"Pastor, saya terharu mendengar sharing salah seorang teman,” ujar seorang pengantar kepada saya sebagai salah satu Panitia Pengarah Temu Pengantar se-Kevikepan Toraja. Ungkapan itu menunjukkan bahwa pengantar tersebut turut merasakan kesusahan teman sepanggilannya. Ia melanjutkan, “Sebelum pergi pelayanan, ia harus bertemu bendahara stasi untuk pinjam uang. Ia pinjam uang untuk ongkos ojek. Meski harus pinjam uang, pengantar itu tetap pergi melayani umatnya. Dia luar biasa!”
Itulah sepenggal cerita dari sharing para pengantar yang mengikuti pertemuan pada tanggal 14-16 November 2012 di Ge’tengan (wilayan selatan) dan 15-17 November 2012 di IKAR Rantepao (wilayah utara). Suka-duka pelayanan pastoral bagaikan kado, mereka bagikan satu sama lain. Harta rohani yang terpendam dan kekayaan pastoral telah disingkapkan dan dihidangkan demi kelangsungan karya pelayanan para pengantar di tengah umat Allah, khususnya di wilayah Kevikepan Toraja.
Pertemuan
Dalam rangkaian kegiatan Temu Pengantar dari 14-17 November 2012 tersebut, sharing menjadi salah satu mata acara yang disiapkan oleh panitia. Sharing ditempatkan pada hari terakhir. Mereka diberikan kesempatan sharing setelah menerima input dari sejumlah narasumber. Kemasan sharing ini memungkinkan peserta menimba kekayaan pengalaman pastoral pengantar satu sama lain. Dari 334 orang di wilayah Toraja Utara (dengan rincian: 179 laki-laki dan 155 perempuan) dan 292 orang di wilayah Tana Toraja (dengan rincian: 207 laki-laki dan 85 perempuan), mereka dibagi dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok terbentuk dari orang-orang yang berbeda asal paroki atau stasi. Filosofi perbedaan jadi kekayaan menginspirasi model pengelompokan ini.
Dalam perbedaan tersebut diharapkan mereka dapat saling memperkaya. Tentu setiap stasi mempunyai karakteristik sosiologis, geografis maupun kultural tersendiri dalam konteks masyarakat Toraja; tondok lepongan bulan, tana matarik allo. Atmosfer pastoral di bumi Laki Padada dan bumi Pong Tiku ini sangat khas dengan tofografi pegunungan dan adat-istiadat Toraja yang kental. Belum lagi secara sosial dan ekonomi, Toraja tumbuh dan berkembang dengan keunikannya. Tidak sedikit pengantar merasakan beratnya beban ekonomi dan tantangan finansial di tengah keluarga. Sementara, secara eklesial mereka mengemban misi mulia untuk melayani umat Allah dengan mengambil bagian dalam tugas Kristus, yakni menguduskan.
Sharing itu sungguh menguatkan dan menggugah para pengantar untuk berbagi pengalaman dan saling meneguhkan dalam perutusan dan melaksanakan pelayanan pastoral. Pengalaman berada di front-line (garis depan, red.) membuat mereka harus fight, bertarung di alam dan medan yang berat, temperatur udara yang dingin, guyuran hujan yang datang kapan saja dan kondisi ekonomis yang serba terbatas. Sungguh, hiduplah Injil dalam kehidupan mereka! Sungguh nyata makna dari ungkapan: “she/he preaches is what she/he does”, mereka mewartakan apa yang mereka lakukan.
Terbaca dari raut muka dan ekspresi kegembiraan mereka ketika berkumpul di lokasi pertemuan, baik di Ge’tengan (wilayah Selatan – Kab. Tana Toraja) maupun di IKAR (wilayah Utara – Kab. Toraja Utara), bahwa tantangan dan kesulitan dalam tugas sebagai pengantar, tidak membuat nyali mereka ciut. Justru tantangan itu kian membentuk mereka menjadi pengantar yang tangguh dan mampu survive. Inilah kesaksian. Kesaksian ini tentu akan lebih meneguhkan pewartaan mereka. Bukan teori dan kata-kata hampa yang mereka lontarkan kepada umat, tetapi mereka mewartakan Injil kehidupan. Mereka sungguh menghidupi Injil itu dan mewartakannya kepada saudara-saudarinya. Inilah kabar gembira bagi Gereja di Kevikepan Toraja.
Hadirnya Communio
Perjumpaan dan kebersamaan mereka yang menghadirkan communio, telah menorehkan sejarah berharga dalam perkembangan pastoral Kevikepan Toraja. Para pengantar telah menjadi “pasukan berani mati” di medan pastoral. Rasanya tidak berlebihan ungkapan ini. Realitas pastoral dan umat Allah menjadi saksi sikap heroik para pengantar. Sangat tepatlah pertemuan ini digagas dan diwujudkan untuk menghadirkan communio yang dibangun oleh para pengantar. Maka pertemuan para pengantar ini sungguh menghadirkan sebuah persekutuan yang berakar dari Gereja sebagai persekutuan (communio).
Gereja terbentuk dari sebuah persekutuan. Dalam terminologi Konsili Vatikan II, persekutuan itu disebut communio. Ciri dasar communio tersebut adalah perjumpaan dan kebersamaan orang-orang yang beriman akan Kristus yang bangkit. Secara dimensional, communio itu mempunyai dimensi Ilahi (vertikal) dan dimensi insani (horisontal). Dalam dimensi Ilahi (relasi vertikal), communio lahir dari persekutuan Allah Tritunggal, yakni persekutuan kasih antara Bapa, Putera dan Roh Kudus (bdk. LG. art. 2-4). Sedangkan dimensi insani (relasi horisontal) menunjuk pada persekutuan antarsesama orang beriman yang didasari oleh iman akan Kristus (bdk. LG. art. 9-11). Dengan demikian, Gereja sebagai communio menghadirkan persekutuan yang berciri Ilahi dan sekaligus insani (bdk. LG art. 8). Dalam pemahaman inilah, Gereja dipandang sebagai sakramen (bdk. LG art. 1).
Berdasarkan pemahaman eklesiologis itulah, kerinduan para Pengantar untuk berjumpa dan mengalami kebersamaan menjadi sangat relevan. Mereka merindukan suatu persekutuan sebagai korps orang-orang yang dipanggil untuk melayani, khususnya dalam tugas menguduskan. Tentu banyak kekayaan rohani dan pengalaman konkret yang dapat mereka bagikan satu sama lain untuk saling meneguhkan dan memperkaya dalam hidup dan pelayan sebagai Pengantar. Selain itu, mereka yang “suntuk” dengan rangkaian pelayanan rutin tentu membutuhkan penyegaran (refreshing), baik dari sisi teoritis (teologis) maupun sisi praktis (liturgis, kateketis dan pastoral). Kebutuhan itu telah ditanggapi dengan sajian materi sebagaimana tampak dalam jadwal acara yang meliputi: pemahaman tentang Gereja (eklesiologi), pengetahuan tentang liturgi, pengetahuan seputar Kitab Suci dan homiletik, pengetahuan mengenai musik liturgi dan kemampuan memimpin lagu-lagu liturgis.
Sebagai pelayan pastoral di tengah umat, para Pengantar berpartisipasi secara nyata dalam memelihara dan memupuk iman umat Allah. Dalam arti tertentu, mereka menjadi tulang punggung pelayanan rohani umat setempat. Mereka ikut melaksanakan amanat Konsili Vatikan II bahwa setiap anggota Tubuh Kristus diundang untuk mengambil bagian dalam pembangunan Tubuh Kristus dengan peran dan tanggung jawab masing-masing (bdk. AA art. 2). Oleh karena itu, tepatlah kegiatan Temu Pengantar ini dilaksanakan untuk mewujudkan pengembangan dan pembangunan Tubuh Kristus secara berkesinambungan, khususnya di Kevikepan Toraja.
Proficiat untuk para pengantar, pejuang lapangan dan pelayan di medan pastoral Kevikepan Toraja!*** Penulis: I Made Markus Suma, Pr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar