Kekaguman adalah awal panggilannya menjadi imam. Dia tersentuh oleh penggalan lagu ABBA yang dipopulerkan Westlife “I have a dream” yang menggambarkan sebuah cita-cita. Dalam perjalanan panggilannya menjadi imam memang dia selalu mengaku bahwa tidak ada yang luar biasa. Hanya bermula dari kekaguman terhadap sosok pribadi imam tertentu, dimurnikan oleh pengalaman dan dimatangkan oleh formator di Seminari dan disikapi dengan permenungan pribadi. Panggilannya bukan sekadar “dreamnya Westlife” melainkan Tuhanlah yang membimbingnya menuju imamat melalui pengalaman-pengalaman hidupnya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Dia selalu percaya bahwa Tuhanlah yang selalu mendampinginya. Untuk itu dia memilih motto panggilannya “Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu (I Kor 10:13). Motto inilah yang dihidupinya sampai akhir hayatnya. Dia adalah sosok yang sederhana, pendiam, penuh kesabaran, dan kesetiaan pada panggilannya tidak diragukan lagi. Maka itu, setiap kali ditugaskan oleh Bapa Uskup, dia selalu menerimanya dengan sabar. SK terakhirnya berlaku sejak 30 September 2013, di Paroki Assisi Panakkukang, tetapi pada hari yang sama dia menyempatkan diri menimba kekuatan dari Tuhan bersama teman-teman seimamat melalui Retret di Malino yang berlangsung pada 30 September-4 Oktober 2013. Tanggal 4 Oktober sore hari dia menuju ke tempat tugasnya yang baru, Paroki St.Fransiskus Asisi. Tidak disangka, di sinilah tempat terakhirnya mengemban tugasnya sebagai imam. Tanggal 18 Oktober 2013, hanya 14 hari dia bertugas di Paroki ini. Jubah imamatnya tetap terpakai sampai masuk ke dalam tempat istirahatnya yang terakhir, dalam peti kematiannya. Mahkota imamat dia kenakan sampai akhir.
Siapa dia sesungguhnya? Dia bernama lengkap Matius Patton, biasa dipanggil Patton. Dia lahir pada 10 Agustus 1975 di Pa’buaran, Paroki Makale, dari pasangan Marthinus Rori dan Yohana Limbong Kana. Dia anak ketiga dari tujuh bersaudara, dua perempuan dan lima laki-laki. Tahun 1982-1988 dia menjalani Pendidikan dasar di SD Pa’buaran. Semasa SD dia mengaku jarang ke Gereja Katolik karena jarak gereja dengan rumahnya sekitar 10 km ditempuh dengan jalan kaki. Kaki-kaki kecil si Patton belum kuat untuk menempuh jarak yg sedemikian jauh dengan jalan kaki, maka dia “mampir” ke gereja non-Katolik. Meskipun demikian, kedua orang tuanya selalu berusaha membawa Patton kecil ke Gereja Katolik pada perayaan-perayaan besar, yaitu Natal dan Paskah. Dari situlah Patton kecil mulai kagum pada sosok penampilan Pastor Parokinya yang tampil beda dibandingkan dengan yang biasa dia lihat di gereja lain. Siapa sangka bahwa kekaguman pada penampilan fisik Pastor Parokinya menjadi awal panggilannya, ia juga mau menjadi imam.
Pada tahun 1986 berdirilah Stasi baru yang jaraknya relatif dekat dengan rumahnya, dan mulai saat itu, setiap hari Minggu dia selalu ke gereja Katolik dan bukan lagi ke gereja lain karena Pastornya juga rajin datang ke tempatnya, dan kekagumannya pada Pastor semakin kuat. Dia bergumam: “saya juga mau jadi Pastor”.
Pada tahun 1988 dia melanjutkan ke SMP Pa’buaran. Selama SMP keinginan kuat Patton untuk menjadi imam tetap kuat, maka setamat SMP dia melanjutkan ke SMA KAtolik Makale pada tahun 1991 untuk memupuk keinginannya. Supaya keinginannya menjadi Pastor tidak luntur, dia selalu ingin dekat dengan Pastor, maka selama SMA, dia menjadi Anak Pastoran di Paroki Makale. Kedekatannya dengan Pastor membuat dia semakin kagum, bukan hanya pada penampilan fisik Pastornya tetapi juga cara hidup. Setamat SMA pada tahun 1994, Patton masuk KPA (kelas Persiapan Atas) di Seminari Menengah St.Petrus Claver Makassar. Setahun dia menjalani KPA di SPC. Pada bulan Juni 1995 dia menyatakan ingin mengabdi Gereja dengan menjadi Imam di KAMS, dan keinginannya dikabulkan, maka dia melanjutkan ke Tahun Orientasi Rohani (TOR) di Anging Mammiri Jogjakarta bersama dengan 9 rekan lainnya.
Pada tahun 1996-1999, dia menjalani Pendidikan Filsafat di Fakultas Teologi Kepausan Wedabhakti Univ.Sanata Dharma, Jogjakarta. Setelah menjalani pendidikan formal sebagai Filosofan, dia diutus untuk Praktek Pastoral di Paroki. Sebelumnya dia bersama rekan-rekan lainnya dilantik menjadi Lektor dan Akolit pada 16 Juni 1999 oleh Mgr Ignatius Suharyo, Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang, untuk menjadi bekal memasuki masa TOP. Dia menjalani TOP di Paroki St.Petrus Mangkutana tahun 1999-2000. Setahun dia mencoba mempertemukan teori dan kenyataan di lapangan melalui tugas pastoralnya melayani umat di Paroki Mangkutana.
Pada tahun 2000-2002, dia melanjutkan lagi pendidikannya di Fakultas yang sama, secara khusus studi Teologi. Pada bulan Agustus 2002-April 2003, dia menjalani program pelengkap imamat di fakultas yang sama dengan tempat praktek pastoralnya di Paroki Fransiskus Xaverius Sadohoa Kendari dan Paroki St.Clemens Mandonga. Bulan Juli 2003-Januari 2004, dia menjalani Tahun Persiapan Imamat di Paroki St. Antonius Rembon. Keinginan kuatnya menjadi imam semakin ditempa sehingga pada 25 Januari 2004 bersama 6 rekan yang lainnya, Patton menerima Tahbisan Diakonat di Paroki St.Yosep Pekerja-Gotong-Gotong. Setelah itu dia ditempatkan lagi oleh Uskup di Paroki yang sama untuk persiapan Tahbisan Imamatnya.
Dari kekaguman awal pada penampilan fisik, lalu pada cara hidup pastor selama menjalani status Anak Pastoran, refleksi filsafat dan teologi selama pendidikan di Seminari, juga praktek Pastoral di lapangan, kini dia bersama 6 rekannya menerima Tahbisan Imamat pada 4 Agustus 2004 di Paroki St.Yosep Pekerja Gotong-Gotong, dan Paroki St.Antonius Rembon di Ujung Barat Toraja menjadi tempat pertamanya menjadi Pastor Bantu dan bertugas sampai tahun 2006. Tahun 2006-2010, dia ditugaskan menjadi Pastor Paroki dan ditempatkan di Ujung Timur Toraja, Paroki St. Maria Tombang Lambe-Bokin. Pada tahun 2010, ketika dihadapkan pada pilihan saat meninggalkan Toraja: Paroki Messawa atau Raha di Sultra? Dia memilih Paroki terberat di Keuskupan ini yaitu Messawa, tetapi Uskup menempatkannya pada Paroki Labasa. Sekali lagi dia menerima dengan sabar dan rendah hati penugasan ini dan dia menjalaninya sampai 29 September 2013.
Pada 30 September 2013 dia mendapat penugasan terakhirnya di Paroki St.Fransiskus Asisi Panakkukang – Makassar. Untuk ukuran manusia, waktunya sangat singkat karena hanya dijalaninya sampai 17 Oktober 2013, dan pada tanggal 18 Oktober dini hari yang lalu, Tuhan memanggilnya kembali ke pangkuanNya. Tidak ada tanda-tanda kematiannya. Kepergiannya begitu mendadak dan mengejutkan kami semua. Di usianya yang masih muda, 38 tahun, dia tentu masih mempunya banyak “dream” seperti lagu yang dia kagumi, tetapi Tuhan berkehendak lain. Mimpinya kini telah paripurna dalam kebersamaannya dengan Allah Tritunggal Mahakudus. Kematiannya mengingatkan kami bahwa “ketika kita lahir, kita sudah cukup tua untuk meninggal”. Sejuta kenangan menjadi kekuatan bagi kami yang masih berjuang di dunia ini untuk juga mempersiapkan kematian kami supaya kami beroleh kehidupan abadi yang kini dia alami. Selamat jalan teman, selamat jalan saudaraku. Sampai ketemu dalam keabadian. Kamu menjadi salah seorang pendoa unggul bagi kami semua, bagi rekan-rekanmu, bagi keluargamu yang hadir mengantarmu maupun yang tidak sempat hadir. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar