Selasa, 05 Januari 2016

PERNAS KATEKIS 2015: KATEKIS SEBAGAI SAKSI IMAN DAN MORAL DI TENGAH KELUARGA DAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Judul tulisan ini merupakan tema pertemuan nasional katekis yang berlangsung pada  22 – 25 September 2015 di Muntilan, Jawa Tengah. Tema tersebut tentunya menggambarkan harapan dan cita-cita Gereja Katolik Indonesia tentang Katekis, baik pribadi maupun tugas atau karyanya. Siapa/apa Katekis itu? Secara umum Katekis dipandang (dimengerti) sebagai pembantu imam atau perpanjangan tangan pastor dalam melaksanakan tugas-tugas pewartaan, pengajaran agama dan pendampingan umat dalam lingkungan paroki atau stasi-stasi (umat diaspora yang tersebar di pelosok pedesaan). Gambaran tugas tersebut menunjuk pada fungsi dan status Katekis di tengah umat sebagai petugas utama pelayanan pastoral. Terutama mereka yang diangkat/dilantik secara resmi oleh keuskupan atau paroki sebagai tenaga pastoral khusus.

Apa Peran dan Fungsi Katekis?
Dalam arti luas dan mendasar, katekis adalah umat beriman kristiani yang dipanggil dan diutus Tuhan menjadi pewarta Sabda-Nya. Pewartaan Sabda Allah adalah bagian terpenting dari tugas pokok Gereja sepanjang waktu. Tugas itu merupakan inti dari tugas pengutusan Yesus Kristus oleh Allah Bapa. Karena itulah ada inkarnasi yaitu Yesus Kristus menjelma menjadi manusia atau hadir di dunia dalam rupa manusia, untuk menyatakan wajah Allah dan kasih-Nya kepada manusia. Tugas itu jugalah yang diperintahkan Yesus kepada murid-murid-Nya: “Pergilah ke seluruh dunia dan jadikanlah semua bangsa menjadi murid-Ku” (Mat 28:19). Dalam arti itu, maka sesungguhnya semua orang beriman kristen, karena baptisannya adalah katekis atau pewarta Sabda. Tidak ada yang terkecualikan, apa pun status, pangkat atau jabatannya. Semua orang beriman adalah katekis. Setiap umat beriman kristiani wajib memberikan kesaksian tentang imannya di tengah masyarakat, di mana mereka berada. Dilihat dalam fungsi struktural kelembagaan tugas pewartaan, maka jelas sekali bahwa uskup dan imam adalah katekis pertama dan utama, katekis yang berdiri paling depan dalam memberikan contoh dan teladan sebagai pemimpin jemaat.
Namun selanjutnya yang akan menjadi ulasan dalam tulisan ini adalah katekis dengan fungsi dan tugas khusus tadi. Karena tugas khusus itu maka mereka pada umumnya diberi pembekalan khusus pula melalui kursus-kursus atau menjalani pendidikan khusus sebagai katekis. Dengan fungsi dan tugas mereka, para katekis mempunyai peran besar dalam mewartakan iman Gereja, memperkenalkan Kristus dan bahkan juga mendampingi umat menuju kedewasaan kristiani. Di tengah keluarga dan masyarakat, katekis melibatkan diri dalam dinamika kehidupan masyarakat sebagai pemimpin umat, menerangi lingkungan dan terutama memberikan kesaksian hidup di tengah masyarakat multikultural seperti sekarang ini.
Pertemuan Nasional Katekis III 2015 ini merupakan difasilitasi oleh Komkat KWI merupakan kesempatan bagi para katekis (utusan/wakil dari keuskupan-keuskupan) untuk saling berbagi pengalaman dan saling menguatkan dalam karya mereka berkatekese di Indonesia. Dalam situasi kondisi Indonesia seperti sekarang ini momen perjumpaan seperti ini merupakan suatu kebutuhan mendesak karena para katekis ditantang untuk menjadi saksi iman dan moral dalam keluarga dan masyarakat Indonesia yang multikultural. Kesaksian hidup katekis merupakan bentuk paling nyata bagaimana mereka menyelaraskan antara pengajaran dan praktek hidup sehari-hari. Bagaimana para katekis dalam suka-dukanya mengamalkan apa yang diajarkan kepada umat beriman. Mereka harus memberi contoh hidup apa yang diajarkan kepada umat, dan itu mulai dari keluarga sendiri. Mereka bergulat dengan pelbagai kepentingan, polemik, tantangan, bahkan ancaman, namun mereka juga mengemban tugas pewartaan memberikan kesaksian tentang sukacita Injil (Evangelii Gaudium).
Dalam kenyataannya, perjalanan hidup seorang katekis tidaklah terbatas pada lingkup Gereja saja, melainkan juga keterlibatan hidup bermasyarakat. Letak keberagaman Indonesia yang sangat luas dan panjang dari Sabang sampai Merauke telah mewariskan keberagaman budaya, tradisi, religi, suku, mentalitas, alam pikiran, situasi geografis, dan lain sebagainya. Harus diakui bahwa masyarakat multikultural yang telah lahir dari rahim bumi pertiwi telah menghadirkan kondisi yang berbeda-beda. Di satu sisi keanekaragaman telah menumbuhkan berbagai kekuatan sosial dalam membangun sebuah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, persatuan, kerukunan dan semangat Bhineka Tunggal Ika. Namun di sisi lain, tak jarang keberagaman itu pula telah menimbulkan benturan-benturan sosial yang tak terhindarkan. Perbenturan-perbenturan sosial ini di wilayah tertentu bahkan telah menimbulkan dampak traumatis bagi kerukunan dan kedamaian warga masyarakat setempat. Karena itu diharapkan (dicita-citakan) kehadiran para katekis sebagai pewarta dan saksi iman dan moral di tengah masyarakat multikulutral, bisa menjadi panutan, menjadi pembawa damai dan pemersatu dengan karya dan pelayanannya di tengah umat dan masyarakat. Kehadiran katekis pada hakekatnya adalah misioner, tidak eksklusif tetapi inklusif, terbuka untuk bersaudara dan berdialog dengan semua orang, demi terwujudnya misi Kerajaan Allah yaitu persaudaraan sejati dan keselamatan semua orang.

Makna PerNas Muntilan
Pertemuan para katekis di Muntilan yang berlangsung selama tiga hari, sebetulnya waktunya amat singkat. Masih banyak issue dan tema yang menyangkut hidup, fungsi dan peran katekis tak sempat dipresentasikan dan disharingkan karena keterbatasan waktu. Apalagi pertemuan seperti ini terjadi sekali dalam lima tahun. Para katekis berharap banyak hal bisa disharingkan dan didiskusikan, namun itu tidak terjadi. Meskipun pertemuan katekis di Muntilan ini singkat dan padat, pertemuan ini memberikan suatu terobosan atau insight  bagi para katekis. Pertemuan dirancang dengan tidak hanya menyajikan issue internal sekitar Gereja atau ruang ibadat yang tentu saja merupakan tugas pokok katekis, namun diarahkan untuk menyadarkan para peserta (katekis) agar melihat tugas dan fungsinya tak melulu hanya untuk umat Katolik melainkan juga untuk masyarakat luas. Gereja adalah bagian dari masyarakat, maka para katekis juga adalah pelayan masyarakat. Dalam sharing yang dipresentasikan oleh beberapa katekis sebagai nara sumber, ternyata karya atau  kegiatan mereka itu sudah lintas sektor dan budaya, terkait dengan pelbagai kelompok dan menyentuh pelbagai bidang atau masalah. Mereka tidak hanya mengurusi masalah Gereja tetapi juga masalah-masalah kemasyarakatan, seperti masalah pertanian, bencana alam, kerukunan warga, pertemuan desa, pendidikan, kenakalan remaja, sanggar seni dan budaya dan lain sebagainya. Tidak sedikit katekis yang terlibat sebagai anggota/kelompok pemberdaya masyarakat dalam hal atau bidang tertentu, seperti masalah kelestarian lingkungan dan konservasi air, hutan, sungai, lahan pertanian dan penciptaan lapangan kerja bagi warga.
Keberagaman itu menjadi nyata dalam keterlibatan pelbagai pihak atau kelompok dalam acara pertemuan katekis itu. Ada kelompok pencinta lingkungan hidup yang mengajarkan bagaimana mendapatkan air yang baik dan sehat, ada kelompok seni dari paguyuban Muslim dan Hindu  mengisi acara hiburan dan renungan, dan lain-lain. Suasana dan panorama pertemuan tidak lalu menjadi satu warna melainkan tampil dengan aneka warna dan nuasa. Dengan suasana seperti itu ditunjukkan bahwa katekis dalam mewartakan Sabda Tuhan senantiasa harus siap untuk terbuka dan berdialog dengan semua orang serta bisa membangun kebersamaan multikultural.
Selain itu Panitia pelaksana cukup kreatif dan cerdas mengajak para peserta pernas katekis untuk menyadari atau tidak melupakan akar, sejarah dan proses berkelanjutan dari karya pewartaan yang mereka lakukan. Salah satu kegiatan dalam pernas ialah tour ziarah yaitu mengunjungi museum dan pusat sejarah kegiatan Misi Muntilan dan sekitarnya. Sekalipun kegiatan tour ini bersifat rekreatif namun memberikan pencerahan, para peserta bisa melihat bagaimana karya pewartaan (misi) dahulu dirintis oleh para misionaris pertama, bagaimana karya itu terus bertransformasi dalam dalam perjalanan waktu, dan bagaimana karya pewartaan itu terus ada dalam situasi dan konteks masa kini. Zaman jelas  berubah, situasi dan keadaan terus berkembang, namun substansi atau isi dari pewartaan tetaplah sama. Itu artinya telah terjadi proses adaptasi terus-menerus dari karya pewartaan itu, agar sungguh bisa memberi arti dan makna bagi kehidupan, dalam setiap masa yang telah dilaluinya. Salah satu hal sangat menarik yang dipresentasikan (dalam konteks Jawa/Muntilan) ialah bagaimana Sabda Tuhan yang dulu datang dari jauh, kini dihayati dan diaktualkan oleh umat masa kini untuk kehidupan mereka, dalam totalitas budaya dan tradisi asli lokal mereka. Iman Injili diekspresikan dan menyatu dengan kehidupan nyata umat dalam topangan/gendongan budaya/tradisi lokal etnik yang kental. Sekat kultur antara tradisi iman yang datang dengan budaya lokal asli, dalam keseharian hidup hampir tidak kelihatan lagi, kendati substansi asli antara keduanya tetaplah berbeda.
Transformasi Kabar Gembira (Injil) dalam perjalanan waktu, dalam proses adaptasi yang tidak pernah berhenti dalam pelbagai periode masa dan lingkungan budaya dan tradisi lokal, agar bisa memberi makna dan kontribusi bagi kehidupan manusia, tentu menjadi pencerahan dan tantangan bagi katekis dalam karya dan kesaksiannya di tengah masyarakat multikultural.

Apakah Katekis Masih Diperlukan?
Melihat harapan-harapan dan tantangan-tantangan yang diuraikan di atas tentu jawaban terhadap pertanyaan ini, pastilah katekis tetap sangat dibutuhkan. Terlebih mempertimbangkan situasi umat diaspora yang terhampar dalam wilayah yang demikian luas, paling tidak kehadiran para katekis (baca: pengantar-pengantar) sebagai pemandu, penuntun umat dalam kegiatan ibadat dan kehidupan menggereja di stasi-stasi, amatlah dibutuhkan.  Ketiadaan katekis atau para pengantar yang dibekali secara memadai untuk memimpin dan membimbing umat di wilayah pedalaman, bisa memperparah keadaan umat menjadi semakin merosot baik dalam kuantitas maupun kualitas. Tidak hanya itu, bisa juga terjadi bahwa umat di daerah diaspora itu, sulit bergerak untuk memberdayakan diri mereka karena tidak memiliki pemimpin yang handal, komit dan berdedikasi. Umat yang tidak berkembang jelas tidak bisa diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi lingkungan dan masyarakatnya?
Hanya mungkin model katekis yang dibutuhkan masa kini, tidak bisa lagi seperti model dahulu, pada zaman misionaris masih sangat dominan. Sekarang misionaris yang datang dari luas sudah hampir habis. Situasi Gereja Indonesia sudah menuju kepada kemandirian. Paroki-paroki kebanyakan sudah dalam status mandiri, bisa mengatur dan membiayai pelbagai kegiatannya sendiri. Dalam arti itu, katekis-katekis yang dibutuhkan masa kini ialah katekis-katekis yang mandiri. Mandiri berarti katekis tidak lagi sepenuhnya sangat tergantung pada Gereja/keuskupan atau pastor paroki yang menopang biaya hidup dan pelbagai kebutuhannya, melainkan katekis sendiri harus mampu menata dan mengelola pelbagai kegiatan dan aktivitas pelayanan yang memberdayakan dan produktif. Kegiatan pelayanan yang positif dan memberdayakan, selain menarik dan menggembirakan, pastilah memberikan banyak manfaat yang positif pula, termasuk manfaat ekonomi dan finansial. Dalam hal ini memang, pribadi katekis ditantang untuk selalu kreatif dan proaktif untuk belajar dan memberdayakan dirinya sendiri juga, sehingga bisa mumpuni dalam mengemban tugas pelayanannya.
Memang tidak dapat diabaikan pula bahwa lembaga yang menginginkan memiliki tenaga-tenaga pelayan pastoral yang handal, komit dan berdedikasi dalam penggembalaan umat, juga memiliki tanggungjawab untuk merekrut, melatih, membekali dan memberdayakan mereka pada awal mula, sehingga kelak mereka bisa belajar terus memberdayakan diri mereka sendiri dan akhirnya diharapkan bisa menjadi katekis yang mandiri dan berdedikasi.*** Penulis: Pastor Victor Patabang Pr, Ketua Komisi Evangelisasi KAMS

Tidak ada komentar: