Refleksi panggilan ini saya mulai dengan melihat kembali beberapa peristiwa awal sebagai benih-benih panggilan imamat saya. Peristiwa-peristiwa tersebut saya maknai dan yakini sebagai karya Roh Kudus yang sederhana namun menggetarkan. Sepertinya sebuah kebetulan saja bahwa teman dekat saya sekaligus tetangga saya masuk Seminari. Bisa dikatakan bahwa karena dialah akhirnya saya terpengaruh juga untuk masuk ke seminari dan ingin menjadi pastor. Sebelum tes wawancara, teman saya ini mengajarkan satu hal bahwa kalau ditanya oleh pastor cita-cita kamu apa, jawab saja dengan mantap, “mau jadi pastor”. Usulannya saya praktekkan dengan baik dan akhirnya saya lulus bersama dengan dua teman yang lain.
Namun berita kelulusan ini yang seharusnya membahagiakan ternyata ditanggapi dingin bahkan ‘ditolak’ oleh kedua orangtua. Memang waktu itu saya mengikuti tes seminari secara diam-diam karena tahu orangtua tidak akan setuju. Tentunya mereka memiliki alasan yang mendasar mengapa pada waktu itu ‘tidak setuju’ bila anak bungsunya masuk ke seminari. Berbeda dengan saudara-saudari saya yang sangat mendukung bila adiknya yang “imut” masuk seminari. Penolakan ini kemudian berlanjut. Bapak mengantar saya mendaftarkan diri ke SMA 1 Kemaraya di Kendari dan sebagai anak yang penurut saya tidak menolak. Waktu itu ada pilihan kalau lulus di SMA 1 Kemaraya berarti tidak boleh masuk seminari dan sebaliknya bila tidak lulus berarti boleh masuk ke Seminari Menengah Santo Petrus Claver Makassar.
Lagi-lagi berita kelulusan tidak selalu baik dan kali ini tidak baik untuk saya. Saya diterima masuk di SMA 1 Kemaraya dan berita ‘buruk’ ini saya rahasiakan dulu sambil menunggu mukjizat datang. Akhirnya mukjizat itu datang juga. Berkat berbagai usaha dan kerja keras dari anggota rukun Fransiskus Xaverius, dari saudara-saudari dan keluarga yang lain, dua teman saya yang juga lulus masuk seminari dan terutama tetangga samping rumah yang tiada henti mempengaruhi kedua orangtua saya, hati orangtua akhirnya luluh juga. Orangtua kemudian merelakan saya masuk seminari walaupun sangat berat. Inilah karya Roh Kudus yang kedua dalam hidup panggilan saya. Sungguh luar biasa bahwa Tuhan telah memakai orang-orang di sekitarku yang dengan caranya masing-masing mengambil bagian dalam hidup panggilanku. Sungguh bahwa “mereka telah menunjukkan Kristus kepadaku dengan caranya masing-masing dan biarlah Kristus menjadi semakin besar, dan aku harus makin kecil…” (Yoh 3:30). Kepada kalian semua saya ucapkan terima kasih!
Sampai sekarang saya belum tahu apa alasan yang mendasar mengapa waktu itu orangtua sangat sulit merelakan saya masuk ke seminari. Namun syukurlah bahwa pengorbanan merekalah yang selalu mengingatkan saya untuk bertahan menjalani hidup panggilan ini. Penolakan tersebut kemudian berubah 180 derajat menjadi dukungan yang luar biasa besarnya. Walaupun setiap kali pulang liburan ke rumah, mama selalu menangis bila mengantarkan ke perwakilan bus namun dia tetap setia untuk membuatkan sambal lure dan sambal terasi untuk saya bawa sebagai oleh-oleh buat teman-teman di seminari. Inilah salah satu wujud dukungan yang walaupun sederhana tetapi tidak bisa saya lupakan. Terima kasih untuk mama dan papa, terima kasih untuk kakak-kakak tercinta!
Berbagai rangkaian peristiwa di atas bukanlah sebuah kebetulan tetapi oleh karena kasih dan kemurahan-Nya, Ia telah memilih dan memperkenankan saya untuk ambil bagian dalam tugas perutusan ini yakni menjadi seorang imam diosesan di Keuskupan Agung Makassar. Oleh karena itu dalam menghidupi panggilan imamat ini saya memilih motto, “Aku telah memilih dan menetapkan kamu supaya kamu pergi dan menghasilkan buah” (Yoh 15: 16). Kiranya motto ini akan selalu mengingatkan saya dalam menjalani panggilan ini khususnya dalam tiga hal pokok. Pertama, kata ‘memilih’ mengingatkanku bahwa rahmat tahbisan pertama-tama adalah prakarsa Allah. Saya harus yakin bahwa saya telah dipilih oleh Allah sendiri, menjadi orang pilihan, yang berbeda dengan yang lain. Oleh karenanya panggilan ini pun harus saya tanggapi dengan penuh kesadaran, kebebasan dan sukacita. Kedua, kata ‘menetapkan’ semakin memperkuat kata ‘memilih’ di atas bahwa Allah tidak hanya sekedar memilih tetapi sekaligus menetapkan saya untuk menjadi gembala umat-Nya di dunia ini. saya begitu terkesan dengan prosesi liturgi tahbisan yang kami jalani khususnya pada saat tiarap saat doa Litani Para Kudus dikumandangkan. Sewaktu tiarap saya sungguh merasakan bahwa saya adalah pria hancur, penuh dosa dan kelemahan. Namun ketika saya bangun dan bangkit, saya sungguh merasakan sebagai pria yang diangkat, dipilih dan oleh karena kemurahan-Nya diperkenankan oleh Tuhan menjadi gembala umat-Nya. Ya, Tuhan tidak hanya memanggil saya tetapi juga memilih dan menetapkan saya menjadi pekerja di kebun anggur-Nya. Ketiga, kata ‘pergi’ dan ‘menghasilkan buah’ merupakan motivasi dan semangat bahwa setelah menerima rahmat tahbisan ini saya tidak boleh hanya berhenti pada rasa syukur, bahagia karena dipilih Tuhan. Tetapi pilihan ini mengandung perutusan, bahwa saya diajak untuk menjadi pekerja di ladang Tuhan, dan kemudian diharapkan menghasilkan buah melimpah, melalui karya, pelayanan dan tugas perutusan yang akan saya emban.
Tentunya saya pun berharap semoga saya mampu menjadi imam yang baik khususnya menjadi pembantu uskup yang taat dan bukannya semakin menambah beban tugas dan pikiran uskup dikemudian hari. Semoga semua niat baik dan luhur ini diberkati oleh Tuhan agar saya senantiasa dimampukan untuk bertekun dalam hidup dan karya terutama dalam mewartakan Injil hingga akhir hidup. Maka saya pun ingin menyerahkan segala kekuatiranku kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara aku (bdk. 1 Petrus 5:7). Akhir kata, saya ucapkan limpah terima kasih dan ucapan syukur kepada siapa saja yang dengan caranya masing-masing telah terlibat dan berjerih-lelah dalam pikiran, tenaga dan doa yang semuanya itu telah menyokong hidup panggilan saya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar