Selasa, 17 Juli 2012

Konferensi Nasional 2012 Lembaga Alkitab Indonesia dan Mitra


Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) & Mitra menyelenggarakan Konferensi Nasional (Konfernas) Kitab Suci 2012 di Jakarta yang berlangsung pada tanggal 7-10 Mei 2012. Konfernas ini dihadiri oleh seluruh pimpinan dan wakil gereja-gereja (Kristen Protestan, denominasi-denominasi, Katolik) seluruh Indonesia. Kegiatan Konfernas 2012 ini dibuka oleh Menko Kesra RI, Bapak Agung Laksono, yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia.
Konfernas 2012 membicarakan berbagai topik bahasan selama tiga hari penuh. Topik bahasan dibuka dengan keynote address “Peta Kebijakan Pemerintah pada Era Reformasi di Bidang Keagamaan dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”  yang disampaikan oleh Dirjen Bimas Kristen Kemenag RI, Bapak Edison Pasaribu, M.Th. Setelah itu  peserta diajak untuk membahas tema “Bagaimana Kitab-Kitab Suci Agama-agama Berpengaruh dalam Pembinaan Karakter Umat, Apa Dampaknya dalam Perspektif Hubungan Antar Agama dan Penganut Agama-Agama di Indonesia dalam Bingkai Negara Pancasila”. Sejumlah pembicara dari lintas agama dan kepercayaan tampil menyampaikan pokok bahasan mereka, yaitu dari Muhammadiyah, MATAKIN, PGLII, GMAHK, KWI, NU, PHDI, PBI, Bala Keselamatan, PGPI, MUI, Walubi, PGI, dan Orthodox.
Pihak Katolik yang menyampaikan materinya dalam pertemuan ini adalah wakil dari Lembaga Biblika Indonesia, YM Seto Marsunu. Dalam makalahnya dengan judul “Kitab Suci dalam Gereja Katolik”, Seto Marsunu menjelaskan bahwa berabad-abad lamanya umat Katolik terasing dari Kitab Suci dan tidak pernah bergaul dengannya. Selama kurun waktu yang sangat panjang, Kitab suci hanya tersedia dalam bahasa Latin, Yunani dan Ibrani. Karena bahasa Latin menjadi bahasa resmi Gereja, praktis terjemahan Latin menjadi teks resmi yang dibacakan  dalam liturgi. Namun tidak semua orang Katolik yang dapat membaca dan menguasai bahasa-bahasa itu. Akibatnya, membaca Kitab Suci merupakan keistimewaan kalangan tertentu, yaitu sejumlah elit pelajar, terutama pada kaum rohaniwan dan para rahib. Umat pada umumnya tidak dapat membaca Kitab Sucinya sendiri. Mereka mengetahui isi Kitab suci hanya dari para imam yang memberikan homili dalam Ekaristi. Kurangnya kesempatan bagi umat awam untuk membaca Kitab Suci juga dipengaruhi oleh kekhawatiran dalam anjuran bahwa “Umat tidak diperbolehkan membaca Kitab Suci karena dikhawatirkan akan keliru atau sesat bila membaca dan menafsirkan Alkitab. Cukup bagi mereka untuk mendengarkan pengajaran dan penafsiran Kitab Suci yang disampaikan oleh para pejabat Gereja. Akibatnya, baik umat maupun pemimpinnya kurang mengenal Kitab Suci mereka sendiri”. Syukurlah “keterasingan“ dari Kitab Suci ini diretas oleh Konsili Vatikan. Kerinduan untuk mengenal Kitab Suci dengan lebih baik dicetuskan lewat kesadaran untuk menempatkan Kitab Suci dalam kehidupan iman Gereja yang memuncak dalam Konsili Vatikan II. Selama empat tahun (1962-1965) para pemimpin Gereja Katolik memikirkan hal-hal yang perlu untuk gereja supaya sanggup menghadapi dunia di abad ke-20. Salah satu unsur penting dalam usaha itu adalah merumuskan kembali peranan Alkitab dalam kehidupan Gereja. Melalui Konsili Vatikan II dalam dokumen Dei Verbum (Wahyu Ilahi), konsili mengambil langkah besar dengan menjadikan Sabda Allah sebagai daya kekuatan yang besar sehingga menjadi tumpuan dan kekuatan Gereja. Lebih lanjut, Konsili Vatikan II dalam dokumen Dei Verbum (Wahyu Ilahi), konsili mengambil langkah besar dengan menjadikan sabda Allah sebagai daya kekuatan yang besar sehingga menjadi tumpuan dan kekuatan gereja.  Lebih lanjut, Konsili Vatikan II memutuskan bahwa Kitab suci harus dikembalikan pada umat. Konsili menyerukan agar jalan menuju Kitab Suci harus dibuka lebar-lebar  bagi kaum beriman, “Bagi kaum beriman kristiani jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar” (DV22). Pembukaan jalan menuju Kitab Suci ini dilakukan dengan menerjemahkan Kitab Suci ke dalam banyak bahasa lokal, “ ... karena sabda Allah harus tersedia pada segala zaman, Gereja dengan perhatian keibuannya mengusahakan, supaya dibuat terjemahan-terjemahan yang sesuai dan cermat ke dalam pelbagai bahasa, terutama berdasarkan teks asli Kitab Suci” (DV22) konsili juga menganjurkan agar terjemahan ini diselenggarakan bersama para saudara terpisah (baca: Gereja-gereja Protestan), “Bila terjemahan-terjemahan itu - sekiranya ada kesempatan baik dan pimpinan Gereja menyetujuinya – diselenggarakan atas usaha bersama dengan saudara-saudara terpisah, maka terjemahan-terjemahan itu dapat digunakan oleh semua orang Kristiani.” Demikian Seto Marsunu mengupas sejarah terjemahan Kitab Suci.
Sementara itu, Dr. Anwar Tjen, staf  konsultan penerjemahan LAI dalam presentasinya, mengapresiasi dengan sangat baik  “pengorbanan“  yang pernah dilakukan oleh Tim Penerjemahan Lembaga Biblika Indonesia (LBI) yang diketuai oleh Pater Cletus Groenen, OFM, ketika pada bulan Juni 1968 pihak Majelis Wali Gereja Indonesia ( MAWI, sekarang Konferensi Waligereja Indonesia/KWI ) bersedia mengakui dan menerima terjemahan LAI dengan catatan bahwa Kitab Deutrokanonika juga disertakan. Dr. Anwar Tjen mengatakan bahwa tidak mudah pengorbanan besar yang dilakukan oleh pihak Katolik untuk meninggalkan terjemahan yang sudah mereka lakukan demi untuk membangun kebersamaan satu terjemahan Kitab Suci yang dipakai bersama oleh seluruh umat Kristen (Kristen dan Protestan) di Indonesia.
Dalam kesempatan tanya-jawab, penulis melontarkan pertanyaan bahwa apakah kesepakatan yang dibuat tahun 1968 soal kesatuan terjemahan Kitab Suci yang dipakai bersama hanya berlaku untuk Kitab Suci berbahasa Indonesia saja ataukah juga untuk Kitab Suci yang diterjemahkan kedalam bahasa daerah di Indonesia? Seperti Kitab Suci dalam bahasa Toraja yaitu Sura’ Madatu, di sana tercantum: “Terjemahan ini diterima dan diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia/Lembaga Biblika Indonesia”.  Padahal dalam kenyataannya, ketika terjemahan Kitab Suci dalam bahasa Toraja (Sura’ Madatu) dilaksanakan tidak ada tim ahli dari pihak Katolik yang dilibatkan (atau paling tidak pihak Katolik dimintai persetujuan resmi) dan bagian Kitab Suci Deutrokanonika tidak disertakan dalam terjemahan Kitab Suci  berbahasa Toraja (Sura’ Madatu ) tersebut. Atas pertanyaan tersebut, Dr. Anwar Tjen, mengatakan bahwa pertanyaan ini bagus dan harus ditindaklanjuti. Bisa saja secara nasional antara LAI dan LBI ada kerja sama yang baik tetapi di tingkat lokal (terjemahan bahasa daerah) kerja sama itu tidak berjalan baik. Maka pertanyaan-masukan ini akan menjadi bahan pertimbangan untuk LAI.
Pada hari berikutnya, tema yang dibahas adalah: “Penerjemahan Kitab Suci dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia”. Tema bahasan ini menghadirkan Dr. Alexander Schweitzer dari United Bible Societies (UBS), Dr. Yulia Esti Katrini, Dr. Marko Mahin, MA dan Dr. Anwar Tjen. Pihak penerjemah LAI, sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Anwar Tjen, terus menerus melakukan usaha memperbaiki teks terjemahan baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa daerah dewasa ini. Upaya menyempurnakan terjemahan Kitab Suci dilakukan antara lain dengan memperbaiki perubahan ejaan/bahasa, misalnya, kata ”dari pada” dalam terjemahan sebelumnya, dalam edisi revisi nanti akan dipakai bentuk yang lebih baku yaitu, “daripada” (lih. Rut 1:13, Mzm 130:6). Perubahan ejaan menjadi lebih penting ketika perubahan itu mempengaruhi arti atau hal teknis, seperti kata “korban“ dan “kurban“. Istilah itu sama saja (korban dan kurban) namun dalam konteks sekarang, kata “korban” sudah memiliki arti atau nuansa khusus, yaitu merujuk pada sebuah kejadian/accident, misalnya korban kecelakaan, korban pembunuhan. Sementara kata “kurban“ lebih merujuk kepada persembahan, misalnya “kurban domba” yaitu domba yang dipersembahkan dalam sebuah upacara keagamaan. Karena itu, dalam edisi revisi nantinya, akan mengalami perbaikan seperti kata “korban” dalam Kel. 32:6; 34:15. Demikian juga akan ada perbaikan dalam hal perubahan dari segi tafsiran/terjemahan.
Konfermas 2012 ini juga dirangkaikan dengan Hari Ulang Tahun United Bible Societies (UBS) dan Launching Alkitab D+ (Alkitab Digital). Dari pihak KWI hadir Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFM. Beliau juga yang memimpin siding pada bagian Komitmen Kemitraan. Komitmen Kemitraan ini bertujuan untuk mendukung Lembaga Alkitab Indonesia untuk menyebarkan Kitab Suci sebagai salah satu bentuk pewartaan Alkitab di Indonesia. Konfernas 2012 kemudian ditutup dengan kunjungan peserta Konfernas 2012 ke Gedung Pusat Alkitab (Bible Centre) yang telah diresmikan pada bulan Februari 2012 yang lalu.  Di Gedung Pusat Alkitab (Bible Centre) di Jalan Salemba Raya 12 Jakarta Pusat, peserta bisa menyaksikan Kitab Suci Terbesar di Indonesia (Kitab Suci ini sudah masuk rekor MURI), buku-buku yang membahas Kitab Suci dan penerjemahan ke dalam bahasa daerah, replika artefak-artefak dari Tanah Suci tentang peninggalan Kitab Suci seperti gulungan Kitab Suci Laut Mati, guci-guci tempat penyimpanan Kitab Suci yang ditemukan di Qumran dan pemutaran video proses penulisan Kitab Suci. *** Penulis: P. Aidan Putra Sidik, Pr

Tidak ada komentar: