Pernah ada pertanyaan: “Pastor, perkawinan yang ideal itu adalah perkawinan yang dilaksanakan dalam perayaan ekaristi karena di situlah kesungguhan dan kesepakatan nikah dilangsungkan secara eksklusif oleh sepasang suami isteri. Lalu mengapa ada perkawinan massal di Messawa? Bukankah itu kesepatan nikahnya tidak eksklusif lagi?” Pertanyaan ini muncul karena memang yang bersangkutan menyaksikan perkawinan massal yang diadakan di Messawa. Sangat penting untuk pertama-tama mensharingkan perkawinan massal di Messawa yang mungkin menjadi khas dibandingkan dengan paroki-paroki lain di wilayah Gerejani Keuskupan Agung Makassar.
Pertama, bahwa perkawinan massal bukan sesuatu yang baru dijumpai di dalam Gereja. Pada tanggal 14 September 2014, Paus Fransiskus menikahkan 20 pasang secara massal. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II yang menikahkan 16 pasang. Sebenarnya di banyak tempat juga banyak dijumpai perkawinan massal seperti ini. Kedua, perkawinan massal seperti ini sudah berlangsung lama di Messawa hanya praktik pelaksanaanya berubah-ubah sesuai dengan kebijakan Pastor Paroki. Secara aktual, hingga saat ini, kebijakan ini masih sangat relevan untuk konteks pastoral Messawa. Maka untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya melihat konteks pastoral perkawinan di Paroki Messawa.
Persoalan pastoral
Perkawinan massal dilaksanakan untuk menjawab masalah-masalah pastoral khususnya menyangkut perkawinan yang marak di Messawa. Data umat yang kami miliki menunjukkan bahwa banyak keluarga-keluarga Katolik yang hidup dalam perkawinan yang tidak sah dan hampir dijumpai di semua stasi. Oleh karena itu, perkawinan massal dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan penyelesaian masalah perkawinan ini. Kami dapat menyebutkan beberapa alasan diadakannya perkawinan masal:
Pertama: sistem masyarakat yang masih sangat menjunjung tinggi adat dan kebiasaan. Sendi-sendi kehidupan masyarakat masih banyak dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan, termasuk perkawinan. Lembaga perkawinan ditentukan oleh “kawin adat” yang dilaksanakan di sebuah kampung/desa. Kebersamaan yang belum diresmikan dalam perkawinan adat masih dipandang belum memasuki hidup perkawinan sebenarnya. Karena sistem masyarakat demikian, membuat banyak umat katolik yang mengadakan penikahan adat mendahului perkawinan gerejani. Bahkan tidak sedikit umat juga yang memandang perkawinan adat adalah perkawinan yang sebenarnya sedangkan perkawinan gerejani hanya dipandang sebagai syarat untuk mendapatkan akta nikah sipil. Maka tidak sedikit persekutuan yang dibangun di masyarakat, didasarkan pada perkawinan adat ini. Kalau persekutuan hidup ini didasarkan pada perkawinan adat, maka itu berarti bahwa masih banyak umat Katolik yang membangun persekutuan hidup secara tidak sah.
Kedua: Masyarakat Messawa masih mengenal istilah hari baik dan hari buruk, tanggal baik dan tanggal buruk untuk sebuah perkawinan. Penentuan hari ini sudah menjadi harga mati dalam kesepakatan keluarga. Sistem masyarakat masih meyakini bahwa perkawinan yang dilaksanakan pada hari tertentu atau tanggal tertentu dapat membuat kelangsungan keluarga itu mengalami kebahagian dalam perjalanan kehidupan keluarga. Banyak umat Katolik berpendapat bahwa perkawinan di hari dan tanggal yang baik itu lebih penting dari pada perkawinan gerejani yang dapat dilakukan kemudian. Kadangkala mereka yang datang untuk meminta pelayanan perkawinan tidak memahami bahwa perkawinan gerejani bukanlah hal yang gampang, masih banyak syarat-syarat administratif yang masih harus diselesaikan. Dalam penentuan tanggal perkawinan, pelayan pastoral sering tidak dilibatkan untuk mengkonsultasikan jadwal pelaksanaan perkawinan. Hal ini membuat pelayan pastoral tidak dapat melayani suatu perkawinan karena sudah memiliki agenda yang sudah terjadwal. Karena penentuan hari baik ini maka banyak dijumpai perkawinan yang dilaksanakan serempak pada hari atau tanggal yang sama. Bagaimana mungkin seorang pastor dapat melayani dua sampai tiga pasang dalam hari yang sama di tempat-tempat yang berbeda-beda.
Ketiga: Situasi sosial masyarakat yang masih menjunjung tinggi budaya siri’ (budaya malu). Bukan sebuah rahasia lagi bahwa tingkat kehamilan di luar nikah masih sangat tinggi di Paroki Messawa. Kehamilan yang terjadi di luar perkawinan dapat menjadi siri’. Oleh karena itu perkawinan yang sesegera mungkin dilaksanakan menjadi jalan keluar untuk menyelamatkan citra keluarga. Berhadapan dengan setuasi seperti itu, maka perkawinan yang harus segera dilaksanakan adalah perkawinan adat. Sekali lagi bagi masih banyak umat Katolik yang berpendapat bahwa perkawinan yang sebenarnya adalah perkawinan adat, perkawinan gereja dapat dilakukan menyusul. Hal ini juga menjadi salah satu masalah pastoral, seakan-akan perkawinan adatlah yang dapat menyelamatkan, sedangkan perkawinan gereja masih belum dipandang sebagai jalan ke luar dari budaya siri’.
Keempat: Luasnya medan pelayanan Paroki Messawa. Wilayah pelayanan gerejani Paroki St. Franciscus Xaverius meliputi dua Provinsi (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat), tiga Kabupaten (Kabupaten Mamasa, Toraja dan Pindrang) dan lima Kecamatan (Kecamatan Messawa, Sumarorong, Suppiran, Mappak, dan Simbuang). Paroki ini memiliki 53 Stasi, yang terbagi dalam lima Wilayah, Wilayah Simbuang: 9 Stasi, Wilayah Mappak: 8 Stasi, Wilayah Tabone: 11 Stasi, Wilayah Sepang: 10 Stasi dan wilayah Suppiran: 15 Stasi. Jumlah umat yang dilayani sebanyak 1.938 Kepala keluarga yang terdiri dari 7.667 jiwa yang dilayani oleh 3 orang imam. Selain itu hampir semua medan pelayanannya berupa pegunungan. Kondisi seperti ini tidak memungkinkan tenaga pastoral untuk melayani perkawinan secara gampang. Lalu bagaimana jika seorang Pastor harus melayani penerimaan sakramen perkawinan tiga kali dalam satu minggu di berbagai stasi yang berbeda-beda? Selain itu persoalan pastoral di Messawa tidak hanya terfokus pada masalah perkawinan. Oleh karena itu melalui kebijakan pastor Paroki diadakanlah pemusatan peneguhan dan pemberkatan perkawinan.
Kelima: sesuai dengan ajaran Gereja yang mengharuskan diadakannya persiapan dan katekese yang mencukupi untuk mereka yang akan melangsungkan perkawinan gerejani. Untuk membekali pasangan-pasangan yang akan mengadakan perkawinan diharuskan memiliki sertifikat kursus persiapan perkawinan (KPP). Sampai saat ini tenaga-tenaga pastoral yang dianggap memiliki kompeten untuk memberikan materi-materi kursus masih sangat terbatas di pusat Paroki saja. Untuk alasan inilah, maka diadakan pemusatan kursus persiapan perkawinan dilaksanakan selama 4 hari. Hari terakhir dari kursus ini diadakan pemberesan perkawinan, peneguhan Perkawinan bagi mereka yang sudah melangsungkan perkawianan adat dan juga pemberkatan nikah bagi mereka yang baru melangsungkan perkawinan.
Praksis pelaksanaan
Perkawinan massal bukan berarti bahwa kesepakatan nikah dilakukan juga secara massal di depan seorang Imam. Kesepatan nikah tetap dilakukan eksklusif di antara pasangan calon mempelai di hadapan seorang iman yang dilakukan secara bergantian. Ada beberapa proses yang kami lakukan sebelum mengadakan perkawinan massal. Pertama, pemberesan administrasi perkawinan. Sebagaimana yang ada dalam hukum Gereja bahwa perkawinan itu sah jika dilakukan di antara seseorang tidak terikat perkawinan sebelumnya (ligament) dengan orang lain. Dalam tahap ini dilakukan pemeriksaan administrasi seperti pengumpulan surat baptis terbaru, surat liber, izin orang tua untuk menikah bagi mereka yang belum berumur 21 tahun dan juga akta kematian bagi mereka yang ditinggal mati oleh pasangannya. Kedua adalah penyelidikan Kanonik. Penyelidikan kanolik dilakukan untuk mendapatkan kepastian akan keseriusan seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Penyelidikan kanonik dilakukan untuk semua calon mempelai entah mereka yang sudah hidup dalam perkawinan adat maupun mereka yang akan melangsungkan perkawinan baru. Penyelidikan kanonik juga sangat penting untuk kelengkapan administrasi paroki. Hanya memang dalam pelaksanaanya bahwa ada pembedaan dalam penyelidikan antara mereka yang sudah hidup dalam perkawinan yang sudah bertahun-tahun dan sudah memiliki anak, bahkan cucu dengan mereka yang baru akan melangsungkan perkawinan baru.
Ketiga adalah Kursus Persiapan Perkawinan (KPP). Kursus persiapan perkawinan dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada calon mempelai tentang tanggung jawab suami istri dalam membangun keluarga. Materi yang diberikan disesuaikan dengan meteri yang dianjurkan oleh Komisi Keluarga Keuskupan Agung Makkassar. Ada tujuh tema pokok yang menjadi fokus yakni: Hukum dan moral perkawinan Katolik, Spiritualitas perkawinan, Komunikasi dalam Cinta, Orangtua dan Keluarga Bertanggung Jawab, Pendidikan Anak dalam Keluarga Katolik, Psikologi Pria dan Wanita dan Pengaturan Ekonomi Rumah Tangga. Namun sesuai dengan konteks pastoral kami, dari sekian tema itu ada tiga tema pokok yang mendapat perhatian khusus yakni moral perkawinan: ini berkaitan karena banyaknya dijumpai perceraian yang berawal dari kekerasan dalam keluarga, seksualitas: menyangkut tingkat kelahiran anak yang tidak terkontrol, dan juga ekonomi keluarga menyangkut kesejahteraan keluarga secara ekonomi. Kursus persiapan perkawinan dilakukan selama tiga hari.
Keempat yakni penerimaan sakramen yang mendahului kesepakatan nikah. Ada satu sakramen yang sering kami lakukan mendahului kesepatan nikah yakni sakramen baptis dan juga penerimaan bagi mereka yang dibaptis di Gereja lain di bawah naungan PGI. Sangat sering bahwa mereka yang datang mengikuti kursus persiapan perkawinan adalah pasangan-pasangan campur. Salah satu beragama Katolik yang lainnya masih menganut paham kepercayaan atau dibaptis di Gereja lain. Sehari sebelum pemberkatan perkawinan didahului dengan penerimaan mereka yang ingin masuk dalam pangkuan Gereja, yakni penerimaan sakramen baptis dan juga penerimaan secara resmi mereka yang dibaptis di Gereja lain. Proses ini tentu sudah didahului dengan pendalaman iman katolik yang memadai yang sudah direkomendasikan oleh pengantar-pengantar di stasi-stasi asal mereka. Kelima adalah penerimaan kesepakatan nikah. Sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya meskipun pelaksanannya dilakukan secara massal, dan hampir semua calon pengantin entah mereka yang sudah menikah dalam perkawinan adat yang cukup lama, maupun yang baru, mengunakan gaun pengantin, namun kesungguhan dan kesepakatan nikah tetap dilakukan secara eksklusif di antara pasangan di hadapan seorang Imam.
Berikut ini dapat kami paparkan contoh agenda pelaksanaan Kursus Persiapan Perkawinan yang hingga kini masih dilaksanakan:
Kepada
Umat di Stasi Masing-masing
Salam Damai,
Melalui ini, diberitahukan kepada umat sekalian, bahwa kursus persiapan perkawinan akan diadakan pada 25 – 27 Mei 2015 dan akan dilanjutkan dengan pemberkatan perkawinan pada 28 Mei 2015. Kursus persiapan perkawinan dan pemberkatan perkawinan akan dilaksanakan di pusat paroki St. Franciscus Xaverius Messawa. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh para calon peserta kursus/pemberkatan perkawinan adalah:
A. Penting
1. Bagi yang Katolik, dimintai surat baptis (tidak boleh tidak ada)
2. Bagi yang Protestan, wajib menyerahkan surat baptis (tidak boleh tidak ada)
3. Bagi Gereja di luar Katolik dan luar Protestan akan dibaptis
4. Semua calon mempelai wajib menyertakan biodata calon saksi (dua orang); saksi adalah orang Katolik dan sudah dewasa
5. Bagi yang pernah diberkati di Gereja Katolik dan ‘cerai sipil’ atau sekedar ‘cerai adat’, dianjurkan tidak mengikuti kursus perkawinan sampai kasus perkawinan pertamanya diselesaikan oleh Tribunal Gereja (Pengadilan Gereja) di Tingkat Keuskupan.
6. Bagi yang pernah diberkati di Gereja Katolik dan pasangannya meninggal dunia, wajib menyerahkan akte kematian yang dikeluarkan oleh Kelurahan setempat atau pihak rumah sakit jika meninggalnya di rumah sakit.
7. Jika ada yang berasal dari kalangan Protestan, diberkati perkawinannya di Gereja Protestan dan cerai serta ingin melangsungkan perkawinan di Gereja Katolik, perkawinan pertamanya harus diselesaikan dulu di Tribunal Gereja (pengadilan Gereja) Tingkat Keuskupan; karena perkawinan protestan itu sakramen di mata gereja Katolik. Dengan demikian, hukum perkawinan Katolik dikenakan kepada mereka yang protestan yang sudah pernah melangsungkan pemberkatan perkawinan di Protestan, kemudian cerai dan ingin melangsungkan perkawinan di Gereja Katolik.
Diminta kepada para pengurus wilayah dan pengurus stasi, terlebih Tim Katekese, memperhatikan catatan di atas untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan menyangkut persipan perkawinan dan perkawinan itu sendiri.
B. Biaya Administrasi Perkawinan
Biaya administratif tersebut diselesaikan ketika pengurusan surat perkawinan setelah pemberkatan perkawinan dilangsungkan.
Jadwal 25 – 28 Mei 2015
Senin, 25 Mei 2015
Pkl 14.00: Pengumpulan berkas
Pkl 17.00: Hukum dan Moral perkawinan Katolik (Pastor Cornell),
Pkl 19.00: Komunikasi dalam Cinta (Bpk.Thomas Tammu)
Selasa, 26 Mei 2015
Pkl 08.00: Foto Berpasangan dilanjutkan dengan Penyelidikan Kanonika
Pkl 14.00: Orangtua dan Keluarga Bertanggung Jawab (Bpk. Yustinus)
Pkl 16.00: Spiritualitas perkawinan (Bpk. Yunus)
Pkl 18.00: Misa penerimaan, baptisan-krisma-komuni pertama
Rabu, 27 Mei 2015
Pkl 08.00: Sakramen tobat dan Galadi bersih
Pkl 14.00: Pengaturan Ekonomi Rumah Tangga (Bpk. Bernadus Badi)
Pkl 16.00: Psikologi Pria dan Wanita (Bpk. Marius Igo)
Pkl 19.00: Pendidikan Anak dalam Keluarga Katolik (Bidan Yustina)
Kamis, 28 Mei 2015
Pkl 09.00: Pemberkatan Perkawinan
Pkl 11.00: Pemberesan Administrasi Perkawinan
Catatan penting:
1. Syukuran ibadat sabda atau pelayanan ibadat syukur secara Katolik sesudah kawin adat padahal belum diberkati secara resmi di gereja, praktek tersebut tidak dibenarkan. Syukuran tersebut tidak berfaedah dan tidak berahmat, karena bahkan jika pasangan tersebut atau salah satunya adalah orang Katolik, orang Katolik yang bersangkutan dikenakan sanksi tidak boleh menerima komuni ketika ada pelayanan misa, karena hidup dalam perkawinan yang belum sah secara Gerejawi. Di mata Gereja, kawin adat adalah perkawinan putative (pura-pura), jadi apa maksud syukuran tersebut?
2. Jika syukuran yang dimaksud dilakukan setelah pemberkatan perkawinan di gereja, jika kawin adat belum dilakukan, entah menunggu sampai kawin adat atau sebelum kawin adat, syukuran tersebut adalah praktek yang benar, karena sakramen perkawinan adalah puncak tertingginya sejak yang bersangkutan memeluk Iman Katolik. Jika perkawinan sudah dilakukan secara gerejani, kemudian diikuti selanjutnya dengan kawin adat yang disertai dengan pencatatan sipil, itu juga merupakan praktek yang terpuji; karena perkawinannya sudah resmi secara gerejani dan sudah memiliki surat perkawinan gerejani sebagai acuan pencatatan sipil. Adapun mereka yang sudah menerima sakramen perkawinan tetapi belum menjalani kawin adat, tidak perlu menunggu hingga kawin adat untuk tinggal sekamar, karena Sakramen Perkawinan merupakan martabat perkawinan tertinggi bagi umat Katolik.
3. Malam sebelum kawin adat, boleh meminta pengantar melayani doa (bukan melayani ibadat mulai dari lagu pembuka sampai lagu penutup); melainkan doa biasa yang dibuka dengan tanda salib, isi doa lalu ditutup dengan tanda salib. Perkawinan yang sesungguhnya dalam Gereja Katolik adalah sakramen perkawinan. Bagaimana mungkin kita beribadat untuk menuju kepada perkawinan yang tidak sah secara gerejawi/perkawinan putative (pura-pura)?
4. Perlu ditinjau kembali mengenai ibadat syukur untuk anggota keluarga yang melangsungkan perkawinan di luar Gereja Katolik. Harus diketahui bahwa melangsungkan perkawinan di luar Gereja Katolik secara otomatis membuat yang bersangkutan keluar dari anggota Gereja Katolik. Kita menyelenggarakan ibadat syukur berarti kita secara bersamaan mendukung tindakan meninggalkan Gereja Katolik. Apakah kita bersyukur karena yang bersangkutan sudah kawin? Tetapi kawinnya bukan di Gereja Katolik dengan konsekuensi secara otomatis mengeluarkan dia dari Gereja Katolik dan dia kehilangan haknya sebagai anggota Gereja Katolik. Jika syukuran itu dilakukan dengan tata cara agama lain tempat ia pindah, itu sudah urusan mereka. Jika pihak keluarga Katolik yang menyelenggarakannya itu hanya dikarenakan oleh melihat kawinnya saja dan tidak melihat dampak dari perkawinan tersebut, maka isi intense yang ada sebenarnya adalah syukuran atas perkawinan sekaligus syukuran atas domba yang hilang.
5. Menyangkut agenda pemberi materi dalam kursus persiapan perkawinan, silakan saling berkomunikasi satu sama lain jika waktu yang terpampang di atas terkena jam sibuk. Pertukaran waktu antar pemateri tetap dimungkinkan demi kelancaran kursus.
6. Ditegaskan agar para pengurus Stasi dan Pengantar meneliti dengan baik calon peserta kursus perkawinan di stasinya; apakah calon itu bersih ataukah memiliki halangan (soal masalah) yang harus dituntaskan terlebih dulu agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan pihak-pihak terkait dalam hidup perkawinan. Pengurus stasi dan pengantar harus memastikan bahwa calon dari stasinya tidak tersangkut dalam masalah yang harus dibenahi terlebih dulu.
7. Soal pelaksanaan pemberkatan perkawinan bisa saja terjadi: Menunggu kapan waktu ramai, mengikuti tanggal adat nenek moyang yang disebut hari baik, ingin diberkati sendiri, ingin di paroki Messawa karena prosesnya lebih mudah juga murah dan lain-lain. Intinya, setiap pasangan yang ingin menerima sakramen perkawinan di luar program paroki, dipersilakan mengatur janji kursus perkawinan dengan terlebih dulu mengambil format blanko di sekretariat paroki, yang berisi kolom pemateri, tema materi yang diterima, waktu pemberian materi dan paraf pemateri. Blanko tersebut sebenarnya adalah bakal dari sertifikat kursus perkawinan. Satu materi kosong dan tanpa paraf pemateri, pemberkatan dinyatakan batal. Setiap pilihan yang mungkin terdesak oleh sesuatu, tetap memiliki konsekuensi yang harus dijalani. Tidak ada pilihan tanpa konsekuensi.
Penutup
Sampai saat ini, masalah perkawinan masih menjadi salah satu persoalan pastoral di Paroki Messawa. Pemahaman umat akan pentingnya perkawinan gerejani masih minim ditambah dengan sistem kebudayaan yang masih sangat menjunjung tinggi perkawinan adat, membuat masalah perkawinan masih terus bermunculan di Messawa. Perkawinan massal yang dipraktekkan di Messawa digunakan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan ini. Perkawinan massal seperti ini sudah dilakukan jauh sebelumnya dan dimasukkan dalam kebijakan pastoral oleh pastor-pastor paroki yang berbeda-beda. Itu berarti dengan banyak pertimbangan dan sesuai dengan konteks pastoral paroki Messawa, pelaksanaan perkawinan massal seperti ini masih sangat relevan.
Kami juga menilai bahwa perkawinan seperti ini di masa mendatang masih akan tetap dipertahankan. Harapannya bahwa di masa mendatang pemahaman umat akan perkawinan gerejani semakin membaik dan akhirnya dapat meminimalisir masalah-masalah pastoral yang terjadi seperti saat ini. Oleh karena itu menjadi tantangan pastoral ke depannya bagaimana umat katolik di Paroki Messawa, khususnya semakin banyak mendapatkan pengetahuan iman akan pentingnya perkawinan gerejani ini. Semua ini dilakukan untuk keselamatan jiwa-jiwa.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar