Rabu, 06 Januari 2016

SEKITAR JABATAN DAN FUNGSI VIKJEN/VIKEP DALAM GEREJA

Pendahuluan
              Berbeda dengan jabatan Vikaris Jenderal (Vikjen) yang sudah lama ada dalam struktur  pelayanan Gereja, jabatan Vikaris Episkopal (Vikep) baru ditetapkan oleh Konsili Vatikan II. Dekrit “Christus Dominus” tentang Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja, yang dikeluarkan pada 28 Oktober 1965, antara lain menyatakan: “Dalam Kuria Keuskupan fungsi utama ialah fungsi Vikaris Jenderal. Tetapi bilamana diperlukan untuk memimpin keuskupan dengan tepat guna, Uskup dapat mengangkat seorang atau beberapa orang Vikaris Episkopal, yakni: yang berdasarkan hukum, dalam bagian tertentu keuskupan, atau untuk jenis urusan-urusan yang tertentu, atau terhadap Umat beriman Ritus tertentu, mempunyai kuasa, yang menurut hukum umum ada pada Vikaris Jenderal” (CD,27; lih. juga CD,23 dan 26).

Sesungguhnya di tahun 1970-an, Keuskupan Agung Makassar telah mewujudkan amanat Konsili Vatikan II tersebut, dengan menetapkan wilayah Toraja dan Luwu sebagai satu kevikepan, dan sebagai Vikep ditunjuk P. Karl Noldus, CICM. Tetapi itu hanya berlangsung beberapa tahun (1970-1976), dan kemudian dihentikan. Dan selanjutnya dikembangkan sistem “regio” di seluruh       keuskupan. Adapun Ketua Regio fungsinya tidak lebih daripada koordinator pastoral di Regio bersangkutan.

Dalam Laporan “Ad Limina” ke Roma, 1996, antara lain saya menulis, karena luasnya wilayah keuskupan dan sulitnya komunikasi dan transportasi dari tempat yang satu ke tempat yang lain, kami sedang berpikir serius untuk meningkatkan status “Regio” menjadi Kevikepan secara tahap demi tahap, dan mengangkat seorang Vikep di wilayah yang   bersangkutan. Dalam laporan “Ad Limina”, 2002, sudah dapat dilaporkan bahwa pada 1 Maret 2002 sudah ditetapkan Kevikepan Kendari (Sultra),   dengan Vikep yang pertama RD Alex Maitimo. Selanjutnya, pada 1 November 2002 dibentuk Kevikepan Makassar, dan RD Alex Paat diangkat sebagai Vikep pertama. Kemudian, pada 1 September 2003 didirikan Kevikepan Luwu, dengan RD Frans Arring sebagai Vikep pertama. Tanggal 17 September 2007 Kevikepan Toraja dibentuk; RD Frans Arring dipindahkan dari Kevikepan Luwu, menjadi Vikep Toraja yang pertama. Sementara di Kevikepan Luwu, beliau digantikan oleh RP Christofel Sumarandak, MSC. Dan terakhir didirikanlah Kevikepan Sulbar pada 1 September 2010, dengan Vikep pertama RD Martinus Pasomba. Maka dalam Laporan “Ad Limina”, 2011, dapat dilaporkan bahwa di seluruh wilayah Keuskupan Agung Makassar telah rampung dibentuk lima Kevikepan.

Walaupun struktur Kevikepan telah berjalan lima sampai tiga belas tahun dalam Keuskupan kita, harus diakui sistem tersebut pada umumnya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Tentu terdapat macam-macam sebab, mengapa sistem tersebut belum dapat berfungsi penuh. Namun, barangkali salah satu sebab utama, ialah masih minimnya pemahaman baik di kalangan para imam sendiri maupun di kalangan umat pada umumnya tentang jabatan dan fungsi Vikep. Itulah sebabnya rubrik “Dari Meja Uskup Agung” dalam KOINONIA kita kali ini menurunkan tema tersebut. Tetapi ruang terbatas yang tersedia tidak memungkinkan menyajikan suatu ulasan yang lengkap. Di bawah ini kita akan berpusat pada wewenang Vikep, dan karenanya juga pada wewenang Vikjen. Ini disebabkan karena Kitab Hukum Kanonik (Gereja) merumuskannya dalam dua kanon yang sama (479-480).

Wewenang Vikjen / Vikep
Kanon 479 - §1. Berdasarkan jabatan, Vikaris Jenderal memiliki di seluruh keuskupan kuasa eksekutif yang menurut hukum merupakan milik Uskup, yakni kuasa untuk melakukan semua perbuatan administratif, tetapi dikecualikan hal-hal yang direservasi Uskup bagi dirinya atau yang menurut hukum membutuhkan mandat khusus dari Uskup.

§2. Vikaris Episkopal menurut hukum sendiri memiliki kuasa yang disebut dalam §1, tetapi terbatas pada bagian wilayah yang tertentu atau jenis urusan tertentu atau kaum beriman ritus tertentu atau kelompok tertentu untuk mana ia diangkat, dan dikecualikan hal-hal yang direservasi Uskup bagi dirinya atau bagi Vikaris Jenderal, atau yang menurut hukum memerlukan mandat khusus dari Uskup.

§3. Dalam lingkup wewenangnya, Vikaris Jenderal dan Vikaris Episkopal juga mempunyai kewenangan-kewenangan habitual yang diberikan Takhta Apostolik kepada Uskup; demikian juga pelaksanaan reskrip, kecuali jika tegas ditentukan lain atau untuk pelaksanaan reskrip itu Uskup diosesan dipilih karena pribadinya.

Kanon 480 -  Vikaris Jenderal dan Vikaris Episkopal harus melaporkan urusan-urusan penting baik yang akan dijalankan maupun yang telah dilakukan kepada Uskup diosesan, dan janganlah mereka pernah bertindak melawan kehendak dan maksud Uskup diosesan.

Komentar

Vikaris Jenderal (Vikjen)
Kuasa Vikjen disebut kuasa ordinaria (biasa) karena berdasarkan hukum universal wewenang tersebut melekat pada jabatannya; sekaligus juga bersifat perwakilan/delegasi, karena ia menjalankannya atas nama Uskup diosesan yang memiliki kuasa ordinaria dan khas kepemimpinan (kan. 131). Sementara Vikjen mendapatkan wewenang untuk seluruh keuskupan, dia tidak memiliki kuasa lengkap kepemimpinan, karena wewenangnya terbatas pada bidang eksekutif. Dia bukan legislator dan juga kuasa legislatif tidak dapat didelegasikan kepadanya oleh Uskup diosesan. Jadi, dia tidak memiliki otoritas mengeluarkan undang-undang atau bahkan dekrit-dekrit umum yang menyerupai undang-undang (kan. 30). Namun, ia dapat mengeluarkan dekrit-dekrit umum eksekutif, “yaitu yang menentukan dengan lebih tepat cara-cara yang harus dipakai dalam menerapkan undang-undang atau yang mendesak pelaksanaannya, dalam batas kewenangannya” (kan. 31). Selanjutnya, Vikjen juga tidak berwenang melaksanakan kuasa yudisial. Kuasa yudisial dikhususkan bagi Uskup diosesan dan ofisial­-nya (Vikaris Yudisialis, disingkat Vikyud). Vikyud membentuk satu tribunal dengan Uskup diosesan; Vikyud sama sekali tidak boleh dijabat sekaligus oleh Vikjen (kan. 1420 §1).

Dalam menjalankan kuasa eksekutif ordinaria kepemimpinan, Vikjen terikat norma-norma umum yang terdapat dalam kanon-kanon 136-144. Seorang Vikjen harus mempelajari norma-norma tersebut dengan teliti pada awal masa baktinya. Secara khusus dia harus memperhatikan aturan-aturan yang berkenaan dengan orang-orang yang dibawahi olehnya (kan. 136), haknya untuk mendelegasikan “baik untuk satu tindakan saja maupun secara umum (ad universitatem casuum)” (kan. 137), dan haknya untuk menafsirkan kuasa eksekutifnya secara luas  (kan. 138).

Menurut ketentuan hukum, kuasa eksekutif Vikjen itu sungguh luas. Tetapi tidak seluas wewenang Uskup diosesan, karena Uskup diosesan dapat mereservasi tindakan-tindakan administratif tertentu bagi dirinya sendiri atau hukum sendiri dapat melarang Vikjen, untuk bertindak dalam hal-hal tertentu tanpa mandat khusus Uskup diosesan sendiri. Dalam Kitab Hukum Kanonik lama (1917), persyaratan mandat khusus oleh hukum universal menimbulkan sedikit kekacauan. Dua puluh tiga kanon secara eksplisit menuntut mandat khusus untuk memungkinkan Vikjen bertindak. Namun, kanon-kanon lain, walau tidak secara eksplisit menuntut mandat khusus, menyangkut hal-hal serius yang sebenarnya lebih tepat direservasi bagi Uskup diosesan. Ini menyebabkan para komentator menyimpulkan bahwa rujukan-rujukan eksplisit pada sebuah mandat khusus dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 tidaklah meliputi segala sesuatu; ia hanya menampilkan sebuah daftar petunjuk terbatas. Pendekatan berkisar pada apa yang dapat dan tidak dapat dibuat oleh Vikjen berdasarkan kuasa ordinaria. Kitab Hukum Kanonik baru (1983) berusaha      menyingkirkan kekacauan ini dengan menggunakan kosa kata yang lebih saksama. Walaupun Uskup diosesan dan Vikjen keduanya adalah “Ordinaris wilayah”, setiap kanon yang menggunakan kosa kata “Uskup diosesan” berlaku hanya (dumtaxat) bagi Uskup diosesan dan tidak bagi Vikjen dan Vikep, kecuali jika Vikjen/Vikep telah menerima mandat khusus untuk bertindak (kan. 134 §3). Jika sebuah kanon menggunakan ungkapan “Ordinaris wilayah”, maka Vikjen memiliki otoritas untuk bertindak juga tanpa suatu mandat khusus.

Sebuah contoh dari pembedaan tersebut dapat dilihat pada kan. 87: Uskup diosesan “dapat memberi dispensasi dari undang-undang disipliner baik universal maupun partikular” yang tidak direservasi bagi Takhta Apostolik (§1); setiap Ordinaris (baik Uskup diosesan maupun Vikjen) dapat memberi dispensasi dari undang-undang yang sama dan juga yang direservasi bagi Takhta Apostolik (kecuali hukum selibat) apabila rekursus ke Roma sulit dan ada bahaya kerugian besar kalau tertunda (§2). Dalam keadaan normal (tidak ada kesulitan atau kerugian besar), Vikjen dapat memberi dispensasi hanya dari undang-undang diosesan dan dari undang-undang yang dikeluarkan oleh konsili propinsi atau regional atau oleh Konferensi Waligereja (kan. 88), tidak dari undang-undang disipliner universal. Jika Uskup diosesan menginginkan Vikjen dapat memberi dispensasi dari undang-undang disipliner umum dalam keadaan normal, dia harus memberi kepada Vikjen mandat khusus untuk berbuat demikian.   


Vikaris Episkopalis (Vikep)
Di sini komentar tentang Vikep dapat sangat singkat karena otoritasnya sama dengan Vikjen, sebagaimana sudah diuraikan di atas. Hanya saja skop atau lingkup yurisdiksi Vikep ditetapkan lebih terbatas pada: (1) bagian wilayah yang tertentu, atau (2) jenis urusan tertentu, atau (3) kaum beriman ritus tertentu, atau (4) kelompok tertentu. Sampai sekarang di Keuskupan Agung Makassar hanya terdapat Vikep jenis pertama, yaitu untuk wilayah tertentu yang disebut Kevikepan. Vikep adalah Ordinaris wilayah (kan. 134  §1), dan membutuhkan mandat khusus apabila hukum universal menggunakan ungkapan “Uskup diosesan”. Satu perbedaan lain antara Vikjen dan Vikep ialah fakta bahwa Uskup diosesan dapat membatasi wewenang kepemimpinan Vikep dengan mereservasi sejumlah tindakan tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk Vikjen, sementara kuasa Vikjen dapat dibatasi oleh reservasi Uskup diosesan untuk tindakan-tindakan sedemikian bagi dirinya sendiri, tidak untuk seorang lain.  

Tentang Kewenangan Habitual dan Reskrip
Ayat 3 kan. 479 berbicara mengenai kewenangan habitual (facultas habitualis) dan reskrip. Kewenangan (facultas) adalah suatu pemberian oleh otoritas lebih tinggi yang memungkinkan seorang bawahan bertindak sedemikian bahwa tanpa pemberian tersebut si penerima tidak berwenang untuk bertindak. Facultas habitual tidak terbatas pada suatu jangka waktu yang singkat atau pada sejumlah tertentu kasus. Karena kewenangan habitual diandaikan bersinggungan dengan jabatan, maka analog dengan kuasa ordinaria kepemimpinan. Sedangkan reskrip ialah suatu tindakan administratif yang dibuat secara tertulis oleh kuasa eksekutif yang berwenang; dan yang dari hakekatnya, memberi suatu privilegi, dispensasi atau kemurahan lain atas permohonan seseorang (kan. 59 §1).

Serupa dengan kan. 66 dan 368 Kitab Hukum Kanonik 1917, ayat 3 kan. 479 ini menyatakan bahwa, secara umum Vikjen dan Vikep memperoleh semua kewenangan habitual yang diberikan kepada Uskup diosesan dan boleh mengeksekusi semua reskrip apostolik, “kecuali jika tegas ditentukan lain atau untuk pelaksanaan reskrip itu Uskup diosesan dipilih karena pribadinya” (industria personae). Harus dicatat bahwa kan. 134 berlaku hanya untuk Kitab Hukum Kanonik dan tidak mempengaruhi dokumen-dokumen selanjutnya yang memberi kewenangan-kewenangan habitual sedemikian. Jika kewenangan habitual diberikan kepada “Uskup diosesan”, dengan sendirinya juga diterima oleh Vikjen dan Vikep. Manakala sebuah dokumen Takhta Suci menghendaki membatasi kewenangan khusus kepada para Uskup saja, ia harus menegaskan fakta ini secara eksplisit (misalnya dengan ungkapan seperti exclusis vicariis generalibus et episcopalibus); jika tidak demikian, norma yang terdapat dalam ayat 3 ini akan berlaku dan tidak akan diperlukan mandat khusus bagi Vikjen dan Vikep untuk menjalankan kewenangan itu.

Akhirnya, perlu dicatat bahwa, kendati kanon-kanon, dengan menggunakan ungkapan “Uskup diosesan”, menuntut mandat khusus bagi Vikjen dan Vikep untuk bertindak, Uskup diosesan dapat memberikan mandat sedemikian dalam Surat Pengangkatan tanpa menentukan setiap kanon yang memberlakukannya. Uskup diosesan dapat memberi mandat “untuk semua hal yang di dalamnya dituntut oleh hukum universal” dan selanjutnya mereservasi setiap hal khusus untuk dirinya jika ia menghendakinya.

Hubungan Vikjen dan Vikep dengan Uskup Diosesan
Kan. 480 berbicara mengenai relasi antara Vikjen/Vikep dan Uskup diosesan. Vikjen dan Vikep memiliki wewenang yang luas, namun itu harus dipahami dalam terang relasi mereka dengan Uskup diosesan. Norma ini sangat serupa dengan kan. 369 dari Kitab Hukum Kanonik 1917, dan ini didasarkan pada perlunya koordinasi erat antara Uskup diosesan dan Vikjen/Vikep. Vikjen dan Vikep mengambil bagian dalam tanggungjawab (sollicitudo) Uskup. Tetapi mereka tidak “melipatgandakan” Uskup diosesan, juga tidak berpartisipasi dalam semacam kepemimpinan kolegial keuskupan. Mereka secara langsung bertanggungjawab kepada Uskup diosesan, dan harus melaporkan urusan-urusan penting baik yang akan dilaksanakan maupun yang telah dilakukan kepada-nya. Jika Uskup diosesan telah menolak suatu kemurahan, maka Vikjen dan Vikep – entah diberitahu tentang penolakan itu atau tidak–  tidak dapat memberikan kemurahan tersebut secara sah (kan. 65 §3). Vikjen dan Vikep tidak pernah boleh bertindak melawan kehendak dan maksud Uskup diosesan. Dan agar ketentuan ini dapat berjalan dengan sendirinya secara organisatoris, saya selaku Uskup diosesan menetapkan bahwa Vikjen dan para Vikep ex officio menjadi anggota Dewan Konsultores diosesan.

Penutup
Di Sinode diosesan 2012 diteguhkan tekad untuk menindaklanjuti hasil Sinode tersebut secara berkelanjutan. Di Sinode itu berhasil ditemukan dan dirumuskan visi, misi dan strategi Keuskupan Agung Makassar; sementara dua tahap berikutnya, yaitu program dan aksi, dipercayakan ke masing-masing Kevikepan/Paroki untuk menindak-lanjutinya. Tetapi, sebagaimana sudah dikemukakan dalam Pendahuluan di depan, pada umumnya struktur Kevikepan belum berfungsi dengan baik. Kalau demikian, memang dapat dipahami bahwa tindak-lanjut hasil Sinode pada tahap program dan aksi dengan sendirinya tersendat. Sebuah contoh konkret, program pendataan umat yang berorientasi pada penyusunan program pastoral tepat-guna di setiap Paroki harus rampung sebelum akhir 2014. Kini tahun 2015 sudah hampir berakhir, dan faktanya masih ada sejumlah Paroki yang belum menuntaskan program tersebut!

Kalau benarlah sinyalemen bahwa di kalangan para imam pemahaman tentang jabatan dan fungsi Vikep masih minim, itu sungguh memprihatinkan. Para imam     mengambil bagian dalam tri-fungsi Kristus, yaitu: mewartakan/mengajar (nabi/guru), menguduskan (imam), dan menggembalakan (pastor). Maka kalau umat belum memahami apa itu jabatan dan fungsi Vikjen/Vikep, adalah tugas kita para imam untuk mengajar mereka tentang itu. Tetapi bagaimana kalau kita sendiri juga belum memahaminya? Jelaslah kita terlebih dahulu harus mempelajarinya! Kita tidak dapat berdalih, bahwa di masa pendidikan dulu kita tidak mendapatkan bahan itu. Kita tidak boleh lupa, bahwa sebagai imam kita telah lulus dari lembaga Pendidikan Tinggi. Kita adalah orang terdidik, sarjana. Salah satu ciri utama dari sarjana ialah bersikap ilmiah, selalu berupaya mencari kebenaran obyektif. Karena itu seorang terdidik/sarjana adalah seorang yang harus belajar terus sepanjang hidupnya.

Dengan demikian, gerakan “Revolusi Mental” yang dicanangkan Presiden Jokowi pertama-tama relevan untuk kita para imam. Kitalah yang pertama-tama harus merubah dan membaharui diri. Dan transformasi diri dalam bidang iman selalu diawali dengan pertobatan. Dan bukankah Masa Adven adalah masa pertobatan? Selamat menjalani Masa Adven, masa pertobatan.
Semoga sukses. Tuhan memberkati!


Makassar, Minggu I Adven, 29 November 2015 

+ John Liku-Ada’


Sumber:
1. The Code of Canon Law; a Text and Commentary, ed. by James A. Coriden, et al., (Paulist Press, New York/Mahwah, 1985).
2. Mons. Pio Vito PINTO, ed., Commento al Codice di Diritto Canonico, (Urbaniana University Press, Roma, 1985).

Tidak ada komentar: