Gereja dan Demokrasi
Demokrasi muncul di abad ke-18 dari Revolusi Perancis dan Amerika; dan Gereja sejak abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20 sungguh bermasalah dengan demokrasi. Sebagai contoh, ingatlah ketika Paus Gregorius XVI (1831-1846) pertama kali disodori gagasan ’kebebasan berbicara’, ’kebebasan pers’, dan ’kebebasan hati nurani’. Ia berkomentar bahwa gagasan-gagasan itu ”delerimenta” yang pada dasarnya berarti ”samasekali kegilaan” (utter madness). Demikian contoh bagaimana Gereja memahami demokrasi pada abad ke-19. Pada abad ke-20, John Courtney Murray dalam suatu pidatonya mengatakan perlunya Gereja melihat dimensi-dimensi positif dari demokrasi dan membuka dialog tentang demokrasi. Atas ucapan itu, John C. Murray dibungkam oleh Gereja selama 10 tahun.
Itulah catatan sejarah, dan kita perlu belajar darinya. Namun yang lebih penting ialah bagaimana masalah di masa lalu itu disingkirkan dan dipecahkan di abad XX berawal dari Konsili Vatikan II (1962-1965). Sebagian besar karena jasa John C.Murray, Konsili memecahkan masalah demokrasi itu dalam Deklarasi tentang Kebebasan Beragama (Untuk diketahui, pluralisme adalah masalah yang paling banyak menyita perhatian dan pengabdian Murray). Dalam dokumen tersebut, Gereja membuat tiga pernyataan penting tentang politik:
1. Gereja menerima keanekaragaman religius sebagai suatu pemberian, anugerah (‘given’)
2. Gereja menerima sekularitas negara. Kita tidak mengharapkan negara melakukan pekerjaan atau tugas gereja (agama).
3. Satu-satunya hal yang dipersoalkan Gereja perihal orde politik adalah kebebasan dalam menjalankan fungsinya (freedom to function). Bukan ’favouritism’ melainkan kebebasan dalam menjalankan fungsinya! Gereja tidak menginginkan ’favouritism’ (memberi perlakuan khusus pada satu pihak/kelompok tertentu lebih dari yang lain) maupun diskriminasi dalam menjalankan peran sosial dan keagamaannya.
Pemisahan Gereja dan Negara
Ajaran Katolik mendukung sepenuhnya konsep pemisahan (separation) Gereja dan Negara. Namun perlu ditegaskan bahwa pemisahan Gereja dan negara tidak pernah boleh menjadi pemisahan Gereja dari masyarakat. Dasarnya adalah konsep politik yang perlu dikomunikasikan, bahwa negara bukanlah totalitas dari masyarakat. Sudah menjadi esensi demokrasi bahwa negara hanyalah salah satu bagian dari lingkaran lebih besar yang bernama Masyarakat. Gereja pun berada, sebagai bagian integral dari lingkaran masyarakat itu. Itulah sebabnya kita menyetujui pemisahan Gereja dan negara, yang keduanya adalah bagian dari masyarakat. Yang tidak kita setujui adalah pemisahan Gereja dari masyarakat. Kalau itu terjadi, hasilnya adalah Gereja yang bisu.
Tanggungjawab masyarakat ialah bekerja untuk kebaikan umum (common good). Tanggungjawab negara ialah menjaga ”tata-tertib umum” (”public order”):
1. Kedamaian publik
2. Moralitas publik
3. Keadilan dasariah
4. Kebebasan
Gereja adalah komunitas iman atas dasar kehendak bebas dengan kapasitas tertentu: sebagai kekuatan moral yang harus bersuara lantang.
Gereja dan Tindakan Politis
Salah satu warisan penting dari Konsili Vatikan II adalah keberhasilannya menggeser persoalan dari ”Gereja dan negara” ke persoalan yang lebih dalam dan luas: ”Gereja dan dunia”. Ini bukan persoalan legal atau konstitusional, melainkan persoalan sosial dan moral. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa tugas Gereja dalam masyarakat ialah melindungi martabat transenden dari pribadi manusia.
Alasan Gereja tertarik pada proses-proses politik adalah karena Gereja tertarik pada manusia, karena sadar akan tugas perutusannya bagi keselamatan manusia. Maka perlindungan atas martabat manusia bukanlah kegiatan ’ekstra-kurikuler’ dari Gereja. Juga bukan opsional, marginal atau aksidental. Itulah justru jantung misi Gereja! Oleh karena itu, dimanapun martabat manusia direndahkan, diabaikan, apalagi ditindas dan dikorbankan demi ’pembangunan’ Gereja harus tampil membela dengan suara lantang.
Untuk itu, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa orang-orang Katolik harus masuk dalam orde politik berdasarkan apa yang diyakini tentang martabat pribadi manusia. Pribadi manusia tidak hanya suci; pribadi itu juga sosial. Maka, rancang-bangun daripada ’konteks sosial’ dan ’sistem sosial’ dapat secara desisif memengaruhi sejauh mana pribadi-pribadi punya peluang untuk menyadari martabat mereka, yang terkait dengan keduanya (social context & social system). Justru dalam arena poilitik-lah masyarakat memutuskan bagaimana memerlakukan setiap dan semua pribadi manusia warganya. Politik adalah salah satu arena, dimana nasib dan masa depan pribadi manusia ditentukan. Namun arena itu menjadi amat desisif dan determinan, karena keputusan menyangkut arena lain (ekonomi, sosial, budaya, hukum, pendidikan dst) diambil melalui proses-proses politik, menjadi keputusan politik!
Tiga prinsip: BAGAIMANA Gereja terlibat dalam tindakan politis:
1. Meskipun komunitas Katolik dan para pemimpin pastoral punya hak konstitusional untuk berpartisipasi dalam arena kebijakan publik dan dalam proses-proses politik umumnya, terdapat batas-batas yang melekat pada hakekat Gereja dalam berpatisipasi. Gereja (dalam arti Institusi dengan hirarkinya) tidak mengambil posisi mendukung atau melawan pihak-pihak tertentu atau kandidat individual tertentu.
2. Para pemilih (voters) Katolik diharapkan untuk ”memeriksa dengan cermat track-record dan posisi dari setiap kandidat dari segala sudut terutama integritas, pandangan-hidup dan kinerjanya”. Pimpinan Gereja biasanya menganjurkan panduan moral ”etika konsisten” (consistent ethic) untuk digunakan para pemilih katolik menilai setiap kandidat.
3. Terdapat distingsi (pembedaan) antara prinsip-prinsip moral dan penerapannya dalam orde politik. Adalah mungkin untuk menyetujui suatu prinsip moral yang ’given’, tetapi toh tidak setuju, berdasarkan hati nurani yang jernih, atas cara penerapannya.
Pada akhir tahun 2002, Vatikan meluncurkan dokumen ”The Participation of Catholics in Political Life”. Dokumen ini menegaskan suatu pedoman moral bagi setiap orang katolik: “Suara hati yang benar seorang Kristen tidak akan membiarkan dirinya untuk memilih sebuah program politik atau hukum yang menentang isi fundamental ajaran iman dan moral”.
Jadi, setiap pemilih katolik akhirnya harus kembali pada suara hatinya sendiri, tetapi setelah melalui proses pemeriksaan dan pertimbangan yang benar-benar matang atas setiap kandidat. Karena itu Ajaran Sosial Gereja menganjurkan metode 3 tahap, yakni OJA/MMB: Observe (Melihat, mencermati), Judge (Menimbang), Act (Bertindak).
Apabila di antara para kandidat tidak ada satupun yang dinilai ‘paling pantas’ (no one is perfect!) untuk diberi dukungan suara, ada dua pilihan: abstain (memilih untuk tidak memilih artinya membuang hak-pilih sebagai bentuk “tanggungjawab” sebagai warga negara dalam bidang politik!), atau memilih kandidat yang paling kurang keburukannya (prinsip ‘minus malum’). Satu sisi pertimbangan untuk menjalankan prinsip ini adalah dampak pilihan kita jauh ke depan. Tidak hanya satu periode (lima tahun), tetapi dua-tiga-empat periode ke depan: apa yang akan terjadi selama itu bila kita memilih kandidat tertentu. Bukan hanya ’apa yang akan terjadi pada Gereja’ kita (itu alasan sempit dan egosentrik), melainkan untuk kepentingan generasi muda dan rakyat secara keseluruhan (termasuk didalamnya kepentingan Gereja!).
Proses analisis seperti itu perlu dibuat bersama dalam suasana persaudaraan, agar umat mendapat pencerahan dan menjadi pemilih yang cerdas dan bertanggung-jawab sebagai warga Gereja 100% serentak warganegara 100%.
Per Ecclesiam Pro Populo. ***
Drs.Philips Tangdilintin, MM
Tim Pembina Mahasiswa Katolik KAMS; Litbang Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Propinsi Sulawesi Selatan
Selasa, 18 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar