Selasa, 21 Desember 2010

Kaderisasi Enam Hari Mahasiswa Katolik KAMS

Pastoral Kemahasiswaan KAMS mengadakan kaderisasi bagi mahasiswa calon sarjana dalam bentuk khalwat (retret) selama 6 hari; disingkat K–6–H. Peserta dibatasi 20 orang; dan mereka adalah mahasiswa-mahasiswi Katolik yang hampir menyelesaikan studi Sarjana Strata-1-nya (minimal semester 7), yang pada umumnya belum mempunyai pengalaman kerja, ber-IPK minimal 2,5, memiliki bakat/kemampuan kepemimpinan, sehat secara jasmani-rohani (keutuhan kepribadian, tidak pernah kena narkoba) dan memiliki iman – moral – Katolik yang cukup mantap. Mereka berjumlah 20 orang.

Kegiatan ini dilaksanakan di Baruga Kare pada 07–14 November 2010. Selama hari-hari khalwat itu para peserta didampingi oleh 2 orang fasilitator berpengalaman dari Pusat Spiritualitas Awam Klaten, Yogyakarta. Mereka adalah Rm. Isidorus Warnabinarja, SJ, dan ibu Dra. Emmy Putraningrum, M.Psi.

Tujuan K–6–H ialah untuk menanamkan semangat-semangat kerasulan Awam Katolik, dalam kerangka acuan Konsili Vatikan II tentang para Awam Katolik. Kita menyadari bahwa mahasiswa calon sarjana adalah intelektual terdidik. Secara umum kita ketahui bahwa mereka, dengan segala potensinya, memiliki kesempatan dan ruang untuk berada dalam lingkungan akademis yang disebut kampus. Harapan besar menunggu kalangan terdidik ini menjadi penerus kepemimpinan bangsa dan Gereja. Negara dan Gereja ini menunggu waktu untuk mereka urus, bukan merusuh. Sebagai kaum menengah ke atas, karena hanya lima persen saja dari masyarakat Indonesia adalah mahasiswa, tidak seharusnya kelakuan urakan dan emosional mereka perturutkan. Reformasi sebagai momen penting di Indonesia pun, adalah hasil perjuangan mahasiswa dengan gerakannya.

Sebagai kaum terdidik yang hidup dalam komunitas masyarakat, kita berharap mereka memainkan peran penting, antara lain: pertama, sebagai iron stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Artinya mahasiswa merupakan aset, cadangan dan harapan bangsa dan Gereja. Kongkritnya sebagai penerus tonggak estafet bangsa dan Gereja.

Kedua, mahasiswa sebagai agent of change. Mahasiswa sebagai agen dari suatu perubahan yang diharapkan dalam rangka kemajuan bangsa dan Gereja. Dilakukan dengan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan miskin, mengembalikan nilai-nilai kebenaran yang diselewengkan oleh oknum-oknum elit. Dalam perubahan ini mahasiswa harus menjadi garda terdepan. Option for the poor sebagai opsi Gereja pun mesti menjiwai mereka dalam seluruh proses pembentukan diri dan gerak perjuangan kemahasiswaannya.

Ketiga, mahasiswa sebagai agent of problem solver. Mahasiswa harus menjadi generasi yang memberikan solusi dari setiap persolaan yang terjadi dalam lingkungan dan bangsanya sendiri. Dengan berbagai analisa dan kajian-kajian akademik yang dilakukan, semestinya mahasiswa bisa membantu jalan keluar terhadap kondisi sulit yang dihadapi oleh pengambil kebijakan.
Keempat, mahasiswa sebagai agent of control. Fungsi ini dilakukan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa. Berpijak dari ungkapan Jo Grimmond, mantan anggota parlemen Inggris, “mahasiswa harus berontak terhadap birokrasi dalam semua bentuk dan sikapnya”. “Mahasiswa harus berontak terhadap pikiran yang hanya berpikir dalam rangka organisasi yang dianutnya atau terhadap kelaziman-kelaziman yang telah di-indoktrinasi-kannya.”

Peran dan fungsi mulia mahasiswa sering mereka cederai sendiri. Hal ini menunjukkan satu bentuk indikasi kekerdilan jiwa mahasiswa, dengan melakukan konflik internal dalam satu kampus. Dinamikanya tidak pada hal-hal yang subtansi, seperti tersinggung oleh kata-kata, merasa tidak dihargai oleh junior atau mahasiswa dari fakultas lain. Pemicu lainnya, karena perebutan teman perempuan dan sebagainya. Akibat yang ditimbulkan adalah anarkisme. Tidak seharusnya kampus pencetak calon pendidik itu, berubah mencekam di tengah kehidupan yang seharusnya penuh kedamaian. Tidak jelas apa yang dipersoalkan, akhirnya diselesaikan dengan cara tawuran seperti preman.

Khalwat 6 hari mengajak peserta untuk menyadari dirinya di hadapan Allah. Metode yang digunakan adalah metode proses yang member tekanan pada Spiritualitas Transformatif. Pada pertemuan pembukaan, Rm. Warna, begitu beliau disapa, mengingatkan bahwa “beberapa teks dlm Injil jika kita pikir secara manusiawi sifatnya irasional di antaranya tentang ajaran Yesus untuk kita mendoakan musuh-musuh kita (bdk. Mt 5:44; Lk 6:27). Ada juga teks yang mengungkapkan “hendaklah kamu sempurna seperti Bapa di Sorga sempurna adanya” (Mt 5:48). Dari pengajaran Yesus itu, ada nilai yang berguna bagi kita. Kita diajak untuk terus mengembangkan talenta kasih Allah. Itulah harapan Allah. Dengan daya ilahi, Allah akan selalu memberikan rahmat-Nya dari detik ke detik; sesedih-sedihnya kita, rahmat Allah berjalan terus. Hubungan kita dengan Allah dapat terjalin dengan baik jika kita memiliki kedewasaan manusiawi (fisik, pikiran, kehendak), mencintai Kitab Suci dengan terus membacanya secara disiplin, kaya akan perbuatan keutamaan-keutamaan, serta ada keterbukaan untuk maju.”

Melalui ceramah, dinamika kelompok, konsultasi pribadi, meditasi, adorasi Sakramen Mahakudus, dan Perayaan Ekaristi, proses pengenalan diri dan penyadaran akan kehadiran Allah mewarnai seluruh acara 6 hari itu. Intinya adalah kesadaran bahwa man of God; woman of God. Pria dan wanita adalah milik Allah. Beberapa hal yg mendekatkan diri pada Allah yakni: mencintai doa (berdoa karena cinta TUHAN, bukan karena terpaksa), mencintai rahmat-rahmat sakramental, mencintai matiraga, mencintai keutamaan-keutamaan suci (pertobatan terus-menerus), mencintai dunia bersama dengan Kristus. Yesus di kayu salib adalah contoh utama kita. Dengan mati di salib, Dia menunjukkan tindakan berani untuk mengambil kesulitan bagi orang banyak dengan hidup suci dan tahan atas fitnahan. Seorang pemimpin Katolik harus banyak menikmati apa yang dirasakan Yesus secara rohani. Janganlah berharap jadi pemimpin yang punya pengaruh jika diri tidak disiplin; setialah pada perkara-perkara kecil. Bersyukurlah bisa menikmati penderitaan Yesus. Lihatlah bagaimana Yesus taat–setia pada perutusan-Nya. Hendaknya kita membiasakan diri dengan setia.
Seluruh proses khalwat ditutup dengan ekaristi penutup dan malam api unggun. Nyalakan terus api kasih persaudaraan dan membiarkan Allah yang memimpin hidup kita merupakan langkah yang harus pertama kali diambil. Syarat prinsipilnya adalah dengan kecintaan membaca dan bermeditasi Kitab Suci, khususnya Perjanjian Baru, menempuh askese pembersihan diri dan perwujudan keutamaan-keutamaan suci dari hari ke hari, memperhatikan ajaran-ajaran Gereja Katolik, serta rajin menikmati rahmat-rahmat sakramental. Demikian Rm Warna menutup pesan seluruh proses K-6-H di Baruga Kare.*** Penulis: P. John da Cunha Pr, Pastor Kemahasiswaan KAMS

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Selamat atas terselenggaranya program Kaderisasi Penggerak Mahasiswa Katolik..Semoga kelak menjadi penggerak umat katolik yang tangguh serta menjadi tanda kehadiran Kritus ditengah umat

Salam hormat