Panggilan selalu merupakan sebuah misteri. Banyak orang yang dikatakan saleh dan sangat rajin berdoa namun gagal menjadi pastor. Demikianpun orang yang pintar belum tentu bisa ditahbiskan. Tidak mudah membedakan mana orang yang terpanggil dan mana yang tidak. Saya juga tidak tahu. Namun dari rangkaian peristiwa hidup yang saya lalui terdapat “benang merah” yang mengarahkan saya pada panggilan imamat. “Benang merah” inilah yang memberikan keyakinan dan kekuatan untuk memohon ditahbiskan menjadi imam.
Lahir di Ujung Pandang, 01 Agustus 1986, saya diberi nama Reynold Agustinus Sombolayuk. Kata orang di dalam nama termuat harapan serta doa orang tua. Jika demikian, saya bisa menangkap bahwa orangtua saya mengharapkan saya menjadi keturunan Sombolayuk yang pandai seperti Santo Agustinus. Apakah pemahaman saya ini benar atau tidak, saya tidak tahu, karena saya juga belum pernah menanyakannya kepada orangtua saya. Yang jelas bahwa dengan menjadi seorang imam, harapan itu semakin nyata.
Ketertarikan saya menjadi seorang pastor berawal dari ayah dan ibu saya. Bapak Aloysius Kitta’ Sombolayuk dan Ibu Jacqualine Nandung Tandiayuk merupakan dua dari sekian banyak umat Katolik yang rajin ke gereja. Bahkan ayah saya dari dulu sampai sekarang selalu menjadi pemimpin doa. Karena itu, sewaktu kami tinggal di Bulukumba, sebuah kabupaten di ujung selatan pulau Sulawesi, para pastor sering mampir atau menginap di rumah kami. Kedekatan dan keakraban dengan para pastor inilah yang mungkin menumbuhkan benih-benih panggilan dalam diri saya.
Benih panggilan yang muncul itu mulai berkembang ketika saya harus tinggal dengan kakek dan nenek saya di Toraja, tepatnya di Sangalla’, sebuah paroki yang “subur panggilan”. Jarak yang dekat antara rumah dengan gereja serta suasana kekatolikan di Sangalla’ banyak berperan dalam memupuk panggilan saya yang mulai tumbuh itu. Saya masih ingat, saya sangat bersemangat sewaktu mengikuti kegiatan-kegiatan Gereja entah sebagai anak sekolah minggu maupun sebagai mudika (sekarang OMK). Ketika diumumkan tes masuk seminari, saya tanpa ragu ikut mendaftarkan diri. Waktu itu, sembilan orang dari Paroki Kristus Imam Agung Abadi Sangalla’ diterima di Seminari Menengah St. Petrus Claver, Makassar.
Pendidikan di Seminari memberikan kematangan terhadap panggilan saya. Empat tahun bagi saya merupakan waktu yang cukup untuk mengolah diri dan menimba ilmu. Saya merasa lucu sendiri bila mengenang masa-masa di seminari. Jujur saya bukan orang yang selalu mengikuti peraturan. Bahkan cukup lama saya mengalami krisis dalam panggilan. Namun di saat-saat terakhir, panggilan Tuhan bergema lagi dan mempertemukan saya dengan kongregasi Oblat Maria Imakulata.
Banyak kebetulan yang terjadi dalam perjumpaan saya dengan Kongregasi OMI. Saya bisa menemukan pembimbing rohani yang cocok, yaitu Pastor Jacques Catteew, CICM; dikunjungi oleh Pastor Heru, OMI; dan berangkat ke Jogja pada hari yang ditentukan. Saya masih ingat, Pastor Stanis pernah bertanya kepada ayah saya mengapa saya memilih OMI. Jawaban yang tidak saya duga sama sekali muncul: “Mungkin karena tanggal kelahiran Reynold sama dengan Pendiri OMI, St. Eugenius de Mazenod”. Baru saat itulah saya menyadarinya. Kemudian saya juga menemukan banyak kecocokan dengan pribadinya.
Belajar menjadi bagian dari keluarga Oblat Maria Imakulata bukanlah hal yang mudah, tetapi juga tidak berat sekali. Pengalaman suka dan duka menjadi bumbu yang menjadikan masa-masa pembinaan menyenangkan. Prinsip yang saya pegang sejak saya masuk adalah saya siap untuk dibimbing dan tidak akan menyerah kecuali disarankan demikian. Prinsip ini membantu saya menyesuaikan diri dengan tempat, suasana, budaya, orang, yang serba baru. Prinsip ini juga yang membantu dan menguatkan saya ketika mengalami krisis dalam panggilan.
Banyak pengalaman yang meneguhkan saya dalam panggilan. Namun pengalaman bersama umatlah yang paling mengesankan. Minimal ada tiga pengalaman yang menarik, yaitu pengalaman hidup berkomunitas di paroki St. Yohanes Rasul, Pulau Sapi (Kalimantan Utara); pengalaman Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Niño, Kulaman (Filipina); dan pengalaman diakonat di Paroki St. Yohanes Penginjil, Dangkan-Silat (Kalimantan Barat). Ketiga paroki ini merupakan tempat karya OMI yang paling terpencil dan terjauh dari pusat kota. Namun justru di tempat-tempat yang terpencil inilah Tuhan mengasah dan meneguhkan panggilan saya. Pengalaman sekaligus pelajaran berharga sebagai seorang calon imam dan misionaris paling banyak saya dapatkan di tempat ini. Kebersamaan dengan umat menjadi sumber semangat yang selalu baru. Di sini pula muncul satu keyakinan yang selalu menopang panggilan saya: “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya.” (Mzm. 34:8). *** Penulis: Diakon Reynold Agustinus Sombolayuk, OMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar