Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil (Yohanes 3: 30)
Perjalanan iman ini mau menelusuri jejak rasul pengikut Yesus, sambil menimba kerendahan hati dari mereka: Santo Petrus, Santo Fransiskus, Santa Bernadette, Vincentius a Paulo, Santa Katharina Laboure dan Paus Fransiskus. Mereka adalah tokoh-tokoh dalam Gereja Katolik yang melayani dengan ke rendahan hatinya.
Tema ini diangkat, karena soal kerendahan hati menjadi tantangan dalam pelayanan Gereja di zaman ini, baik di kalangan klerus maupun awam.
Santo Petrus disalibkan di Roma pada masa pemerintahan Kaisar Nero. Petrus yang pernah menyangkal sebagai murid Yesus sebanyak tiga kali ini merasa tidak layak untuk mati dalam posisi yang sama seperti gurunya. Ia memilih disalib dengan kepala di bawah.
Dalam Gereja Katolik, cara wafat Petrus seperti itu, menjadi simbol atau lambang kerendahan hati. Sikap rendah hati inilah yang mau diteladani para peziarah Raptim yang melakukan perjalanan iman ke Roma, Vatikan, Asisi, Lourdes, Nevers, Paris dan seterusnya. Presiden Direktur Raptim Piet Adrian Tarappa mengungkapkan, para peziarah mau menapak tilas jejak para pengikuti Yesus, entah dia yang berkarya sebagai biarawan, biarawati, atau awam. “Tema perjalanan iman kali ini adalah, saya mau mengikut Yesus, berfokus pada kerendahan hati,” tutur Piet Tarappa, yang sempat merenungkan tempat-tempat suci yang mau dikunjungi.
SOSOK-SOSOK RENDAH HATI
Banyak tokoh dalam Gereja Katolik yang layak diteladani karena kerendahan hatinya. Saat para peziarah Raptim mengikuti misa audiensi di lapangan Basilika Santo Petrus di Vatikan, mereka melihat sosok yang rendah hati bernama Paus Fransiskus. Saat menerima tugas suci ini, Kardinal Bergoglio mengatakan, dirinya tidak pantas menjadi paus. Oleh karena itu, ia memilih nama Paus Fransiskus.
Miserando atque eligando. Ia dipilih karena rendah hati.
Para peziarah melanjutkan perjalanan ke Asisi. Inilah kota asal Santo Fransiskus, pendiri Tarekat Fransiskan. Pengikut Kristus ini adalah tokoh yang luar biasa dalam hal kerendahan hati. Walaupun dari kalangan terpandang dan kaya, Fransiskus mau turun ke jalan melayani fakir miskin.
Di Lourdes, para peziarah merenungkan sosok Bunda Maria, seorang yang sangat beriman menjadi teladan dalam kerendahan hati. Maria menegaskan kerendahan hatinya dengan mengatakan, "Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu itu." (Lukas 1: 38)
Bernadette Soubirus, ternyata juga sama. Dia mengatakan, dipilih untuk bertemu Bunda Maria karena dia seorang yang tidak terpandang.
Saat berada di Gereja Medali Wasiat di Paris, para peziarah mengenang Katharina Laboure, novis dari Kongregasi Suster Puteri Kasih. Katharina Laboure mengalami dua kali penampakan Bunda Maria, yakni pada 18-19 Juli 1830 dan 27 November 1830. Pada penampakan kedua, Bunda Maria meminta Katharina membuat medali. Bunda Maria berjanji, mereka yang mengenakan medali ini akan menerima karunia-karunia besar dan berkat yang berlimpah akan diberikan kepada mereka yang percaya. Katharina wafat pada 31 Desember 1876. Saat kuburnya digali dalam rangka beatifikasi, ditemukan tubuhnya masih utuh dan lemas, serta bola matanya biru. Pada 27 Juli 1947, Katharina dinyatakan sebagai santa oleh Paus Pius XII. Ia diberi nama Santa yang Berdiam Diri, karena kerendahan hatinya yang tidak menceritakan banyak penampakan Bunda Maria yang ia alami sampai akhir hayatnya.
BERBUAH PELAYANAN
Tema “Mengikut Yesus yang berfokus pada kerendahan hati” ini dinyatakan dalam liturgi di sepanjang perjalanan ziarah. Lagu “Aku Mau Ikut Yesus” terus dikumandangkan dalam misa kudus, perjalanan di bus, dan jalan salib. “Aku mau ikut Yesus sampai selama-lamanya meskipun saya susah menderita dalam dunia, saya mau ikut Yesus sampai selama-lamanya”.
Di tempat-tempat suci yang dikunjungi, para peziarah mau menimba sikap rendah hati dari para pengikut Yesus. Menurut Piet Tarappa, mengikuti Yesus dalam kerendahan hati tidak hanya sekadar kerendahan hati, tapi berbuah pada pelayanan.
“Umat yang berziarah bisa membawa pulang unsur kerendahan hati yang mewujud dalam pelayanan di keluarga, tempat berkarya, masyarakat dan dalam hidup menggereja!” terangnya. Sikap melayani ini sudah langsung terjadi dalam perjalanan iman ini. Umat dan imam, semua ingin meringankan beban satu sama lain. Yang muda membantu mereka yang sudah tua pada waktu jalan salib. Satu sama lain kian akrab dan guyup. “Buah-buah umum dari peziarahan, kami guyub sebagai suatu keluarga.”***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar