang ada begitu banyak hal yang bisa membuat kita selalu kuatir, takut dan cemas namun semoga berkat pemeliharaan-Nya saya dimampukan untuk menerima tugas perutusan ini. Dan akhirnya, semoga Allah yang telah memulai karya baik dalam diriku Ia pula yang akan menyempurnakannya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar