Selasa, 18 September 2007

Panca Windu Imamat P. Isidorus Rumpu Kaniu’, Pr: Indah dalam Kesederhanaan


Sore itu, pada tanggal 13 Agustus 2007, Gereja Sto. Yakobus Mariso menjadi saksi sebuah peristiwa bersejarah dalam perjalanan Gereja Lokal Keuskupan Agung Makassar. Seorang imam diosesan KAMS, P. Isidorus Rumpu Kaniu, Pr., yang kerap disapa sebagai “OPA”, merayakan pesta pancawindu imamatnya. Perayaan ini menjadi istimewa karena 40 tahun yang silam, tepatnya tanggal 13 Agustus 1967, P. Isidorus menerima anugerah imamat juga di Gereja Sto. Yakobus Mariso juga. OPA sendiri mengakui bahwa jubah yang dikenakannya pada perayaan ini adalah jubah yang juga dikenakannya sejak ia menerima tahbisan 40 tahun yang lalu. Jubah ini sekaligus menjadi saksi perjalanan imamat beliau dalam kesetiaan dan ketekunan beliau memelihara imamat suci yang telah diterimanya dengan penuh tanggung jawab.

Perayaan yang dipimpin oleh Mgr. John Liku Ada’, Pr. ini dihadiri oleh sebagian besar rekan imam yang datang dari berbagai penjuru Keuskupan ini, para biarawan dan biarawati, umat dan para seminaris. Perayaan ini sesungguhnya merupakan anugerah yang teramat besar dan patut disyukuri sedalam-dalamnya oleh Gereja Lokal KAMS, namun tetap dirayakan dalam kesederhanaan. Kesederhanaan perayaan itu sendiri akhirnya memancarkan keagungan peristiwa yang dirayakan, bukan dengan dekorasi yang indah atau suara paduan suara yang merdu, juga tidak diukur dari jumlah umat yang hadir. Keagungan itu justru terpancar dari pribadi dan sharing pengalaman P. Isidorus yang sangat sederhana dan rendah hati. Salah satu contoh kerendahan hati beliau terpancar ketika beliau mengakui bahwa selama 40 tahun menjadi imam, ia merasa tidak memiliki prestasi apapun yang patut dibanggakan. Padahal kalau kita menyusuri jejak langkah karyanya yang panjang, yang dimulai di Sangalla’ sebagai pastor bantu Pastor Louis de Vos cicm, kemudian sempat mengikuti kursus Pastoral/Katekese di East Asian Pastoral Institute (EAPI) di Manila, Filipina; kemudian menjadi pastor Militer dan pastor paroki di berbagai tempat di keuskupan ini termasuk paroki Diaspora, kita dapat melihat sosok seorang imam yang dengan penuh semangat, kesetiaan serta tanggung jawab, namun semua dilaksanakan dalam kesederhanaan.

Pastor Isidorus mengakui bahwa ia tidak pernah berhenti untuk memperkaya diri dengan pengetahuan. Sampai pada usianya saat ini, beliau menjadi seorang pencinta buku. Beliau masih tekun membaca buku-buku dan majalah, bahkan beliau mencoba mulai belajar bahasa Yunani karena kebetulan menemukan beberapa buku tuntunan. Semua itu dilakukan agar “otaknya tidak semakin beku, tidak kreatif dan malah menjadi pelupa.”
Sharing yang disampaikan kepada seluruh umat yang hadir adalah sharing yang sangat menyentuh hati. Dengan penuturannya yang sangat sederhana dan rendah hati, sharing pengalaman hidupnya sangat menyentuh sekaligus menggelitik hati para imam dan semua yang turut hadir dalam perayaan itu. Sharing P. Isidorus bisa menjadi bahan refleksi bagi para imam lain: bagaimana saya menghidupi dan menjalani kehidupan imamat saya sendiri; apakah saya setia, tekun, bertanggung jawab, punya komitmen dalam karya, dan bersemangat rendah hati serta mau terus mengembangkan diri demi karya yang dipercayakan kepada saya.

Bila ada yang bisa dibanggakan dalam perjalanan imamatnya yang berusia 40 tahun ini, hanyalah: pertama: “selalu hadir di tempat tugas dan tugas pokok menjadi prioritas”. Kedua: “mau tepat waktu.” Beliau sendiri menyadari bahwa perjalanannya memang sudah panjang tetapi belum mencapai akhir. Beliau sadar bahwa proses belajar tidak pernah berakhir dan sikap mawas diri sangat diperlukan dalam perjalanan mencapai garis akhir. Beliau mengutip kata-kata Sto. Paulus dalam 2 Tim 4:7: “Aku telah mengakhiri pertandingan dengan baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” P. Isidorus mengakui bahwa ia belum mengakhiri pertandingan, walaupun sudah memasuki detik-detik terakhir yang kritis. Ia menyadari masih harus “sangat waspada”, dan jangan sampai pada detik-detik terakhir dirinya masih kebobolan, mirip pertandingan piala Asia ketika Indonesia dikalahkan Arab Saudi justru oleh gol di menit terakhir pertandingan.

Di akhir sharingnya, OPA juga menyampaikan harapan-harapannya. Ia menyampaikan kerinduan hati yang ada dalam diri keluarga besar Seminari Petrus Claver, agar Bapak Uskup berkenan untuk lebih banyak lagi mencurahkan perhatian dengan lebih banyak bertegur sapa bersama para pembina di SPC dan terutama bersama dengan para seminaris. Kunjungan formal setiap tahun masih belum memadai, bahkan kalau bisa sekali-kali ada misa harian yang singkat, akan lebih menyegarkan suasana. Himbauan juga ditujukan untuk para pastor paroki agar turut mendukung kesuburan panggilan di keuskupan ini dengan memperhatikan, memberi informasi, mengajak, dan mendekati remaja putra agar mengenal dan menemukan bibit-bibit panggilan baru, seperti Elia aktif untuk mencari dan menemukan Elisa penggantinya (lih. 1 Raj 19:19). Selain itu, para pastor paroki juga dihimbau untuk menggalang DEPAS untuk mendukung pencarian dana bagi kelangsungan proses pendidikan di seminari Petrus Claver. Umat perlu disadarkan bahwa Seminari bukanlah sekolah gratis atau murahan, seperti yang dipikirkan oleh sebagian umat katolik, atau seakan-akan ada dana dari luar, yang selalu siap pakai. Kalaupun ada dana itu berasal dari kolekte KKI yang setelah dikumpulkan dari seluruh dunia, kemudian sebagian kecil dikembalikan ke keuskupan kita bila kita dinilai masih layak dibantu. Kerap kali terjadi orang tua masih merayu-rayu memohon keringanan, padahal mereka masih mampu membiayai pendidikan saudara-saudara calon yang bersangkutan sampai di perguruan tinggi. Banyak umat tidak sadar bahwa dengan dana yang terbatas, seminari harus menyelenggarakan pendidikan dengan tarif yang minimal, menu makanan harian diupayakan tetap memenuhi kebutuhan gizi anak-anak didik, dan para guru yang setia mengajar tetap mendapat imbalan meskii tidak memadai; begitu pula karyawati yang bekerja tanpa batas waktu tetap mendapat imbalan yang tidak sebanding dengan kerja keras mereka. Yang terakhir adalah himbauan kepada orang tua. Para orang tualah yang memulai seminari dalam keluarga. Panggilan pertama-tama bertumbuh dari dalam dan di tengah-tengah keluarga. Maka menjadi kewajiban orang tua untuk memberi teladan dan mendidik anak-anak dalam suasana terbuka, mengembangkan sikap jujur, bertanggung jawab terhadap tugas, mampu memilih prioritas, patuh, bergaul secara wajar dengan semua pihak, komunikatif. Bila sifat-sifat demikian sudah berakar di dalam diri anak berkat pendampingan orang tua mereka, maka calon-calon yang demikian bagaikan rumah (baca: panggilan) yang didirikan di atas wadas, sehingga bila ada badai, si seminaris akan tetap teguh dan tidak tumbang. Dan bila kita mengharapkan imam yang bermutu, serahkanlah putera terbaik dari keluarga anda untuk menjadi imam yang baik pula.

Para orang tua juga dihimbau untuk tidak memaksakan kehendaknya kepada anak-anak mereka untuk masuk seminari, walaupun yang bersangkutan tidak ingin. Janganlah orang tua hanya menjadikan seminari sebagai tempat mencari mutu pendidikan, di mana anak difasilitasi dengan asrama dan dijaga oleh staf pilihan Uskup, dikurung di antara tembok-tembok, dan memperoleh segala kemudahan-kemudahan lain. Sedangkan para seminaris diharapkan agar selama dalam masa pendidikan tetap tekun dan bersemangat sambil terus mengembangkan bakat-bakat yang dimiliki. Dan para seminaris juga diharapkan akhirnya bisa memutuskan untuk diri mereka sendiri, apakah ingin menjadi imam ataukah berkarya sebagai awam secara tegas dan mandiri.

Perayaan yang sederhana ini meninggalkan begitu banyak pesan dan kesan yang mendalam. Berlimpah syukur dan terima kasih kepada mereka yang telah mendukung perayaan ini. Dan di atas segalanya: syukur kepada Allah yang telah menjadi seorang Isidorus Rumpu Kaniu menjadi imam baginya, yang hanya berbangga atas segala kelemahannya dan selebihnya adalah miliki Tuhan. “Besarlah Perbuatan Yang Mahakuasa Bagiku.” (Luk 1:49)***
P. Andreas Rusdyn Ugiwan, Pr

Tidak ada komentar: