Dirjen Bimas Katolik RI, Eusebius Bensasi untuk pertama kalinya datang di kota Mamuju, Ibukota Provinsi Sulawesi Barat. Ia hadir memberikan materi dan menutup dua acara yakni pembinaan Penyuluh Agama Non PNS/Juru penerang se-provinsi Gerejawi Keusupan Agung Makassar (meliputi, Keuskupan Amboina, Manado, dan Makassar) yang berjumlah 60 orang dan pembinaan tokoh agama Katolik se-Kevikepan sulawesi Barat yang berjumlah 30 orang. Kedua acara ini dibuka secara resmi oleh Direktur Urusan Agama Katolik RI, Fransiskus Endang. Kegiatan ini berlangsung tanggal 26 - 29 Agustus di d’Maleo Hotel, Jl. Yos Sudarso – Mamuju.
Ketua panitia pelaksana, Pormadi Simbolon dalam laporannya menyampaikan tiga tujuan pertemuan juru penerang/Jupen yakni mengembangkan wawasan sebagai modal dasar dalam merancang bahan/ materi penyuluhan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kelompok sasaran penyuluhan, menyegarkan dan murnikan motivasi, serta; meningkatkan kemampuan menggunakan metode penyuluhan yang efektif.
Kabid Urais, Mufli BF mewakili Kakanwil Kementerian Agama Prov Sulbar dalam sambutannya menyampaikan bahwa penyuluh agama adalah jari-jari kementerian agama. Tugas penyuluh agama sebagai informan, konsultator, edukator, dan advokatif di bidang agama. Ia pun berharap agar para juru penerang memiliki knowledge, skill, dan attitude, serta mampu menanggulangi dekadensi moral yang semakin lebar.
Fransiskus Endang (Direktur Urusan Agama Katolik) mengingatkan para Jupen dan tokoh agama agar tetap tangguh dan teguh dalam menjalankan tugasnya mengingat derasnya arus perkembangan zaman yang semakin maju. Jupen dan tokoh agama tidak boleh kendor memberikan keteladanan dalam masyarakat. Selain itu ia menyampaikan hal-hal praktis mengenai prosedural dan informasi-informasi tehnis di Kementerian Agama.
RD. Martinus Pasomba (Vikaris Episkopalis Sulbar) memaparkan materi mengenai tantangan pastoral Gereja Indonesia. Dikatakan bahwa berpastoral harus berdasarkan data/situasi konkrit. Karena dalam situasi muncullah rimba masalah. Berpastoral merupakan sikap kegembalaan. Ia menyebutkan tiga metode dan tantangan berpastoral, yakni menginventaris masalah, melihat tantangan internal-eksternal, dan paduan dari kedua dimensi itu.
Vikep juga kembali merilis hasil sidang KWI dan SAGKI 2005 yang memunculkan 17 masalah yakni keretakan hidup berbangsa dan formalisme agama; otonomi daerah dan masyarakat adat; korupsi: masalah budaya; korupsi: masalah lemahnya mekanisme kontrol; kemiskinan; pengangguran; kriminalitas/premanisme; perburuan; pertanian; lingkungan hidup (hutan); lingkungan hidup (non hutan); pendidikan formal (pendidikan dasar dan menengah); pendidikan formal: pendidikan tinggi; pendidikan non formal: pendidikan dalam keluarga; pendidikan non formal: kaum muda; kesehatan; kekerasan dalam rumah tangga dan ketidaksetaraan gender.
Maka dari itu segi umum yang perlu diperhatikan dalam berpastoral yakni dedikasi, contoh dan keteladanan, serta keberanian jadi pelopor. Be a fisher of men, jadilah penjala manusia. Vikep juga menyebutkan ada tiga dimensi dalam berpastoral, yakni subyek yang beriman teguh, pribadi yang punya kasih besar, dan berhati penuh harap terus-menerus.
Untuk spirtualitas penyuluh agama katolik, Vikep menyebutkan tujuan akhir spiritualitas Katolik adalah kemuliaan Tuhan, yang diwujudkan oleh kasih kepada Tuhan dan sesama. Untuk mencapai hal ini, bukan kesuksesan yang menjadi tolok ukurnya melainkan kesetiaan bergantung pada Kristus, sebab tanpa Dia kita tidak bisa berbuah (bdk. Yoh 15:15). Bentuk wujud kesatuan dengan Kristus yang paling nyata di dunia ini adalah melalui Ekaristi kudus, di mana kita menyambut Tubuh dan Darah, Jiwa dan ke-Ilahi-an Kristus, sehingga olehNya kita dipersatukan dengan Allah Tritunggal.
Oleh karena itu, Spiritulitas Katolik selalu berpusat dan bersumber pada Ekaristi, yang adalah Allah sendiri, karena kekudusan adalah karunia yang diberikan oleh Tuhan. Melalui Ekaristi, kita tinggal di dalam Kristus dan dimampukan untuk mengikuti teladan-Nya, sehingga dapat berjalan menuju kekudusan, yaitu persekutuan dengan Allah, yang menjadi sumber kebahagiaan kita. Di sinilah kebahagiaan kita sebagai manusia menjadi juga kemuliaan bagi Allah, karena Allah menciptakan kita agar kita berbahagia bersama-Nya! “Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya” (Yoh. 13:17)
RD. Victor Patabang (Ketua Komisi Katekese KAMS) memaparkan materinya mengenai arah pastoral provinsi gerejawi KAMS dan pedoman praktis penyuluh agama Katolik. Mengawali pemaparannya, ia memperlihatkan strategi dan arah pastoral gereja Katolik Indonesia, yaitu Komunitas Basis Gerejani (KBG), lingkungan hidup, media digital. KBG adalah cara hidup menggereja/way of life yang sejak awal sudah ada bahkan dalam Kitab Suci sudah diperlihatkan dalam Kis 2:41-47. Ia juga menyampaikan tips dan trik menjadi lektor, pengkotbah dan pendoa yang baik.
Fidelis Waruwu (dosen Universitas Tarumanegara, Jakarta) membawakan materi tentang pendidikan karakter. Dikatakan bahwa karakter dari bahasa Yunani khasassein (kharak) artinya menandai atau alat untuk mengukir, sehingga karakter diartikan sebagai mengukir (to mark) dan sifat-sifat kebajikan. Proses internasasi nilai menjadi karakter pertama-tama dari hasil observasi yang kemudian diimitasi oleh orang lain, proses imitasi ini melahirkan kebiasaan dan dari kebiasaan lahirlah sifat dan akhirnya terbentuk karakter.
Karakter bukan bawaan sejak lahir tetapi bentukan dari apa yang diinternalisasikan dalam proses kehidupan. Yang pasti bahwa dari lahir seseorang sudah membawa tiga potensi, yaitu: potensi untuk berpikir (kognitif), merasa (afektif), dan berperilaku (psikomotorik). Maka dalam proses terbentuknya karakter perlu ada keteladanan, agar terbentuk karakter yang baik yang bermula dari rumah hingga lingkungan sekitar. Jadi dapat dikatakan pendidikan karakter merupakan nafas kehidupan. Ia pun menyampaikan teori spiral perilaku, dari pikiran direalisasikan dalam psikomotorik dan psikomotorik ini direkam dalam memori dan dari memori memperngaruhi pikiran, begitu seterusnya.
Menurut Fidelis, penggunaan media dalam penyuluhan, mesti bermodel-polakan Yesus Kristus, yakni keteladanan dalam melayani (bdk. Yoh 13:1-20). Inti media adalah mengakui nilai-nilai yang sudah diberikan oleh Tuhan. Tujuan media agar orang diteguhkan, membangkitkan hal-hal positif kepada orang lain. Prinsip dalam penyuluhan menurutnya adalah pertama, sediakan model “nilai” bagi murid, mulai dengan menajadi model nilai bagi orang lain.Kedua, mendorong anak didik untuk melakukan hal-hal yang baik, yang bermanfaat (seperti perilaku sopan, taat aturan). Guru Agung mengajarkan nilai melalui pengalaman langsung, kasih, penerimaan, refleksi, keheningan, keteladanan. Penggunaan media dalam penyuluahan. Disebutkan bahwa ada berbagai jenis media, misalnya cerita: kisah, drama, video, kutipan berita, renungan lagu, dsb. Media sebagai media bertujuan mengantar diskusi, menggali pengalaman peserta,membantu menyampaikan pesan dengan lebih efektif.
Sementara itu, Eusebius Bensasi (Dirjen Bimas Katolik RI) membawakan materi mengenai Visi-Misi Ditjen Bimas Katolik sekaligus menutup acara secara resmi. Visi Bimas Katolik RI adalah 100% Katolik dan 100% warga negara. Ia mengatakan bahwa kedua kegiatan ini: pembinaan Jupen dan pertemuan tokoh agama beda-beda tipis karena sama-sama melaksanakan tugas yang sama, yakni melayani. Ia pun menjelaskan Tri Munera Chirsti - nabi, imam, dan raja - yang juga menjadi tugas seluruh umat karena baptisan. Tugas sebagai nabi, kita harus menceritakan siapa Yesus itu kepada orang lain. Pewartaan jaman ini susah-susah gampang karena firman itu keras dan sekaligus lembut, menarik, menyenangkan. Ini menjadi sulit karena penghayatan orang Kristen bersifat dualisme, di satu pihak keras tetapi di pihak lain lembut. Oleh karena itu kita harus memberikan contoh, teladan yang benar dan baik.
Tugas sebagai imam yakni pengudusan bagi orang lain lewat doa, karena kita pun adalah kudus adanya. Jangan sampai kita hanya mengantar anak-anak ke surga tapi kita sendiri hanya sampai di depan pintu surga. Ia menganalogikan dengan tukang ojek yang mengatar penumpang di depan rumahnya, dan ia sendiri tidak masuk rumah. Jadi kita membantu orang lain menjadi baik, maka kita pun harus menjadi baik lebih terlebih dahulu.
Tugas sebagai raja yakni memimpin orang lain menjadi lebih baik. Tokoh umat dan Jupen adalah pemimpin di tengah umat, menjadi teladan, panutan dalam masyarakat dan kelompok-kelompok kecil yang telah didengungkan dalam SAGKI 2005, Kelompok Basis Gerejani (KBG). Di atas semuanya itu pertama-tama kita harus mampu memimpin diri sendiri baru orang lain. Mengakhiri sambutannya, Dirjen mengajak peserta pertemuan agar mampu menjadi pewarta kabar baik bagi orang lain. Maka itu harus menjadi contoh/teladan bagi orang lain. Setiap penyuluh harus membuat peta pelayanan dan paham kondisi umat karena setiap kelompok tidak sama, maka pendekatannya pun berbeda, sesuai situasi dan kondisi. Dirjen mengingatkan bahwa jangan sampai kita hanya melayani kelompok yang dekat dengan kita, yang menyenangkan tetapi justru yang terlupakan semakin tak tersentuh. Inilah yang disebut egopastoral. *** Penulis: Anton Ranteallo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar