Senin, 21 Juli 2014

REVOLUSI HARMONI KELOMPOK KATEGORIAL OMK


Jokowi-JK adalah KITA”. Itulah bunyi iklan media dan spanduk baliho di jalan-jalan yang lagi trend dari pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2. Ungkapan ini menginspirasi saya untuk menulis sedikit tentang kelompok-kelompok kategorial OMK yang ada di paroki-paroki dalam Wilayah Keuskupan Agung Makassar. Saya mencoba mengangkat sebuah tulisan dengan judul, “Revolusi Harmoni Kelompok Kategorial OMK”. Bagiku tentulah judul ini sangat beralasan dan cukup urgen untuk diangkat dan dibicarakan mengingat  begitu banyak dibentuk kelompok kategorial OMK di paroki yang cukup eksis dan terkesan eksklusif dengan kelompok-kelompok lain.

Hari itu, Minggu, 15 Juni 2014, bertepatan dengan Hari Raya Tritunggal Mahakudus, panitia MYD (Makassar Youth Day) mengadakan rapat di Pusat Pastoral Serui. Ini adalah rapat lanjutan Panitia MYD yang telah dibentuk pada bulan Maret Lalu. Dalam rapat itu untuk pertama kalinya hadir 2 utusan kelompok kategorial kaum muda yang mengatasnamakan JSM (Jeduthun Salvation Ministry). Rupanya kehadiran utusan JSM dalam rapat panitia tersebut adalah untuk berbicara, mendengar dan menyelaraskan maksud dan tujuan rencana kegiatan kelompok ini yang bersamaan dengan kegiatan MYD yang rencana akan digelar bulan Oktober mendatang.   Atas dasar maksud dan tujuan yang sama inilah kelompok ini hendak menyatukan konsep  kegiatan mereka dalam MYD.  Tentulah patut diapresiasi keinginan kelompok ini  untuk bergabung dalam MYD untuk bersama-sama merangkul dan menyatukan kembali Orang Muda Katolik yang dengan caranya sendiri telah menjauhkan diri dari aktivitas Gereja. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan berbicara dari wakil JSM terlontar kata “kami“.  Tentulah tidak salah, karena utusan JSM datang sebagai wakil kelompok tersebut dan belum saling mengenal dengan teman-teman sesama Orang Muda Katolik di Kevikepan Makassar, apalagi belum termasuk dalam kepanitiaan MYD. Tentulah bukan hanya kelompok ini saja yang berbicara atas nama “kami”, tetapi masih banyak kelompok-kelompok kategorial OMK lainnya yang bisa jadi akan menggunakan kata “kami” ketika berbicara atas nama kelompok di depan teman-teman OMK paroki yang tidak termasuk dalam kelompok kategorial tertentu.  

Penggunaan kata “kami” dalam pertemuan dengan teman-teman OMK memberi nuansa yang terkesan eksklusif terhadap kelompoknya sendiri.  Berbicara bersama dengan teman-teman Orang Muda Katolik dengan menyebut nama “kami” menunjukkan eksistensi sebuah kelompok kategorial. Secara alamiah orang-orang muda siapapun dia ketika bergabung dalam salah satu kelompok kategorial pastilah akan berbicara atas nama “kami” ketika berhadapan dengan orang lain. Akan tetapi, ketika kita berkumpul sebagai Orang Muda Katolik dan berbicara dalam rangka meningkatkan dan memajukan Orang Muda Katolik berarti semua kelompok kategorial apapun namanya dalam lingkup paroki sangat terasa indah ketika kita menyebut kata “KITA” sebagai Orang Muda Katolik Keuskupan Agung Makassar.

Pada kesempatan lain ketika saya hendak mendampingi rekoleksi orang muda di sebuah paroki, Saya berpapasan dengan seorang muda lainnya dan saya bertanya, “kenapa tak ikut rekoleksi OMK?”, spontan saja orang muda itu menjawab, “Saya bukan OMK, Pastor”, lalu saya menyambungnya, “oh ya, kalau bukan OMK jadi siapa dong kalau begitu?”, “Saya pendamping PPA, Pastor!” sahutnya. Mungkin akan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman kecil yang mau menunjukkan eksistensi kelompok-kelompok kategorial orang muda. Bukan hanya JSM atau pendamping PPA, masih akan terjadi dengan kelompok-kelompok kategorial lainnya ketika hendak menjawab pertanyaan saya tadi. Tentu serentak akan menjawab, “Saya bukan OMK, pastor!”. Mungkin kelompok lain juga akan menjawab, “Saya Choice, Pastor!”, “Saya Legio Maria, Pastor!”, “Saya KTM, Pastor!”, “Saya Kelompok Koor, Pastor!”, “Saya THS-THM, Pastor!”, “Saya KMK, Pastor!”. Pertanyaan kecil dalam hati Saya, “bukankah mereka adalah OMK paroki?”. Tak dapat dibantah lagi kalau mereka itu adalah Orang Muda Katolik yang membentuk kelompok-kelompok kategorial karena arah minat yang berbeda-beda. Inilah secuil pengalaman berhadapan dengan kelompok-kelompok kategorial di paroki. Tentulah masih banyak pengalaman lain yang menggambarkan betapa setiap kelompok kategorial mau memperlihatkan eksistensinya.

Kembali ke pengalaman hari Minggu itu, 15 Juni 2014, setelah mengadakan rapat  saya bersama Tim Komisi Kepemudaan, atas undangan rekan anggota Tim Komkep, kami bergegas menuju ke sebuah rumah makan yang terletak di jalan Diponegoro.  Dalam  jamuan siang itu di sekitar meja makan kami banyak bercerita tentang kegiatan OMK dan kelompok-kelompok kategorial di paroki khususnya di Kevikepan Makassar. Bersama dengan tim KOMKEP, saya membuka diskusi dengan seorang aktivis Gereja sekaligus seorang pembina mahasiswa pada salah satu perguruan tinggi terkemuka di Makassar, beliau adalah Ibu Grace T Pontoh. Diskusi tersebut membahas seputar kegiatan dan kelompok-kelompok kategorial OMK yang sedang eksis di beberapa paroki, sebut saja kelompok KTM (Komunitas Tritunggal Mahakudus), JSM (Jeduthun Salvation Ministry), Legio Maria, PPA, Choice, THS-THM,  Paduan Suara, dan Kelompok OMK paroki dengan nama  yang berbeda-beda di setiap paroki.

Dalam disukusi yang mengarah pada perdebatan soal posisi Kelompok OMK dan kelompok-kelompok kategorial OMK lainnya. Beliau mengeluarkan pernyataan berdasarkan pengalamannya bahwa posisi Kelompok OMK setara dengan kelompok-kelompok kategorial lainnya. Kesetaraan ini dapat dibuktikan dengan adanya kepengurusan dan pendamping/Pembina di setiap kelompok sehingga dengan demikian tidak ada kelompok yang lebih tinggi atau lebih di atas yang bisa mengatur kelompok lainnya. Maka wajarlah jika kata “kami” atau “Saya bukan OMK” terungkap dalam perjumpaan-perjumpaan pribadi karena merasa kelompok OMK dan kelompok kategorial lainnya setara dan sama saja.

 Menurutnya lagi, kenyataan ini sudah sejak lama dan sudah tertanam dalam diri orang-orang  muda di paroki yang bergabung dalam kelompok-kelompok tersebut dan sulit berubah. Dengan serta merta saya lantas menyanggahnya kalau Kelompok OMK itu tidak berada pada posisi yang sama dengan kelompok-kelompok yang lain. Kelompok OMK adalah payung bagi semua kelompok-kelompok kategorial orang muda di paroki. Lebih sederhana lagi bahwa massa OMK adalah anggota kelompok-kelompok kategorial tersebut. Maka sebenarnya OMK itu adalah kelompok-kelompok kategorial itu sendiri yang tidak seharusnya membawa bendera kategorial ketika sudah berkumpul atas nama Komunitas/Paguyuban Orang Muda Katolik.  Itulah sebabnya kata “kami” atau “saya bukan OMK” adalah ungkapan yang seharusnya tak perlu terungkap, yang seharusnya terungkap adalah kata “KITA”. Kata “KITA” sebenarnya adalah sebuah revolusi harmoni yang terasa indah  ketika OMK berkumpul dan berkegiatan.  Mengapa? karena dalam makna “kita” itulah terjalin harmoni, bukan “kami”, tetapi “kita”. Sebagaimana dalam kitab Kejadian Allah menyebut diri-Nya “KITA” untuk menciptakan manusia dan segala sesuatu menjadi indah (bdk. Kej. 1:26). Ungkapan Allah yang menunjuk pada misteri Allah Tritunggal, Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus, dalam kesatuan cinta kasih yang mesra dan harmonis . Dalam makna itulah setiap kelompok kategorial OMK harus menciptakan revolusi harmoni.

Ingatlah bahwa OMK bukanlah sebuah organisasi, tetapi OMK adalah sebuah komunitas yang menjadi wadah bagi semua kelompok kategorial OMK di paroki. Komunitas OMK adalah komunitas teritorial paroki yang memayungi semua kelompok kategorial yang ada di paroki di bawah pendampingan dan pembinaan Seksi Kepemudaan Paroki (SKP) yang secara struktural termasuk dalam perangkat Dewan Pastoral Paroki. Oleh karena itu, SKP diharapkan mampu merangkul semua kelompok-kelompok kategorial OMK yang ada di paroki menjadi satu dalam keragaman kelompok, yang bersama-sama dan berkehendak baik menemukan kembali nilai-nilai iman kekatolikan yang sejati. Dalam keragaman kelompok itulah akan tercipta harmonitas yang indah dalam ke”kita”an sebagai Orang Muda Katolik yang handal dan diharapkan  memajukan Gereja yang lebih hebat dan kuat di masa depan. *** Penulis: RD Bernard Cakra Arung Raya, Ketua Komisi Kepemudaan KAMS

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kata "kami" oleh slh 1 kelmpk ktgorial yg dsebutkn di atas,mnrut saya bkn mngarah kpda eksklusivitas klmpok itu, mlainkan jati diri,,,krn tdak mungkin misalnya JSM mngatakan KITA, nnti kelompok lain comment konyol kyak gni : "kita???? Loe aja keleeez" .. Hehehehe.. Just kidn' Pater..,