Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang Toraja zaman sekarang, terutama yang berekonomi lemah, dan menderita karena tekanan dan tuntutan gejala baru aktualisasi budaya atau adat istiadat Toraja merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga khususnya umat Katolik di Toraja” (bdk. GS 1). Semoga Seminar ini menjadi sarana untuk menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil" (GS 4)
Demikian pengantar dari sambutan Vikep Toraja, P. Natanael Runtung, Pr di awal acara pembukaan Seminar Budaya dan Ekonomi Toraja dalam Perspektif Pemberdayaan Ekonomi Umat. Seminar yang berlangsung selama 2 hari pada 27-28 September 2013 di hotel Misiliana, Rantepao Toraja Utara. Kegiatan seminar diawali dengan misa pembukaan yang dipimpin langsung oleh bapa Uskup Agung Keuskupan Agung Makassar. Acara ini merupakan Program Kerja CU Sauan Sibarrung (CUSS) Tahun 2013, tentang seminar Budaya dan Ekonomi Toraja dalam perspektif Pemberdayaan Ekonomi Umat, sekaligus merupakan keikutsertaan CUSS mensyukuri 75 tahun kehadiran Gereja Katolik di Toraja.
Dibuka dengan Sambutan Ketua Panitia, Anton Sera Sima; Vikep Toraja, P. Natanael Runtung, Pr; Ketua PSE KAMS, P. Fredy Rante Taruk, Pr; dan juga Bupati Toraja Utara, Frederik Batti Sorring sekaligus membuka acara seminar ini secara resmi.
Seminar ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan akan kondisi Toraja terkini cukup memprihatinkan terutama pada praktek budaya-adat yang ditengarai dampaknya sangat luas: ekonomi, psikososial, politik. Praktek Budaya-Adat yang dipandang tak terkendali sementara pada saat yang sama masyarakat semakin hari semakin menggantungkan harapan mereka pada ‘transfer income’ dari perantau, yang sebenarnya memiskinkan daya juang, dan kurang memberdayakan. Perantau Toraja pun turut ‘terjebak’ dalam arus praktek sedemikian rupa sehingga secara ironis cita-cita ‘membangun’ Toraja telah melenceng dan berubah arah ke perilaku konsumtif tak terkontrol. Bahkan praktek ini disinyalir mempunyai ‘garis lurus’ dengan penetrasi pendatang yang sangat cepat dengan intensitas yang tinggi. Ketika masyarakat Toraja tidak mampu memenuhi ‘perilaku konsumsi budaya’ mereka yang tinggi, ketika itu pula ada kondisi dimana mereka ‘terpaksa’ menjual tanah dan aset mereka. Kondisi ini telah membuat masyarakat Toraja terpinggir, termarjinalisasi.
Tujuan diadakannya seminar ini adalah untuk mengkritisi kehidupan sosial-ekonomi-budaya masyarakat Toraja sekarang ini. Me-reinterpretasi praktek-praktek budaya dan adat Toraja, dan memberi makna baru terhadapnya. Menegaskan sikap dan peran Gereja (Keuskupan – Kevikepan – Paroki) terhadap pemberdayaan ekonomi umat. Dan menegaskan bahwa Komisi PSE KAMS fokus pada pemberdayaan ekonomi umat. Maka tak heran jika para narasumber yang ambil bagian dalam seminar ini dihadirkan dari beberapa kalangan terkait seperti dari gereja, akademisi, praktisi, budayawan, perwakilan perantau dan dari PSE sendiri sebagai penggagas seminar.
Sebelum para narasumber memaparkan materinya, Bupati Toraja Utara, Frederik Batti Sorring, menyampaikan apresiasinya terhadap kegiatan seminar ini sembari berharap seminar ini ibarat pohon yang berbuah, buahnya nanti sebagian untuk pemerintah daerah. Artinya pemikiran-pemikiran yang dilahirkan di sini juga akan menjadi bagian dari acuan pemerintah kabupaten Toraja Utara mengelola pembangunan secara khusus di bidang ekonomi sehingga sejalan dengan visi pembangunan pemerintah yakni memperkokoh identitas Toraja, yang cerdas otaknya, sehat fisiknya, perutnya tidak kelaparan atau ekonominya kuat supaya mampu memikul beban budaya ini. Kita melestarikan budaya sudah barang tentu dengan memilah mana yang akan dipertahankan dan mana yang sudah tidak zamannya lagi
Beliau mengatakan: “Ekonomi dan budaya ini menurut saya membingungkan mana yang telur dan mana yang ayam. Ketika saya kecil dulu, nenek saya marah sama saya (kalau saya nakal) dia mengatakan: ‘kau nakal, nanti saya mati mungkin kau tidak potong babi untuk saya’? (pattua bang ko tu, kumate pa dako’ na namui anak bai na tae sia mu pesseranna’) Potong babi bagian dari budaya, dan itu teringat betul, itu pulalah cikal bakal yang “memaksa” saya merantau. Saya harus pergi merantau dan mudah-mudahan bila nenek saya meninggal saya bisa potong babi. Mudah-mudahan saya bisa bikin lumbung. Syaratnya saya harus kuliah supaya bisa merantau, inilah contoh kebingungannya”.
Pada hari pertama tampil 3 pembicara yakni Mgr. John Liku-Ada’ yang membawakan materi reinterpretasi paham ‘kinallo lalan’ dan ritus ‘mantaa’ dalam budaya religius Toraja dalam perspektif pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kemudian dilanjutkan dengan Bapak Stanislaus Sandarupa, dosen Unhas sekaligus dikenal sebagai juru kunci adat budaya Toraja, membawakan materi menggali kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja yang dapat meningkatkan kondisi ekonomi. Sementara Aloysius Lande sebagai narasumber ketiga memaparkan keadaan ekonomi di Toraja saat ini dari sisi pelaku usaha dan penggerak ekonomi di Toraja. Beberapa acara menarik seperti pengundian door prize di sela-sela materi sebagai selingan yang disediakan oleh para sponsor acara seperti dari CU Sauan Sibarrung, Bank Mitra CUSS: Bank BNI, Panin Bank, Bank Danamon, Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BTPN, dan beberapa Donatur (sukarelawan).
Dari materi Mgr. John yang membuka pemahaman peserta lewat telaah naskah asli memaparkan terdapat dua macam paham tradisional menyangkut ‘kinallo lalan’ (bekal dalam perjalanan): pertama dari Interpretasi Kristiani atas Paham Kinallo Lalan ke Puya (dalam paham Alukta tempat setelah kematian di dunia) tidak hanya berarti bekal di perjalanan menuju Puya, tetapi terlebih untuk kebutuhan kelanjutan hidup di Puya. Ini berarti hidup di akhirat dipahami sama saja dengan hidup di dunia ini. Paham semacam ini bertentangan dengan ajaran Injil. Yesus menegaskan: “Pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di surga” (Mat. 22:30). Kecuali itu, Puya bukanlah surga menurut paham Kristiani: tempat orang-orang yang diselamatkan; surga berarti berada dekat Tuhan. Di Puya tidak ada Tuhan, yang ada cuma Pong Lalondong! Karena itu, ‘kinallo lalan’ dalam arti ini tidak dapat didamaikan dengan ajaran Injil/Kekristenan. Pertanyaannya, apakah paham ‘kinallo lalan’ dalam arti ini masih berlaku pada upacara-upacara kematian orang-orang Kristiani Toraja? Tampaknya, ya! Istilah ‘kinallo lalan’ nyatanya masih tetap digunakan pada setiap upacara kematian orang Kristiani. Indikasi lain yang menonjol: Kerbau-kerbau yang dikorbankan, harus disembelih di halaman rumah almarhum/almarhumah. Mengapa? Karena dia harus melihatnya sebagai bekalnya ke Puya! Jadi terdapat praktek sinkretisme, yang dilarang oleh setiap agama (khusus Gereja Katolik: lih. AG, 22).
Kedua reinterpretasi Kinallo Lalan ke Dunia Atas. Kinallo lalan dalam arti ini, yang juga disebut bokong kalambanan, dibutuhkan untuk perjalanan menuju dunia akhirat. Hidup di akhirat sendiri tidak butuh lagi bekal materiil. Keselamatan pada hakekatnya adalah diterima dalam kasih abadi (natimang pakkan, nasarande kaeran) oleh Tuhan Sang Pencipta.
“Gereja Katolik juga mengenal paham bekal untuk perjalanan semacam ini. Konsili Vatikan II menegaskan: “Jaminan harapan itu dan bekal untuk perjalanan oleh Tuhan ditinggalkan kepada para murid-Nya dalam sakramen iman, saatnya unsur-unsur alamiah, yang dikelola oleh manusia, diubah menjadi Tubuh dan Darah mulia, yakni perjamuan persekutuan persaudaraan, antisipasi perjamuan surgawi” (GS, 38). Itulah Ekaristi. Jadi untuk upacara kematian Katolik, kinallo lalan atau bokong kalambanan yang benar adalah EKARISTI! Dan bukan gelimpangan bangkai-bangkai kerbau!” Demikian ditegaskan oleh Bapa Uskup Agung KAMS.
Bapak Stanislaus Sandarupa, sebagai narasumber kedua menjelaskan Hubungan harmonis antara sesama makhluk (lolo tau, lolo patuan dan lolo tananan) dan dengan yang kuasa didasarkan pada nilai keutuhan yang saling menghidupkan. Relasi ini didasarkan pada prisip saling memberi, resiprositas.
Perubahan utama yang terjadi di Toraja adalah memudarnya identitas budaya ini. Filsafat holisme tallu lolona telah memudar. Karena itu penting menemukan tradisi ini kembali.
Budaya Toraja telah mengalami perubahan besar di era globalisasi. Perubahan besar ini terdiri atas: 1) dari holisme ke antroposentrisme, 2) pergeseran dari kehidupan sosial yang holistik ke arah kompartementalisasi kehidupan sosial, 3) pergeseran dari penataan ritual yang berpasang-pasangan ke upacara kematian yang berlebihan, dan 4) pergeseran dari heterogenitas versi ke homogenisasi dan estetisisasi budaya.
Bapak Stanis Sandarupa menyimpulkan pentingnya Glokalisasi di era globalisasi. Dia mengusulkan agar masyarakat Toraja kembali menemukan tradisi tallu lolona yang berpusat pada pandangan holisme. Berbeda dari pandangan antroposentrisme dan pandangan kosmisme, pandangan holisme melihat kesetaraan dimana manusia hanya satu bagian dari alam. Dan karena hubungan itu adalah hubungan persaudaraan maka tidak ada yang diunggulkan tapi disetarakan.
Sementara itu sebagai praktisi, bapak Aloysius Lande membuka data peredaran Uang dalam aktivitas acara adat ini, dari Data Laporan Buku Putih Kantor Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah tahun 2012: total uang beredar di Toraja Rp 417.091.000.000,- sayangnya menurut dia, penerima manfaat dari hasil penjualan dalam pasar Sekitar 80% itu dipasok dari luar sehingga hanya kurang lebih 20% yang dihasilkan dan dinikmati oleh pelaku pasar lokal. Jadi dari hanya sekitar Rp 83.418.200.000,- yang dikelola dan kembali ke masyarakat lokal. Dan ini sudah termasuk ternak peliharaan sendiri yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan berpartisipasi dalam acara adat. Dan ini baru dari kabupaten Toraja Utara, belum dari kabupaten Tana Toraja sebagai bagian dari Masyarakat Toraja keseluruhan yang menjalankan aktivitas budaya yang sama.
Berdasar pada data ini Pak Lande memaparkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat dengan indikator rata-rata (PDRB). Data tersebut menunjukkan bahwa sirkulasi uang berada pada posisi yang mantap, daya beli masyarakat tinggi. Tapi apakah posisi demikian bisa langgeng ? “boleh ya boleh tidak”, menurutnya. Kondisi ekonomi Toraja sedang berada pada persimpangan jalan yang perlu segera diarahkan: Kurang lebih 2,5 dekade terjadi dinamika ekonomi Toraja yang sangat cepat khususnya dalam bidang perilaku hidup, Perilaku bergeser dari pola mencari, berusaha menjadi pola instan, dampaknya banyak lahan tidak dikelola, ketergantungan pada produksi luar sangat tinggi, perputaran uang lancar? (dari mana uangnya)
Aloysius Lande, yang juga Seorang Anggota KPUD Toraja Utara melihat ada keberhasilan lembaga atau institusi atau nama lainnya yang bergerak dalam bidang pengembangan ekonomi kerakyatan seperti CU Sauan Sibarrung, KSP Marendeng dan sejenisnya. Penilaian dari luar menunjukkan bahwa kedua lembaga tersebut telah mampu mensejahterakan anggotanya dan telah mampu mengelola keuangan anggota dengan baik seperti tersedianya dana segar bermilyar dalam alur kas. Anggota sudah mampu membiayai beban pendidikan anak, ada rangsangan modal usaha, bahkan keberadaan kedua lembaga sampel tersebut sudah mampu membuat anggota membangun rumahnya dari kondisi tidak layak menjadi layak bahkan sangat layak, kantor cabang pelayanan tersedia dimana-mana, dsb. Namun ia juga mengajukan pertanyaan reflektif: Betulkah kedua lembaga sampel tersebut sudah memberdayakan anggotanya?
Setelah ditutup pada hari pertama, seminar ini dilanjutkan lagi pada Sabtu, 28 September 2013 di tempat yang sama. Data peserta yang hadir berjumlah 138 Orang yang terdiri dari pengurus, pengawas, komite, kelompok inti, dan staf CU Sauan Sibarrung, Pastor, Pendeta, Biarawan-Biarawati, dan utusan Depas Paroki dalam wilayah pengembangan CU Sauan Sibarrung, penggerak LKM, mahasiswa, serta beberapa pihak yang memberi perhatian dalam masalah yang diseminarkan ini.
Dan mitra CU Sauan Sibarrung dalam menyelenggarakan seminar ini yakni PSE-Caritas KAMS, Ikatan Keluarga Toraja (Papua, Kaltim, Jakarta), PUKAT Jakarta, Bank Mitra CUSS: Bank BNI, Panin Bank, Bank Danamon, Bank Mandiri, Bank BRI, dan Bank BTPN juga tetap memberikan kontribusinya dalam pelaksanaan seminar ini.
Tampil sebagai pembicara dalam hari kedua seminar ini pertama pasangan Mikael dari Jakarta, pertama Mikael Andin yang memaparkan CU sebagai Solusi yang smart (cerdas). Beliau mengatakan: “Selama ini topik budaya, perubahan, perubahan nasib, atau apapun masalah kita, di kampung kita setiap saat kita bicarakan, dan kita inginkan ada perubahan. Ada perubahan yang mungkin sifatnya spontanitas, spontan, ada yang butuh sistem yang baru, secara struktural atau macam-macam, dan apa yang kita lakukan kita ingin Tuhan di atas akan merubahnya, kita duduk saja lalu ada yang merubahnya, karena perubahan yang kita butuhkan adalah perubahan yang mendasar yang kalau kita mau lakukan sendiri kita malu, pakeu atau sungkan, padahal merubah ini, mengangkat benda ini kita sudah punya tangan, sudah punya kaki, kita tidak perlu mencari perubahan dari tempat lain, perubahan itu sudah ada di depan kita, dan kita sudah melakukannya yaitu lewat CU. CU adalah solusi kita, solusi yang cerdas, mark bagi kita untuk melakukan perubahan yang kita inginkan”.
Mikael Andin menambahkan: “CU adalah solusi smart, kata kunci dalam CU atau apapun yang kita lakukan ini sifatnya universal perubahan itu dilakukan lewat apa, satu-satunya cara adalah pendidikan, lewat jalur pendidikan. Keterbelakangan kita, keterpurukan kita selama ini karena kita menganggap diri kita belum terdidik. Dan CU adalah bagian dari pendidikan yang paling jitu bagi kita yang telah mengalami pendidikan formal, bagi kita yang sudah berkeluarga”.
Dalam sesi yang sama Mikael Rerung, seorang pengusaha Toraja di Jakarta, memberi masukan tentang pemberdayaan. “Pemberdayaan itu”, katanya, “hanya bagaimana supaya orang semakin banyak tidak tergantung ke orang lain. Jangan telepon melulu ke Jakarta, “allian pa’ pulsa”, jangan! Tapi bagaimana orang-orang yang tidak punya pekerjaan memiliki pekerjaan. Caranya adalah dipopa’jama (dipekerjakan). Tapi kalau tidak posisi seperti saya atau punya pengaruh tidak gampang mempekerjakan. Maka CU saya harapkan bahwa kita masuk ke kewirausahaan”.
Dari pengalamannya ia menyimpulkan Wirausaha itu dibagi tiga berdasarkan sekolahnya. Yang pertama itu adalah sekolah TK dan SD, yang disebut usaha mikro, yang paling kecil. mikro, entry level. Tidak mungkin orang bisa bisnis yang besar kalau kecilnya dia tidak tahu. Kedua, kelas menengah dimana kita sudah bisa bicara sedikit mengenai strategi marketing. Dan ketiga, sudah masuk SMA itu dimana kita berbicara bisnis korporasi di level persaingan tingkat global.
Sebagai budayawan, Romo Benny Hari Juliawan, SJ, menegaskan “Sangat jelas budaya Mantunu bertentangan dengan agama Kristen. Jelas-jelas tertulis dalam Alkitab bahwa korban sembelihan bagi orang mati adalah penyembahan berhala, kok bisa?... Jawabannya sangat jelas: hewan tedong/bai yang dipotong pada upacara rambu solo/kematian, dipercaya akan mengantar/kendaraaan bagi arwah si almarhum dalam perjalanan ke puya. Budaya ini akan sangat susah dihilangkan karena aktor utamanya adalah gereja sendiri.”
Mantunu juga menegaskan identitas sebagai orang Toraja. Seperti halnya pergi ke gereja tiap Minggu membantu orang merasa Katolik, demikian pula partisipasi dalam ritus Mantunu, baik langsung maupun tidak, meneguhkan identitas orang Toraja. Identitas selalu penting sebagai penanda individu karena memberi rasa aman secara ontologis apalagi ketika berada dalam masyarakat yang beragam. Tentu masih ada jawaban-jawaban yang lain dan pertanyaan ini masih bisa diteruskan. Yang penting adalah mengenali alasan-alasan tersebut dan menilainya dengan ukuran yang kita yakini.
Pada bagian akhir P. Fredy Rante Taruk, ketua Komisi PSE KAMS, yang juga ketua pengurus CU Sauan Sibarrung menjelaskan salah satu pilihan alternatif lembaga pemberdayaan yang bisa menggerakkan masyarakat yang dikembangkan oleh Komisi PSE KAMS adalah Credit Union. Misi sejati Credit Union adalah dimaksudkan untuk menolong masyarakat kecil, lemah, miskin dan kurang beruntung agar dapat menolong diri sendiri. Credit Union memberikan pelayanan keuangan, pemberdayaan, pendampingan anggota dan komunitas secara berkualitas untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara integral, secara fisik dan moral. Maka terjadi perubahan dan hal ini sedang berlangsung.
Menurut pendirinya, CU tidak hanya dapat memberikan pinjaman, tetapi tujuan CU adalah meningkatkan kehidupan fisik orang dan juga sekaligus meningkatkan kehidupan moral dengan cara mengelola, menata hidup. Moral dalam pemahaman CU bukan hanya berarti soal benar atau salah tetapi bila meningkatnya kesejahteraan fisik seseorang berarti juga meningkatnya kualitas hidup seseorang dan hal tersebut diperoleh melalui pendidikan, lewat kebiasaan yang baik.
CU Sauan Sibarrung yang dideklarasikan 7 Desember 2006 di Paroki Makale, pada tahun ini memasuki usia 7 tahun. Credit Union Sauan Sibarrung lahir dari keprihatinan Gereja Lokal Keuskupan Agung Makassar atas keterpurukan kondisi sosial ekonomi yang melanda umat dan masyarakat pada umumnya. Lewat CU, Gereja menggalang kekuatan untuk membantu pemerintah dalam rangka mengentaskan kemiskinan, dan dalam upaya mengangkat derajat dan martabat hidup bagi kaum papah lewat gerakan pemberdayaan ekonomi umat. Maka misi utama kehadiran CU di tengah umat dan masyarakat pada umumnya adalah misi pembebasan dari keterpurukan di bidang ekonomi.
Dalam catatan anggota CU Sauan Sibarrung didirikan dengan jumlah anggota pendiri 83 orang dan sampai dengan akhir Agustus 2013 jumlah anggota 24.382 orang, dengan aset Rp 225.988.126.873,-. Namun menurut P. Fredy, Pr., pertanyaan kritis terhadap CU Sauan Sibarrung sekarang adalah: Perubahan apa yang dibawa oleh CU Sauan Sibarrung di tengah masyarakat Toraja? Pemberdayaan model apa yang telah dilakukan? Apa sih perbedaan ‘intervensi’ CU Sauan Sibarrung dengan lembaga keuangan lain seperti Bank, BPR, KSP, dll dalam membantu masyarakat Toraja? Kalau gereja katolik mengambil sebuah opsi terhadap alat pemberdayaan apabila sama saja dengan yang sudah ada dalam masyarakat lebih baik tidak usah dikerjakan karena orang lain pun bisa mengerjakannya. Tapi kalau memilih alat untuk didukung tentu ada nilai yang akan ditekuni. Apa persisnya yang ditawarkan CU Sauan Sibarrung pada masyarakat Toraja?
P. Fredy mengingatkan diperlukan perubahan visi kehidupan ke arah yang lebih baik. Perubahan visi perlu dibicarakan dengan melibatkan berbagai pihak: Masyarakat adat, Gereja dan Pemerintah Daerah. Diperlukan keberanian dan pemikiran yang matang untuk memulai sesuatu dari yang kecil menuju yang besar dengan pendampingan yang kontinyu. Credit Union (CUSS) harus membawa perubahan dan kebahagiaan sejati bagi orang Toraja. Perubahan dan kebahagian sejati itu dapat dicapai lewat intervensi yang mencerdaskan, melibatkan/dan memotivasi melalui DIKLAT (pendidikan dan latihan) pendampingan, pemberdayaan.
Demikianlah seluruh rangkaian seminar ini berlangsung. Dan tentu kita berharap ada banyak hal positif yang bisa kita raih setelah wawasan kita, khususnya orang Toraja dibuka oleh berbagai masukan dari narasumber yang telah mengambil bagian dalam seminar ini. *** Penulis: Ignas Rt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar