Selasa, 18 September 2007
Memaknai Gejala-gejala Ajaib dalam Terang Iman
Bulan Juni lalu masyarakat Toraja, yang umumnya menganut Kekristenan (Protestan, Katolik, dan denominasi-denominasi Kristen lainnya), digemparkan oleh sebuah fenomena ajaib yang berlangsung di sebuah gereja stasi Katolik di Tikala: penampakan salib bercahaya. Menurut informasi gejala itu mulai muncul setelah ibadah hari Minggu Tritunggal Mahakudus, 3 Juni 2007. Hari-hari berikutnya tempat itu penuh sesak dengan orang-orang yang datang dari mana-mana, juga dari luar Tana Toraja. Mereka secara spontan menyanyikan puji-pujian/kidung rohani dari Meko. Dengan demikian fenomena Tikala tersambung dengan fenomena Meko, Poso: penyembuhan ajaib lewat doa seorang gadis kecil sederhana. Sejauh yang saya dengar, sebenarnya fenomena penampakan salib bersinar tidak hanya terjadi di gereja stasi Tikala. Di satu-dua gereja stasi lainnya di wilayah Tana Toraja terjadi pula gejala serupa. Tetapi sengaja dicegah oleh pimpinan Gereja setempat agar tidak tersebar luas, antara lain demi menghindari euforia massa yang berlebih-lebihan.
Sebagaimana biasanya, muncul pro-kontra. Ada yang percaya, ada yang tidak percaya. Ada yang mengaku melihat, ada yang tidak melihat apa-apa. Selaku Uskup Keuskupan Agung Makassar, saya mendapat banyak pertanyaan. Bahkan ada yang menulis surat, meminta saya segera menggunakan wewenang melarang kegiatan berkumpul di gereja stasi tersebut. Yang bersangkutan menyangsikan otentisitas fenomena tersebut dan khawatir akan munculnya dampak negatif bagi Gereja (Katolik). Yang lain bertanya mengenai sikap resmi Gereja terhadap gejala-gejala ajaib semacam itu. Kini euforia sekitar fenomena penampakan tersebut sudah menyusut, dan tempat itu semakin sepi dari pengunjung, dan lama-kelamaan mungkin akan terlupakan. Tetapi justru masa pasca-euforia ini cocok untuk mengadakan renungan lebih mendalam atas fenomena-fenomena ajaib semacam itu dalam terang iman kita.
Dalam bukunya Christian Mysticism; the Future of a Tradition, (New York, 1984): 303-338, Harvey D. Egan SJ, mendaftarkan sejumlah fenomena luar biasa dalam pengalaman mistik keagamaan, antara lain ekstase, penampakan, locutio, pewahyuan, stigmata, levitatio; dan fenomena-fenomena karismatis, seperti ramalan, glossolalia (bahasa roh), penafsiran bahasa roh, penyembuhan. Seseorang yang telah mencapai tingkat perkembangan rohani sedemikian rupa, karena kuatnya keterserapan dalam Allah, seringkali mengalami apa yang disebut ekstase: ia kehilangan kesadaran akan apa saja kecuali akan Allah. Salah satu contoh dari Kitab Suci dalam hal ini ialah Paulus. Santo Paulus sendiri bertemu dengan Kristus yang bangkit di jalan ke Damaskus (Kis. 9:1-9; Gal. 1:11-16) dan kemudian secara ekstasis diangkat ke “surga tingkat ketiga” (2 Kor. 12:2). Dari inti keberadaannya yang paling dalam, Paulus mengalami dan berpasrah pada kasih Allah dalam Kristus. Baginya Tuhan itu Roh (2 Kor. 3:17). Mistisisme Paulus berpusat pada Kristus: “hidup” baginya, “adalah Kristus” (Flp. 1:21). Bahkan, demikian ditegaskan olehnya, “aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:20).
Fenomena kedua ialah penampakan: orang melihat dengan mata inderawi sesuatu yang secara kodrati tidak dilihat oleh orang lain. Di Lourdes, misalnya, Bernadette mengalami penampakan Sta. Perawan Maria. Namun harus dicatat bahwa hanya sedikit para mistik yang mengalami penampakan fisik. Kebanyakan para mistik dan para penulis tentang mistisisme sependapat bahwa penampakan inderawi itu sangat mungkin palsu. Oleh karena itu secara tradisional Gereja mengambil sikap sangat berhati-hati terhadap fenomena penampakan. Oleh karena itu sepanjang abad ke-20, misalnya, dari sekian banyak penampakan yang diberitakan terjadi, Gereja baru mengakui tiga, yaitu: penampakan Bunda Maria di Fatima, Portugal (1917); Banneau, Belgia (1932); dan Beauraing, Belgia (1933).
Adapun fenomena suara/kata-kata mistik lebih sering disebut locutio atau auditio. Dapat terjadi, misalnya, seseorang mendengar dengan telinga inderawi pembicaraan atau kata-kata dari luar yang disampaikan dengan suatu cara oleh Allah. Sementara tertidur atau ketika terjaga, suatu pembicaraan, atau kata batin, keluar dengan kekuatan besar dari dalam diri seorang mistik. Akhirnya, dari keheningan paling mendalam seorang mistik, ia boleh jadi mendengar dengan telinga jiwanya pembicaraan-pembicaraan yang membawa efek. Misalnya, jika Allah pada hakekatnya bersabda kepada seseorang mistik, “Jangan takut”, seiring dengan itu ia menjadi orang yang tidak takut apapun. Inilah yang dimaksudkan Teresa dari Avila ketika ia menegaskan bahwa sabda Allah adalah tindakanNya. Dapat terjadi pula bahwa dalam pengalaman-pengalaman locutio musik lebih dominan daripada kata-kata. Para mistik penggemar musik, seperti Franciscus dari Assisi, Catharina dari Siena, Richard Rolle, dan Suso, kadangkala mengalami harmoni ilahi sebagai nyanyian surgawi.
Sedikit berbeda dari locutio, pewahyuan adalah pengelihatan atau pembicaraan yang menyingkap hal-hal tersembunyi di masa lampau, kini atau masa depan, entah demi kepentingan Gereja atau perorangan. Selanjutnya, hampir semua penulis mistik membedakan antara pewahyuan publik dan pewahyuan pribadi. Pewahyuan umum/publik berhenti dengan ditetapkannya kanon Kitab Suci pada akhir zaman para rasul; ini menetapkan depositum/dasar iman Kristen. Para penulis mistik mendefinisikan pewahyuan pasca-rasuli sebagai pewahyuan pribadi, juga jika itu demi kepentingan seluruh Gereja. Pewahyuan-pewahyuan pribadi ini tidak termasuk “harta” iman Kristen yang dipercayakan kepada Gereja untuk dipelihara dengan setia dan tidak dikategorikan sebagai yang tidak dapat sesat.
Fenomena stigmata adalah munculnya luka-luka Kristus pada tubuh seseorang. Orang Kristen pertama yang diketahui mendapatkan stigmata ialah St. Franciscus Assisi. Ia mendapatkan luka-luka Kristus pada tangan, kaki dan lambung dalam pengalaman ekstase di gunung Alvernia pada 17 September 1222. Walaupun ia berusaha menyembunyikan luka-luka ini dan sangat ingin mengambil bagian dalam penderitaan Kristus dengan cara yang tidak terlalu menarik perhatian, luka-luka ini tetap menyertai dia sampai akhir hidupnya. Sejak itu sampai sekarang tercatat sekitar 325 orang yang telah mendapatkan stigmata, 62 di antaranya telah dikanonisasikan oleh Gereja.
Fenomena mistik lain yang erat berkaitan dengan ekstase ialah levitatio atau pengangkatan. Banyak orang kudus yang dalam ekstase mengalami tubuhnya terangkat ke udara, berlawanan dengan hukum gravitasi. Para mistik yang terangkat itu biasanya menampakkan tiadanya gerak pada anggota badan mereka dan tampak kaku seperti patung marmer. Orang pertama yang tercatat mengalami stigmata, St. Franciscus Assisi, adalah juga orang pertama yang dikonfirmasikan mengalami ekstase pengangkatan (levitatio). Bukti-bukti yang terdokumentasikan menunjukkan bahwa Sto. Paulus dari Salib, Philippus Neri, Joseph Cupertino, Peter Alcantara, Franciscus Xaverius, Petrus Claver, Agnes, dan lain-lain termasuk mereka yang mengalami levitatio.
Karena keterbatasan ruang, maka menyangkut fenomena-fenomena karismatis, di sini kita hanya ingin menyinggung sepintas lalu fenomena penyembuhan. Ketika Paulus mendaftarkan karunia penyembuhan di antara karunia-karunia Roh (lih. 1 Kor. 12:1-14:25; Rom. 12:1-8; Ef. 4:1-6) ia memberikan kesaksian langsung bahwa berbagai penyembuhan terjadi dalam komunitas-komunitas Kristen awal. Paulus jelas mengaitkan penyembuhan-penyembuhan ini dengan yang dilaksanakan oleh Yesus dan para rasul dan melihat di dalamnya tanda-tanda kekuatan menyelamatkan segala dari Allah. Namun, penting untuk dicatat bahwa karisma ini menunjuk pada penyembuhan-penyembuhan aktual, dan bukan pada kuasa penyembuhan yang mampu mendatangkan berbagai macam penyembuhan.
Ledakan jumlah penyembuhan yang terjadi di pelbagai penjuru dunia dewasa ini menjadi bukti yang tidak dapat disangkal tentang adanya karunia ini. Namun, walaupun kenyataan adanya penyembuhan-penyembuhan otentik tidak dapat diragukan, masih dibutuhkan usaha lebih keras untuk menemukan berapa banyak dari penyembuhan-penyembuhan tersebut yang bersifat tetap dan tidak sementara saja. Kecuali itu para anggota Gerakan Pembaharuan Karismatik juga harus diingatkan bahwa Allah pada umumnya bekerja (menyembuhkan) melalui sarana kodrati, misalnya obat-obat modern. Paulus misalnya menasehati Timotius untuk mempergunakan anggur dalam mengatasi persoalan kesehatannya (1 Tim. 5:23). Selain itu, ketidak-mampuan untuk menyembuhkan atau disembuhkan bukanlah tanda kurangnya iman atau adanya dosa yang tersembunyi, sebagaimana seringkali ditekankan oleh oknum-oknum karismatik tertentu. Berapa banyak orang kudus Gereja sendiri yang menderita berbagai penyakit selama hidup? Apakah orang-orang kudus ini menderita sakit karena kurang iman atau karena dosa tersembunyi?
Setelah secara sepintas lalu kita melihat sejumlah fenomena ajaib dalam hidup religius, baiklah kita ketahui bahwa para mistik dan penulis rohani memandang semua fenomena itu sebagai ciri sekunder dari pengalaman rohani yang lebih mendalam. Augustin Poulain, misalnya, menyebut dua ciri primer dari mistisisme Kristen sejati. Yang pertama ialah kehadiran Allah yang teralami, terasakan. Seseorang secara mutlak yakin bahwa Allah hadir, dan bukti subyektif kehadiran ini tidak terbantahkan. Ciri primer kedua berkaitan dengan cara yang di dalamnya seseorang merasakan kehadiran Allah. Para mistik berbicara mengenai tipe khusus sensasi (perasaan) spiritual. Mereka mengakui adanya ”indera rohani” analog dengan indera jasmani. Tradisi mistik Kristen menunjuk pada bentuk spiritual atau mistik meraba, mendengar, merasakan, mencium dan melihat Allah.
Yang sangat penting diperhatikan ialah bahwa pengalaman kehadiran Allah yang dirasakan melalui ”indera rohani” itu berlangsung selanjutnya dalam hidup seseorang dalam suatu proses dengan tiga langkah, yaitu: purifikasi (pemurnian), illuminasi (penerangan budi), dan transformasi (pembaharuan hidup). Sejauh saya dengar – mudah-mudahan benar adanya – mereka yang pulang dari Meko dan mengalami fenomena Tikala sesungguhnya mulai mengalami proses tiga tahap itu dalam hidup mereka: Mereka mengalami pembersihan atau pemurnian hati, memperoleh penerangan budi dan selanjutnya memperbaharui hidup (mereka yang dulunya peminum minuman keras sekarang berhenti minum minuman keras, mereka yang sebelumnya ketagihan berjudi kini berhenti berjudi, dst.). Ini tentu buah-buah positif dari pengalaman rohani autentik. Mudah-mudahan proses ini berkelanjutan dalam hidup seterusnya.
Kita percaya dewasa ini Allah terus aktif berkarya di tengah umat-Nya. Teolog besar abad ke-20 dan sekaligus penulis rohani terkenal, Karl Rahner SJ, pernah menulis: ”Orang Kristen masa depan atau akan menjadi manusia ’mistik’, seorang yang telah ’mengalami’ sesuatu, atau dia tidak akan menjadi apa-apa”. Bagi Rahner pribadi manusia pada hakekatnya adalah roh-dalam-dunia. Terlebih lagi, dunia memuat inkarnasi sebagai salah satu unsur konstitutifnya. Melalui inkarnasi, hidup, wafat dan kebangkitan, Yesus Kristus sungguh-sungguh masuk ke dalam kenyataan terdalam dunia. Karena dunia yang teresapi dan terlandasi Kristus ini, Rahner berpendapat bahwa semua orang berada dalam inkarnasi, hidup, wafat dan kebangkitan. Karena itu, lingkungan Kristik ini menjamin bahwa setiap tindakan manusia yang dibuat secara mendalam memuat sekurang-kurangnya pengalaman mistik implisit akan Kristus. Atas dasar ini Rahner tidak menekankan mistisisme batin melulu. Ia tanpa ragu-ragu berbicara mengenai dimensi mistik dari makan, minum, tidur, berjalan, duduk, dan hal-hal sehari-hari lainnya. Setiap segi eksistensi manusia memuat pengalaman implisit akan Allah Tritunggal dan Kristus yang tersalib dan bangkit. Demikianlah ’mistisisme hidup sehari-hari’ dari Karl Rahner adalah mistisisme kegembiraan dalam dunia, sebuah iman yang mencintai bumi.
Dari apa yang dikemukakan di atas, jelaslah Rahner berkeyakinan bahwa Allah itu hadir di dunia tidak hanya dalam dan melalui kejadian-kejadian luar biasa. Allah hadir setiap saat dalam segala segi kehidupan manusia, termasuk yang serba biasa sehari-hari. Persoalannya ialah, apakah manusia masih mempunyai kepekaan terhadap kehadiran tersebut? Barangkali di sinilah perlunya kejadian-kejadian ajaib itu bagi manusia modern, sebagai semacam ’shock therapy’ untuk kembali menyadari kehadiran Allah yang menuntut manusia kembali kepadaNya.
Patut dicatat bahwa Rahner tidak sendirian dalam pandangannya seperti di atas. Apa yang disebut Rahner ’mistisisme hidup sehari-hari’ serupa dengan apa yang dinamakan Thomas Merton ’kontemplasi tersamar/tersembunyi’. Bagi Merton, sebuah kehidupan aktif yang sungguh sibuk, yang diresapi dengan pendirian radikal iman, harapan dan kasih, dapat disebut kontemplatif dalam arti tersamar. Sikap dan motivasi pengosongan diri seseorang dalam aktivitasnya memberi ciri pada kontemplasinya yang tersembunyi. Sedangkan William Callahan SJ, memusatkan perhatiannya pada apa yang dia sebut ’kontemplasi bising’. Callahan berpendapat bahwa orang sungguh dapat mengalami Allah di tengah tekanan, ketegangan, kekacauan, kebisingan dan kekalutan hidup aktif dewasa ini. Seorang yang aktif harus mengembangkan kepekaan mendalam akan Allah dalam alam, dalam dirinya, dalam orang-orang lain yang dengannya dia bekerja dan hidup, dalam kejadian-kejadian hidupnya setiap hari, dan dalam peristiwa-peristiwa serta pertentangan masyarakat zaman sekarang. Cinta mendalam kepada Allah, diri sendiri, sesama, dan perhatian terhadap apa yang sedang terjadi di dunia merupakan sikap-sikap yang tertuntut untuk kontemplasi bising. Singkatnya, Callahan menghendaki orang Kristen dewasa ini menjadi seperti Yesus, menjadi seorang yang bergerak di tengah kebisingan dan ketegangan modern baik di dalam diri maupun di sekeliling kita, dan yang tetap memiliki kesadaran akan yang lain dalam ikatan kasih dan perhatian. Ini, demikian Callahan, akan membuat doa orang Kristen menjadi sederhana, berkelanjutan, mendalam, penuh kasih, dan memiliki kesadaran sosial.
Makassar, Medio September 2007
+ John Liku-Ada'
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar