Perjalanan hidup panggilan setiap orang merupakan perjalanan yang penuh dengan misteri kehidupan. Setiap orang tidak akan pernah mengetahui apa yang akan terjadi dalam hidup mereka. Namun, ketika seseorang sudah mulai memilih jalan hidupnya, berarti ia sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan diterima dalam hidupnya, sudah siap menerima segala pengalaman suka dan duka yang akan menghiasi segala perjalanan hidup panggilannya. Semua itu dialami baik oleh mereka yang memilih hidup berkeluarga maupun yang memilih panggilan hidup sebagai imam, bruder, atau suster.
Perjalanan panggilanku sebagai calon imam Keuskupan Agung Makassar merupakan suatu perjalanan yang telah saya pilih dengan bebas dan tanpa paksaan dari siapapun. Saya memulai pendidikan calon imam ini di Seminari Menengah Sto. Petrus Claver Makassar, lalu ke Seminari Tahun Rohani di Sangalla’ – Toraja, kemudian saya menyelesaikannya di Seminari Tinggi Anging Mammiri Yogyakarta pada bulan Desember 2015. Perjalanan ini bagiku sangat unik karena pada akhirnya banyak teman-teman saya yang harus diarahkan ke tempat lain, dan tinggallah saya dan satu orang teman saya yang masih melanjutkan perjalanan pangilannya di tarekat MSC. Angkatan saya yang awalnya 41 orang ketika berada di Seminari Menengah, kini menyisakan dua orang calon imam, yakni satu orang yang berada di tarekat MSC dan saya sendiri sebagai calon imam projo untuk Keuskupan Agung Makassar. Dengan demikian saya pun teringat kutipan teks Kitab Suci dari Matius 22:14: “Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih”.
Tahun-tahun terakhir berada di Seminari Tinggi Yogyakarta, saya selalu berusaha memantapkan motivasi panggilanku sebagai calon imam. Dari setiap pertemuan pribadi bersama dengan pamong, saya selalu mengatakan bahwa dari hari ke hari motivasi saya selalu meningkat dan semakin disemangati dalam menjalani panggilan ini. Akhirnya dengan mantap saya mengajukan lamaran tahbisan diakon. Pada tanggal 24 Januari 2016 saya menerima Tahbisan Diakon di Paroki Santo Yakobus Mariso Makassar oleh Uskup Agung Keuskupan Agung Makassar, Mgr. John Liku Ada’, Pr. Saya merasa sangat bersyukur dan bahagia menerima tahbisan diakon tersebut karena tahbisan diakonat ini merupakan jenjang pertama dalam tahbisan suci.
Diakon adalah pelayan (Yunani: diakonos). Diakon adalah tingkat terbawah dalam jajaran klerus, yaitu mulai dari Diakonat – Imamat – dan Episkopat. Sesuai dengan arti katanya sebagai pelayan, begitulah dalam penghayatan hidup sehari-hari tugas diakon yaitu menjadi pelayan, pembantu. Dalam Perayaan Ekaristi diakon membantu Uskup atau Imam untuk membawa Evangeliarium, membacakan Injil, sekali-sekali menyampaikan homili, membantu melayani altar/persembahan, mengangkat piala waktu doksologi, mengajak salam damai, membagi komuni, membereskan altar, dan kemudian membubarkan umat setelah berkat. Dalam pelayanan sakramental, Diakon dapat membantu Imam untuk memberkati/meneguhkan perkawinan dan memimpin upacara pembaptisan. Dalam pelayanan sakramentali, Diakon bisa memimpin upacara-upacara pemberkatan dan juga boleh mempimpin upacara pemakaman.
Di beberapa tempat Diakon belum dikenal umat. Menurut beberapa orang, pakaian liturgis diakon (dalmatik) nampaknya lucu, dengan memakai stola miring. Dalmatik (Latin: Dalmatica= pakaian dalam yang panjang) dikenakan setelah stola Diakon. Ini adalah busana resmi Diakon ketika bertugas melayani dalam Misa, khususnya yang bersifat agung atau meriah. Busana ini melambangkan sukacita dan kebahagiaan yang merupakan buah-buah dari pengabdiannya kepada Allah. Warna atau motif dalmatik disesuaikan dengan kasula imam yang dilayaninya pada waktu Misa.
Dalam tahbisan diakon ini, dan dalam menjalani hidup panggilanku ini saya memilih motto dari Yeremia 1:7, yaitu “Tetapi Tuhan berfirman kepadaku: Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu haruslah kausampaikan”. Saya memilih motto panggilan ini dengan kesadaran bahwa dalam menjalani tugas dan perutusan yang dipercayakan kepadaku nantinya saya harus tetap siap, ke manapun saya akan diutus. Dalam menjalani tugas perutusan itu nantinya saya harus berusaha agar tetap bahagia dan semangat tanpa harus banyak mencari-cari alasan karena saya menyadari akan masih kurangnya tenaga pelayan (khususnya Pastor) di Keuskupan Agung Makassar ini. Dengan demikian, saya menyadari bahwa tugas ini cukup berat, tetapi saya yakin akan rahmat Tuhan yang akan selalu menyertaiku.
Ketika ditanya mengapa memilih hidup panggilan ini dengan yakin dan mantap? Saya pun mengatakan bahwa saya memilih hidup selibat atas dasar kebebasan. Memang bahwa hidup selibat tidak terlepas dari berbagai macam tantangan, pergulatan dan godaan. Namun biarlah semua ini saya kembalikan pada penyelenggaraan Allah yang telah menganugerahkan rahmat ini, sembari disertai dengan usaha yang dibarengi ketekunan dan kesetiaan.*** Penulis: Fr. Fransiskus Wogha Pati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar