Selasa, 05 Januari 2016

WORKSHOP GEREJA YANG MEMASYARAKAT

Pada tahun 2009 Paroki Santo Paulus Tello Keuskupan Agung Makassar. telah menetapkan visi dan misinya sebagai cita-cita dan harapan yang ingin diwujudkan. Adapun visi Paroki St. Paulus Tello yakni, “Terwujudnya Paroki Mandiri, Gereja yang Beriman Dewasa dan Memasyarakat”.
Dalam rangka membangun komunitas yang beriman dewasa dan memasyarakat maka amat diperlukan  pengetahuan dan pemahaman terhadap persaudaraan sejati dalam perspektif katolik, lembaga agama dan dinamika sosial politik dan kemasyarakatan. Sehubungan dengan itu, Paroki St. Paulus Tello mengadakan Workshop Gereja yang Memasyarakat, yang dilaksanakan pada tanggal 5-6 September 2015 di Sang Tunas CICM Makassar. Tema  Workshop  yakni, Lembaga Agama dan Dinamika Sosial Politik dan Kemasyarakatan.
 Workshop yang dibuka secara resmi oleh Bapak Untung Nugroho, Pembimas Katolik Propinsi Sulawesi Selatan, dihadiri oleh 75 orang peserta dari rukun-rukun di paroki Tello, dan moderator adalah Antonius Sudirman, S.H.,M.Hum. serta  menghadirkan  narasumber   sebagai berikut:   P. Rofinus Romanus Rasa, CICM (Katolik), P. Marsel Lolo Tandung, Pr.Lic (Katolik), Pdt. Untung Wijayaputra, S.Th (Protestan), Prof Dr. H. Abdul Rahim Yunus, MA (Islam), Nyoman Supartha, SE (Hindu), Biksu Siriratono (Budha), JS. Erfan Sutoro, S.FT.,Phyisio (Kong Hu Cu) dan Drs. Ishak Ngeljaratan, MA (Budayawan).
Kegiatan workshop ini bertujuan antara lain:  (1) Mewujudkan visi gereja yang beriman dewasa dan memasyarakat menuju habitus baru dalam pelayanan, (2) Membekali umat tentang persaudaraan sejati dalam persfektif gereja Katolik dalam hidup bermasyarakat, (3) menyadarkan umat agar berpartisipasi dalam membangun kerukunan antar umat beragama, (4)  memahami Gereja dan dinamika sosial kemasyarakatan dalam persfektif budaya yang berakar dalam masyarakat, (5) membangkitkan  kesadaran umat agar terlibat aktif dalam pelayanan pastoral baik di rukun, paroki maupun dalam masyarakat.
Dalam pemaparannya Pastor Rofinus Rassa menegaskan bahwa dalam syahadat para rasul telah diikrarkan bahwa sifat hakiki Gereja Katolik adalah satu, kudus, katolik dan apostolik maka Gereja terbuka untuk mewujudkan karya penyelamatan Allah. Umat Katolik diutus untuk melibatkan diri dan berperan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, peduli sesama dan  lingkungan serta  membela kebenaran dan keadilan.
Pastor Marsel Lolo Tandung mengatakan, dalam dokumen gereja Nostra Aetate dijelaskan bagaimana Gereja hendaknya mewujudkan persaudaraan sejati. Gereja diutus untuk menjadi garam dan terang bagi bangsa-bangsa. Oleh karena itu melalui workshop ini diharapkan dapat mengubah paradigma umat untuk tidak bersikap eksklusif melainkan inklusif dalam membangun hidup bermasyarakat. Dalam hal ini umat Katolik membuka diri dan  membina hubungan yang baik dengan umat beragama lain yang dilandasi kasih dan persaudaraan sejati.
Pdt Untung Wijayaputra menegaskan, Gereja  merupakan  bagian integral dari bangsa dan Negara Republik Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam  suku, agama, ras dan adat istiadat. Karena itu Gereja dan orang kristen tidak boleh berpaham primordial/sektarian  melainkan harus berwawasan kebangsaan yang kukuh dan utuh. Selanjutnya, Pdt Untung mengingatkan, Gereja harus bersikap cerdas dan responsif dalam menganalisis tanda-tanda zaman dan melakukan hal-hal positif-konstruktif dan terus menerus mengembangkan relasi dialogis dengan berbagai komponen  masyarakat, pada gilirannya akan terwujudnya kehidupan  yang rukun dan  harmonis.
Prof. Rahim Yunus menegaskan, Islam merupakan rahmatan lil alamin atau menjadi berkah bagi sesama. Hal ini menunjukkan bahwa Islam terbuka dalam membangun komunikasi yang harmonis, toleran dan berjuang mewujudkan damai sejahtera. Sebagai implentasinya bahwa PBNU kini membentuk  Islam Nusantara dengan misi damai untuk semua.
Nyoman Supartha menjelaskan bahwa masyarakat Hindu dalam kehidupan sosial keagamaannya tetap berlandasarkan konsep Desa Kala Patra. Umat Hindu dalam menjalankan berbagai kegiatan keagamaan dan pola berkehidupan di masyarakat  harus bisa menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan kondisi alam setempat. Hubungan sosial yang dinamis dalam setiap pelaksanaan aktivitas di lingkungan masyarakat multikultur seperti Makassar ini, terbentuk tanpa mengabaikan rasa toleransi baik antar sesama Hindu, dan antar umat beragama lainnya.
Biksu Siriratono menguraikan tentang pertapaan para budha  yang berjuang mencapai kesucian batin. Dalam hidup tidak boleh sikut-sikutan yang berujung pada konflik. Konflik timbul dari ideologi, pemikiran, rumah tangga, kepentingan. Dalam ajaran Budha ditegaskan,  berusahalah melepaskan diri dari keterikatan, menghindarkan diri dari konflik. Jangan membawa perbedaan sebagai sumber konflik. Berjuanglah membangun karakter diri,  mengarahkan diri pada kebahagiaan, menjaga kebersamaan dalam masyarakat, tidak saling       menyakiti
JS. Erfan menegaskan bahwa Jalan Suci Tidak Jauh Dari Manusia yaitu tidak melakukan yang tidak ingin orang lain lakukan pada kita (tepasalira). Karena ingin maju, kita memajukan orang lain, karena ingin tegak, menegakkan orang lain. Memperlakukan orang lain dengan contoh yang dekat (diri sendiri).  Hidup menjadi hidup karena perubahan, perubahan tentu melahirkan perbedaan dan perbedaan memerlukan toleransi, solidaritas dan harmoni, agar perbedaan itu tidak dipertentangkan melainkan terserasikan. 
Budayawan Ishak Ngeljaratan menegaskan bahwa Gereja yang Memasyarakat dan Masyarakat yang Menggereja akan mendapat berbagai tantangan dalam perjalanan hidup ke depan.  Jika perbedaan suku,  agama, ras, dan  budaya dipandang sebagai tantangan yang diberi reaksi tanpa pemikiran yang matang  maka perbedaan sebagai anugerah Ilahi menjelma menjadi racun dalam  hidup bersesama. Namun, semestinya tantangan harus dijawab secara   responsif-holistik tanpa berburuk sangka dan rasa curiga yang tak wajar. Dalam hal ini, nilai kasih yang berkeadilan harus dijadikan pengendali akal, kemauan, dan hati yang dapat membangun sikap benar dalam tutur kata dan tindakan kepada umat manusia yang hidup di atas pulau yang berbeda-beda sebagai suku-suku, etnis dengan budayanya yang juga berbeda-beda. *** Penulis: Paulus Rante

Tidak ada komentar: