Minggu, 29 Desember 2013

Dari Rubrik PerNas Liturgi di Makassar, Oktober 2013: “PERAYAAN MISA TIDAK BOLEH DIANGGAP SEBAGAI TINDAKAN FORMAL BELAKA”

Mgr. Antonio Guido Filipazzi
Judul tulisan ini, adalah kutipan dari Homili (Kotbah) Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Antonio Guido Filipazzi, dalam Misa Pembukaan Perayaan 50 Tahun Konstitusi Liturgi, Sacrosanctum Concilium, di Makassar, 15 -17 Oktober 2013. Pesta Perayaan 50 Tahun yang meriah dan dihadiri sekitar 400-an peserta utusan dari seluruh Indonesia, itu  telah berlalu. Namun dengan berlalunya perayaan 50 tahun tersebut tidaklah berarti bahwa urusan, kegiatan, pembicaraan dan perayaan-perayaan liturgi serta merta kembali ke dalam suasana biasa-biasa dan sepi. Justru maksud atau tujuan dari perayaan 50 tahun itu adalah untuk membangkitkan kesadaran dan meningkatkan pemahaman seluruh umat beriman akan begitu pentingnya dan begitu sentralnya perayaan liturgi itu dalam Gereja atau dalam kehidupan umat beriman sendiri. “Liturgi merupakan puncak tujuan kegiatan Gereja dan sekaligus merupakan sumber segala kekuatannya” (SC 10). Kalau tidak ada perayaan-perayaan liturgi, tidak ada artinya Gereja berada atau tidak ia akan bisa bertahan dengan keberadaannya di dunia, karena sesungguhnya Gereja sendiri memperoleh hidup dan kekuatannya dari Perayaan Liturgi itu. Tanpa Perayaan Liturgi Gereja sebagai persekutuan umat beriman pelan-pelan akan bubar atau membubarkan diri sendiri. Tanpa perayaan liturgi, gedung-gedung gereja yang megah yang dibangun dengan biaya yang tidak sedikit (tidak jarang dengan biaya luar biasa besar), tidak akan ada artinya. “Setiap perayaan liturgi (terutama Perayaan Ekaristi) pertama-tama adalah tindakan dan karya Yesus Kristus Sang Imam dengan TubuhNya sendiri, yakni Gereja, yang merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa” (SC 7). Oleh karena itu, “seluruh umat beriman Katolik, terutama para pemimpinnya, yang memimpin perayaan-perayaan liturgi, perlu memupuk kesadaran iman yang tinggi mengenai liturgi, agar liturgi tidak pernah direduksi atau diturunkan derajatnya menjadi sesuatu yang dimanipulasi sesuka hati.” Demikian Duta Besar Vatikan menyampaikan homilinya yang bernada agak keras dan tegas dalam misa pembukaan kongres liturgi di Makassar, Oktober lalu.

Suasana Vesper Mulia di Katedral, dipimpin Uskup Banjarmasin Mgr. Petrus Boddeng Timang
SESUDAH PESTA 50 TAHUN SACROSANCTUM CONCILIUM KITA MAU KE MANA?
Sebagaimana lazim terjadi, khususnya dalam lingkungan kita di Indonesia, sesudah pesta atau perayaan besar, kita selalu kembali kepada keadaan seperti semula, business as usual,  sangat kurang (hampir tidak ada) gerak, geliat, aksi, kegiatan lanjutan untuk mendaratkan (mengimplementasikan), memajukan atau mengembangkan pokok-pokok/tema/bahan/ materi yang telah dirayakan, direnungkan, dibicarakan atau didiskusikan dalam perayaan dan sidang-sidang. Pada umumnya kita puas dan lega dengan selesainya suatu perayaan (event), merasa tugas dan tanggungjawab telah selesai, kita telah memresentasikan diri atau lembaga kita di depan publik dengan semarak. Dengan demikian kita merasa keberadaan kita akan dihargai atau diperhitungkan oleh orang atau pihak-pihak lain sekitar kita.
Sebagai umat Katolik Keuskupan Makassar yang bersyukur atau boleh berbangga karena mendapat kepercayaan menjadi tempat perhelatan perayaan 50 tahun Sacrosanctum Concilium, alangkah baiknya IMAN dan TEMA/MATERI/BAHAN-BAHAN pengajaran iman yang termuat dalam Sacrosanctum Concilium itu, yang telah disyukuri, dirayakan, dipresentasikan dan didiskusikan dalam kongres liturgi, mulai sungguh-sungguh diupayakan pelaksanaannya dalam perayaan-perayaan Liturgi yang benar, tepat, layak, terhormat sehingga dapat memperlihatkan jati dirinya sebagai tindakan dan karya Kristus Sang Imam. Perayaan itu harus sederhana namun agung, mulia, suci, istimewa serta menyemangati dan meneguhkan iman dan hidup umat. Dan agar upaya ke arah itu sungguh-sungguh dapat terjadi, mau tidak mau KATEKESE LITURGI untuk umat harus mulai dilaksanakan di segala lini, bagi anak-anak, remaja, kaum muda dan orang dewasa di paroki-paroki, rukun-rukun doa, sekolah-sekolah dan tempat-tempat pertemuan umat. Umat harus diberi pelajaran dan bimbingan oleh para pemimpinnya, oleh uskup dan  pastor paroki agar umat bisa memahami atau mengerti  apa yang ada dan terjadi sekitar kegiatan atau perayaan liturgi sakramen. Umat harus dibantu untuk memahami dan mengerti arti-arti dan makna-makna yang ada dalam tata cara, gerak/tindakan, bahan-bahan, formula-formula dan simbol-simbol liturgi. Sebagaimana termaktub dalam ajaran tradisi Gereja Katolik sepanjang masa, semua hal tersebut yang ada dalam perayaan liturgi memiliki arti dan nilai yang sangat dalam, luhur dan suci, karena semua itu menunjuk dan bermaksud mengantarkan umat kepada Yang Ilahi dan Kudus yaitu Allah sendiri. Tanpa katekese liturgi yang memadai, semua arti dan nilai dari kekayaan rohani dalam liturgi Gereja yang telah terpelihara selama berabad-abad, akan mudah dilupakan, kurang dihargai dan tinggal dilaksanakan sebagai tindakan rutin dan formal belaka.
TIADANYA KATEKESE, pengajaran dan bimbingan terus menerus tentang iman yang dirayakan dalam liturgi, akan menyebabkan dangkalnya pemahaman dan pengertian akan liturgi itu, hati umat yang beribadat tidak bisa fokus mengikuti dan memperhatikan apa yang sedang dilakukan/dirayakan, akan menyebabkan partisipasi umat dalam arti sadar dan aktif, menjadi kurus, kerdil, asal-asalan dan tak bermakna. Itulah semua yang membuat perayaan liturgi/ibadat atau Ekaristi kita, yang seharusnya membuat hati kita berkobar-kobar (bdk. Luk 24:13-35), menjadi kering, gersang, tidak menarik, loyo, asal dilaksanakan, sehingga membosankan dan semua ingin cepat-cepat selesai dan bubar. Seakan-akan liturgi tak lagi memiliki daya pesona apa-apa. Kekurangan pengertian akan makna dan arti liturgi, itulah yang menyebabkan umat menghendaki atau mencari atau mengejar di mana ada perayaan liturgi yang semakin singkat (kurang dari satu jam?). Mengapa perayaan liturgi singkat menjadi menarik? Yang menarik jelas bukan perayaan liturgi itu sendiri, melainkan hal-hal lain di luar dari perayaan liturgi itu sendiri, yang mungkin sudah dipikirkan, direncanakan atau bahkan direnungkan selama perayaan berlangsung, yang akan segera dikejar atau dilakukan begitu perayaan liturgi (ekaristi) selesai, seperti misalnya pergi rekreasi di mall dengan keluarga, pergi piknik, pergi ke pertemuan tertentu, arisan, pergi pesta, kumpul dengan teman-teman, dst. Nah, kalau begitu, mengapa perlu pergi ke Gereja? Ya, karena itu adalah kewajiban agama yang tidak boleh dilewatkan, kalau tidak beribadat nanti dinilai oleh sesama kurang saleh, tidak mendapat berkat Tuhan, dst. Bahkan lebih buruk lagi, karena dangkalnya pemahaman dan pengertian, umat dengan mudah dan enteng pergi mencari ibadat lain (pindah ke gereja lain) yang dia anggap bisa memberikan hiburan, peneguhan dan penyegaran baginya. Adanya fenomena atau gejala seperti ini semestinya menimbulkan pertanyaan bagi semua orang Katolik, ada apa sesungguhnya, apa yang salah?
Sudah jelas perayaan yang tidak dipahami dan tidak dimengerti tidak akan memberikan daya dan dampak yang diharapkan, tidak akan meneguhkan dan memberdayakan iman dan hidup umat. Memang perayaan sakramen itu sendiri ex opere operato artinya menjadi efektif (berdaya guna) karena ritus sakramen itu sendiri dan bukan oleh pantasnya pelayan atau penerimanya. Meskipun demikian, hasil dari rahmat sakramen-sakramen tergantung juga dari kondisi orang yang menerimanya (Katekismus, 1128). Bagaimana orang dapat berkondisi dan berdisposisi baik untuk menerima rahmat sakramen kalau tidak ada pengertian tentang arti sakramen? Tanpa pembinaan alkitabiah yang memadai, orang dapat memandang perayaan sakramen-sakramen sebagai upacara-upacara Gereja belaka, suatu pengertian yang bisa menjadi alasan banyak orang meninggalkan Gereja dan bisa memandang ajaran Gereja tentang sakramen-sakramen sebagai ritualisme primitif atau malahan sama dengan perbuatan sihir.
Sebetulnya keluhan-keluhan tentang dangkalnya pemahaman umat pada umumnya akan liturgi dan sakramen, dan semrawutnya tata perayaan liturgi yang tertib dan bermakna, ramai atau banyak diungkapkan oleh para peserta dalam kongres liturgi di Makassar, yang baru lalu. Namun karena terbatasnya waktu, semua keluhan, uneg-uneg dan harapan tentang perayaan liturgi yang sebagaimana semestinya dan yang didambakan oleh semua umat, tidak/belum dapat didalami dan diberikan jawaban yang menggembirakan. Kongres sudah selesai tetapi para peserta pulang masih tetap dengan banyak tanda tanya, apa liturgi itu dan bagaimana kita harus memelihara dan melaksanakannya dengan baik dan benar? Pertanyaan yang mengantung ini, tentunya menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi semua orang beriman Katolik yang mendambakan pengertian dan pemahaman yang baik akan arti dan makna kehidupannya. Bahwa hidup yang bermakna, berarti dan mulia adalah hidup yang dirayakan dan disyukuri di hadapan Allah Sang Pencipta, Sang Pemberi Kehidupan. Dan hal itulah kita laksanakan dalam perayaan-perayaan liturgi Gereja.

Peserta Perayaan 50 tahun SC dari Makassar
IMAM SEBAGAI PEMIMPIN DAN PELAYAN LITURGI
Tentu saja orang yang paling bertanggungjawab dalam memberikan pemahaman dan pengertian tentang liturgi dan terutama pelaksanaannya adalah para imam, terutama pastor-pastor paroki. Mereka sebagai pemimpin dan pelayan liturgi harus menjelaskan arti dan makna dari tindakan-tindakan, bahan-bahan dan doa-doa liturgis, memberikan pedoman-pedoman atau panduan-panduan tata cara pelaksanaan perayaan-perayaan liturgi yang semestinya, baik dan benar. Bahkan harus lebih dari pada itu, para imam harus memberikan contoh/teladan bagaimana perayaan liturgi diimani, dihayati sendiri serta dilaksanakan dengan pantas dan benar. Keluhan umat terhadap sikap dan cara sebagian imam memimpin dan melayani perayaan liturgi tidak sedikit. Tidak sedikit imam yang dipandang umat agak serampangan atau tidak tertib atau tidak mengindahkan rubrik (tata cara) dalam memimpin perayaan liturgi. Dalam Colloquium nasional liturgi di Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia (ILSKI) di Bandung bulan Juni tahun 2013 yang lalu, yang dihadiri banyak peserta/utusan dari seluruh Indonesia yang 70% peserta adalah kaum awam, keluhan yang sama juga diungkapkan oleh banyak peserta. Dalam kongres liturgi di Makassar baru-baru ini, keluhan yang sama juga muncul lagi dari para peserta. Umat yang punya kepedulian dan kerinduan terhadap perayaan liturgi yang membuat hati mereka berkobar-kobar, terganjal oleh otoritas imam yang seringkali tidak peduli dengan tata cara perayaan liturgi yang baik atau semestinya dan cenderung memaksakan kehendaknya.
Patut dibanggakan dan disyukuri bahwa antusiasme dan apresiasi umat terhadap liturgi semakin bertambah/meningkat dan semakin banyak umat yang berminat memperdalam pengetahuan dan pemahamannya sendiri tentang liturgi, mulai membaca dan mempelajari sendiri buku-buku tentang liturgi, rajin mengikuti workshop, lokakarya, seminar dan pelatihan berliturgi yang diadakan komisi liturgi, institut liturgi atau fakultas teologi. Maka tidak mengherankan bahwa ada cukup banyak umat sudah bisa mengingatkan atau memberikan komentar pada para pastor parokinya tentang perayaan liturgi yang selalu dilaksanakan, bahkan ada yang menjadi penggerak/sponsor diadakannya sarasehan dan pelatihan-pelatihan liturgi bagi para imam, di berbagai tempat di tanah air.
Di lain pihak merupakan tugas utama dan tanggungjawabnya para imam dalam melaksanakan ibadat suci. Dan tanggungjawab itu memang sesuai dengan janji tahbisan imam yang menegaskan meminta kesediaan dan kerelaan untuk memelihara dan melaksanakan ibadat suci dalam rangka tugas pelayanan bagi umat Allah. Karena itu sangat logis bahwa sebagai pemimpin dan pelayan utama liturgi, imam akan selalu menjadi acuan atau tempat bertanya umat dalam memahami dan merayakan liturgi. Namun mungkin karena pengaruh perkembangan dunia dan lingkungan atau karena desakan situasi dan kebutuhan lainnya, para imam tidak bisa lagi fokus pada fungsi dan tugas utama mereka merayakan dan melaksanakan ibadat suci (mempersembahkan kurban). Memang sudah ada jadwal perayaan liturgi Ekaristi dan ibadat lainnya yang sudah ditetapkan setiap hari, setiap minggu dan sepanjang tahun, namun tidak jarang pelaksanaan perayaan liturgi itu terpepet oleh tugas dan perhatian pada hal-hal non-liturgi, sehingga perayaan liturgi tidak sempat lagi diatur dan dipersiapkan dengan baik, sebagaimana mestinya. Atau seringkali dipercayakan begitu saja kepada para petugas yang de facto belum pernah dibekali dan dilatih untuk mengatur dan melaksanakan tugas liturgi. Maka jadilah pelaksanaan perayaan liturgi menjadi tindakan formal belaka atau direduksi menjadi sesuatu yang kita laksanakan sesuka hati.
Hal lain yang bisa mereduksi atau merendahkan kesucian perayaan liturgi adalah sikap atau pandangan imam sendiri sebagai pelayan utama perayaan liturgi bila memandang pelaksanaan ibadat/liturgi sebagai tugas dalam arti pekerjaan, job di hadapan umat sebagai pejabat gereja. Memandang sesuatu sebagai karya/pekerjaan (job)/profesi itu artinya hal itu juga dimengerti sebagai karier atau tempat untuk meniti karier. Berkarya untuk berkarier berarti bisa mempunyai prestasi, prestise dan reputasi. Apakah pelayanan perayaan liturgi/sakramen dapat dipandang sebagai job (pekerjaan) yang bisa memberikan prestasi dan reputasi kepada seorang imam? Tentu saja tidak bisa demikian. Tugas pelayanan perayaan liturgi bukanlah job (pekerjaan) atau profesi, melainkan merupakan tindakan/perbuatan pengejawantahan/perwujudan dari martabat imamat yang atasnya imam dimateraikan untuk melayani dalam arti menampakkan atau mengekspresikan relasi manusia dengan Allah dalam Gereja-Nya. Tindakan itu merupakan aktualisasi iman dan pribadi imam sendiri sebagai orang beriman dan sebagai orang tertahbis, yang dalam tindakan liturgi itu bertindak in persona Christi. Tindakan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan prestasi dan reputasi pelayannya karena bukan pekerjaan, job (untuk mencari nafkah dan segala macam).
Tetapi bisa saja terjadi karena pengaruh perkembangan dunia dan lingkungan (globalisasi ekonomi, gaya hidup dan teknologi) yang sangat menghargai kinerja, prestasi dan kontribusi (hasil pekerjaan), seorang imam bisa saja tergoda untuk juga mendapatkan pengakuan dan pujian dengan tindakan-tindakan pelayanan ibadat/liturgi yang dilaksanakannya? Maka memimpin perayaan liturgi di depan jemaat lalu menjadi semacam executive performance bagi imam-imam yang demikian. Makin banyak umat yang menghadiri perayaan misa semakin senang dan bersemangat dan makin percaya diri si imam sebagai pemimpin. Semakin berapi-api pula sang imam berkotbah sehingga lupa waktu. Kotbahnya bisa berkepanjangan dan bahkan mulai berpidato tentang hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan iman dan liturgi dari mimbar Sabda. Seakan-akan kehadiran banyak umat merupakan suatu peneguhan bagi jabatan dan pekerjaannya. Kalau demikian penghayatannya, perayaan liturgi dapat dianggap sebagai kegiatan sekunder atau tindakan formal belaka atau direduksi menjadi sesuatu yang dimanipulasi sesuka hati, untuk penampilan (pencitraan pribadi) imam sebagai pemimpin agar dihormati dan disukai oleh banyak orang? Karena pengaruh lingkungan atau karena pemahaman dan penghayatan yang semakin dangkal karena tergerus oleh hiruk-pikuk kesibukan duniawi, sikap dan perilaku demikian dapat saja terjadi.
Semestinya perayaan liturgi, dihadiri entah oleh 1000 orang, entah 10 orang, entah 3 orang, entah imam seorang diri saja karena tidak ada umat, tetap harus dia laksanakan dengan penuh hormat, penuh semangat, dengan gembira dan wajah berseri-seri karena yang dirayakannya adalah anugerah Allah yaitu keselamatannya sendiri. Sesuatu yang oleh diri sendiri diyakini, dihayati, dihargai, dihormati karena sakral/kudus, luhur dan mulia, yang tentunya dijaga serta dilaksanakan sendiri dengan penuh hormat, cermat dan teliti, juga akan dijaga serta dilaksanakannya dengan cermat, teliti dan penuh hormat untuk orang lain. Perayaan liturgi itu layak, pantas, meriah, agung, menyentuh, membuat hati berkobar-kobar atau tidak, tidaklah pertama-tama ditentukan oleh jumlah (banyaknya) umat yang hadir. Karena perayaan liturgi itu merupakan karya dan tindakan Allah sendiri. Kita manusia hanya ikut serta ambil bagian di dalamnya, yaitu hendaknya berpartisipasi secara sadar dan aktif. Sungguh sangat perlu diwaspadai agar perayaan-perayaan liturgi tidak dianggap sebagai tindakan formal belaka.

TINDAKAN DAN TUJUAN-TUJUAN LAIN YANG MENUMPANG PADA LITURGI
Hal lain atau aspek lain yang bisa mereduksi harkat perayaan liturgi menjadi kegiatan sekunder atau formal belaka ialah sikap atau persepsi/pandangan kita yang lebih mengedepankan hal-hal lain yang bukan merupakan inti pokok (substansi) dari perayaan liturgi sendiri. Misalnya masalah sarana kelengkapan perayaan yang berlebih-lebihan atau cenderung menjadi glamour sehingga perayaan seakan-akan menjadi suatu acara event organizer seperti atau acara pesta hiburan, model entertainment. Tidak jarang suatu perayaan liturgi yang penting menjadi kabur maknanya (artinya) karena imam dan umat lebih sibuk menyiapkan segala sesuatu yang lebih merupakan sarana-sarana pendukung yang jauh dari inti perayaan itu sendiri, seperti tari-tarian, bahan-bahan persembahan, pakaian seragam panitia dan para petugas, acara hiburan, makanan dan minuman, memikirkan tamu undangan kehormatan, urusan keamanan, dll, sehingga perayaan liturgi itu sendiri menjadi terbengkalai, tidak dipersiapkan dengan baik sebagaimana mestinya, dan akhirnya menjadi kegiatan pelengkap penderita dari keseluruhan hiruk-pikuk rangkaian acara yang ada.
Persepsi lain yang juga bisa mereduksi atau mengurangi harkat perayaan liturgi Gereja adalah kesibukan memikirkan dan mengurusi dana (kolekte), sumbangan, dll yang dikumpulkan dalam perayaan ibadat/liturgi. Dana sumbangan sukarela atau kolekte memang juga merupakan bagian dari kegiatan ibadat, dengan tujuannya yang khas yaitu untuk menjamin kelangsungan pelaksanaan ibadat-ibadat suci, untuk membantu kehidupan para pemimpin/pelaksana ibadat suci (klerus) dan untuk amal kasih. Gereja memang seringkali dipersepsikan dengan kegiatan sosial karitatif dan dengan kegiatan tersebut berarti Gereja mesti menggalang dana, dan tidak jarang itu dilakukan dalam/melalui kegiatan ibadat. Seringkali juga terjadi kegiatan memikirkan dan mencari dana menjadi meningkat karena paroki sedang membangun aula paroki, pastoran (tempat tinggal pastor) atau merenovasi gedung Gereja atau membuat gedung gereja baru. Dan sekali lagi yang menjadi arena untuk promulgasi dan sosialisasi pengumpulan dana adalah kegiatan ibadat/liturgi. Jadi kadang tanpa disadari lingkungan dan kegiatan ibadat direduksi untuk dimanfaatkan sebagai tempat atau sarana untuk mendapatkan tujuan-tujuan yang lain (sosial dan pembangunan). Konsekuensinya, hakekat liturgi yaitu mengantarkan umat untuk berjumpa dengan Tuhan menjadi terbelokkan atau tidak lagi menjadi perhatian utama. Karena itu sebetulnya adalah naif atau lucu kalau yang dipersepsikan sebagai Gereja (Paroki) yang maju, hebat dan harus menjadi contoh/model adalah Paroki yang kolekte mingguannya banyak, dananya banyak, aksi sosialnya hebat, atau bisa membangun apa saja, dan bukan karena ibadat/liturginya yang yang hebat, memesona, membuat hati umat berkobar-kobar, menyentuh hati sehingga umat semakin bertobat dan semakin mampu hidup rukun-damai-sejahtera sebagai saudara-saudara, karena mereka semua adalah anak-anak Allah. Tujuan liturgi adalah membuat umat sadar agar semakin mengasihi Allah dan mengikuti kehendak-Nya. Cukup aneh memang bahwa Gereja seringkali lebih dikenal proyek-proyek pembangunannya atau kegiatan sosial ekonominya dan bukan karena liturgi atau ibadatnya yang menyentuh hati dan membuat hati umat berkobar-kobar. Maka tepat kiranya menyitir Homili Duta Besar Vatikan dalam Pembukaan Pernas Liturgi di Makassar, bahwa Perayaan Misa tidak dapat dinomorduakan oleh tindakan-tindakan, maksud atau tujuan-tujuan lain, yang berkaitan dengan perayaan itu sendiri. Arti dan hakekat liturgi jauh lebih penting daripada gagasan-gagasan, maksud-maksud dan tindakan-tindakan yang bisa kita lakukan yang terkait dengannya atau atas namanya.

HARAPAN KITA
Pada akhirnya, sekiranya perayaan-perayaan liturgi Gereja itu sungguh-sungguh bisa selalu dilaksanakan dengan benar, baik dan cermat, sesuai dengan maksud dan tujuannya dan sungguh memberi pengertian dan menyentuh hati serta membuat hati orang beriman bertobat dan berkobar-kobar, kiranya kita boleh berharap dan percaya, pelan-pelan tetapi tetap terarah, hati nurani, pola pikir (mind set), sikap, mentalitas, pekerjaan dan perilaku orang-orang beriman dapat semakin dituntun dan diterangi oleh Allah sendiri (oleh Sabda dan Sakramen-Sakramen yang dihayati dan diaktualisasikan dalam perayaan-perayaan liturgi), sehingga kita (manusia) tidak dengan begitu mudah terinfeksi atau terlibas begitu saja oleh virus-virus keburukan dan kejahatan yang diprovokasi oleh perkara-perkara indrawi-duniawi yang egoistik, materialistik, konsumeristik, hedonistik,  serakah dan merusak.
Kiranya perubahan tatanan kehidupan yang lebih beradab, manusiawi, berkeadilan, berbagi serta berbela-rasa, bisa dibentuk, dibangun, ditumbuhkan dan dikembangkan dari IMAN kepada ALLAH, dari dalam dan melalui IBADAT/LITURGI yang baik, benar, menyentuh dan memberdayakan. Dengan kata lain Ibadat/Liturgi menjadi sumber dan medium dari pembaruan-pembaruan kita. *** Penulis: RD Victor Patabang, Ketua Komisi Liturgi KAMS

Tidak ada komentar: