Dalam rangka merayakan HUT-nya yang ke-25, Kelompok Doa Dominica in Sabbato menyelenggarakan sejumlah kegiatan. Salah satunya adalah seminar sehari bertema “Bangga Menjadi Katolik”, pada 14 November 2014 bertempat di aula Keuskupan, Jln. Thamrin 5-7, Makassar. Tentu saja Panitia memilih tema ini tidak tanpa alasan yang dipertimbangkan secara matang. Dan kenyataan bahwa peserta membeludak sampai di luar aula, memberi indikasi kuat bahwa pemilihan tema in sungguh mengena. Sejauh pengamatan saya, sampai sekarang umumnya seminar-seminar yang diadakan internal Gereja Katolik dihadiri hanya segelintir umat. Pada seminar ini ditampilkan pembicara tunggal, Bapak Ignatius Gunawan Poulden dari Surabaya.
Bpk Poulden memulai dengan menceritakan pengalamannya dulu di Papua. Di salah satu tempat, seorang Pendeta dari denominasi tertentu dalam khotbahnya menjelek-jelekkan Gereja Katolik. Orang Katolik setempat yang mendengar itu marah, dan berniat membakar gereja Pendeta yang bersangkutan. Untunglah Pastor Paroki berhasil menenangkan umat, sehingga tidak sampai terjadi hal yang tidak diinginkan. Peristiwa itu membuat Bpk Poulden bermenung lebih dalam. Beliau sampai pada kesimpulan, betapa masih dangkalnya pengenalan iman Katolik di kalangan umat Katolik pada umumnya, sehingga sangat gampang tersinggung. Kadangkala pengetahuan iman Katolik ini jugalah yang menyebabkan banyak umat Katolik mudah berpindah Gereja/Agama. Bpk Poulden merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu secara konkret. Maka beliau mengusulkan kepada Pastor Paroki mengadakan sebuah seminar untuk umat di paroki tersebut, dengan tema “Aku bangga menjadi Katolik”. Hasilnya, menurut beliau, sangat positif. Sejak itu beliau menyediakan diri melayani macam-macam kelompok umat di berbagai tempat dalam bidang ini.
Saya terkagum-kagum mengikuti paparan beliau yang begitu komprehensif mengenai Gereja dan sejarah Gereja, walau terasa bahwa beliau bukanlah seorang “teolog”. Beliau adalah seorang umat Katolik yang serius mempelajari ajaran Gerejanya secara luas, dan ingin berbagi pengetahuan dalam iman itu dengan saudari-saudaranya seiman. Tentu saja, dalam rubrik yang terbatas ini, tidak mungkinlah mengulas segala hal yang beliau sampaikan dalam seminar tersebut. Sebuah catatan lain, suatu paparan yang disampaikan dalam konteks apologia (pembelaan agama terhadap serangan pihak lain) berisiko bersifat berat sebelah. Dalam uraian di bawah ini, kita akan berupaya menjadi lebih seimbang. Kita akan memusatkan ulasan pada pasal 9 Syahadat panjang (Nikea-Konstantinopel): “Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik”.
Gereja yang Satu
Seorang Nuntio Apostolik yang bertugas di Jakarta pada pertengahan pertama dekade 1990-an bersahabat dengan Gus Dur. Konon, suatu saat beliau secara iseng-iseng bertanya kepada Gus Dur: “Pak Kiai, saya mendengar orang Islam Indonesia takut kepada Gereja Katolik. Betulkah demikian? Saya melihat statistik, 87% penduduk Indonesia memeluk agama Islam, sedangkan pemeluk Katolik hanya sekitar 3%. Bagaimana mungkin yang 87% takut kepada yang 3%?” Apa jawab Gus Dur? ”Kami umat Islam menyegani dan mengagumi dua organisasi: ABRI (kini TNI dan Polri) dan agama Katolik. Mengapa? Karena kesatuan kedua organisasi itu sangat solid. Tetapi ABRI hanya berskala nasional, sedangkan Katolik berskala mondial. Itu sungguh luar biasa!”
Pada bulan Maret 2003 kami para Uskup Indonesia mendapat giliran mengadakan kunjungan Ad Limina ke Roma. Pak Handoko dari TV Swasta Indonesia bersama beberapa kru-nya juga datang ke Roma untuk meliput kunjungan tersebut. Suatu hari beliau mengundang para Uskup untuk makan malam bersama di sebuah restoran Tionghoa di Roma. Sebelum doa makan, beliau berdiri dan berkata: “I am proud to be a Catholic”, “Saya bangga menjadi Katolik”. Uskup yang duduk di samping beliau mendongak dan bertanya: “Mengapa Bapak bangga menjadi Katolik?” Beliau menjawab, sebagai orang media saya ini banyak bepergian, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan biasanya bersama dengan rekan-rekan dari gereja/agama lain. Bila hari Minggu tiba, saya tinggal bertanya ke bagian informasi hotel di mana kami menginap, di mana Gereja Katolik terdekat dan ke sana saya pergi. Berbeda dengan teman-teman non-Katolik. Seringkali mereka kesulitan, karena di tempat itu belum tentu ada gereja dari denominasi mereka. Ini membuat saya sadar, sebagai seorang Katolik saya adalah anggota dari sebuah keluarga besar yang ada di mana-mana. Saya merasa bangga dengan itu.
Dua kesaksian di atas, yang pertama dari seorang tokoh non-Katolik dan yang kedua dari seorang Katolik, menegaskan betapa unsur kesatuan dalam iman merupakan suatu kekuatan yang seharusnya membuat setiap umat Katolik menjadi bangga. Setiap orang Katolik berkewajiban terus-menerus memperkembangkan penghayatan dan pengamalan pengakuan imannya, “Aku percaya akan Gereja yang satu”. Dalam Perjanjian Baru sudah jelas terungkap gagasan, bahwa “dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi maupun orang Yunani, baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” (Gal. 3:28). Bapa-Bapa Gereja juga sering berbicara mengenai kesatuan Gereja, yang berakar dalam kesatuan Allah Tritunggal sendiri. Lumen Gentium mengutip St. Siprianus, “Gereja tampak sebagai umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus” (LG,4; lih. juga UR,2). Kesatuan malah dilihat sebagai sifat Gereja yang paling penting, karena mewujudkan cinta persaudaraan. Karena itu, kesatuan juga menjadi tanda Gereja yang benar, yang tidak terdapat pada sekte-sekte yang memisahkan diri dari Gereja yang satu itu. Khususnya sesudah tahun 381, ketika rumus “Gereja yang satu, kudus, Katolik dan apostolik” dimasukkan dalam syahadat, kesatuan pun dilihat sebagai ciri pengenal Gereja. Aneka segi kesatuan ditonjolkan oleh para Bapa Gereja guna menampilkan keluhuran Gereja.
Gereja yang Kudus
Gereja adalah persekutuan imani, yang anggota-anggotanya terdiri dari manusia-manusia biasa, lemah dan berdosa. Lalu mengapa Gereja disebut kudus? Kekudusan Gereja dibicarakan panjang lebar oleh Konsili Vatikan II dalam bab V Konstitusi Lumen Gentium. Bab yang berjudul “Panggilan Umum untuk Kesucian dalam Gereja” mulai dengan “Kita mengimani bahwa Gereja tidak dapat kehilangan kesuciannya. Sebab Kristus, Putera Allah, yang bersama dengan Bapa dan Roh dipuji bahwa ‘hanya Dialah kudus’, mengasihi Gereja sebagai mempelai-Nya” (LG,39). Gereja itu kudus, karena Kristus membuatnya kudus.
Tentu saja pernyataan konsilier di atas mempunyai dasar Kitab Suci. Ef. 5:27 telah melukiskan Gereja sebagai “yang kudus”. Dan kiranya gagasan itu diambil alih dari Perjanjian Lama (Kel. 19; Ul. 7:6; 26:19; dll). Dalam Perjanjian Lama kaum beriman juga disebut “orang kudus” (1 Mak. 10:39.44; Keb. 18:19), dan kebiasaan itu pun diteruskan dalam Perjanjian Baru. Sejak abad pertama (Ignatius dari Antiokhia) sebutan “Gereja yang kudus” menjadi umum. Seperti dalam 1 Ptr. 2:9, begitu juga dalam tradisi selanjutnya (mis. Yustinus) “bangsa yang kudus” selalu dihubungkan dengan “bangsa terpilih” serta “umat kepunyaan Allah”.
Kekudusan itu “terungkapkan dengan aneka cara pada masing-masing orang” (LG,39). Kekudusan Gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua, melainkan semua mengambil bagian dalam satu kesucian Gereja, yang berasal dari Kristus, yang mengikutsertakan Gereja dalam gerakan-Nya kepada Bapa oleh Roh Kudus. Pada taraf misteri ilahi, Gereja sudah suci: “Di dunia ini Gereja sudah dilandasi oleh kesucian yang sesungguhnya, meskipun tidak sempurna” (LG,48). Ketidaksempurnaan ini menyangkut pelaksanaan insani, sama seperti dalam hal kesatuannya.
Yang pokok dalam hal kesucian bukanlah bentuk pelaksanaannya, melainkan sikap dasarnya. “Suci” sebetulnya berarti “yang dikhususkan bagi Tuhan”. Jadi “suci” pertama-tama menyangkut seluruh bidang sakral atau keagamaan. Yang suci bukan hanya tempat, waktu, barang yang dikhususkan bagi Tuhan, atau orang. Malahan sebenarnya harus dikatakan bahwa “yang Kudus” adalah Tuhan sendiri (lih. mis. 2 Raj. 19:22; Yes. 1:4; 5:19.24; 10:17.20; 12:6; Yeh. 38:23). Semua yang lain, barang maupun orang, disebut “kudus” karena termasuk lingkup kehidupan Tuhan (lih. mis. Kel. 19:23; 2 Taw. 3:8; Yoh. 44:19).
Dengan demikian, “kudus” bukan pertama-tama kategori moral yang menyangkut kelakuan manusia, melainkan kategori teologal (ilahi), yang menentukan hubungan dengan Allah. Ini tidak berarti bahwa kelakuan moral tidak penting. Apa yang dikuduskan bagi Tuhan, harus “sempurna” (kata Ibrani tamim sebetulnya berarti “utuh”; lih. Kel. 12:5; Im. 1:3; 3:5; juga Rom. 6:19.22; 12:1). Dan kesempurnaan manusia tentu terdapat dalam taraf moral kehidupannya. Maka tidak mengherankan Tuhan bersabda, “Hendaklah kamu kudus, sebab kuduslah Aku, Yahwe, Allahmu” (Im. 19:2; lih. 11:44.45; 20:7.26; 21:8). Yesus juga berkata, “Hendaklah kamu sempurna sebagaimana Bapamu di surga sempurna adanya” (Mat. 5:48). Ini tentu merupakan tuntutan yang mengatasi kemampuan manusia.
Perjanjian Baru melihat proses pengudusan manusia sebagai “pengudusan oleh Roh” (1 Ptr. 1:2; lih. 2 Tes. 2:13), “dikuduskan karena terpanggil” (Rom. 1:7). Secara simbolis dikatakan: “kamu telah memperoleh urapan dari Yang Kudus” (1 Yoh. 2:20), yakni dari Roh Allah sendiri (bdk. Kis. 10:38). Dari pihak manusia kesucian hanya berarti tanggapan atas karya Allah itu, terutama dengan sikap iman dan pengharapan (lih. 1 Tim. 2.15). Sikap itu dinyatakan dalam segala perbuatan dan kegiatan kehidupan yang serba biasa. Kesucian bukan soal bentuk kehidupan, melainkan sikap yang dinyatakan dalam hidup sehari-hari.
Karena itu, Lumen Gentium menarik kesimpulan bahwa “Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan” (LG,8). Justru karena kedosaannya itu Gereja tidak terbedakan dari semua orang lain, kendatipun “dikuduskan bagi Tuhan”: “Persekutuan Gereja mengalami diri sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya” (GS,1). Kesucian Gereja adalah kesucian perjuangan, terus-menerus. Setiap orang Kristiani seharusnya bangga (bukan sombong) atas rahmat besar kasih Allah ini.
Gereja yang Katolik
Kata “Katolik” tidak terdapat dalam Kitab Suci, tetapi sudah digunakan oleh Ignatius dari Antiokhia untuk menunjuk sifat universal (semesta) Gereja yang tersebar di seluruh dunia. Sejak abad ke-2 kata “Katolik” dalam arti universal, mulai dilawankan dengan aneka sekte dan bidaah (ajaran salah) yang bermunculan pada zaman itu. Istilah “Katolik” tetap berarti “umum”, universal, tetapi dipakai untuk menunjuk pada Gereja yang “lengkap” ajarannya dan “benar”, dilawankan dengan bidaah-bidaah itu. Sejak tahun 381 (Konsili Konstantinopel I), kata “Katolik” masuk dalam syahadat: “Aku percaya akan Gereja yang … Katolik”.
St. Ignatius dari Antiokhia, yang pertama kali menggunakan kata “Katolik” itu, berkata: “Di mana ada uskup, di situ ada jemaat, seperti di mana ada Kristus Yesus, di situ ada Gereja Katolik”. Yang dimaksudkan ialah dalam perayaan Ekaristi, yang dipimpin oleh uskup, hadir bukan hanya jemaat setempat tetapi juga seluruh Gereja. Jadi, gagasan pokok bukanlah bahwa Gereja tersebar ke seluruh dunia, melainkan bahwa dalam setiap jemaat setempat hadirlah Gereja seluruhnya. “Gereja Katolik yang satu dan tunggal berada dalam Gereja-Gereja setempat dan terhimpun daripadanya” (LG,23).
Gereja selalu “lengkap”, penuh. Tidak ada Gereja setengah-setengah atau sebagian. Gereja setempat, entah keuskupan atau paroki, bukanlah “cabang” Gereja universal. Setiap Gereja setempat, bahkan setiap perkumpulan orang beriman yang sah (a.l. KBG), merupakan seluruh Gereja. Gereja tidak dapat dipotong-potong menjadi “Gereja-Gereja bagian”.
Pada zaman Reformasi, nama “Katolik” kembali mendapat penekanan pada makna “Gereja yang tersebar ke mana-mana, dibedakan dengan Gereja-Gereja Protestan, yang (pada waktu itu) masih terbatas pada daerah Eropa tertentu. Selain itu, nama “Katolik” sejak itu secara khusus dimaksudkan umat Kristiani yang mengakui Paus sebagai pemimpin Gereja universal. Tetapi dalam syahadat, kata “Katolik” masih mempunyai arti asli “universal” atau “umum”. Ternyata universal pun mempunyai dua arti, yang kuantitatif dan kualitatif (lih. LG,13): Di satu pihak, dikatakan bahwa Umat Allah “hidup di tengah segala bangsa” serta “memperoleh warganya dari semua bangsa”. Ini segi kuantitatif atau geografis. Di lain pihak, juga dikatakan bahwa “Gereja memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan, dan adat-istiadat bangsa-bangsa”. Inilah segi kualitatifnya, yakni tidak ada sesuatu pun yang baik yang tidak diterima oleh Gereja. (Berbeda dengan prinsip ketat dogmatis Reformasi “sola Scriptura”, apa yang bukan dari Injil harus ditolak). Kedua aspek itu, kuantitatif dan kualitatif, dirangkum LG,13 itu dalam kalimat “merangkum segenap umat manusia beserta segala harta-kekayaannya”. Itu terjadi, demikian LG,13, “di bawah Kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya”. Yang terakhir ini aspek yang paling pokok Gereja disebut “Katolik”, karena dengan perantaraannya Roh Kudus hadir di seluruh dunia. Yang hadir di mana-mana serta mengangkat segala kekayaan umat manusia sesungguhnya bukan Gereja, melainkan Roh yang berkarya dalam dan melalui Gereja.
Dengan demikian, harus dikatakan bahwa kesatuan dan kekatolikan Gereja kait-mengait. Kesatuan berbicara mengenai hubungan antara para anggota dan antara jemaat-jemaat, menjadi satu Gereja dalam persekutuan (communio). Kesatuan menyangkut hubungan luar atau lahir. Sebaliknya, kekatolikan mengenai hubungan batin, hubungan jemaat atau anggota yang satu dengan yang lain “dalam Roh”: dalam segalanya berkarya Roh yang sama. Maka dapat dikatakan bahwa kekatolikan itu “misteri” kesatuan, atau sebaliknya kesatuan adalah “sakramen” yang menampakkan kekatolikan. Karenanya, kesatuan, yang sebagai “kekompakan” senantiasa menjurus ke arah ketertutupan, harus diimbangi oleh kekatolikan, yang menjamin keterbukaan Gereja. Justru di sini kelihatan bahwa Gereja itu “Bhinneka Tunggal Ika”, bukan hanya de facto (memang demikian), tetapi de jure (karena kesatuan dalam keanekaan dijamin oleh Roh Kudus).
Gereja yang Apostolik
Sifat “apostolik” atau rasuli berarti bahwa Gereja berasal dari para rasul dan tetap berpegang teguh pada kesaksian iman mereka itu. Kesadaran bahwa Gereja “dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru”, sudah ada sedari zaman Gereja perdana sendiri (Ef. 2:20; bdk. Why. 21:14), tetapi sebagai sifat khusus, keapostolikan baru disebut pada akhir abad ke-4. Semakin ditegaskan bahwa norma kebenaran adalah iman sebagaimana dirumuskan oleh para rasul. Namun perlu dijelaskan bagaimana Gereja sekarang berhubungan dengan Gereja para rasul.
Gereja Protestan berkeyakinan bahwa hubungan itu terdapat dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Baru, sebagai rumusan iman itu. Sebaliknya, Gereja Katolik, yang lebih mementingkan pewartaan lisan, memusatkan perhatian pada hubungan historis, turun-temurun, antara para rasul dan para pengganti mereka, yaitu para uskup. Perlu dicatat bahwa dalam Perjanjian Baru kata “rasul” tidak hanya dipakai untuk ke-12 rasul yang namanya disebut dalam Injil (lih. mis. Mat. 10:1-4).
Hubungan historis itu tidak boleh dilihat sebagai semacam “estafet” yang di dalamnya ajaran yang benar bagaikan sebuah tongkat dari rasul-rasul tertentu diteruskan sampai kepada para uskup sekarang. Yang disebut “apostolik” bukanlah para uskup, melainkan Gereja. Hubungan historis itu pertama-tama menyangkut seluruh Gereja dalam segala bidang dan pelayanannya. Sifat apostolik berarti bahwa Gereja sekarang mengakui diri sama dengan Gereja perdana, yakni Gereja para rasul. Hubungan historis itu jangan dilihat sebagai pergantian orang, melainkan sebagai kelangsungan iman dan pengakuan.
Sifat apostolik tidak berarti bahwa Gereja hanya mengulang-ulangi apa yang sejak dahulu kala sudah diajarkan dan dilakukan di dalam Gereja. Keapostolikannya berarti bahwa dalam perkembangan hidup, tergerak oleh Roh Kudus, Gereja senantiasa berpegang pada Gereja para rasul sebagai norma imannya. Bukan mengulangi, tetapi merumuskan dan mengungkapkan kembali apa yang menjadi inti hidup iman. Karena seluruh Gereja bersifat apostolik, maka seluruh Gereja dan setiap anggotanya, perlu mengetahui apa yang menjadi dasar hidupnya, “siap sedia pada segala waktu untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang yang memintanya, tentang pengharapan yang ada padanya” (1 Ptr. 3:15).
Sifat apostolik (yang betul-betul dihayati secara nyata) harus mencegah Gereja dari segala kerutinan yang bersifat ikut-ikutan. Keapostolikan berarti bahwa seluruh Gereja dan setiap anggotanya tidak hanya bertanggung jawab atas ajaran Gereja, melainkan juga atas pelayanannya. Dalam hidup yang nyata Gereja harus terus-menerus membuktikan diri sebagai Gereja Yesus Kristus, yang tidak hanya digerakkan oleh Roh Kudus, tetapi juga “rapi tersusun dan dilihat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya” (Ef. 4:16). Seperti semua sifat yang lain, begitu pula dengan keapostolikan Gereja tidak pernah “selesai”, tetapi selalu merupakan tuntutan dan tantangan. Gereja, yang oleh Kristus dikehendaki satu, kudus, Katolik dan apostolik, senantiasa harus mengembangkan dan menemukan kembali kesatuan, kekatolikan, keapostolikan, dan terutama kekudusannya. Sifat-sifat Gereja diimani, berarti harus dihayati dan diamalkan, oleh Gereja seluruhnya dan oleh masing-masing anggotanya.
Akhirulkalam
Kembalilah kita pada rumus pengakuan iman tentang Gereja, pasal 9 Syahadat yang panjang: “Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik”. Saya yakin setiap umat Katolik, yang cukup rajin menghadiri Ekaristi atau Ibadat Sabda Tanpa Imam pada hari Minggu dan Hari Raya, menghafal rumus itu luar kepala. Sebab dalam setiap perayaan Ekaristi atau Ibadat resmi pada hari Minggu dan Hari Raya yang disamakan dengan hari Minggu, Credo selalu entah diucapkan atau dinyanyikan. Namun pertanyaannya ialah, apakah setiap umat Katolik sungguh-sungguh telah memahami secara mendalam apa yang dia imani dalam rumus pengakuan tersebut? Setiap orang Katolik harus meneladan Bpk Ignatius Gunawan Poulden dan lain-lain, yang berupaya mendalami iman Katoliknya dan bersedia berbagi dengan saudari-saudaranya seiman. Setiap orang Katolik yang memahami iman Katoliknya secara mendalam, akan bangga menjadi Katolik.
Namun, perlu segera ditambahkan catatan bahwa bangga tidak sama dengan sombong. Karena itu, teramat pentinglah memperhatikan penegasan Yesus ini: “Kemudian ketujuh puluh murid itu (yang diutus-Nya) kembali dengan gembira dan berkata, ‘Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu’. Lalu kata Yesus kepada mereka, ‘… janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga’ ” (Luk. 10:17.20). Yesus menegaskan, bahwa bagi pengikut-Nya alasan benar untuk bersukacita (dan berbangga), bukanlah kemenangan atas lawan-lawan di dunia, melainkan janji keselamatan kekal. Kiranya inilah sebabnya mengapa pada abad-abad pertama ketika pengikut-pengikut Yesus digiring untuk dijadikan mangsa binatang-binatang buas, yang sengaja dilaparkan berhari-hari, bukannya berteriak putus asa dalam ketakutan melainkan bersukacita. Mereka bersukacita karena yakin sebentar lagi akan bertemu muka dengan Junjungan mereka dalam kebahagiaan abadi di rumah Bapa. Masihkah kita orang Katolik dewasa ini memiliki iman dan harapan sekokoh para martir itu?
Makassar, Awal Desember 2014
+ John Liku-Ada’
Sumber Utama:
Dokumen Konsili Vatikan II, khususnya Konstitusi Dogmatis ‘Lumen Gentium’ tentang Gereja dan Konstitusi pastoral Gaudium et Spes’ tentang Gereja dalam Dunia Dewasa ini.
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik; Buku Informasi dan Referensi, (Penerbit Kanisius-Penerbit OBOR, Yogyakarta-Jakarta, 1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar