25 Januari 2015
Aku terbangun dari mimpi dan menemukan diriku dalam kenyataan kamar tamu 01 Keuskupan, kamar yang cukup luas untuk dua pria “bodoh” yang baru saja ditangkap oleh Cinta Kristus lewat sumpah selibat tadi malam. Masih seperti bermimpi, tetapi keheningan di awal hari menggodaku segera membuka mata, dan aku menemukan diriku sendiri, dan seorang pria “bodoh” lain, di ranjang sebelah.
“Dumba’-dumba’ ka’ bro”, ucapku memulai percakapan pagi tadi. “Apa jai, dumba’-dumba’ ka’ juga”, Fr. Ferdy menimpali sambil tertawa. “Dan kita sudah digembok!”, lanjutnya. Hehe, kegelisahan itu seperti sekantong udara dalam lubang pernapasan. Rasanya ingin segera membuangnya, dan menghirup udara segar lagi. “Aku hanya ingin bernapas normal!”.
Aku pernah mengalami yang seperti ini, semacam avitaminosis spiritual; berada dalam keadaan semu terpecah dan merasa kerdil di hadapan tantangan-tantangan panggilan: Ketaatan, kemiskinan dan selibat. Jadi pikirku, “Hmm, jalan ini sulit!”
Suatu hari aku berjalan kaki ke kampus dengan perhatian terarah pada langit, dan seekor burung terbang dengan nyaman di atasku. Ia terbang bersama angin, dan ketika ia menemui bahaya, ia berbalik dan menghadapi angin supaya ia dapat terbang lebih tinggi. Itu mengingatkanku untuk percaya akan cinta, bahkan ketika aku tidak merasakannya, percaya akan Allah bahkan ketika Ia diam. Sedingin-dinginnya segala hal yang tampak pada musim dingin, matahari tidak meninggalkan kita. Ia hanya menjauh sedikit, demi alasan-alasan yang baik, salah satunya adalah supaya kita bisa belajar dari apa yang tidak dapat kita lakukan tanpanya.
Kesepian panggilan adalah keheningan yang panjang. Dan keheningan selalu menjadi hal yang menakutkan, seperti halnya menutup mata, di sana aku menatap diriku sendiri. Aku bersabar, bertahan untuk benar-benar mengalami mencintai sampai terluka. Tetapi aku mengagumi pertarunganku dengan hatiku, dan aku menemukan kejutan terbesar, Dia tidak pernah meninggalkan aku.
Tadi, saat litani para kudus berkumandang mengusik surga, aku menggigil di bawah perasaan terharu saat melihat tubuhku diberikan kembali kepadaku dalam keadaan tergeletak, tiarap. Nyanyian yang cukup panjang itu membuat tanganku keram. Menyadarkanku betapa rapuh, ringkih dan rentannya aku. Aku merasakan jantungku berdetak nervous dan mulai berbisik ke surga: “Jadilah kehendak-Mu, ya Tuhanku. Karena Engkau mengenal kelemahan di hatiku, dan Engkau hanya memberikan beban yang sanggup kupikul. Semoga Engkau memahami cintaku-karena hanya itu satu-satunya yang dapat kubawa bersamaku ke kehidupan selanjutnya. Kupersembahkan kenangan itu, semua yang membelenggu hatiku. Engkau tentu dapat membawanya pergi, tetapi aku takkan protes lagi”.
Mungkin saat ini aku terdengar kasual, tetapi aku bahagia karena aku telah berbagi ketakutan dan kemenangan denganmu. Deo Gratias. Terima kasih kepada orang tua kami yang telah belajar ikhlas dan mengajar kami mencintai panggilan ini, kepada Mgr. John Liku Ada’ yang berkenan menahbiskan kami sebagai diakon, kepada segenap keluarga yang menemani dan mendukung kami merayakan panggilan ini, kepada para pendidik kami sejak SD, SMP dan Seminari Petrus Claver Makassar, kepada pendamping kami saat menjalani TOR dan TOP, kepada staf pendamping di Seminarium Anging Mammiri, kepada para pastor, bruder, frater dan suster yang mendukung kami dalam perayaan syukur ini, kepada para donatur dan pendoa calon-calon imam, kepada para sahabat, teman, kenalan, dan segenap umat yang mulai hari ini akan melatih lidah untuk memanggil kami ‘diakon’, hehe.
Ada dua jalan bercabang di dalam hutan, dan aku... aku memilih jalan yang jarang ditempuh. Dan aku belum pernah mendengar Tuhan Yesus berkata, “Sepryn, kamu salah jalan, nak!” *** Penulis: Fr. Diakon Supriyanus Baso’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar