Senin, 19 Maret 2012

Umat Bertanya, Imam Menjawab

Pengantar Redaksi: Rubrik baru ini dibuka sebagai tindak lanjut dari acara Talk Show “Umat Bertanya, Imam Menjawab” yang diprakarsai Panitia OC Sinode KAMS, 12 Februari 2012, di Aula Gereja Gotong-Gotong; Bidang Kitab Suci dijawab oleh P. Hendrik Njiolah, Bidang Hukum Gereja oleh P. Frans Nipa, Bidang Liturgi oleh P. Sani, MSC, Bidang Pendidikan oleh P. Alex Lethe dan Kebijakan Dasar KAMS oleh Uskup. Maka umat dapat bertanya secara tertulis dan disampaikan ke Redaktur Majalah Koinonia.

Sasaran perpuluhan yaitu orang miskin, janda-janda, dll. Tetapi hakekat pengertian perpuluhan itu apa sebenarnya? 1/10 (10%) dari penghasilan atau fleksibel (yang penting ada ucapan syukur )?
Menurut hukum Taurat, yaitu hukum agama Yahudi, yang dimaksudkan dengan persembahan perpuluhan adalah benar-benar sepersepuluh dari seluruh penghasilan, baik  itu hasil peternakan (bdk Im 27:32) maupun hasil pertanian (bdk UI 14:22), sehingga sama sekali tidak boleh dikorupsi (bdk Im 27:33). Jadi misalnya jikalau seseorang memperoleh penghasilan 10 ekor lembu, sapi atau kambing domba, maka ia harus mempersembahkan 1 ekor kepada Tuhan. Demikian juga jikalau seseorang memperoleh penghasilan 10 karung gandum atau anggur, maka ia harus mempersembahkan 1 karung kepada Tuhan. Pendek kata, apa saja yang dihasilkan oleh seseorang harus dipersembahkan sepersepuluh sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan (bdk Kej 28:22;Mat 23:23;Luk 11:42; 18:12).

Apakah doa Karismatik berasal dari Gereja Katolik dan Apostolik/Para Rasul (bdk Kis 1:12-14; 2:41-42; 1Kor 14:26-33.39-40)? Dalam perjalanan sejarah Gereja, persekutuan doa Karismatik kemudian lebih berkembang dalam Gereja Kristen lain, timbul kesan seolah persekutuan doa Karismatik berasal dari Gereja Kristen lain.
Agar dapat memahami asal usul gerakan Karismatik, perlu diingat bahwa sebelum Yesus naik ke surga, Ia berjanji akan memperlengkapi para muridNya dengan ,,kekuasaan dari tempat tinggi“ (bdk Luk 24:49). Maka sesudah Yesus naik ke surga, Ia pun memperlengkapi para muridNya dengan ,,rupa-rupa karunia“ Roh Kudus (bdk Kis 2:1-4; 1Kor 12:4-6), yang berguna ,,untuk kepentingan bersama“ (bdk 1 Kor 12:7), yaitu ,,bagi pembangunan tubuh Kristus“ (bdk Ef 4:12). Dalam bahasa Yunani, karunia disebut kharismata (jamak). Maka dalam konteks tersebut, orang karismatik adalah orang yang menyadari karunia Roh Kudus yang ada padanya (bdk Yes 61:1-3; Luk 4:17-21), sehingga ia kemudian menggunakannya untuk kepentingan bersama atau bagi pembangunan Gereja (bdk Rom 12:6-8). Jadi persekutuan doa yang berciri karismatik (memanfaatkan karunia Roh Kudus) sesungguhnya sudah ada sejak zaman para rasul (bdk 1 Kor 14:26-33), jauh sebelum terjadi perpecahan di dalam Gereja, yang akhirnya menimbulkan perbedaan antara Gereja Katolik dan Gereja Kristen lain. Maka mengingat bahwa Gereja diperlengkapi dan dibimbing oleh Roh Kudus dengan aneka karunia hirarkis dan karismatis (bdk Ef 4:11-12; 1 Kor 12:4-6, LG 4), Gereja Katolik tidak dapat menolak kehadiran gerakan Karismatik. Sebab menolak kehadiran gerakan Karismatik berarti menolak karya Roh Kudus bagi Gereja, sehingga sama dengan bunuh diri. Apalagi menolak karya Roh Kudus berarti menghujat dan menantang Roh Kudus, yang adalah dosa abadi atau kekal, karena tidak akan diampuni baik di dunia ini maupun di dunia akhirat (bdk Mat 12:13-32).

Bagaimana tanggapan Gereja Katolik atas pengucapan SUMPAH seorang pejabat Katolik pada pelantikan jabatan? Menurut pemerintah tidak cukup hanya dengan JANJI, harus SUMPAH (lebih kuat dari sanksinya).
Akibat kesalahpahaman terhadap perkataan Yesus dan Yakobus, yang seolah-olah melarang untuk bersumpah (bdk Mat 5;34-37; Yak 5:12), cukup banyak orang Katolik yang enggan untuk bersumpah. Tetapi jika mendalami konteks perkataan tersebut, baik Yesus maupun Yakobus sesungguhnya tidak melarang untuk berbicara benar, jujur dan terus terang (ya atau tidak), tanpa ada sesuatu yang disembunyikan. Maka berdasarkan kebiasaan Paulus, yang masih sering bersumpah (bdk 2 Kor 1:23; Gal 1:20), tradisi Gereja Katolik tidak melarang SUMPAH jabatan, asalkan memenuhi persyaratan hukum (bdk KHK 1199-1204). Menurut ajaran Gereja Katolik, baik JANJI maupun SUMPAH yang diucapkan dengan menyebut nama Allah sama-sama mengikat orang yang mengucapkannya, sehingga harus ditepati dan tidak boleh dilanggar. Dengan menyebut nama Allah, seseorang menjadikan Allah sebagai saksi kebenaran apa yang diucapkannya (bdk 2Kor1:23; Gal 1:20). Jadi pelanggaran JANJI atau SUMPAH merupakan penghujatan terhadap Allah selaku saksi kebenaran apa yang telah diucapkan. Dengan kata lain, melanggar JANJI atau SUMPAH berarti menjadikan Allah sebagai saksi palsu, sehingga menghina kekudusan nama Allah (bdk Kel 20:7; Ul 5:11). ***

Tidak ada komentar: