Kata-kata Yohanes Pembaptis (Yoh. 1:26) ini terngiang-ngiang setiap kali mengamati, memikirkan kembali setiap kali semua gerak-bergerak - ada sekian banyak - yang dilakukan untuk menyongsong hari ini. Dari lain pihak harapanku adalah agar pernyataan Yohanes Pembaptis ini, semakin kita semua sadari untuk disikapi.
Dan hari ini seharusnya semakin meyakinkan kita bahwa pernyataan Yohanes Pembaptis itu, sehebat-hebatnya diri kita, sepertinya semakin berlaku. Terbuktikah? Ada smartphone, ada tongkat selfie itu berarti diri ini semakin penting. Siapa pun Anda, semuanya bisa di-upload masuk pesbuk di dunia maya. Tanpa sadar kita terbawa arus tetapi juga sekaligus tergerus kalau tidak waspada.
Maka sejak awal, sudah sekitar abad kelima, Gereja memberlakukan masa Adven, tetapi karena kurangnya perhatian dan lemahnya pengajaran, maka masa Adven sepertinya tetap mandul. Pun sampai sekarang ini. Padahal: Yohanes Pembaptis lewat Gereja bermaksud untuk setiap kali mengingatkan kita soal pernyataan di atas itu. Karena memang benar, kita gampang sekali tergelincir. Kandang Natal bisa mengalahkan panti imam - karena kerlap-kerlipnya dan si Bayi yang sebenarnya yang utama hanya terbaring tak berdaya - dan hati kita memang hanya mencari yang kerlip-kerlap. Tanpa disadari panti imam dengan kelap-kelip lampu kandang natal mau dimiripkan dengan jalan Nusantara – Makassar (kawasan lampu merah, red.).
Berbahagialah orang yang ditahbiskan sebagai imam, yang berultah, yang wisuda dan Iain-lain di bulan Desember. Karena orang-orang Desember secara khusus akan diingatkan terus menerus perihal: "beri waktu untuk mengenal Dia." Meskipun sebenarnya semua pengikut Kristus seharusnya demikian.
Apa yang kita lakukan hari ini? Senin, 15 Desember 2014. Melihat gambar kenangan: Perjalanan Syukur P. Alex Maitimo pr 40 tahun imam. Di situ tidak diterakan kata imamat. Karena bicara tentang imamat, itulah sama dengan bicara tentang "Dia yang hadir tapi tidak dikenal."
Maka janganlah kiranya kita mengambil hal imamat itu dari-Nya dan kita pasangkan pada diri seorang yang manusia, apalagi yang seperti saya ini, yang belum bertugas di salah satu paroki sudah ditebarkan, padahal waktu itu belum ada smartphone, bahwa 'pastor baru nanti itu agak miring'…
Imamat itu milik-Nya. Imam itu dipanggil, diajak, diingatkan, dikandatto, dipapilapa, dismackdown oleh Dia, dirangkul, diampuni, diteguhkan oleh Dia, karena imam kepala batu (= yakin diri benar sendiri) dan tidak suka ber-adven (: mengenal Dia yang berdiri di tengah-tengah kita). Berani sekali kita mengenakan martabat imamat-Nya itu sementara kita hidup dengan gaya bulan pake payung tuturuga batalor.
Yang kita rayakan hari ini, bukan imam, bukan imamat, tetapi seluruh perhatian Allah yang prihatin dan terus-menerus memelihara umat-Nva. Jangan diputar-balikkan. Fokus saja pada kenyataan ini: prihatin dan memelihara. Jabatan imam dan penggembalaan sebagai ungkapan 'prihatin dan memelihara' itu terdapat dalam satu kerangka yang lebih besar yaitu Karya Keselamatan Allah.
Kapan keprihatinan dan karya keselamatan itu dirayakan? -sepertinya tidak pernah. Mengapa? karena yang ada di tengahmu tidak kamu kenal, padahal itulah Dia. Maka kita harus berhati-hati sekali bicara tentang perayaan syukur 40 tahun imamat pastor ... 25 tahun triprasetya seumur hidup … panca windu sakramen pernikahan … karena sebenarnya keprihatinan dan pemeliharaan-Nya itu yang utama, tapi pada hari peringatan digeser oleh si jubilaris, ahhhh… Tanda bahwa memang kita tidak mau tahu-menahu tentang Dia. Bayangkanlah, sudah berbau tanah kita-kita ini dalam Katolik, urusan pemahaman dan penghayatan dalam bidang ini belum beres.
Kembali kita amati gambar kenangan: imam jalan terus dan harus terus, semua yang manusia harus begitu. Dan untung boleh jalan terus, paling diganggu asam urat karena agak “galojo” -istilah dari Sulawesi Utara, rem mata dan leher kurang pakem kerjanya. Maka perjalanan ini adalah perjalanan syukur karena Dia mendampingi apalagi disertai oleh seluruh Umat.
Tetapi hari ini kita istirahat sejenak, bukan untuk berselfie ria, tetapi untuk b e r d i a m ... supaya bisa memerhatikan keajaiban-keajaiban Allah [Ayub 37:14].
Keajaiban Allah tidak ada hanya dalam diri si tanah liat ini, tetapi juga dalam diri kita masing-masing. Sayang ... kita suka tanpa sadar mengatakan 'tidak ada keajaiban' 'tidak kurasakan'. Ini karena kita tidak mau, kadang juga takut untuk b e r d i a m sebentar, dan memerhatikan...
Mestinya keajaiban Allah itu menjadi bahasa persatuan yang menghubungkan kita satu sama lain. Tanpa itu kita akan seperti menara Babel, akan runtuh dan berantakan.
Beristirahat sejenak koq di Rajawali ?
Karena sesudah disemaikan di rumah oleh ibu bapa dan saudara-saudariku, ternyata dipupuk juga di kapel ini dengan menjadi misdinaar, misdienen, yang berarti melayani Misa. Mendiang suster-suster dulu dengan gayanya masing-masing memberi teladan: Allah nomor satu, cium tanda salib yang tertera pada cincin di jarinya. Ibadat memuliakan Dia: nomor satu - Liturgi pada hari Raya, nomor satu. Juga ada pada suatu hari, bisikan sayup tapi jelas dan tegas dari Pastor Frans van Roessel CICM di kapel ini juga, lalu saya ke Seminari - jln Gagak 90. Sesudah itu tiap kali bertemu dengan suster-suster dari biara Arendsburg khususnya, akan terdengar "ik zal goed voor jou bidden." (saya akan doakan yang terbaik untukmu, red.). O ma lee, apalagi kalau sudah begitu. Anehnya dengan jari telunjuk digoyang-goyang mengarah ke diriku, begitu caranya.
Hal-hal di atas ini semua ternyata kadang-kadang perlu dialami kembali manusia, kata tokoh psikoanalisa Sigmund Freud - back to basic, mudik. Untuk timba kekuatan baru. Ternyata bagiku sore hari ini bukan hanya suster, tetapi begitu banyak saudara-saudariku yang sekaligus menjadi tanda jaminan dan sumber energi-Nya yang disalurkan lewat kamu semua bagiku.
Terima kasih beribu, karena tanpa sadar ataupun sadar, kamu semua terbuka dan siap menjadi agen elpiji rohani bukan hanya bagiku tetapi bagi kita semua satu sama lain. Keajaiban? Yes! Keajaiban. Dan itu tidak selalu dengan model, pola, gaya yang menghebohkan. Apanya mau menghebohkan, yang berdiri di tengah kita saja kita tidak kenal.
Itulah cara suster-suster dulu mengambil bagian dalam kerangka karya keselamatan, kecil saja tapi mantabbb. Ini pasti menjadi tantangan untuk rekan-rekan mereka yang sekarang, sesudah fasilitas hidup dan karya semakin makin. Semoga fasilitas-fasilitas seperti itu tidak malah membuat semua yang diajak jalan bersama-Nya, terlena dan semakin tidak mengenal Dia, itu doaku.
Dalam undangan tercantum acara untuk dua hari. Kenapa dua hari dipergunakan untuk kejadian ini? Karena bicara tentang imam, itu berbicara tentang Allah yang memelihara, bicara tentang Allah, itu bicara tentang renting dan doa. Itu saja fasilitas yang sebenarnya tersedia bagi kita manusia. Ada petunjuk dari-Nya yang perlu kita perhatikan dan renungkan, lalu tanggapan dari pihak kita. Disertai sikap liturgis: membungkukkan badan dan sikap batin: sederhana, lalu enter.
Ada juga semacam kartu dengan gambar kenangan 40 tahun imam dan lagu: semoga kita semua sadar, hal prihatin dan peduli bagi para imam perlu yang disebut gerakan seluruh umat, tidak cukuplah kalau hanya berupa kelompok.
Donasi bukanlah masalahnya. Kadang malah hal itu menumbangkan, karena setan juga tahu sistim bujuk rayu yang ampuh untuk manusia yang bermata hijau kalau melihat Iembar rupiah atau lebih-lebih euro.
Kenapa Liturgi perayaan Ekaristi tadi terkesan biasa-biasa saja … Pesan Yohanes Pembaptis di atas tadi ingatlah baik-baik! Hal itu saja belum kita atasi. Kita sering mengeluhkan bahwa liturgi kita kurang ini kurang itu, seperti acara kuliner nusantara saja. Sepantasnya liturgi itu mengajak kita setiap kali untuk fokus kepada Dia yang prihatin dan pelihara. Karena tidak sadari hal ini yang utama, lalu kita menghiasi bagian panti imam, semarakkan dengan lagu dan petugas pilihan dan kita berfokus pada berhala buatan kita itu. Dia yang seharusnya adalah pusat perhatian, terlewatkan jadinya. Padahal lewat sarana kudus itu kita juga mau memberi tahu kehebatan diri kita. Kalau kita mau jujur terhadap yang punya Ekaristi, maka tidak ada misa lain, apakah itu tema-nya, atau intensi-nya selain misa itu sendiri. Jangan sampai suara burung beo kita mengaburkan kenangan akan pengurbanan diri-Nya yang membawa keselamatan kita.
Nah, sesudah semua ini diamati, disimak dengan tekun dan teliti baru gerakan dibuat Gaya bergeraknya lagi secara iklan ISUZU - nyaris tak terdengar, tidak usah heboh -karena yang mau heboh, apalagi karena tidak sadar sendiri juga hedonis tattara, tidak ji dilarang.
Pola gerak ini yang dipakai, karena disadari kita sudah salah goyang di awal dan isi utamanya "yang di tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal" … jangan selanjutnya begitu terus. Sebenarnya seluruh hidup kita yang sudah menjadi milik-Nya, lewat baptisan itu, seharusnya memakai pola-pola yang sudah diwahyukan-Nya. Kitab Suci memiliki banyak petunjuk, sedangkan di otak kita paling yang ada adalah: anggap diri tahu padahal banyak unsur ‘ero dikana' / ’la dikua.' Berhadapan dengan “yang di tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal” tidaklah perlu kita coba-coba kasi liat jagota karena bisa-bisa kita juga menjadi Herodes Agung yang ketakutan lalu main tebas saja anak orang, bayi Yesus pun mau ditebas, biar begitu kita rasami sendiri paling katolik. Kalau bersikap begitu Iebih baik ikut Yudas yang menggantung diri.
Apa doa-doamu untuk imam-imam yang sudah 40 tahun atau pun yang baru 4 bulan? Semoga kita tidak lalai terhadap seruan Yohanes Pembaptis itu. Kalau hanya doakan supaya setia, itu kurang lebih sama dengan nasehat dokter internist kepada pasien diabetes: jangan konsumsi yang manis-manis; godaan malah makin besar untuk nikmati ice cream walls atau baskin robbins. Atau kata dokter: tanta, kurangi garam supaya body tidak melebar dan tensi tinggi, pada hal hobinya makan bubur manado/tinutuan dengan ikang garang, jadi larangan pasti ditabrak, bikin sia-sia Kartu Indonesia Sehat atau BPJS. Kiamat.
Ternyata untuk mendoakan imam pun perlu mendalami Kitab Suci. Jangan sekedar dan rasa sudah tahu mendoakan, lalu komat-kamit kumpayakum mbah dukun, tidak abis-abis sakitnya tuh di sini. Karena untuk merayakan yang berkaitan dengan imam pun terpaksa tidak bisa pake cara dan gaya dari dunia ini, kecuali kita mau lain di mulut dan hati, lain juga di kelakuan, atau kita siap menumbangkan dia dengan menyeret dia masuk arus yang menyilaukan.
Mari kita lanjutkan terus peziarahan hidup ini dengan tetap memusatkan perhatian pada keprihatinan dan pemeliharaan yang dari pada-Nya. Ternyata itulah sumber sukacita yang begitu kita cari dan rindukan. Bukan yang lain.
Dan itulah juga yang memberdayakan kita untuk saling peduli dan saling meneguhkan dalam peziarahan bareng ini menuju kepada-Nya. ***
alex maitimo - 1974-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar