Pada 14-18 Oktober 2015 bertempat di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Jawa Tengah, dilangsungkan Perayaan HPS 2015 dan Perayaan 25 tahun Deklarasi Ganjuran. Deklarasi pada 16 Oktober 1990 di Ganjuran disponsori oleh Federasi Konperensi Para Uskup se-Asia (FABC) yang dihadir oleh para pemerhati pertanian se-Asia. Yang menurut kesaksian Rm Utomo Pr sendiri langsung mendapat izin atas rekomendasi badan PBB dalam hal ini FAO.
Apa yang terjadi di Ganjuran saat itu? Deklarasi Ganjuran berisikan ajakan kepada masyarakat untuk membangun pertanian dan pedesaan yang lestari. Artinya berwawasan lingkungan (ecologically sound), bersahabat dengan alam; murah secara ekonomis sehingga tergapai (economically feasible); sesuai dengan/berakar dalam kebudayaan setempat (culturally adapted/rooted) dan berkeadilan sosial (socially just). Singkatnya menjadi berkat bagi siapa saja dan apa saja demi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Inilah dasar moral dan spiritualitas gerakan pertanian dan pedesaan lestari.
Misi dan programnya adalah pola produksi lestari/organik yaitu meliputi pengendalian hama penyakit secara alami; pengolahan tanah dan air, menjaga keseimbangan kandungan-kandungan nutrisi dalam tanah sehingga unsur-unsur yang dikembalikan lagi ke tanah. Penggunaan benih asli kaum petani. Pola konsumsi lestari/organik. Pangkal kesehatan bukan obat tetapi makanan yang sehat. Menghayati gaya hidup lestari/organik. Menanggalkan konsumerisme: tidak ikut-ikutan bergaya hidup serakah dan gengsi, yang bermental ingin memiliki apa saja atau apa saja ingin dimiliki. Mengembangkan gaya hidup lestari/organik yaitu mengembangkan gaya hidup untuk semakin menemukan diri. Untuk semakin menjadi berkat bagi siapa saja dan apa saja demi keadilan, kedamaian dan keutuhan ciptaan (Kej.2:3-4).
Tepat 16 Oktober 2015 genap 25 tahun Deklarasi Ganjuran. Para peserta Pernas HPS, yang berasal dari semua keuskupan diajak berefleksi: “sejauh mana dampak Deklarasi setelah 25 tahun”. Untuk mempertajam refleksi kemudian peserta bereksposur ke komunitas-komunitas yang mulai mencoba menjalankan program pertanian yang lestari/organik. Dari beberapa komunitas yang dikunjungi oleh peserta, salah satu yang menarik adalah komunitas SD Kalirejo. Rupanya sekolah ini sudah lama memberlakukan kegiatan/program tani organik tanpa mengurangi jam pelajaran sekolah. Anak-anak mulai dididik mulai pada menyeleksi bibit tanaman, pembibitan, pemeliharaan sampai pada panen. Menurut kami suatu inovasi dalam dunia pendidikan agar anak-anak sejak dini paham tentang pangan sehat.
“Merajut mimpi mewujudkan pertanian dan pedesaan lestari melalui pendidikan kelestarian lingkungan hidup bagi generasi muda” (Green Youth Education), demikian bunyi tema perayaan HPS. Meja makan menjadi tempat yang tepat sebagai awal untuk mulai merefleksikan makna pangan ; awal untuk menggali pangan yang sehat. Pendidikan tentang pangan keluarga (bapa-ibu dan anak-anak) bersumber dari meja makan. Misalnya saja, betapa banyaknya pangan terbuang begitu saja yang asalnya dari meja makan. Betapa banyaknya pangan yang tidak sehat dari dapur di warung-warung makan dan bukan dari dapur keluarga/rumah tangga tersedia di meja makan. Sebenarnya betapa banyak pangan yang mungkin sebagian orang tidak enak tetapi justru berguna bagi tubuh manusia. Saya memiliki pengalaman ketika kecil di kampung halaman, Wale-ale. Kala itu sayuran yang paling sering tersaji di meja makan adalah daun kelor. Tanaman ini dengan mudah dapat dijumpai di kebun-kebun petani. Sayur sawi dan kol asing bagi telinga kami waktu itu. Ketika masyarakat mulai mendengar sayur sawi dan kol serta sayuran “pendatang” lain , kelor secara perlahan-lahan dilupakan oleh para petani dan masyarakat . Akhir-akhir ini tanaman ini ternyata mengandung aneka manfaat yang luar biasa. Kondisi yang demikian mudah dijumpai di tempat lain. Lebih mudah mendatangkan makanan dari warung makan dari pada menyajikan makanan hasil produk dapur kita sendiri.
Dari Ganjuran ke Stasi Kambara, Kab. Muna Barat
Pada 3-5 November 2015, bertempat di Stasi Kambara, wilayah Paroki St.Yohanes Pemandi, Raha, dilangsungkan perayaan Hari Pangan Sedunia. Peserta sekitar ratusan orang, yang adalah warga masyarakat dan umat paroki Raha. Perayaan cukup istimewa karena dibuka oleh camat setempat dan kemudian ditutup oleh Bupati Muna Barat. Pemerintah setempat cukup mengapresiasi karena pada intinya kegiatan ini merupakan bagian kegiatan yang juga diprogramkan pemerintah. Pemerintah sangat berterima kasih kepada gereja dan sedikit ‘malu’ karena gereja telah memulainya lebih dahulu. Efeknya, terjalinkan kemitraan yang baik antara gereja dan pemerintah. Inilah yang menjadi satu nilai dalam gerakan Hari Pangan Sedunia (HPS) kali ini.
Jenis-jenis kegiatan HPS kali ini, tidak jauh berbeda dengan perayaan HPS tahun lalu. Kegiatan pelatihan peternakan ayam kampung masih menjadi materi pokok karena dipikirkan beternak ayam kampung sudah lama dilakoni oleh masyarakat. Hanya saja kemampuan mereka semakin ditingkatkan lebih dari peternak ayam kampung secara konvensional. Sehingga ada pelatihan pengolahan pakan ayam dengan memperhitungkan nutrisi yang perlu bagi perkembangan ayam. Juga ada pelatihan membuat jamu untuk ayam dengan mengunakan bahan baku yang mudah dijumpai di lahan petani seperti jahe, lengkuas, kunyit, daun sirih dan lain sebagainya.
Selain pelatihan peternakan ayam kampung peserta dilatih merakit dan memproduksi air strum atau yang kadangkala dikenal dengan sebutan air alkali. Semangat yang melatarbelakangi kegiatan ini adalah para petani atau mereka yang memiliki kemampuan sangat terbatas mampu menikmati air yang sehat dengan mudah dan murah. Bapak LE Udjianto, murid dari Rm Kirjito dan aktivis PSE Keuskupan Agung Makassar terus menerus memberdayakan masyarakat .
Untuk kaum ibu-ibu, disuguhi pelatihan pengolahan pasca panen. Misalkan saja bagaimana mengolah kripik berbahan jagung, membuat dodol berbahan dasar tomat, membuat kripik berbahan dasar rumput laut. Sekali lagi, kaum ibu memiliki ketrampilan yang selanjutnya dapat meningkatkan ekonomi mereka. Dan yang lebih istimewa peserta kali ini diajari bagaimana membuat perangkap/jerat babi. Dari kawat baja slank yang dilepas satu persatu dari pintalannya kemudian dianyam serupa bubu ikan atau biasanya orang Bali di Unaaha menyebutnya “bronjong” . Bukan hanya membuat alat penangkap, peserta laki-laki turut diajarkan pula bagaimana cara berburu babi yang benar dan ramah lingkungan. Hasilnya 2 ekor masuk perangkap peserta pelatihan. Hari terakhir perayaan HPS di Kambara dirayakan dengan menikmati hasil tangkapan. Saya katakan alat ini ramah lingkungan karena babi kecil akan selalu lolos dari perangkap ini. Jadi perangkap ini agak selektif, babi yang siap konsumsi saja yang masuk perangkap. Pelatihan ini sungguh mendapatkan perhatian besar dari peserta. Cukup masuk akal karena hama petani untuk daratan P.Muna adalah babi. Selain itu juga daging babi hutan sangat digemari oleh masyarakat setempat. *** Penulis: Pastor Linus Oge, Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi KAMS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar