Selasa, 20 Maret 2007

Menumbuhkembangkan Kombas Dalam dan Melalui Wadah-wadah yang Sudah Ada


Sudah lewat hampir enam setengah tahun sejak KOMUNITAS BASIS dicanangkan sebagai cara baru hidup menggereja di Indonesia melalui SAGKI, awal November 2000. Dan SAGKI November 2005 kembali menegaskan agar cara baru hidup menggereja tersebut terus-menerus ditumbuh-kembangkan, dengan lebih menekankan peran orang muda di dalamnya. Ini, sebagaimana telah disampaikan melalui Surat Puasa 2007 baru-baru ini, sejalan dengan program lima-tahunan tahap pertama Keuskupan kita, yang tahun ini tiba pada tahun kelima dengan tema “Kerasulan Orang Muda”.

Komunitas Basis disebut CARA BARU hidup menggereja. Tetapi ditegaskan pula bahwa model utama Komunitas Basis Gerejawi (KBG) ialah cara hidup umat Kristen yang pertama, yang ringkasannya ditemukan dalam Kis. 2:41-47; 4:32-37 dan 5:12-16. Dengan demikian KBG juga dapat disebut CARA ASLI hidup menggereja. Oleh karena itu perlu diketahui, manakah ciri-ciri pokok cara hidup umat Kristen pertama itu? Dengan membaca secara cermat ketiga nas tersebut, kita akan menemukan bahwa cara hidup umat Kristen perdana itu memiliki 5 sokoguru atau tiang utama, yaitu: (1) Merupakan persekutuan persaudaraan sehati sejiwa (koinonia), yang (2) terbentuk berkat iman akan Yesus Kristus yang bersumber pada pengajaran para rasul (didache). Dalam persekutuan tersebut (3) semua saudara saling melayani (diakonia). Hidup persekutuan itu (4) senantiasa mendapatkan kekuatan lewat perayaan iman bersama, khususnya pemecahan roti atau ekaristi (leiturgia). Dengan demikian (5) mereka memberi kesaksian serta disukai semua orang (martyria). Ciri solidaritas sosial (diakonia) lebih ditonjolkan dalam Kis. 4:32-37. Sementara unsur kesaksian (martyria), khususnya melalui tanda dan mukjizat pembebasan orang-orang dari penderitaan (penyakit dan roh jahat), lebih ditampilkan ke depan dalam Kis. 5:12-16.

Gerakan Komunitas Basis Gerejawi (KBG) modern berawal di Amerika Latin pada tahun 1960-an. Tetapi perlu dicatat bahwa di Amerika Latin sendiri pun perwujudan KBG tidak seragam. Terdapat variasi dari negara yang satu ke negara yang lain, tergantung dari situasi masyarakat dan Gereja di negara yang bersangkutan. Tetapi terdapat sosok yang agak umum: Sekelompok orang di akar rumput (biasanya antara 10 sampai 30) berkumpul secara teratur, kurang lebih sekali seminggu (bdk. koinonia) untuk membaca Kitab Suci (bdk. didache), berdoa dan bernyanyi (bdk. leiturgia), serta mendiskusikan dalam terang Kitab Suci masalah-masalah yang mereka hadapi dan mencari langkah-langkah kongkrit (bdk. diakonia-martyria).

Guna lebih memahami karakteristik gerakan ini, Marcello Azevedo menerangkan ketiga kata yang tercantum dalam namanya: Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Gerakan ini menyebut diri “komunitas”, bukan sekedar kelompok diskusi mingguan. Mereka membangun sebuah grup kehidupan, saling mendukung, berbagi pengalaman dan pergumulan hidup. Selain itu mereka adalah “Gereja”. Meski terkadang mereka terlibat dalam politik, namun iman tak pernah lepas sebagai landasan bersama. Kelompok ini juga merupakan komunitas ”basis” dalam arti sosiologis. Mereka terdiri dari kaum marginal tak berdaya. Dalam komunitas ini mereka yang sering tak diperhatikan itu mendapatkan Kabar Gembira Tuhan dan aktif mendiskusikannya dalam konteks hidup. Mereka mulai menyadari potensi dan kemampuan untuk mengorganisir diri sebagai agen perubahan sosial.

Azevedo melihat komunitas basis di Brazil sebagai pencerminan adanya pergeseran bagaimana Gereja bersaksi: dari hegemoni para imam ke kehadiran aktif awam dan religius perempuan dalam kerasulan dan evangelisasi; dari pendekatan yang terlalu menekankan segi rohani ke yang lebih luas dan utuh (termasuk kebutuhan materiil); dari memperlakukan orang sebagai obyek evangelisasi menjadi subyek aktif perkembangan spiritual mereka (proses konsientisasi); dari memandang perubahan sebagai sesuatu yang dilihat dari atas ke bawah ke kreativitas dari bawah; dan dari tekanan untuk selalu memulai dengan teori ke penggunaan kenyataan dan pengalaman dasar untuk berefleksi.

Bagaimana perkembangan Komunitas Basis di Keuskupan kita, khususnya sejak dicanangkan sebagai cara baru hidup menggereja melalui SAGKI 2000? Walau telah ada usaha-usaha, tampaknya belum banyak kemajuan. Sesungguhnya di Keuskupan Agung Makassar telah lama ada embrio-embrio Komunitas Basis, khususnya yang bersifat teritorial: RUKUN dan STASI. Rukun dengan jumlah KK anggota yang tidak terlalu besar dan Stasi yang kecil dapat berkembang menjadi KBG dalam arti sepenuhnya. Rukun dan Stasi merupakan satuan paling kecil dan paling dasar (basis) dari Gereja. Kecuali itu istilah ”Rukun” dalam hubungan ini tepat makna. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka 1990, sebagai kata sifat ”rukun” berarti ”baik dan damai, bersatu hati”. Sebagai kata benda berarti ”asas, dasar”, juga ”perkumpulan yang berdasar tolong-menolong dan persahabatan”. Setiap Rukun dan Stasi mempunyai pertemuan berkala yang disebut ”Doa Rukun” atau di wilayah tertentu disebut ”Kumpulan”, yang diadakan secara bergiliran dari rumah ke rumah masing-masing anggota Rukun/Stasi. Frekwensinya bervariasi dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Ada yang sekali seminggu, ada yang sekali dalam dua minggu, ada pula yang sekali sebulan. Pada pertemuan Doa Rukun/Kumpulan para peserta bernyanyi, berdoa, mendengar pembacaan dari Kitab Suci serta renungan/homili yang disampaikan pemimpin. Dengan demikian unsur persekutuan (koinonia), pengajaran iman berupa pembacaan dari Kitab Suci dan renungan atasnya (didache), dalam rangka ibadat: bernyanyi, berdoa (leiturgia) sudah cukup tampil ke depan pada setiap Doa Rukun/Kumpulan. Yang belum mendapatkan tempat secara cukup jelas ialah unsur diakonia (dalam arti yang luas-utuh) dan martyria. Jika saja dua unsur pokok yang terakhir ini diberi pula tempat yang semestinya pada setiap Doa Rukun/Kumpulan itu, maka dengan sendirinya Rukun atau Stasi yang bersangkutan telah layak disebut Komunitas Basis Gerejawi dalam arti sepenuhnya, yang diharapkan terus bertumbuh. Mengintegrasikan unsur pokok diakonia dan martyria ke dalam acara Doa Rukun/Kumpulan memprsyaratkan adanya benang merah mendasar yang mempersatukan secara organik dan utuh kelima unsur pokok dalam KBG itu. Dalam sosoknya sampai sekarang, Doa Rukun/Kumpulan bentuk dan susunannya persis sama dengan Tata Perayaan Sabda (TPS) pada Hari Minggu dan Hari Raya di gereja. Maka dapat di mengerti bahwa lama-kelamaan Doa Rukun/Kumpulan dirasakan monoton dan kurang menyapa dan menarik, bahkan bisa dianggap berlebihan, karena merupakan pengulangan perayaan Sabda yang sudah diadakan setiap minggu di gereja. Semestinya pertemuan Rukun/Stasi (di luar gereja) lebih memberi tempat pada relevansi atau kaitan langsung pengajaran iman yang diperoleh dari pembacaan Kitab Suci (didache) dengan permasalahan kehidupan yang secara nyata dialami, dan selanjutnya bersama mencari jalan keluar (bdk. bagaimana KBG di Amerika Latin menerjemahkan unsur pokok diakonia dan martyria dalam situasi kongkrit mereka). Dalam hubungan ini juga sebaiknya pembacaan dari Kitab Suci tidak diikuti oleh homili yang disampaikan pemimpin, dan hadirin hanya menjadi pendengar. Hadirin semestinya lebih aktif menanggapi sabda Tuhan dalam konteks hidup mereka. Karena itu bentuk syering lebih sesuai. Dengan demikian hubungan antara iman dan kehidupan kongkrit sehari-hari dialami lebih nyata (bdk. makna keselamatan dalam Kristus itu total, sebagaimana yang dipaparkan dalam Surat Puasa 2007). Dengan mengintegrasikan unsur pokok diakonia dan martyria ke dalam pertemuan Doa Rukun/Kumpulan model lama itu, pertemuan mingguan/dua mingguan/bulanan tersebut akan menjadi lebih hidup dan menarik. Dan patut dicatat bahwa ritme hidup ala KBG dengan ke-5 sokogurunya tersebut akan ditopang pula oleh ritme hidup asli suku-suku bangsa di Indonesia, yaitu: musyawarah – mufakat - gotongroyong.

Di sektor kategorial, di Keuskupan kita terdapat sekian banyak kelompok, seperti: Mudika Paroki, THS-THM, Kerukunan Mahasiswa Katolik (KMK), Legio Mariae, Persekutuan Doa Pembaharuan Karismatik Katolik (PD-PKK), Persaudaraan Karyawan Muda Katolik (PKMK), Persaudaraan Usahawan Katolik (PUKAT), Persatuan Dharma Kesehatan Indonesia (Perdhaki), “Domenica in Sabbato”, Perkumpulan Bina Keluarga Lansia “Pangurangi”, Kelompok Devosi kepada Kerahiman Ilahi, Kelompok-Kelompok Tani, KIK; juga ada Yayasan-Yayasan; dan ormas-ormas (WKRI, PMKRI, Pemuda Katolik, ISKA). Ada yang begitu saja menggolongkan kelompok-kelompok ini ke dalam Komunitas Basis. Tentu saja di sini harus ada kualifikasi. Berdasarkan model utama KBG dengan kelima sokogurunya, kiranya jelas bahwa kelompok-kelompok ini umumnya belum dapat disebut Komunitas Basis dalam arti sepenuhnya. Sebab terdapat unsur pokok tertentu yang tidak begitu jelas terpenuhi dalam kebanyakan kelompok itu. Ada yang lebih berciri kelompok kebangunan rohani, ada yang lebih bersifat kelompok fungsional. Kecuali itu pembatasan jumlah anggota kelompok dan kemungkinan untuk bertemu secara teratur juga merupakan unsur penting. Dengan kelompok yang massal sulit membayangkan kemungkinan bertumbuhnya suatu komunitas sejati. Begitu juga para anggota kelompok yang tempat tinggalnya begitu berjauhan satu dari yang lain akan menghambat terlaksananya pertemuan-pertemuan yang teratur. Tetapi satu hal yang kiranya pasti ialah bahwa, dalam dan melalui kelompok-kelompok itu dapat bertumbuh Komunitas Basis sejati. Misalnya dalam Pembaharuan Karismatik Katolik (PKK) di Kota Makassar telah terbentuk kelompok-kelompok sel JSM (“Jeduthun Salvation Ministry”). Nama “Jeduthun” diambil dari 1 Taw. 25:1. Anggota setiap kelompok terdiri dari sekitar 10 orang. Bila satu kelompok sudah terlalu besar, maka dia memecah diri lagi. Setiap kelompok mempunyai pertemuan teratur. Jika JSM mampu memperkembangkan diri dalam kelima sokoguru KBG tersebut di atas, maka JSM dengan mudah menjelma menjadi Komunitas Basis dalam arti sepenuhnya. Demikian juga melalui Mudika Paroki, kongkritnya berupa Mudika Rukun/Stasi, dapat ditumbuh-kembangkan KBG kategorial dalam arti sepenuhnya. Sama halnya juga melalui ormas, dst.

Dalam pertumbuhannya ke arah kematangan, setiap Komunitas Basis lama-kelamaan akan menemukan bentuknya yang lebih mapan sesuai dengan keadaan setempat (kontekstual). Sebagaimana kita lihat, secara umum dapat dikatakan bahwa Komunitas Basis di Keuskupan kita baru berada pada tahap embrional. Supaya ia dapat lahir dan bertumbuh sehat, dibutuhkan sejumlah prasyarat, antara lain:
Pertama, dibutuhkan dukungan dari semua pihak. Pencanangan Komunitas Basis melalui SAGKI 2000 seharusnya menjadi komitmen seluruh lapisan Gereja sebagai umat Allah. Kiranya tidak berlebihan kalau ditegaskan bahwa dukungan tersebut secara khusus diharapkan dari para pastor, dan secara lebih khusus lagi dari para pastor paroki. Agar dapat memberi dukungan yang tepat-arah dan tepat-guna, para pastor khususnya diharapkan lebih mengenal dan lebih mendalami apa itu Komunitas Basis. Untuk ini saya merekomendasikan tiga buku kecil ini: (1) Gereja yang Mendengarkan; Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Indonesia Baru, ed. Panitia SAGKI 2000, (Jakarta, 2000); (2) John M. Prior, SVD, Memberdayakan Komunitas Basis Gerejani sebagai Budaya Tandingan; Suplemen APP 2001, Komisi PSE-KWI; dan (3) Kelompok Basis Gerejani; sejauh yang dialami dan diperjuangkan, ed. Komisi Kateketik KWI, (Jakarta, 2001). Dua yang terakhir saya rekomendasikan karena didasarkan pada pengalaman Komunitas Basis di NTT yang bertumbuh dari wadah embrional setempat yang sudah ada sebelumnya. Ini demi mencegah salah paham seakan-akan wadah-wadah yang sudah ada sebelumnya harus dikesampingkan demi terbentuknya sesuatu yang serba baru.

Kedua, dibutuhkan kader-kader sebagai motor penggerak setiap Komunitas Basis. Karena itu perlu segera diadakan pelatihan-pelatihan untuk kader-kader penggerak ini. Dan sejalan dengan anjuran SAGKI 2005 hendaknya sasaran pelatihan-pelatihan ini adalah terlebih orang muda.

Ketiga, sebagai cara baru hidup menggereja Komunitas Basis memprasyaratkan berlangsungnya transformasi struktur dan organisasi pelayanan pastoral menuju pelayanan pastoral terpadu. Dalam persekutuan umat Kristen perdana jelaslah semua ikut aktif membangun Gereja, tubuh Kristus, berdasarkan karisma masing-masing. Ada rupa-rupa kharisma (1 Kor. 12:4). Setiap kharisma merupakan tugas pelayanan sederhana (1 Kor. 12:8-10; Rom. 12:6-7; Ef. 4:11-12). Sebagian dari kharisma itu melayani kebutuhan komunitas, seperti tugas belas kasih (Rom. 12:8: penderma dan pengamal) dan tugas menunjukkan jalan (Rom. 12:8: penasehat), penyembuhan dan mukjizat (1 Kor. 12:9). Sebagian lagi terdiri atas tugas untuk menangani kebutuhan struktural, seperti pengajaran, kepemimpinan, pembedaan roh (1 Kor. 12:10; Rom. 12:8; Ef. 4:11). Kharisma sejati mekar dalam orang yang mengerahkan segala yang ada padanya, semua yang mereka miliki, apa saja yang mereka dapat perbuat untuk melayani Allah dan sesama. Dalam hal ini peran khusus hirarki ialah mempersatukan rupa-rupa tipe, jenis dan fungsi pelayanan (karisma) yang ada. Hirarki, khususnya para pastor tertahbis, berperan memelihara keseimbangan dan persaudaraan di antara sekian banyak tugas pelayanan. Para pemimpin tertahbis memperhatikan serta memelihara keseluruhan visi, misi dan reksa pastoral. Oleh karena itu juga Komisi-Komisi pada tingkat Keuskupan dan badan-badan pelayanan pastoral pada tingkat Kevikepan/Regio tidak bisa lagi bekerja terpisah-pisah dan sendiri-sendiri, melainkan secara terpadu. Contoh bagus sebagai langkah awal dalam hal ini ialah Bahan Animasi APP setiap tahun untuk pelbagai kelompok dipersiapkan bersama oleh sejumlah Komisi terkait.

Keempat, perlu sungguh-sungguh diperhatikan unsur pokok martyria (kesaksian). Harus diingat bahwa Gereja ada bukan untuk dirinya semata-mata. Ia diutus untuk menjadi garam dan terang dunia (lih. Mat. 5:13-16). Oleh karena itu KBG tidak boleh bertumbuh eksklusif, tertutup. Ia harus bersifat inklusif, terbuka ke arah Komunitas Basis Insani (KBI).

Selamat menjalani masa Prapaskah dalam menyongsong kebangkitan Kristus di hari Paskah! Semoga kebangkitan Kristus menjadi nyata dalam lahirnya dan bertumbuhnya secara mantap Komunitas Basis di Keuskupan kita!
Makassar, medio Maret 2007

+John Liku-Ada’

Tidak ada komentar: