Tahun 2015, Gereja universal merayakan 50 tahun Dekrit Ad Gentes, dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja yang merupakan salah satu dokumen dari Konsili Vatikan II (1962 -1965). Yang dimaksudkan dengan kegiatan misioner tak lain adalah tugas mewartakan Injil kepada semua orang, misi kepada bangsa-bangsa (Ad Gentes). Mewartakan Injil dengan pelbagai cara, antara lain: mengajarkan iman, merayakan iman, memberikan kesaksian, mengasihi, berkarya, melayani, dan lain-lain, itulah yang disebut EVANGELISASI (penginjilan). Dan mewartakan Injil itu adalah bagian integral dari identitas murid Kristus dan merupakan komitmen yang selalu menjiwai kehidupan Gereja. Oleh karena itu, Evangelisasi bukan sekedar menggambarkan tugas atau kegiatan Gereja melainkan menjadi identitas dan jati dirinya. Gereja ada karena evangelisasi, berkembang karena evangelisasi, dan ada untuk evangelisasi. Perintah Yesus kepada para murid-Nya, mulai dari para rasul sampai sekarang dan selamanya adalah mengikuti Yesus untuk mewartakan Injil (Yoh 6:38-39; Luk 4:4; Mrk 3:14; Mat 28:18-20). Seluruh hidup Santo Paulus menurut kesaksiannya, digunakan untuk melaksanakan perintah agung Yesus, mewartakan Injil. “Celakalah aku, jika aku tidak mewartakan Injil (1 Kor 9:16). Baginya hidup adalah mewartakan Injil.
Kesadaran akan perutusan untuk menjalankan evangelisasi itu dibangun terus-menerus oleh para pemimpin Gereja. Dokumen Lumen Gentium dan Ad Gentes menyatakan bahwa tugas utama Gereja adalah evangelisasi agar semua orang memperoleh kesatuan sepenuhnya dalam Kristus, dimana “Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor 15:28). Tugas ini tidak hanya mengikat hierarki tetapi juga kaum awam. Semua anggota Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam tugas perutusan karena Gereja pada hakekatnya adalah misioner. Gereja ada untuk diutus, untuk “pergi ke luar.” Zaman ini evangelisasi merupakan kebutuhan mendesak yang tidak dapat ditunda-tunda, apalagi dikesampingkan.
Sepuluh tahun sesudah Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI mengeluarkan imbauan Apostolik “Evangelii Nuntiandi” (1975) mengenai evangelisasi di zaman modern. Paus menegaskan bahwa evangelisasi merupakan tugas khas Gereja dan sekaligus merupakan identitasnya yang terdalam.
Duapuluh lima tahun setelah Konsili Vatikan II, St. Yohanes Paulus II mengeluarkan ensiklik “Redemptoris Missio” (1990) mengenai amanat misioner Gereja. Kendati ada pelbagai kesulitan, hambatan dan tantangan baik dari luar maupun dari dalam Gereja, evangelisasi harus terus dikobarkan. Tidak ada satu orang yang beriman akan Kristus, tidak ada satu lembaga Gereja dapat menghindarkan kewajiban yang besar ini: yaitu mewartakan Kristus kepada segala bangsa.
Evangelisasi merupakan bagian sentral dari hidup Gereja. Paus Fransiskus mengajak semua orang kristiani untuk berani menjalankan evangelisasi tanpa takut dan tanpa malu-malu, bahkan harus mewartakan dengan sukacita. Semua murid Tuhan dipanggil untuk menghayati sukacita evangelisasi. Sebuah komunitas yang mewartakan Injil dipenuhi dengan sukacita, tahu bagaimana selalu bersukacita. Ia merayakan setiap kemenangan kecil, setiap langkah ke depan dalam karya evangelisasi. Evangelisasi dengan sukacita menjadi keindahan dalam liturgi, sebagai bagian dari kepedulian kita sehari-hari untuk menyebarluaskan kebaikan. Gereja sendiri mewartakan Injil dan dirinya sendiri menerima Injil melalui keindahan liturgi, yang merupakan perayaan kegiatan evangelisasi sekaligus sumber dorongan pemberian diri yang diperbarui (Evangelii Gaudium, 24).
EVANGELISASI VERSUS TEOLOGI SUKSES
Evangelisasi adalah tugas Gereja. Gereja sebagai pelaku evangelisasi, lebih daripada suatu lembaga organis dan hirarkis; Gereja pertama-tama adalah umat yang sedang bergerak maju dalam perjalanan ziarahnya menuju Allah. Gereja adalah misteri yang berakar dalam Trinitas, namun berada secara nyata dalam sejarah sebagai suatu bangsa peziarah dan pewarta Injil, yang melampaui ungkapan kelembagaan mana pun, betapa pun diperlukan (EG, 111). Menurut Bapa Suci Paus Fransiskus tujuan utama dan puncak dari perjalanan dan perjuangan hidup umat beriman adalah kesatuan sempurna dengan Allah dalam Kristus. Itulah keselamatan yang sejati. Itulah yang harus diwartakan tanpa kenal lelah dan malu tetapi dengan penuh sukacita.
Ini tentu berbeda sekali pandangan yang memaparkan keselamatan sebagai keberhasilan dalam arti duniawi atau hidup sukses yang berkelimpahan materi atau harta duniawi, semuanya terpenuhi atau serba ada sehingga seseorang yang hidupnya sukses atau “terberkati” itu bisa melakukan apa-apa saja yang dia suka. Hidup yang selamat adalah hidup yang mapan, nyaman dan terjamin secara material duniawi.
Menurut Bapa Uskup, dalam tulisannya dengan judul “Sekitar Teologi Sukses” dalam Majalah Koinonia edisi terakhir, teologi sukses adalah ajaran yang mendewakan kesuksesan dan kesejahteraan meteriil, dimana Allah diperlakukan tidak lebih dari sebagai “kuda tunggangan” untuk mencapainya. Ajaran tentang hidup yang kaya dan berkelimpahan itu tentu saja didukung dengan sejumlah ayat-ayat favorit dari Kitab Suci. Dan paham atau ajaran ini tidak hanya pada tataran teoritis sistematis melainkan juga menyangkut pikiran, sikap, perilaku dalam hidup konkrit dan praktis sehari-hari, yang dipicu oleh arus materialisme dan konsumerisme global. (Uraian atau penjelasan lengkap tentang Teologi sukses ini, baca tulisan Bapak Uskup, Mgr. John Liku Ada’, Sekitar Teologi Sukses, Majalah Koinonia, vol. 9, no. 4, September-November 2014, hal. 2-10).
Mencermati situasi yang berkembang sekarang ini, tantangan terhadap evangelisasi oleh teologi sukses bukan lagi sekedar merupakan suatu kekuatiran (perlu diwaspadai) melainkan sudah merupakan kenyataan dalam pengalaman hidup sehari-hari. Mengapa? Karena arus paham atau pengertian yang lebih dominan di kalangan umat tentang Gereja ialah Gereja sebagai lembaga keagamaan sosial-organisatoris. Dalam budaya yang dominan dewasa ini, prioritas diberikan kepada hal yang lahiriah, langsung terlihat, cepat, dangkal dan sementara. Yang nyata memberi tempat kepada yang kelihatan (EG, 62).
Arus budaya yang sedang trendy sangat ikut mempengaruhi cara pandang dan penghayatan umat terhadap Gereja. Ukuran-ukuran yang dipakai dalam menilai atau memandang karya Gereja adalah yang sifatnya lahiriah, kelihatan, bisa langsung disentuh dan dinikmati. Bahkan sudah menjadi persepsi umum di kalangan umat sendiri, yang mungkin tidak disadari, bahwa yang seringkali dijadikan sebagai ukuran kemajuan atau keberhasilan dari suatu kelompok umat atau paroki adalah seberapa banyak hal-hal material telah berhasil dikumpulkan, dibangun atau diciptakan. Maka tidak mengherankan bahwa pelbagai upaya dan gerakan yang sifatnya fisik, lahiriah, langsung terlihat dan cepat seperti pengumpulan dana dan pembangunan fisik seakan-akan menjadi pertaruhan yang tidak bisa ditawar lagi. Malahan dalam suatu pertemuan kevikepan, cukup mencengangkan bahwa dicanangkan suatu semangat dan arah pengembangan umat (Gereja), yang mengikuti pola visi pengembangan dan pembangunan wilayah fisik model pemerintah dan para pengusaha. Antisipasi terhadap kemajuan atau keberhasilan Gereja di masa depan pertama-tama dilihat dan diletakkan pada “wilayah fisik”? Pertanyaannya, apakah memang harus demikian? Apakah pendekatan itu tidak mengandung sesuatu yang krusial? Dari sudut pandang evangelisasi, apakah itu sudah tepat?
Dari sejarah kita mendapat contoh, yang selalu bisa menjadi bahan pelajaran. Di belahan dunia bagian barat, Gereja memiliki banyak gedung yang besar dan megah. Tetapi saat ini Gereja juga mengalami komunitas Kristiani yang terpecah belah. Semangat membangun bangunan gereja yang megah terlalu berlebihan sehingga cara menyampaikan substansi menjadi salah, dan hasilnya adalah keterpecahan. Dalam situasi seperti itu, gedung gereja yang indah dan megah menghasilkan masalah, seperti setiap struktur dan lembaga bisa berantakan karena substansi fondasinya yang salah dan keropos. Itu tidak berarti bahwa kita harus mengabaikan hal-hal dari “wilayah fisik” atau menghancurkan gedung-gedung Gereja. Namun, kita lebih baik bertobat dan meletakkan segala daya upaya pada fondasinya yang benar. Jangan kita sekedar bersiteguh mengikuti perkembangan zaman atau mengadopsi suatu pola trend pembangunan namun gagal dalam menyampaikan substansi visi dan misi Gereja yang sebenarnya.
Di lain pihak, upaya dan gerakan yang berorientasi pada pembentukan dan pendalaman iman umat, pendidikan dan pemahaman umat terhadap sakramen-sakramen, strategi pastoral untuk perubahan atau “revolusi mental”, pendidikan dan pembinaan untuk kualitas SDM para pengurus umat dan para tenaga pelayan pastoral, cenderung dikesampingkan, tidak begitu menarik dan karena itu tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang mendesak untuk diupayakan dibenahi. Kapan umat paroki beserta DEPAS-nya berpikir mendasar dan strategis, melihat kemajuan dan perkembangan Gereja pada visi rohaninya atau menurut visi-misi Ad Gentes? Mencermati suasana yang berkembang di tengah umat, sepertinya yang menyita seluruh perhatian dan yang menjadi kegiatan utama adalah yang sifatnya lahiriah, formal organisatoris, seremonial, terlihat langsung dan hasilnya cepat diwujudkan. Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana fisik-material paroki, kendaraan baru, gedung gereja baru, aula baru, dan lain-lain dananya selalu berlimpah, namun pengadaan dana untuk pengembangan karya rohani pastoral, untuk pengembangan SDM umat (human resources), untuk pembinaan iman dan spiritualitas (spiritual capital) umat, selalu sangat kecil, hampir tidak ada atau mendapat perhatian yang sangat kecil. Kalaupun kegiatan yang kedua ini tidak bisa berjalan, akan dianggap tidak ada masalah, tidak apa-apa karena dipandang tidak mendesak dan tidak akan membawa risiko kerugian fisik-material yang kelihatan.
Kenapa demikan? Alasan dasar untuk itu kiranya adalah mindset dan persepsi umum bahwa hasil dari pembangunan bidang rohani tidak dapat terlihat langsung, tidak cepat atau membutuhkan waktu lama, tidak serta merta bisa dinikmati atau dirasakan, juga tidak bisa dijadikan komoditas seperti barang-barang fisik untuk dimanfaatkan. Jadi dalam persepsi atau cara berpikir orang pada umumnya, pengembangan bidang rohani, spiritualitas, iman dan mental, menjadi tidak menarik dan tidak menantang untuk diperjuangkan. Hal-hal rohani tidak bisa dijadikan proyek atau komoditas yang menguntungkan atau cepat dinikmati.
Karena hal-hal iman dan rohani sudah dipersepsikan demikian maka yang terjadi adalah adanya pengandaian yang begitu tinggi dan teguh bahwa masalah reksa rohani pastoral dan soal evangelisasi adalah sesuatu yang sudah dikuasai oleh para imam dan para petugas pastoral, sesuatu yang sudah selalu dilakukan, sudah rutin, sudah biasa, jadi sudah baik. Semua pihak sudah merasa mapan dan nyaman dalam comfort zone yang sudah terbentuk. Tidak ada yang perlu dikuatirkan lagi. Akibat pengaruh dari teologi sukses yang searus dan seirama dengan budaya materialisme dan pragmatisme, karya pewartaan Injil sering lebih menekankan pada pendekatan pragmatis-adminitratif daripada pendekatan pastoral, lebih menekankan pada bentuk formalitas pelayanan daripada pewartaan Injil dengan sukacita. Oleh karena itu, tidak heran bahwa kita mengalami sebagian besar dari umat yang telah dibaptis kekurangan rasa memiliki terhadap Gereja dan bahkan meninggalkan Gereja.
Pengaruh teologi sukses (baca: budaya materialisme dan konsumerisme) kiranya telah menggerus dan masih terus akan menggerus pengertian dan penghayatan tentang Gereja sebagai umat yang sedang bergerak dalam peziarahan menuju Allah, dimana tujuan akhir dari perjuangannya sepanjang waktu adalah kesatuan dengan Allah, sebagai keselamatan yang sejati. Memang umat beriman tetap perlu bersahabat dengan mamon, agar bisa menggunakan mamon itu untuk membantu mencapai keselamatannya yang abadi. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Ikatlah persahabatan dengan mamon yang tidak jujur, supaya jika mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi” (Luk 16:9). Namun seringkali yang terjadi adalah kebalikannya, mamon yang semula fungsinya hanya sebagai sarana pembantu malahan menjadi yang dikejar dan dijadikan sebagai jaminan atau tumpuan keselamatannya. Tujuan yang benar dan sejati yaitu kesatuan dengan Tuhan malah dilupakan atau ditinggalkan. Orang lebih suka bersekutu dengan mamon daripada bersekutu dengan Tuhan.
EVANGELISASI DALAM KONTEKS KAMS
Program dan Kegiatan di Komisi Evangelisasi mengacu pada visi – misi sinode KAMS 2012. Dalam rumusan visi itu, Gereja lokal KAMS digambarkan sebagai “yang bersosok kawanan kecil tersebar, sebagai pelayan berdasarkan dan berpolakan Yesus Kristus, yang terus menerus membaharui diri, mewartakan Kerajaan Allah dengan meresapi tata dunia, sehingga segalanya menjadi baik.” Kiranya perlu dijelaskan sedikit di sini bahwa model atau gambaran Gereja (ekklesiologi) yang tampil dalam rumusan visi ini ialah Gereja sebagai komunitas kecil diaspora, yang melayani.....” Kiranya itu berarti bahwa Gereja Lokal KAMS dipersepsikan demikian, itu berarti juga bahwa arah karya pastoral, pengembangan dan pembinaan umat adalah komunitas-komunitas kecil umat beriman, yang dari sononya memang sudah diaspora (tersebar). Artinya selain berada terpisah-pisah karena lingkungan geografis yang mengondisikannya demikian, juga karena hidup dan berada di tengah lingkungan masyarakat yang plural (di tengah berbagai etnis, adat, budaya, agama dan denominasi). Dalam arti diaspora itu, maka paroki adalah komunitas dari pelbagai komunitas, tempat kudus dimana mereka yang haus datang untuk minum di tengah-tengah perjalanan mereka, dan sebuah pusat perutusan yang senantiasa memiliki jangkauan yang luas (EG, 28). Komunitas-komunitas kecil itu perlu diberdayakan, perlu diperkuat, agar menjadi semakin kuat dan kokoh sebagai Gereja diaspora, untuk bisa melayani dan memberikan kesaksian tentang imannya di tengah dunia (lingkungan mereka). Dalam perspektif visi ini, apa yang disebut sebagai Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sangat potensial untuk berkembang, artinya memiliki tempatnya dalam kerangka pertumbuhan Gereja itu sendiri itu.
Kalau kita mengacu pada Cara Hidup Jemaat Perdana (Kis 2:41-47), kiranya cukup jelas bahwa yang dimaksudkan komunitas itu pertama-tama adalah cara hidup (way of life) yang didasarkan pada Injil dan dijiwai oleh iman akan Kristus yang bangkit. Komunitas dalam arti biblis ini bukanlah sekedar kelompok orang atau perkumpulan orang yang memiliki kepentingan yang sama atau searah (minat, hobby, pekerjaan atau profesi, dan lain-lain), atau semata karena dikondisikan oleh faktor teritorial, tinggal berdekatan dalam lingkungan yang sama, melainkan betul-betul adalah cara hidup, cara berada dan cara berpikir yang dihayati dan diwujudkan bersama-sama dalam hidup keseharian, tetapi yang juga sekaligus tetap merupakan cita-cita dan harapan yang terus-menerus diperjuangkan. Komunitas itu sendiri yang melakukan evangelisasi (mewartakan iman) dan juga sekaligus merupakan tempat evangelisasi.
Visi-Program kegiatan komisi evangelisasi adalah mendukung dan memberdayakan komunitas-komunitas itu, sosok kawanan kecil yang tersebar itu. Dengan cara bagimana? Dengan cara membantu mewujudkan apa yang tertulis dalam rumusan misi yang berbunyi: “Mempersiapkan dan meningkatkan spiritualitas, kemampuan dan ketrampilan tenaga pelayan pastoral yang berdedikasi, komit, profesional, dinamis dan tanggap terhadap tuntutan zaman.” Rumusan visi-misi ini menjadi pegangan dan pedoman Komisi Evangelisasi dalam menjabarkan program dan kegiatan yang sudah, sedang dan masih akan dilaksanakan dalam waktu yang akan datang, dalam unit-unit karya teritorial dan kategorial di medan pelayanan. Implementasi pelaksanaannya tentu tetap sesuai dengan (mengikuti) alur struktur, mekanisme dan prosedur yang semestinya, yaitu mengikuti jalur tanggungjawab dan kewenangan Uskup, vikep dan pastor paroki. Tim komisi tidak akan masuk nyelonong begitu saja ke dalam suatu wilayah kevikepan atau paroki atau komunitas umat tanpa sepengetahuan pihak-pihak yang memiliki otoritas atas wilayah tanggungjawabnya.
Yang sudah dilakukan tim komisi evangelisasi selama kurang lebih setahun ini (sejak Juli 2013) adalah turun ke lapangan, ke paroki-paroki khususnya di pedalaman untuk memberikan penataran, pembekalan dan pelatihan dalam bidang yang merupakan tugas komisi yaitu Liturgi, Katekese dan Kitab Suci. Para peserta penataran dan pelatihan adalah para pengantar (pemimpin doa dan ibadat sabda), pemimpin dan pengurus umat dari stasi-stasi dari paroki-paroki. Pembekalan dan pelatihan yang diberikan tim komisi adalah hal-hal sekitar Liturgi, apa itu liturgi, mengapa kita harus merayakan liturgi, apa saja yang ada dalam liturgi (tanda, simbol, benda, ruang, tata gerak, tata suara, dst.), pelatihan memimpin dan melaksanakan perayaan liturgi (ibadat) hari Minggu, dan lain-lain. Sekitar Katekese, menyangkut paham tentang Gereja (ekklesiologi), apa itu Gereja, apa peran dan tanggung jawab umat beriman, apa itu pewartaan, pelayanan, dan lain-lain. Tentang Kitab Suci, penjelasannya otomatis termaktub dalam penjelasan tentang Liturgi dan Katekese, sebagai inti atau pokok yang dijelaskan, diuraikan.
Satu hal yang menantang terkait dengan Kitab Suci, bagaimana membangkitkan selera/hasrat/minat umat untuk mau membaca Kitab Suci, mencintai Kitab Suci atau mencintai Sabda Allah? Kalau memperhatikan porsi waktu kita yang berikan untuk kegiatan lain seperti menonton televisi, bercengkerama, minum kopi, jalan-jalan, main internet dan BB (untuk orang kota), itu bisa dilakukan berjam-jam? Tetapi membaca Kitab Suci? Kapan? Tidak ada kemauan, tidak ada minat, tidak ada waktu? Sekalipun itu hanya memerlukan waktu 15 menit saja? Apa yang bisa diciptakan untuk membantu dan mendorong umat untuk mulai membaca dan merenungkan Kitab Suci?
Untuk menanggapi masalah tersebut, komisi evangelisasi mencoba mencetak Kalender Liturgi dengan maksud agar Kalender ini bisa digunakan umat sebagai panduan sehari-hari untuk membuka dan membaca Kitab Suci. Selama ini Kalender Liturgi digunakan sebagai panduan untuk misa sepanjang tahun (Misa Hari Minggu dan Misa Harian) dan biasanya hanya digunakan oleh para imam dan kaum religius (untuk doa ofisi). Kiranya akan lebih baik apabila Kalender ini digunakan juga oleh umat di stasi-stasi, lingkungan dan rukun-rukun untuk berdoa dan beribadat. Dan akan jauh lebih bagus lagi kalau setiap keluarga Katolik memiliki satu Kalender Liturgi. Dengan demikian diharapkan kebiasaan membaca Sabda Tuhan, yang ditumbuhkan dalam keluarga, akan ditiru oleh anak-anak, sehingga mereka juga akan lebih terdorong untuk berbuat baik, mewartakan iman dan memberikan kesaksian.
Sasaran pelayanan komisi evangelisasi paling untuk target jangka pendek 4-5 tahun ke depan adalah mensupport dan memberdayakan komunitas-komunitas jemaat, dengan memberikan pembekalan dan pelatihan bagi para pemimpin dan pengurusnya agar mereka dapat melaksanakan tugas pelayanan dengan baik dalam komunitas untuk komunitas. Dengan melihat banyaknya komunitas umat (stasi) yang tersebar di area diaspora yang begitu luas, dengan medan yang berat dan komunikasi serta transportasi yang sulit dan mahal, yang tidak semua dapat dijangkau oleh pastor paroki untuk pelayanan perayaan Ekaristi Hari Minggu, malahan mungkin hanya bisa mendapat pelayanan perayaan ekaristi sekali dalam tiga bulan atau bahkan enam bulan, maka pembekalan para pemimpin jemaat di wilayah diaspora merupakan hal yang sangat vital, tidak dapat dianggap remeh.
Siapa yang bertanggungjawab kalau suatu kelompok umat tidak bisa atau tidak pernah lagi merayakan iman atau mengungkapkan iman mereka karena tidak memiliki pemimpin ibadat? Tiadanya pelaksanaan ibadat berarti ritus iman, ritus agama juga akan hilang, dan akhirnya komunitas umat beriman pun akan lenyap atau hijrah ke lain tempat.
Penguatan pada komunitas-komunitas kecil diaspora kiranya merupakan strategi yang tepat dalam mendorong karya evangelisasi, karya misioner Gereja yang berakar pada umat di akar rumput, namun bisa menyebar ke luar kepada lingkungan sekitar yang lebih luas, kepada bangsa-bangsa (Ad Gentes). ***
Sumber-sumber bahan/inspirasi
1. Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium, Seruan Apostolik, November 2014
2. Paus Fransiskus, Pesan Hari Minggu Misi Sedunia ke-87, dalam Majalah KKI, 20 Oktober 2013.
3. Paus Fransiskus, Pesan Hari Minggu Misi Sedunia ke-88, dalam Majalah KKI, 19 Oktober 2014.
4. Pope Francis, Evangelii Gaudium, Apostolic Exhortation of Pope Francis on the Proclamation of the Gospel, dalam Majalah Michael, January/February 2014.
5. Dewan Karya Pastoral KAS, Formation Iman Berjenjang, Kanisius, 2014
Penulis: RD. Victor Patabang, Ketua Komisi Evangelisasi KAMS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar