Apa yang disebut “Teologi Sukses”, seringkali juga disebut “Teologi Keberhasilan” atau “Teologi Kemakmuran”, kiranya belum banyak bergema di lingkungan internal Gereja Katolik. Teologi ini lebih populer di kalangan Kristen non-Katolik, khususnya denominasi-denominasi baru. Namun, tidak dapat diandaikan bahwa semangat, daya tarik dan pengaruh teologi ini belum menyentuh lingkungan Katolik. Oleh karena itu, umat Katolik juga perlu mendapatkan informasi sekitar paham teologis ini.
Dalam bahasa Indonesia terdapat sejumlah tulisan tentang teologi ini, a.l. Andi Halim, “Teologi Keberhasilan dan Kemakmuran”, dlm. Pelita Zaman, vol. 6, no. 1, 1991:23-33; Herlianto, “Teologi Sukses”, Sahabat Awam, no. 16, Bandung, 1990; Cornelius Kuswanto, “Teologi Kemakmuran-Menjatuhkan Iman, Teologi Salib-Menguatkan Iman”, dlm. Pelita Zaman, vol. 6, no. 1, 1991: 9-22. Di sini rujukan utama kita ialah buku Ir. Herlianto, M.Th., Teologi Sukses; Antara Allah dan Mamon, cetakan ke-5, (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006). Teologi pada hakekatnya adalah refleksi iman. Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan ialah, sejauh mana aliran teologis ini memiliki dasar-dasar refleksi iman yang sahih? Khususnya, sejauh mana teologi ini mempunyai landasan Kitab Suci yang benar?
Latar Belakang
Perkembangan Teologi Sukses tidak lepas dari pengaruh perkembangan dunia yang semakin materialistis dan bermewah-mewah (konsumeristis), di mana uang dan materi (mamon) dipuja-puja dan dikejar-kejar. Perkembangan ini tidak lepas dari perkembangan ekonomi global yang dimulai di Amerika Serikat sejak usainya Perang Dunia II (1939-1945) dan Perang Korea (1950). Ekonomi di AS maju pesat karena dipacu oleh industri perang yang luar biasa, di mana AS tampil sebagai pemenang. Kemenangan perang ini membawa perekonomian dan perindustrian AS lainnya berkembang pesat dan membuahkan suatu masyarakat yang makmur dan berkelimpahan secara materi.
Dalam situasi materialisme yang meluas itu, tidak dapat dihindari terjadinya kekosongan rohani yang luar biasa. Bagaimanapun juga manusia, yang pada hakekatnya adalah badan-yang-menroh atau roh-yang-membadan (-meminjam istilah Prof. DR. N. Driyarkara, SJ-), tidak dapat dipuaskan hanya dengan materi saja. Dalam situasi pasca-perang yang gemerlapan itulah ajaran-ajaran yang dapat menyesuaikan kemewahan materi dan agama menjadi laku. Itulah sebabnya buku-buku yang mengajarkan sukses dengan dibumbui dasar-dasar alasan ilmu jiwa atau agama jadi laku keras, seperti yang dilakukan oleh Norman Vincent Peale dan para psikolog sekular.
Filsafat American Mentalism memang berkembang terus dan melahirkan banyak penginjil penganjur ajaran sukses. Mereka bahkan tidak tanggung-tanggung menggunakan siaran televisi. Mereka terkenal sebagai TV-Evangelists. Siaran-siaran penginjilan melalui TV berkembang menjadi bisnis besar, misalnya penginjil Oral Roberts. Penginjil TV ini sampai mempermalukan Kekristenan di Amerika, karena berseru meminta uang kepada pemirsa.
Sejalan dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang meliputi kawasan Samudera Pasifik, pengaruh materialisme Amerika ini pun menjalar ke kawasan Asia. Khususnya Korea Selatan, yang dikenal sebagai salah satu dari empat macan Asia, yang mengalami boom ekonomi pula sebagai akibat pasca-perang tahun 1950-an. Korsel baru mengalami penderitaan hidup akibat Perang Dunia ke-2 (1941-1945) dan sebelum bisa bangun sudah tertimpa Perang Korea lagi. Karena itu, ketika ekonomi pasca perang mulai bertumbuh, banyak orang seperti lepas dari sangkar penderitaan, berlomba-lomba mengejar kemakmuran materi, tidak terkecuali umat Kristiani. Dengan latar belakang demikian banyak penginjil Korea memadukan ajaran perdukunan (shamanisme) Korea dan Kekristenan di tengah-tengah kebangunan industri, dan mengembangkan ajaran sukses atau kemakmuran. Salah satu tokoh yang menonjol adalah Sun Moon Myung (Unification Church) yang mengaku sebagai “Kristus kedua”, dan terlibat skandal perpajakan di AS. Selanjutnya Paul Yonggi Cho, yang mengaku mempunyai gereja terbesar di dunia, yaitu Yoido Full Gospel Church. Melalui Seminar-Seminar Pertumbuhan Gereja, ajaran sukses ini disebarkan Cho ke seluruh dunia.
Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang di kawasan pasifik, Indonesia juga sedang membangun perekonomiannya dengan pesat. Kemajuan ekonomi menyebabkan makin meningkatnya jemaat yang termasuk golongan menengah. Secara relatif jemaat di kota-kota besar bertambah jumlahnya yang tergolong kelas menengah, yang ekonominya makin membaik. Di lain pihak, perkembangan perindustrian dan perekonomian yang membaik cenderung menghasilkan penderita-penderita, kejenuhan makin meningkat di kota-kota besar. Meningkatnya perekonomian jemaat dan kejenuhan hidup di kota-kota besar itu menyebabkan ibadat gaya Teologi Sukses cenderung makin populer. Ibadat gaya Teologi Sukses merupakan kompensasi kejiwaan yang menarik dan diinginkan manusia, sekalipun ibadat demikian tidak memberikan dampak spiritual yang mendalam. Ibadat yang menawarkan spiritualitas semu tanpa mempersoalkan perlunya etika Kristen selalu akan menarik hati manusia!
Sosok yang Kelihatan
Secara praktis kita dapat melihat ciri-ciri ajaran ini antara lain dari kehidupan para “penginjil” yang mempopulerkannya. Pada umumnya mereka hidup dalam kemewahan, bermobil mewah, punya rumah besar dengan kemewahan duniawi. Sosok lain yang kelihatan dalam gerakan ini ialah kecenderungan untuk berlomba-lomba membangun gereja dan Praise Center besar, mewah dan mengadakan acara-acara “out reach” yang dihiasi segala bentuk glamour ala dunia show-biz. Bahkan ada gereja yang mempunyai motto “Kami adalah keluarga Allah yang sukses dan bahagia”. Hal seperti ini sering kita lihat tercantum dalam stiker yang ditempel di mobil mewah di beberapa kota besar, berbunyi: “Successful Bethany Family”.
Biasanya ibadat yang dilaksanakan lebih didominasi oleh pujian dan penyembahan kepada Allah yang luar biasa. Penekanan pada Allah yang Mahabesar dan Mahakaya ini diiringi dengan Kebaktian-Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang menekankan “Berkat Tuhan dan Kesembuhan Ilahi”, disertai dengan demonstrasi mukjizat-mukjizat. Sering pula diiringi dengan tarian-tarian ala pemazmur yang ingin mencerminkan kesukariaan hidup. Lagu-lagu yang dinyanyikan umumnya bertemakan menyembah Tuhan yang Mahatinggi dan pengakuan diri sebagai Anak Raja. Penekanan pada mukjizat ilahi sangat diutamakan, khususnya dengan mempromosikan ayat, bahwa “tidak ada yang mustahil bagi Allah”. Dengan demikian juga tidak ada yang mustahil bagi manusia untuk mengharapkan mukjizat, baik mukjizat kesembuhan maupun kekayaan dan kemakmuran hidup.
Hal lain yang mencolok ialah bahwa khotbah-khotbah yang disampaikan sangat menyinggung uang dan menekankan pemberian persembahan, terutama berbentuk persepuluhan. Motivasi yang ditekankan, “makin banyak memberi, makin banyak berkat yang akan diterima”. Praktek persembahan ini sering diiringi dengan kesaksian-kesaksian menerima berkat, sukses dagang atau kesembuhan setelah memberi persembahan persepuluhan. Ditonjolkan kesaksian-kesaksian orang kaya yang bertobat atau diberkati dalam usahanya. Karena penekanan yang kuat pada sukses materi dan uang, terjadilah pemujaan pada yang kaya, termasuk perusahaan-perusahaan. Sebagai konsekwensinya terjadi sekularisasi dan komersialisasi agama, berupa simbiosa atau kerja sama antara ibadat dan interes perusahaan, dengan adanya pemasangan iklan dan pesan sponsor.
Satu gejala yang menarik dalam perkembangan Teologi Sukses ialah penonjolan-penonjolan tokoh-tokoh tertentu, pengkultusan “nabi-nabi” tertentu. Jadi, ajarannya lebih bergantung pada ucapan tokoh-tokoh itu daripada apa yang dikatakan Sabda Tuhan. Ucapan tokoh-tokoh penginjil yang dikultuskan itu, jelas mengikuti ukuran dunia, dan bukan ukuran rohani. Misalnya, “kalau mafia bisa naik mobil Lincoln Continental, mengapa anak-anak Raja tidak?” (Fred Price, Faith, Foolishness or Presumption?, 1979:74).
Ajaran yang mengiringi Teologi Sukses adalah ajaran yang belakangan ini menganggap kelompok ini sebagai kelompok elit dan eksklusif yang segera akan mengalami pengangkatan, pemulihan, dan pengurapan. Kekayaan dan kelimpahan diberi sebagai hak bagi umat Kristen, khususnya pada akhir zaman, di mana mereka akan diangkat pada saat kedatangan Yesus yang kedua untuk menghuni langit dan bumi baru.
Manipulasi Ayat-Ayat Kitab Suci
Penginjil Teologi Sukses gemar mengutip ayat-ayat Kitab Suci. Kiranya inilah salah satu sebab mengapa banyak sekali orang yang tertarik pada ajaran ini. Mereka menyangka ajaran tersebut didasarkan pada kebenaran Kitab Suci. Namun, bila dipelajari lebih dalam, ternyata ayat-ayat Kitab Suci yang dikutip lebih banyak digunakan sebagai slogan yang diartikan secara harafiah dan di luar konteks, bahkan sering berlawanan dengan arti sebenarnya yang dimaksudkan oleh konteks ayat itu. Jadi, ayat Kitab Suci tidak digunakan untuk ditaati, melainkan dimanipulasikan dan dijadikan pendukung ajaran luar yang dimasukkan ke dalam Kekristenan. Terdapat tiga tema utama yang ditonjolkan para “penginjil” Teologi Sukses, yaitu: (1) tidak ada yang mustahil bagi Allah; (2) kaya dan berkelimpahan; dan (3) berilah dan mintalah.
Dalam hubungan dengan kuasa Allah, ayat-ayat yang menyebutkan bahwa tidak ada yang mustahil dan tidak mungkin bagi Allah yang Mahakuasa, a.l. Kej. 18:14a; Yer. 32:27; Mat. 19:26; Mrk. 9:23b; 14:36; Luk. 1:37; Mat. 19:26 // Mrk. 10:27 // Luk. 18:27; Flp. 4:13. Ayat-ayat ini merupakan slogan yang paling banyak dipergunakan dan sering dipakai sebagai kata-kata yang berkhasiat atau mantra. Maksudnya, apabila diucapkan maka mukjizat apa pun yang dikehendaki oleh manusia, baik itu berupa mukjizat kesembuhan maupun mukjizat untuk memperoleh kekayaan dan kemakmuran pasti bisa kita peroleh. Sebab tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk memenuhinya.
Namun, gagasan demikian sama sekali membuang peran kehendak Allah dalam proses meminta-minta mukjizat itu. Jadi Allah harus memenuhi kehendak manusia, karena tidak ada yang mustahil bagi-Nya untuk memenuhi kehendak manusia. Sudah jelas pengertian demikian tidak benar, dipandang dari sudut Kitab Suci dan kewibawaan Allah yang berpribadi. Di sini Allah dijadikan budak yang harus taat memenuhi kehendak manusia! Konsep ini memang sejalan dengan ajaran “Tuhan” psikologi baru maupun perdukunan: konsep Allah yang tidak berpribadi, sebagaimana dipopulerkan Norman Vincent Peale. Peale mengutip pendapat ahli ilmu jiwa William James mengenai energi manusia. Ini juga sesuai dengan konsep Kuasa Besar Panteisme (bdk. Simon dalam Kis. 8:4-25).
Dalam Kitab Suci jelas sekali disebutkan bahwa ayat-ayat tentang kemahakuasaan Allah, tidak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya selalu dikaitkan dengan janji atau kehendak Allah sendiri; Allah pencipta yang jelas berpribadi dan punya kuasa, rencana dan kehendak yang harus ditaati oleh manusia yang diciptakan-Nya. Nas Kej. 18:14a dikaitkan dengan janji Allah kepada Abraham untuk memberi anak pada masa tuanya. Suatu peristiwa yang mustahil terjadi pada manusia, kecuali ada campur tangan Allah. Demikian pula Yer. 32:17.27, sangat berkaitan dengan kuasa Allah dalam memelihara umat-Nya dan melakukan kehendak-Nya atas umat Israel maupun musuh-musuh Israel. Dalam Mrk. 9:23b Yesus mengatakan kepada ayah anak yang dirasuk setan, bahwa “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya”. Ini menunjuk pada kuasa Yesus yang akan diterima keluarga itu apabila mereka percaya. Jadi bukan “kepercayaan” mereka yang dapat mengusir roh itu, melainkan “kepercayaan” mereka itu memohon belas kasih Yesus untuk menyatakan kuasa-Nya.
Dalam ilmu tafsir Kitab Suci dikenal dua istilah yang mirip, tetapi berbeda pengertiannya: eksegese dan eisegese. Eksegese berarti “menggali sesuatu keluar dari dalam Kitab Suci”. Kitab Suci adalah Sabda Allah yang diwahyukan kepada manusia dan ditulis dalam bentuk kumpulan 73 buah kitab (Protestan hanya mengakui 66 kitab), yang meliputi kurun waktu lebih dari 1600 tahun, yang menceritakan Sejarah Penyelamatan Allah. Masing-masing kitab dapat merupakan sejarah atau surat kiriman yang merupakan satu kesatuan. Pembagian atas pasal dan ayat baru terjadi pada Abad Pertengahan. Karena itu, bila satu ayat ditafsirkan atas dasar kata-katanya saja dan dilepaskan dari kesatuannya dengan seluruh isi kitab atau surat maupun isi Kitab Suci (kontekstual), maka artinya bisa jauh berbeda dan bahkan berlawanan dengan yang dimaksudkan oleh penulis Kitab Suci. Itulah sebabnya dalam perjalanan sejarah Gereja berkembang pula penyelidikan hermeneutika untuk menggali dari ayat-ayat Kitab Suci dengan lebih seksama guna mengerti dengan lebih jelas “apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh penulis Kitab Suci yang digerakkan Roh Kudus itu”. Itulah eksegese. Sedangkan eisegese berarti “memasukkan suatu pandangan dari luar ke dalam Kitab Suci: Inilah yang dilakukan dalam Teologi Sukses!
Sama halnya dengan tema “tidak ada yang mustahil”, Teologi Sukses juga berupaya mendukung ajarannya tentang hidup yang kaya dan berkelimpahan dengan sejumlah ayat-ayat favorit dari Kitab Suci, mis. Yoh. 10:10b; 3 Yoh. 1:2; 2 Kor. 8:9. Ayat-ayat ini diartikan sebagai petunjuk bahwa umat Kristen berhak menjadi kaya, hidup dalam segala kelimpahan materi dan duniawi, yang berarti banyak uang, hidup berkelebihan dan hidup dengan segala kenikmatan. Namun, misalnya, apakah benar bahwa kata “kelimpahan” dalam Yoh. 10:10b dimaksudkan kelimpahan materi? Tentu tidak, karena melihat konteks Yoh. 10 tidak ada petunjuk yang membuktikan bahwa domba-domba kemudian memperoleh kalung mutiara atau kandang emas. Kelimpahan di sini artinya pemeliharaan hidup oleh Gembala, yang digambarkan dengan masuk pintu dan memperoleh rumput sebagai karunia keselamatan menuju hidup yang kekal. Demikian pula halnya dengan 2 Kor. 8:9, jelas Paulus tidak memaksudkan kaya materi, melainkan kaya dalam berbuah (pelayanan kasih). Paulus mencontohkan jemaat Makedonia, yang sekalipun menderita dan miskin harta, namun “kaya dalam kemurahan” (ay. 1-3) bahkan “memberi diri mereka” (ay. 5). Sekalipun ay. 7 mungkin menyebut “kaya harta” akan tetapi yang ditekankan adalah “kaya dalam membantu dan pelayanan kasih”. Inilah juga yang ditekankan Paulus dalam 2 Kor. 9:6-14. Hidup kaya, menurut Paulus, adalah “jemaat yang kaya dan berkelimpahan membantu yang miskin dan berkekurangan”. Artinya, “kaya dalam memberi” bukan “kaya dalam apa yang diterima”.
Terkait dengan topik “berilah dan mintalah”, ayat-ayat yang dianggap hukum investasi, sebagai uang muka yang diberikan untuk mengisap berkat materi dari Allah, a.l. Mal. 3:10; Luk. 6:38; 2 Kor. 9:6. Ayat-ayat ini digunakan dalam memotivasi orang untuk memberikan persembahan. Sebab persembahan berarti investasi supaya nanti memperoleh laba atau berkat yang berlipat ganda. Banyak khotbah menantang orang untuk memberi; dan ayat-ayat ini dipakai sebagai senjata untuk meyakinkan jemaat bahwa pemberian itu nanti pasti akan menghasilkan keuntungan berganda.
Mal. 3:10 berbicara mengenai persepuluhan. Dalam Perjanjian Lama, praktik persembahan persepuluhan telah ada pada masa Abraham. Upacara kurban merupakan praktik kuno guna menjalin hubungan dengan Allah, lewat persembahan kepada imam. Hal ini kemudian dilembagakan dalam ketentuan Taurat serta dikaitkan dengan rumah Tuhan dan jabatan keimaman (Kel. 29; Bil. 18; Ibr. 8:14) pada masa Musa. Setelah manusia diusir dari Taman Eden, hubungan kembali dengan Tuhan dipulihkan dengan upacara kurban dan persembahan (Kej, 4:3-5; 8:20-22). Dan setelah perpecahan bahasa di Babel (Kej. 11), rupanya ritus agama ini dijalankan terus juga di dalam dan di luar keturunan Abraham (bdk. Zakat dalam Islam). Pada dasarnya kurban dan persembahan merupakan usaha untuk menjalin kembali hubungan dengan Tuhan, sebagai ungkapan pertobatan batin. Sayang sekali bahwa upacara kurban dan persembahan yang merupakan ungkapan pertobatan dan kepercayaan itu sering merosot hanya menjadi upacara lahir, tanpa diiringi hati yang menyesal, bertobat, adil, dan berbelas kasihan. Dalam hal ini kurban dan persembahan itu tidak ada artinya di hadapan Allah (Kej. 4:5//Am. 4:4), malah dipersalahkan (Mzm. 51:18-19; 1 Sam. 15:22; Hos. 6:6; Am. 5:21-24; Mi. 6:6-8).
Karena Perjanjian Lama telah diingkari oleh orang Israel, maka dinubuatkan bahwa Perjanjian Lama akan diperbaharui, di mana ibadat dimurnikan menjadi ibadat batin, dan fungsi Taurat dan peraturan-peraturan diganti dengan kesadaran dalam hati manusia dan Roh Tuhan akan mendiami hati manusia (Yer. 31:31-33; Yoh. 11:19-20; 36:26-27; Ibr. 8:8-12). Dalam Perjanjian Baru telah terjadi pembaharuan dari “ibadat insani” ke “ibadat hati nurani” (Ibr. 9:9-10), dan “persembahan Taurat” diganti dan dilunaskan oleh “persembahan diri Kristus” (Ibr. 10:9-10). Yesus telah menggenapi Taurat (Mat. 5:17), Ia menjadi Pengantara perjanjian yang baru (Ibr. 9:11-28), Ia menjadi Imam Besar perjanjian yang baru (Ibr. 8:1-13), dan menggantikan fungsi ke-Imam-an Harun dan kaum Lewi (Ibr. 7:11-28). Yesus Kristus tidak saja menggantikan fungsi Imam, tetapi Ia juga menjadi Domba Paskah, dan Ia menjadi Kurban itu sendiri (Ibr. 10:1-18; Gal. 3:13-14). Sedangkan Taurat sendiri diperintahkan sebagai penuntun sampai kedatangan Yesus Kristus (Gal. 3:15-29; Ibr. 8:13; 9:9-10; 10:9-10). Sedemikian itu, jejak kewajiban persepuluhan tidak muncul dalam cara hidup umat Kristen perdana. Yang menonjol adalah semangat berbagi dengan saudara-saudari yang berkekurangan (lih. Kis. 2:41-47; 4:32-36).
Sedangkan dalam penyalahgunaan ayat-ayat “Berilah dan kamu akan diberi” (Luk. 6:38), para “penginjil” Sukses selalu memberi contoh-contoh beberapa orang yang setelah memberi kemudian memperoleh keuntungan berlipat ganda atau perusahaannya berkembang. Tetapi berapa banyak orang yang akhirnya gigit jari? Dan kalau ternyata tidak berhasil, bagaimana mereka berani menuntut pendeta itu? Dengan sistem persembahan yang begitu, bagaimana mereka dapat membuktikan bahwa mereka telah memasukkan persembahan sekian dollar atau rupiah, tanpa bukti kwitansi penerimaan? Konteks Luk. 6:38 tidak bercerita mengenai investasi maupun mengenai uang dan harta. Kalau kita mempelajari konteks ayat itu dengan ayat-ayat paralelnya mengenai Khotbah di Bukit dalam Mat. 5-7, akan jelas terlihat ketidakbenaran penafsiran demikian. Ayat-ayat sebelum Luk. 6:38 dengan gamblang menyalahkan orang-orang yang berpikir persembahan sebagai investasi untuk memperoleh balasan, sebab “kebiasaan memberi dengan meminta balasan adalah kebiasaan orang berdosa” (Luk. 6:30.34-36).
Sedangkan menyangkut perikop “menabur agar menuai banyak” (2 Kor. 9:6) tidak dimaksudkan oleh Paulus sebagai pancingan menabur uang, supaya nanti memperoleh lebih banyak uang, yang berarti kaya materi. Sebaliknya, justru untuk mengingatkan orang akan tanggung jawab pelayanan kasih, yaitu: “memberi dengan sukarela dan sukacita” (ay. 7, jadi bukan motivasi supaya nanti diuntungkan), “memberi kepada yang miskin” (ay. 9), dan “kemurahan hati dalam membagi-bagikan segala sesuatu” (ay. 13), supaya kelak menuai berupa “hidup yang berkecukupan dan berkelebihan dalam pelbagai kebajikan” (ay. 8), “menyediakan benih, melipat-gandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaran” (ay. 10), dan “kaya dalam segala kemurahan hati” (ay. 11); jadi bukan kaya materi (bdk. 2 Kor. 8:1-7)!
Sesungguhnya kejenuhan Teologi Sukses sudah dialami Gereja-Gereja Korea menjelang akhir dekade 1990-an. Pada masa ‘boom ekonomi’ banyak orang Korea mengalami kemakmuran materi. Tetapi sejak krisis moneter 1997, banyak orang Korea mengalami paceklik. Ini mengakibatkan banyak jemaat kembali ke agama tradisi semula, karena mereka merasakan bahwa ajaran sukses bukan jawaban di tengah banyaknya konglomerat yang bangkrut dan mengakibatkan PHK massal, dan bahwa ‘Tuhan Kristen’ tidak lebih besar dari ‘Tuhan tradisi’. Kejenuhan juga berlangsung di AS. Jim Bakker tersandung skandal keuangan dan seks, sehingga diseret ke pengadilan dan dijebloskan ke penjara. Di penjara dia bertobat. Dia mengatakan: “Banyak orang percaya bahwa bukti berkat Allah atas mereka adalah mobil baru, rumah baru, pekerjaan yang baik, dan sebagainya … Jika itu yang dicari, pemilik casino, gembong obat terlarang, dan para bintang film diberkati Allah. … Jika anda menyimak firman Tuhan dengan saksama, anda tidak akan menyamakan materi sebagai tanda berkat Allah” (dikutip dlm Herlianto, 2006:13). Bakker kemudian menulis buku tebal tentang pertobatannya berjudul I was Wrong (Thomas Nelson, 1996).
Sikap Injili Menyangkut Materi
Kita melihat bahwa Teologi Sukses bukanlah teologi yang digali dari Kitab Suci (eksegese), melainkan ajaran lain yang secara sinkretis dimasukkan ke dalam Kekristenan, dengan memanipulasikan ayat-ayat Kitab Suci (eisegese) yang ditafsirkan secara keliru (dilepaskan dari konteksnya). Pengaruh psikologi baru dan perdukunan atau kebatinan terlihat jelas dari kesamaan-kesamaan ajaran teologi ini dengan praktik-praktik yang ada dalam ajaran psikologi baru dan perdukunan. Karena itu usaha kembali pada Kitab Suci merupakan keharusan dalam menanggapi ajaran-ajaran yang berkembang, yang kelihatannya menarik tetapi dapat melemahkan iman yang benar, bahkan dapat menjauhkan kita dari ajaran Yesus sendiri. Maka pertanyaan yang penting dijawab di sini, ialah: Bagaimana sesungguhnya sikap dasar Yesus terhadap materi, khususnya terhadap uang (mamon)?
Menurut Injil Yohanes, Yesus “pada mulanya adalah Sabda; Sabda itu bersama-sama dengan Allah dan Sabda itu adalah Allah”, yang menjadi manusia dan diam di antara kita (Yoh. 1:1-18). Ia lahir sebagai rakyat kebanyakan dalam kekurangan, jauh dari segala kebesaran dunia. Ini nyata ketika Dia dipersembahkan di Bait Allah, persembahan korbannya hanya berupa “sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati” (Luk. 2:24). Ini adalah korban persembahan orang tidak mampu menurut hukum Taurat (Im. 12:8). Dia tinggal dalam kenyataan manusia yang lemah, terlibat dalam jerih payah dan cucuran keringat manusia yang harus bekerja (Mrk. 6:3). Sebelum Dia memulai karya-Nya di depan umum, Ia mengalami tiga macam pencobaan pokok di padang gurun, yaitu godaan materi, kekuasaan dan kepopuleran (lih. Mat. 4:1-11 // Luk. 4:1-13). Terhadap godaan materi Ia menampik tegas: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat. 4:4). Selama hidup dan karya-Nya di depan umum, Yesus tetap hidup dalam kemiskinan: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Luk. 9:58).
Dalam pengajaran-Nya, Yesus memuji bahagia orang miskin (Mat. 5:3), dan memperingatkan dengan keras orang kaya: “Celakalah kamu, hai orang kaya” (Luk. 6:24). “Berjaga-jaga dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung daripada kekayaannya itu” (Luk. 12:15). Kepada seorang kaya yang sejak masa mudanya setia menuruti segala perintah Allah, Yesus berkata: “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kau miliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku” (Mrk. 10:21). Ketika Ia mengutus murid-murid-Nya, Ia melarang mereka membawa apa-apa dalam perjalanan, “jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju” (Luk. 9:3;10:4).
Dan Yesus mengakhiri hidup dan karya-Nya di atas salib tanpa memiliki apa-apa. Pakaian dan jubah-Nya pun dilucuti (Yoh. 19:23-24), dan hanya tertinggallah sehelai kain penutup aurat. Dan bahkan milik tak ternilai terakhir yang masih dipunyai oleh-Nya di dunia, Ia serahkan: Ibu-Nya sendiri Ia serahkan kepada murid yang dikasihi-Nya (Yoh. 19:27). Rasul Paulus merumuskan riwayat Yesus ini dengan kata-kata indah, sebagai berikut: Kristus Yesus, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp. 2:6-8).
Namun kita juga tidak boleh gagal memperhatikan sisi lain. Pertama, mari kita perhatikan keluarga Yesus sebagai keluarga tukang kayu di Nazaret. Dalam sebuah masyarakat desa yang masih sederhana, pekerjaan tukang kayu merupakan pekerjaan khusus yang membutuhkan keahlian tertentu. Ia diminta membangun rumah-rumah dan bangunan-bangunan lain di desanya, bahkan mungkin juga ada permintaan dari desa lain. Pendapatannya lumayan. Keluarga tukang kayu di desa yang masih sederhana pastilah tidak tergolong keluarga sangat miskin. Sekurang-kurangnya mereka tergolong kelas menengah di masyarakatnya. Selanjutnya, dalam karya-Nya di depan umum, Yesus dan murid-murid-Nya didukung secara finansial oleh sekelompok perempuan kaya (lih. Luk. 8:1-3). Dan kehadiran Yudas Iskariot sebagai bendahara kelompok Yesus mengindikasikan bahwa kasnya selalu berisi. Kitab Suci menyatakan bahwa Yudas “adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya” (Yoh. 12:6). Tidak masuk akal bahwa Yudas, si mata duitan itu, akan tetap setia mengikuti Yesus kalau kas kelompok itu senantiasa kosong. Pada akhirnya ia bahkan tega menjual Guru-nya “tiga puluh uang perak” (Mat. 26:15). (Antara kurung, kisah Yudas, pemuja uang itu, sungguh tragis: “Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia. Lalu ia mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala, dan berkata: ‘Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah’. Tetapi jawab mereka: ‘Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri!’ Maka iapun melemparkan uang perak itu ke dalam Bait Suci, lalu ia pergi dari situ dan menggantung diri”: Mat. 27:3-5. Kisah tragis ini merupakan peringatan tegas dari Kitab Suci, bahwa uang ternyata tidak mampu menyelamatkan seseorang). Kembali ke pertanyaan, bagaimana sesungguhnya sikap Yesus menyangkut materi, khususnya uang, memang benar dalam Injil Lukas, ketika Yesus mengutus murid-murid-Nya, Ia melarang membawa apa-apa (Luk. 9:3; 10:4). Tetapi dalam Injil yang sama, dalam percakapan waktu perjamuan malam, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Ketika Aku mengutus kamu dengan tidak membawa pundi-pundi, bekal dan kasut, adakah kamu kekurangan apa-apa? … Tetapi sekarang ini, siapa yang mempunyai pundi-pundi, hendaklah ia membawanya, demikian juga yang mempunyai bekal; dan siapa yang tidak mempunyainya hendaklah ia menjual jubahnya” (Luk. 22:35-36).
Sedemikian itu, kita dibingungkan oleh sikap Yesus meyangkut materi yang tampaknya saling bertentangan. Di satu pihak, Ia kelihatannya menilai negatif materi, namun di lain kesempatan Ia menerima dan menganjurkannya. Kiranya kunci untuk memahami sikap yang tampaknya kontradiktif ini adalah penegasan-Nya, sebagai berikut: “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada mamon” (Mat. 6:24). Bagi Yesus materi, khususnya uang, adalah sarana dalam hidup manusia di dunia, bukan tujuan! Sejauh sebagai sarana, materi memang diperlakukan dan bermanfaat bagi hidup manusia. Menjadi salah apabila materi dipandang sebagai yang terpenting, sebagai tujuan dalam hidup manusia (mendewakan materi/uang). Analisa mendalam akan menemukan bahwa, Teologi Sukses sesungguhnya merupakan ajaran yang mendewakan kesuksesan dan kesejahteraan materiil, di mana Allah dipelakukan tidak lebih dari sebagai “kuda tunggangan” untuk mencapainya.
Akhirulkalam
Di depan kita mengatakan bahwa, tampaknya ajaran “Teologi Sukses” belum banyak bergema di lingkungan internal Katolik. Namun, tidak boleh kita melupakan bahwa “teologi” itu tidak hanya menyangkut ajaran teoritis sistematis; di dalamnya tersangkut pula masalah sikap. Tren global materialisme – konsumerisme telah merambat ke mana-nama, tidak terkecuali ke lingkungan umat Katolik. Dan karena itu kita harus selalu terjaga dan berhati-hati agar tidak lama-kelamaan terjerat oleh daya tarik menipu Teologi Sukses. Memang Konsili Vatikan II menemukan kembali dan mengajarkan paham keselamatan biblis dalam Kristus, yang berbeda dengan paham tradisional yang berlaku umum sampai Konsili Vatikan II. Paham Kitab Suci tentang keselamatan sesungguhnya bersifat total: tidak hanya menyangkut keselamatan di akhirat, melainkan juga di dunia ini (dimensi historis-transendental); tidak hanya menyangkut individu, melainkan dalam kebersamaan dengan sesama (dimensi sosial); tidak hanya menyangkut jiwa, melainkan manusia seutuhnya (dimensi jasmani-rohani); bahkan keselamatan itu menyangkut terciptanya “langit baru dan bumi baru” (dimensi kosmis). Sedemikian itu, maka segala kegiatan pelayanan yang dijalankan Gereja sebagai Gereja, dilaksanakan berdasarkan imannya. Namun harus tetap dibedakan dua macam kegiatan pelayanan oleh dan dalam Gereja: diaconia fidei (kegiatan-kegiatan pelayanan iman) dan diaconia ex-fide (kegiatan-kegiatan pelayanan karena iman). Diaconia fidei ialah kegiatan pelayanan yang obyek langsungnya adalah iman sendiri, meliputi berbagai bentuk penginjilan, pelayanan pastoral, pendalaman Kitab Suci, katekese, pendalaman iman, pelayanan pengudusan: liturgi, pelayanan sakramen dan sakramentali, dst. Sedangkan diaconia ex-fide adalah kegiatan pelayanan yag dapat dilaksanakan oleh sekian banyak orang dari golongan lain dan dalam kerja sama dengan orang lain itu: pelayanan sosial, termasuk pengembangan sosial-ekonomi, pelayanan orang sakit, orang cacat, korban kecanduan narkoba, pelayanan perdamaian dan keadilan, bantuan korban bencana, dst. Kesemua jenis kegiatan pelayanan ini dilaksanakan oleh orang Katolik karena motif iman (ex-fide). Jadi yang membedakan bukanlah obyek pelayanan, melainkan motif pelayanan. Konsili Vatikan II menyebut kegiatan diaconia ex-fide ini sebagai tugas-kewajiban atau kegiatan keduniaan, dan menegaskan bahwa secara khas ini adalah kewenangan kaum awam. Lalu apa yang diharapkan dari para imam dalam bidang ini? “Dari para imam kaum awam hendaknya mengharapkan penyuluhan (animasi dan pengawasan) dan kekuatan rohani (spiritualitas)” (GS,43). Sekarang ini sudah sering terdengar keluhan dari kalangan umat, bahwa ada imam-imam yang lebih sibuk mengurus CU, dan mengabaikan tugas pokoknya (diaconia fidei). Kalau keluhan tersebut benar, maka itu tentu merupakan kesalahan yang harus segera dikoreksi!
Makassar, Medio September 2014
+ John Liku-Ada’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar