"Deus Caritas Est"
Sekitar 13 tahun yang lalu, saya mulai menjalani masa formasi di seminari menengah St. Petrus Claver (SPC/SPECLA). Bersama dengan 40 sahabat seangkatan (dari jumlah 44 yang dinyatakan lulus masuk SPECLA), saya memulai hidup yang sangat langka: hidup jauh dari orang tua dan menjalani rutinitas dalam kemandirian dengan bantuan bimbingan dari para formatores. Tahun demi tahun melewati masa formasi, saya berjumpa dengan sekian banyak sahabat, kawan maupun lawan jenis, yang dengan caranya masing-masing telah turut ambil bagian dalam karya Allah membentuk diri hamba-Nya ini. Dalam kurun waktu 13 tahun, 38 sahabat seangkatan telah memilih berpisah dan mengambil jalan panggilan yang lain. Kini, kami bertiga bersama dengan dua senior kami di SPECLA, maju dalam keyakinan mantap akan panggilan dan pilihan Allah hendak mengikatkan diri dalam karya pelayanan sebagai imam-imam diosesan dalam wilayah pelayanan Gereja lokal Keuskupan Agung Makassar.
Berawal dari Kekaguman
Panggilan dan pilihan untuk masuk seminari menengah bermula dari kekaguman yang menimbulkan rasa penasaran. Saya baru kelas 1 SD ketika menginjakkan kaki untuk pertama kali di seminari kecil itu, dan tentu saja tidak bermaksud untuk tinggal di sana. Status waktu itu hanyalah ikut mengantar kakak sulung yang akan memulai hidup di SPC. Meski demikian, pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam. Perjumpaan dengan Pastor Rektor dan suasana seminari meninggalkan rasa kagum. Kesan saya, sosok pastor adalah sosok yang baik dan ramah. Salah satu kebaikannya yang tak terlupakan adalah hadiah coklat dari Jerman. Pengalaman perjumpaan itu telah menimbulkan keinginan untuk mengalami hidup di seminari suatu saat nanti. Tahun demi tahun berlalu dan kesan yang baik tentang sosok para pastor masih tetap melekat bahkan dikuatkan oleh sekian banyak pengalaman berjumpa dengan beberapa pastor di paroki dan fratres dari tarekat CICM.
Keinginan yang tetap terpelihara sampai tingkat SLTP untuk masuk seminari rupanya mendapat dukungan penuh dari keluarga, khususnya kedua orangtua. Ketika saya dinyatakan lulus masuk SPC dan ada keraguan untuk bertahan tinggal jauh dari orangtua, mereka tetap bersemangat mendukung saya masuk seminari. Ibu malahan berpesan, “Pergilah! Bertahan saja sebulan dulu di sana. Kalau tidak betah, kau bisa pulang.” Demikianlah, saya mulai berstatus sebagai seminaris.
Mengalami Realitas, Ditantang dan Memilih untuk Terlibat
Hari-hari pertama menjalani hidup di seminari menengah sungguh terasa berat. Rupanya realitas tidak sesuai dengan harapan; tempat ini bukanlah tempatnya para malaikat sehingga saya tidak semestinya hidup terus-menerus dalam impian akan adanya realitas kehidupan duniawi yang tanpa cacat cela. Keinginan untuk segera pulang ke rumah di hari-hari pertama tertolong oleh ketidaktahuan. Dalam kasus tertentu, faktor tidak tahu rupanya menjadi penolong. Saya mau pulang, tapi saya sendiri belum tahu jalan pulang. Apalagi nasihat Ibu untuk bertahan sebulan saja belum terpenuhi, jadi saya mesti berjuang untuk bertahan. Dalam hari-hari sulit tersebut, saya sangat terbantu dengan kehadiran dan sharing pengalaman kakak kelas separoki. Ternyata Tuhan berkarya lewat mereka sehingga saya mampu bertahan melalui hari-hari yang sulit.
Resep berupa nasihat Ibu rupanya manjur juga. Memasuki bulan kedua, saya mulai menikmati ritme hidup di seminari menengah. Mata pelajaran yang lebih banyak daripada siswa-siswi di luar serta kegiatan harian yang beraneka ragam meminimalisir rasa bosan dan galau. Warna hidup pun lebih menarik lagi dengan adanya hukuman-hukuman yang serba lucu dan kebanyakan aneh dari para formator, terutama Pastor Rektor. Saya masih ingat salah satu hukuman aneh dari Pastor Rektor kami waktu kelas II SPC: berbicara dengan burung-burung peliharaan di tamannya pada saat seminaris yang lain sedang studi malam.
Seiring dengan berjalannya waktu, saya semakin mengetahui realitas hidup panggilan sebagai seorang imam. Menjalani hidup panggilan sebagai rohaniwan bukanlah perkara mudah, terutama ketika dihadapkan dengan kelemahan manusiawi. Masa formasi mengantar pada pengenalan akan beragam warna situasi kehidupan manusia dan tanggapan pasti atas panggilan Allah. Refleksi pengalaman melalui masa formasi ini makin menegaskan keyakinan bahwa “HIDUP ADALAH ANUGERAH ALLAH BAPA YANG MAHAKASIH, YANG MELALUI PENGORBANAN PUTERA-NYA DI SALIB TELAH MENUNJUKKAN KASIH YANG SEJATI KEPADA MANUSIA. SEBAGAI PENGIKUTNYA, SAYA DIPANGGIL UNTUK MEMBAGIKAN KASIH ALLAH KEPADA SESAMA SESUAI DENGAN JALAN PANGGILAN YANG TELAH DIKEHENDAKI-NYA BAGIKU.”
Syukur dan Terima Kasih
Panggilan ini patutlah disyukuri sekaligus merupakan perwujudan syukur kepada Tuhan yang telah memanggil. Semuanya karena kasih! Saya ada karena kasih, hidup dalam kasih persaudaraan, dan diutus untuk membagikan kasih kepada sesama dan alam ciptaan dalam pilihan hidup sebagai imam.” Kata-kata pemazmur sungguh mengena di hati: “Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku? Aku akan mengangkat piala keselamatan, dan akan menyerukan nama TUHAN”(Mzm. 116:12-13).
Limpah terima kasih kepada semua pihak yang telah ambil bagian dalam panggilan ini, yang dengan cara masing-masing telah memberikan sumbangsihnya. Terima kasih kepada kedua orangtua dan saudari-saudaraku terkasih, yang telah menghadirkan Allah Mahakasih dalam rumah sebagai Gereja kecil. Terima kasih kepada para formatores sejak seminari menengah, Tahun Orientasi Rohani, Tahun Orientasi Pastoral, hingga seminari tinggi. Dalam keempat komunitas kasih ini, saya pun dapat berjumpa dengan Allah yang mahakasih. Terima kasih kepada para sahabat yang telah menjadi teman seperjalanan dalam kurun waktu tertentu. Terima kasih kepada seluruh umat, yang senantiasa mendukung panggilan para imam dan calon imam. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar