Oleh Tim Redaksi Buletin KOINONIA, saya diminta untuk menuliskan pengalaman hidup bersama P. Rudy. Sebetulnya, ada orang yang lebih cocok untuk itu, yaitu P. Leo Matius Arruan, teman seangkatannya. Tetapi karena diminta, saya mencoba menuliskan apa-apa saja yang saya masih ingat (maklum, sudah lanjut usia dan sering lupa ingatan). Meskipun berbeda usia dan angkatan (saya lebih senior daripada P. Rudy), namun sejak di Seminari Menengah St. Petrus Claver Makassar, kami sudah menjadi teman akrab. Kami selalu kompak dan solider, bukan hanya dalam hal biasa-biasa saja, tetapi juga dalam hal aneh-aneh alias „gilop-gilop“. Misalnya waktu di Seminari Menengah St. Petrus Claver Makassar, kami pernah membuat pusing P. Alex Paat selaku Prefek Disiplin karena pulang bermalam Minggu di rumah tanpa minta izin. Waktu di Seminari Tinggi St. Paulus dan Seminarium Anging Mammiri Yogyakarta, kami pernah mengusili para calon frater yang baru datang di Yogyakarta dengan memaksa mereka naik “andong” dari terminal bis ke asrama. Kami juga sering melakukan “operasi sapu jagat” untuk membersihkan buah-buah yang matang di kebun, dengan alasan daripada dimakan kelelawar lebih baik dimakan manusia. Untuk menambah wawasan dan pengalaman, kami berdua juga suka naik sepeda “ontel” untuk pergi mengajar Agama, membina Pramuka dan melatih Drumband di berbagai sekolah. Untuk “refreshing” dari kepenatan studi, kami membentuk Band “The Blacus” yang beranggotakan beberapa frater “gilop-gilop” dari berbagai keuskupan. Selain itu, kami juga suka pergi berlibur bersama ke Surabaya, Madura, dan tempat-tempat lain. Dan waktu bertugas bersama di Tana Toraja (saya di Paroki Mengkendek dan P. Rudy di Paroki Makale), kami sering mengadakan “duel meet” sepak bola antara Sekolah Minggu Mengkendek melawan Sekolah Minggu Makale di lapangan terbuka untuk menghibur masyarakat. Kami berdua juga suka mengadakan “kunjungan persahabatan” ke berbagai paroki lain (baik di Tana Toraja maupun di daerah lain) untuk mempererat persahabatan dengan rekan-rekan imam. Kunjungan persahabatan itu membuat kami sering nekat untuk berbalap ria dengan sepeda motor ke tempat-tempat yang jauh, bahkan sampai ke Makassar.
P. Rudy adalah seorang sahabat sejati yang penuh perhatian dan pengertian terhadap teman, sehingga ketika ayam kesayangannya pun saya potong, ia tidak marah karena tahu bahwa saya lagi bosan makan tempe di asrama. Sebagai teman akrab dan sahabat sejati, P. Rudy selalu mau membagi rezekinya kepada saya. Misalnya ketika bertugas di Paroki Makale, ia sering mengirimkan “duku bai” kepada saya yang tinggal di desa Ge`tengan. Ketika bertugas di Paroki Pare-Pare, ia sering mengirimkan “pa`tong kide” alias “RW” kepada saya yang tinggal di Makassar. Dan ketika bertugas di Baruga Kare, ia sering membawakan saya di Pastoran Gotong-Gotong mangga, jagung, pisang, nangka, ayam dan sebagainya. P. Rudy adalah seorang imam yang menghayati imamatnya dengan penuh semangat dan kegembiraan. Di mana pun ia ditugaskan, ia selalu melayani umat dengan ceria dan canda. Bahkan ketika sakit dan dirawat di rumah sakit, baik di Stella Maris maupun di St. Carolus, ia tetap bersemangat dan bergembira. Sambil melupakan penyakitnya, ia masih bergurau dengan mengajak saya untuk bertanding “batu akik” yang sedang trendi. Pendek kata, P. Rudy memang hidup dengan motto “In Search of Meaning” yang ia tempelkan pada kendaraannya. Sesuai dengan motto tersebut, ia sedang mencari-cari arti kehidupan, termasuk arti penyakit yang dideritanya. Saya percaya bahwa sekarang ia telah menemukan arti kehidupan yang ia cari selama hidupnya di muka bumi ini. P. Rudy, teman akrab dan sahabat sejati, selamat beristirahat dan berbahagia di alam baka. Jadilah pendoa untuk kami yang masih sedang mencari-cari arti kehidupan di muka bumi ini. *** Penulis: Pastor Hendrik Njiolah, Pr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar