Rabu, 29 Juli 2015

BELAJAR TERUS, BUKAN SEKEDAR MENGEJAR GELAR


Belajar tak mengenal usia! Itulah kebijaksanaan yang patut dihayati oleh setiap insan, termasuk orang-orang beriman. Mengapa? Juruselamat kita, Yesus Kristus, adalah mahaguru yang telah menyingkapkan kebenaran yang mengantar pada kehidupan, melalui pengajaranNya. Ia sangat dikenal oleh orang-orang sezamanNya sebagai pengajar kharismatis (penuh kuasa, tidak seperti Ahli-ahli Taurat dan Orang-orang Farisi). Oleh karena itu, para muridNya, termasuk kita yang hidup di zaman ini, ditantang untuk terus belajar dan menghayati semangat kemuridan, siap ditempa dan di-upgrade. 

Ketika diberikan mandat untuk studi lanjut, sebagai salah satu imam KAMS, saya mengafirmasi perutusan itu dengan spirit kemuridan. Saya siap belajar lagi dengan “locus” dan lingkungan yang tentu asing di negeri orang. Inilah belajar dalam arti sesungguhnya, yakni mencari ilmu dan kebijaksanaan hidup, bukan sekedar mengejar gelar! Belajar, tidak hanya dimaknai secara formal. Setiap pagi harus pergi ke sekolah, mendengar pengajaran dari dosen, mengerjakan tugas, mengikuti ujian dan akhirnya dinyatakan lulus. Belajar mesti dimaknai secara integral dan holistik sebagai murid Yesus, pematangan aspek intelektual, pendewasaan pribadi, pengokohan kemampuan spiritual dan peningkatan kecerdasan sosial.

Berdasarkan sudut pandang itu, saya hendak membagikan pengalaman studi ini secara integral dalam dua aspek, yakni formal dan informal. Secara formal, saya harus jujur mengatakan bahwa kesulitan pertama dan utama adalah sarana komunikasi (bahasa lisan maupun tertulis) sebagai medium dalam studi. Secara informal, adaptasi dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat serta komunitas setempat adalah faktor pendukung yang tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan studi formal di perguruan tinggi.

Dari segi bahasa, saya merasa seperti kerbau masuk ‘kandang’ domba. Saya jadi bingung mendengar percakapan dalam bahasa Inggris dan Tagalog atau Taglis (kombinasi Tagalog-English): ada “Po”, terkadang muncul “Yung”, lain kesempatan “Dito”. Tak tahu apa artinya! Karena tidak mengerti, pilihan terbaik adalah diam. Mungkin pepatah kuno kurang tepat, tetapi terwujud dalam situasi ini: “Silent is gold”. Kalau terpaksa bicara, saya jadi orang gagap, lidah kaku dan mengucapkan kalimat Inggris yang sulit dimengerti. Saya merasa betul-betul “asing” dan terasing. Maklum, tiada persiapan matang layaknya prajurit yang akan dikirim ke medan tempur tanpa training. Maka tidak ada pilihan: do or die! Mulai buka mulut dan belajar ekstra keras, atau mati suri tanpa kemajuan studi.

Namun, spirit kemuridan menguatkan. Oleh karena itu, satu-satunya tumpuan adalah penyelenggaraan Ilahi, Sang Sumber pengetahuan dan kebijaksanaan. Ora et labora harus diwujudkan dengan determinasi dan komitmen untuk menjadikan misi ini berisi. Puji Tuhan, dengan kuliah 4 jam pagi hari (meski semester pertama lewat seperti hembusan angin) dari jam 08.00-12.00 dan kursus jam 13.00-17.30, saya perlahan-lahan menyelami arti komunikasi dan mulai membuka mulut untuk bicara dan memasang telinga untuk menangkap pelafalan kata-kata bahasa Inggris dan Tagalog.

Proses berat itulah yang mengawali narasi dalam misi studi. Kekhawatiran tentang mengerjakan karya tulis, paper, riset dan penulisan tesis sebagai tugas akhir sudah membayang. Tidak ada pilihan, maka saya menggunakan setiap kesempatan kuliah untuk membuat catatan. Maaf, jangan cari buku catatan saya. Semua catatan ada dalam komputer. Setiap ceramah dosen, saya ketik. Saya harus mengetik secepat mungkin. Kreativitas dan strategi ini jadi pilihan. Terbukti, tockher! Bahkan catatan (softcopy) terkadang jadi referensi dan diminati teman-teman. Ini menumbuhkan keyakinan. Bisa!

Dengan mengetik langsung ceramah dosen, saya mendapat beberapa keuntungan. Saya belajar mengetik lebih cepat. Saya menggunakan kosa kata yang dipelajari sehingga semua jadi aktif. Saya bisa mengoreksi kesalahan pengetikan kata atau kalimat dengan tanda merah di bawah kata atau kalimat yang salah. Saya lebih mudah mengakses kamus elektronik yang saya install di komputer. Terbukti strategi itu manjur. Semester pertama bisa diselesaikan dengan baik, meski tidak sempurna.

Belajar tetap berlangsung dan keterbukaan pada “dunia” baru yang bernama Hukum Gereja menjadi keharusan. Saya harus memasuki dunia yuridis ini dengan rasa haus, ingin tahu dan ingin mengekplorasinya. Dengan catatan, saya ditantang untuk menghapus dan meninggalkan perlahan kosa kata lama, nuansa istilah dan sistem pendidikan yang sebelumnya menjadi dunia di mana saya melakukan perutusan. Jadwal mengajar, jadwal ujian, daftar dosen, Undang-Undang Pendidikan, 7 Standar Pendidikan dan semua turunannya harus disingkirkan. Kini, petualangan baru memasuki dunia baru, bernama Hukum Gereja di University of Santo Tomas Manila.

Namun, semua proses akademis ini hanya dapat berjalan ketika adaptasi dengan sosial budaya dan sistem sosial yang baru dapat diatasi secepat mungkin. Adaptasi mesti segera terjadi, tanpa “pakai lama”. Tanpa adaptasi dan integrasi dengan situasi komunitas dan masyarakat baru, perasaan “asing” akan menghalangi daya juang dan komitmen untuk memasuki dunia baru, Hukum Gereja. Maka inilah belajar dalam arti belajar secara integral dan holistik, ditempa dan ditantang untuk mengatasi rintangan dan bergegas menjemput peluang.

Kemampuan belajar dalam arti informal sangat menentukan kemajuan studi formal. Kecerdasan sosial dan kecepatan integrasi dengan lingkungan, situasi kampus, ritme hidup komunitas (seperti seminari, tempat saya berdomisili) dan masyarakat setempat adalah kunci sukses studi. Saya harus belajar mengerti “jiwa” masyarakat Filipina dalam ucapan “Po”. Ungkapan ini mengekspresikan sikap hormat dan sopan-santun terhadap lawan bicara. Karena itu, istilah Tagalog yang pertama kali saya pelajari adalah “Para Po”. Apa itu? Kalau naik Jeepney, kendaraan umum di Metro Manila, saya harus turun di tujuan. Supaya sopir menghentikan kendaraannya, saya harus mengatakan: “Para Po”. Ini hal sepele. Tetapi tanpa kemampuan mengucapkan itu, bisa dibayangkan, saya akan diturunkan di mana, di tempat antah berantah. Lalu, besar kemungkinan saya akan tersesat dan tak sampai di kampus, yang jaraknya sekitar 7 Km dari Provinsialat CICM, tempat saya tinggal sementara (2,5 bulan pertama).

Selain itu, saya belajar menikmati makanan Filipina. Seorang Pastor CICM telah ‘membaptis’ saya dengan mencicipi “Balut”. Apa itu? Ini makanan populer seantero Filipina. Rasanya sedap, tapi hati-hati kolesterolnya tinggi. Itulah telur yang sudah jadi “baby chicken”. Awalnya, saya merasa jijik ketika melihat ada ayam kecil saat cangkang telur dibuka. Tetapi, dengan mencampurkan sedikit garam dan beberapa tetes cuka, baus amis berkurang dan anak ayam itu siap memanjakan lidah. “Kalau mau terintegrasi dengan mereka, makanan, minuman dan pola pikir mereka mesti menjadi bagian hidupku,” itulah komitmen saya. Saya tidak bisa survive dan hidup dengan mereka jika terus memelihara “tembok” pemisah yang namanya: bahasa, makanan, pola pikir, dst. Dan, inilah pelajaran yang tidak kalah menantang dengan kuliah formal di bangku kampus.

Puji Tuhan, setelah melewati fase adaptasi dengan jatuh-bangun, perasaan asing dan terpencil tersingkir dan saya pun bisa belajar lebih baik dari hari ke hari. Belajar secara integral dan holistik adalah proses yang sedang saya jalani. Empat semester sudah rampung. Ilmu formal seputar Hukum Gereja sudah diserap dan sekarang mulai proses integrasi. Dua semester masih menanti. Penulisan tesis sedang berjalan, bersamaan dengan teori yang telah dan sedang digeluti sampai akhir semester keenam (tahun depan). Semoga belajar secara integral dan holistik sebagai murid Yesus, terus berlangsung dan meresapkan ilmu plus kebijaksanaan ke lubuk hati untuk menyingkapkan kebenaran di nubari, bukan sekedar menambah gelar dan koleksi ijazah. Veritatis Splendor! *** Penulis: Pastor I Made Markus Suma, Mahasiswa Fakultas Hukum Gereja, University of Santo Tomas Manila

Tidak ada komentar: