Pertanyaan:
Saya seorang ibu rumah tangga, beragama katolik, berstatus janda cerai, sekarang berdomisili tetap di Papua. Saya dan mantan suami saya yang juga beragama katolik, menerima sakramen perkawinan di Makassar sekitar 27 tahun yang lalu; kami tidak menikah sipil. Rumah tangga kami berjalan rukun hingga usia perkawinan 10 tahun, sesudahnya dilanda badai perkawinan yang tak kunjung surut. Akhirnya, pada usia perkawinan 13 tahun, saya dan mantan suami saya sepakat baik-baik untuk bubar. Dari perkawinan ini kami mempunyai 3 orang anak yang sekarang sudah besar dan mandiri semua. Sejak 10 tahun yang lalu, mantan suami saya sudah hidup bersama dengan wanita lain dan rupanya mereka hidup rukun dan bahagia. Untuk selanjutnya, bagaimana pastor dengan status perkawinan saya yang diberkati di Makassar?
Jawaban:
Saya dapat memahami pergumulan yang terjadi dalam rumah tangga ibu; saya yakin ibu dan mantan suami tidaklah menghendaki prahara ini terjadi sebab semua pasangan suami isteri ketika baru menikah bercita-cita agar rumah tangganya kelak langgeng dan bahagia. Dan memang salah satu sifat dari perkawinan katolik adalah indissolubilitas (tidak dapat diputuskan); sifat lainnya unitas (kesatuan).
Untuk selanjutnya saya sarankan kepada ibu untuk menghadap pastor paroki di tempat tinggal ibu sekarang dengan membawa riwayat perkawinan yang isinya antara lain bagimana kisahnya sehingga ibu menikah dengan mantan suami ibu, bagaimana suasana dalam tahun-tahun permulaan perkawinan ibu, manakah persoalan pokok yang terus menerus menimbulkan konflik dengan mantan suami ibu yang akhirnya berujung pada "bubar" (istilah yang ibu gunakan di atas). Ikutilah saran-saran yang diberikan pastor paroki ibu.
Dapat terjadi bahwa pastor paroki menyarankan agar ibu menjalani hidup sekarang sebagai orang beriman apa adanya sebab sesudah mempelajari riwayat perkawinan ibu, pastor paroki mempunyai kepastian moral bahwa perkawinan ibu dan mantan suami ibu sah adanya.
Namun bilamana pastor paroki menemukan sejumlah indikasi bahwa perkawinan ibu sejak awal bahkan menjelang hari H pemberkatan, ditandai masalah serius, khususnya berkenaan kesepakatan, KHK 1983 Kanon 1095-1107, maka apabila itu dikehendaki ibu dan dipandang bijaksana oleh pastor paroki, silakan datang konsultasi lebih lanjut di Kantor Tribunal Gerejawi, bisa di keuskupan anda di Papua bisa juga di Keuskupan Agung Makassar. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar